108
BAB IV DISTINGSI SEKOLAH ALAM SCHOOL OF UNIVERSE
DALAM PENDIDIKAN DI INDONESIA
Pada bab IV empat ini penulis akan membahas tentang inovasi yang dilakukan sekolah alam. Pengembangan tersebut akan penulis tinjau dari aspek psikologi, aspek
sosiologi dan aspek organisatoris. Kemudian distingsi tersebut peneliti analisa dari sudut pandang keadaan pendidikan di Indonesia.
A. Aspek Psikologi
Aspek psikologi merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam proses pembelajaran. Karena psikologi akan membantu mengenal karakteristik
peserta didik dan mempermudah dalam melaksanakan proses pembelajaran. Setiap individu mempunyai kondisi psikologis yang berbeda,
1
karena perbedaan tahap perkembangannya, latar belakang sosial-budaya dan perbedaan-perbedaan yang
dibawa sejak lahir. Secara psikologis, anak didik memiliki keunikan dan perbedaan-perbedaan baik
perbedaan minat, bakat, maupun potensi yang dimilikinya sesuai dengan tahapan perkembangannya. Dengan alasan itulah, dalam kurikulum harus memperhatikan
kondisi psikologi perkembangan dan psikologi belajar anak.
2
Dalam konsep
1
Kondisi psikologis adalah karakteristik psiko-fisik seseorang sebagai individu, yang dinyatakan dalam berbagai bentuk perilaku dalam interaksi dengan lingkungannya. Perilaku-perilaku
tersebut merupakan manifestasi dari ciri-ciri kehidupannya, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, perilaku kognitif, afektif, dan psikomotor. Lihat. Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan
Kurikulum; Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001, cet.ke-4, h. 45
2
Lihat. Wina Sanjaya, Pembelajaran dalam Imlementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, Jakarta: Kencana, 2008, h. 25. Lihat pula. E Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007, cet.ke- 4, h. 48. Mengenai perlunya melihat aspek psikologi dalam pengembangan kurikulum diungkapkan pula oleh Abdurrahman An Nahlawi. Lihat.
109 pengembangan kurikulum, minimal dua bidang psikologi inilah yang mendasari
penyusunan dan pengembangan kurikulum. Keduanya sangat diperlukan, baik dalam merumuskan tujuan, memilih dan menyusun bahan ajar, memilih dan menerapkan
metode pembelajaran serta teknik-teknik penilaian. Setiap anak mengalami tingkat perkembangan fisik, intelektual, emosional,
sosial yang berbeda. Perbedaan karakteristik dan kondisi psikologis tersebut disebabkan karena perbedaan tahap perkembangannya, latar belakang sosial-budaya,
juga karena faktor-faktor pembawaan sejak lahir. Kondisi ini pun berbeda tergantung pada konteks, peranan dan status seorang individu diantara individu-individu yang
lainnya. Interaksi yang tercipta dalam situasi pendidikan harus sesuai dengan kondisi psikologis para peserta didik dan tingkat pendidikannya. Interaksi pendidikan di
sekolah berbeda dengan di luar sekolah, interaksi antara siswa dan guru pada jenjang sekolah dasar berbeda dengan jenjang sekolah lanjutan atas. Perbedaan-perbedaan
tersebut sangat penting untuk diperhatikan dan dipertimbangkan dalam penyusunan dan pengembangan kurikulum.
Perkembangan
3
manusia sejak konsepsi sampai mati prosesnya terjadi secara bertahap melalui berbagai fase perkembangan, dimana setiap fase perkembangan
ditandai dengan bentuk kehidupan tertentu yang berbeda dengan fase sebelum dan sesudahnya. Dalam hal ini, para ahli pendidikan berbeda-beda dalam membagi
perkembangan-perkembangan tersebut. Mulai dari perkembangan prakelahiran, bayi, anak-anak, remaja, orang dewasa, dan usia lanjut.
Abdurrahman An Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, Jakarta: Gema Insani Press, 2004, cet.ke-4, h. 198.
3
Perkembangan yang diistilahkan dengan perkembangan manusia adalah proses perubahan kualitatif yang mengacu pada mutu fungsi organ-organ jasmaniah, bukan organ-organ jasmaniahnya
itu sendiri. Dengan kata lain, penekanan arti perkembangan itu terletak pada penyempurnaan fungsi psikologis yang disandang oleh organ-organ fisik. Lihat. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan
Baru, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997, h. 42
110 Peserta didik adalah individu yang sedang berada dalam proses perkembangan.
Sedangkan pendidikan berlangsung untuk membantu membimbing pertumbuhan dan perkembangan peserta didik. Maka kurikulum Pendidikan Agama Islam harus
memperhatikan hakikat pertumbuhan dan perkembangan peserta didik agar dapat mendidik dan mengarahkan peserta didik ke arah kedewasaan yang diharapkan.
Pada masa remaja misalnya, masa ini merupakan masa yang sangat rawan atau kritis, sehingga jika tidak diatasi akan berakibat vital. Masa remaja merupakan masa
peralihan yang sangat sukar dan gawat. Masa ini berada dalam masa pemilihan dan penentuan yang bisa mempengaruhi pandangan hidupnya kelak. Apakah ia menjadi
orang yang asosial atau akan memiliki pribadi yang baik. Menurut Muzayyin, dalam proses mendidik dan membimbing manusia tidak
dapat dipisahkan dari aspek psikologis,
4
karena pekerjaan mendidik manusia didasarkan atas tahap-tahap perkembangan atau pertumbuhan psikologis dimana
psikologi telah banyak melakukan studi secara khusus dari aspek-aspek kemampuan belajar manusia.
Umat Islam dari sejak masa nabi telah menaruh perhatian tentang metode mendidik dan mengajarkan agama kepada anak didik berdasarkan beberapa
pertimbangan. Salah satunya adalah pertimbangan kemampuan psikologis dalam menerima dan menghayati serta mengamalkan ajaran agama sesuai dengan usia,
bakat, dan lingkungan hidupnya. Seperti sabda nabi yang menyatakan bahwa kita harus dapat berbicara kepada manusia sesuai dengan tingkat kemampuan akal
pikirannya.
ﻮﺒﻃﺎﺧ ﻢﹺﻬﻟﻮﹸﻘﻋ ﹺﺭﺪﹶﻗ ﻰﹶﻠﻋ ﺱﺎﻨﻟﺍ
ﺚﻳﺪﳊﺍ
4
Lihat. H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2008, cet. Ke-3, h. 103
111 Pendidikan selain merupakan prosedur seperti yang telah penyusun singgung,
juga merupakan lingkungan yang menjadi tempat terlibatnya individu yang saling berinteraksi. Dalam interaksi antar individu ini baik antara guru dengan para siswa
maupun antara siswa dengan siswa lainnya, terjadi proses peristiwa psikologis. Peristiwa dan proses psikologis ini sangat perlu untuk dipahami dan dijadikan
landasan oleh para guru dalam memperlakukan para siswa secara tepat.
5
Dalam memberikan pendidikan dan pengajaran agama juga harus disesuaikan dengan perkembangan psikologis anak didik. Seorang guru agama, selain mempunyai
pengetahuan agama, dituntut pula dapat menguasai masalah didaktis metodis dan psikologis, serta jiwanya benar-benar jiwa agama. Oleh karena itu, seorang guru
agama harus diberi dasar-dasar pengetahuan yang kuat sehingga dapat membedakan tingkat-tingkat perkembangan anak didik. Hal ini sangat penting, karena dengan
mengetahui tingkat-tingkat perkembangan anak didik, seorang guru agama dengan mudah menentukan atau memilih cara memberikan pengajaran agama yang baik
dengan tingkatan-tingkatan sekolah. Menurut Omar Mohammad Al Toumy Al Syaibany, berkaitan dengan aspek psikologi ini, bagi pendidik Islam tidak boleh
diabaikan dalam kurikulum termasuk di dalamnya memilih dan menggunakan metode pembelajaran. Yaitu dengan mempertimbangkan siswa dalam membuat kurikulum
dan mengaplikasikannya di kelas.
6
5
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997, h. 16. Bandingkan dengan pemahaman Oemar Hamalik yang memahami
perkembangan sebagai proses yang kreatif, karena individu memilih aspek-aspek lingkungan dan terhadap lingkungan tersebut dia harus memberikan respon. Lihat. Oemar Hamalik, Psikologi Belajar
dan Mengajar, Bandung: Sinar Baru, 1992, h. 28
6
Lihat. Omar Mohammad Toumy Syabany, Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979, h. 530
112 Dengan memperhatikan tingkat-tingkat perkembangan dan tingkat-tingkat
sekolah, maka pengajaran agama dapat diberikan dengan cara sebagai berikut: Taman Kanak-Kanak. Pada usia ini anak-anak mempunyai beberapa ciri-ciri,
7
diantaranya: Perkembangan pikiran sangat terbatas; Perbendaharaan kata sangat kurang; Hubungan sosialnya hanya dalam lingkungan keluarga; dan peka terhadap
tindakan-tindakan orang di sekelilingnya. Berdasarkan ciri- ciri tersebut, pendidikan agama yang diberikan School of Universe adalah dengan cara menumbuhkan
kebiasaan-kebiasaan yang sederhana, misalnya: membaca doa sebelum belajar, membiasakan menjaga kebersihan lingkungan, dan membiasakan melakukan
kegiatan-kegiatan keagamaan.
8
Berdasarkan kebiasaan tersebut, maka sekolah alam School of Universe sangat memperhatikan aspek psikologi dalam pendidikannya.
Sekolah Dasar. Ciri-ciri pada anak-anak usia Sekolah Dasar SD diantaranya adalah: Suka berkhayal; senang mendengar cerita-cerita; dan perbendaharaan kata-
katanya cukup banyak. Pendidikan agama, di samping menanamkan kebiasaan yang baik, dapat pula dilaksanakan dengan cara yaitu: Memberikan cerita-cerita yang baik
dan berhubungan dengan agama; Dididik dan diajarkan untuk melakukan ibadah yang ringan misalnya; sembahyang dan berdoa; dan dapat memberikan pengetahuan agama
secara sederhana Berdasarkan wawancara dengan guru agama School of Universe, metode yang
sering digunakan dalam menyampaikan pendidikan atau pembelajaran adalah metode cerita. Bahkan para siswa School of Universe sangat menyukai metode ini dan
mereka sangat antusias ketika guru memberikan materi melalui cerita.
9
7
Lihat. Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bumi Aksara, 1992, h. 28
8
Berdasarkan wawancara dengan M Ishak, Guru Agama TK dan SD sekolah alam School of Universe, 11 Agustus 2008, Parung Bogor
9
Berdasarkan wawancara dengan M Ishak, Guru Agama TK dan SD sekolah alam School of Universe, 11 Agustus 2008, Parung Bogor
113 Sekolah Menengah. Anak-anak usia sekolah menengah memiliki ciri-ciri
diantaranya: pertumbuhan fisik yang cepat, menyusul pertumbuhan pikiran, perasaan dan sosial; mengalami perasaan-perasaan sesuai dengan pertumbuhan biologis dalam
masa puber yang dapat mempengaruhi jiwanya; dan matangnya kecerdasan dan berkembangnya kecenderungan ilmiah. Untuk itu, pendidikan agama yang diberikan
harus menyinggung hal-hal tersebut dan menerangkan hukum-hukum, serta batas- batas yang diberikan oleh agama. Di samping itu, pengajaran agama dapat
membukakan pikiran dan mempelajari hukum-hukum agama. Karakteristik model pembelajaran tersebut di atas juga sesuai dengan ciri-ciri
perkembangan agama pada anak-anak yang dikemukakan oleh Ernest Harms dalam bukunya The Development of Religius on Children yang menjelaskan bahwa
perkembangan agama pada anak-anak melalui tiga tingkatan, yaitu:
10
Pertama, The Fairy Tale Stage Tingkat Dongeng. Yaitu anak pada usia 3-6 tahun. Pada tahap ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi
dan emosi. Sehingga dalam menanggapi agamapun anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal. Kedua, The
Realistic Stage Tingkat Kenyataan. Tingkat ini dimulai sejak anak masuk Sekolah Dasar hingga usia adolesense. Pada masa ini ide keagamaan anak didasarkan atas
dorongan emosional hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis. Berdasarkan hal itu, maka pada masa ini anak tertarik dan senang pada lembaga
keagamaan yang mereka lihat dikelola oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka. Segala bentuk kegiatan keagamaan mereka ikuti dan pelajari dengan penuh minat.
Ketiga, The Individual Stage Tingkat Individu. Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usia mereka.
10
Lihat. Jalaluddin, Psikologi Agama; Memahami Perilaku Keagamaan dengan Mengaplikasikan Prinsip-prinsip Psikologi. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005, h. 66-67
114 Berdasarkan wawancara dengan guru agama dan hasil pengamatan penulis,
konsep Pendidikan Agama Islam di School of Universe sejalan dengan teori perkembangan agama pada anak tersebut di atas. Metode Pendidikan Agama Islam
yang ditekankan di School of Universe pada peserta didik pada tingkat Taman Kanak-kanak TK dan Sekolah Dasar SD adalah metode cerita, karena metode ini
sangat mempunyai pengaruh yang besar bagi peserta didik. Selain itu, metode ini sangat disukai oleh anak-anak.
11
Hal ini sesuai dengan teori psikologi perkembangan agama pada anak-anak Ernest Harms dalam bukunya The Development of Religius
on Children.
12
Dimana anak-anak pada usia 3-6 tahun adalah mempunyai ciri-ciri suka akan dongeng-dongeng yang kurang masuk akal atau dalam bahasa pendidikan
dikenal dengan istilah cerita. Sehingga metode cerita merupakan hal yang sangat efektif untuk diterapkan pada anak usia TK dan SD.
Banyaknya kegiatan-kegiatan keagamaan yang diprogram oleh sekolah seperti morning activity, intensive Islam, dan kegiatan-kegiatan dalam memperingati hari-
hari besar Islam juga sesuai dengan teori perkembangan agama anak menurut Ernest Harms di atas. Berkaitan dengan hal ini, menurut Abin Syamsuddin Makmun
13
kegiatan-kegiatan keagamaan sangat berperan dalam memahami dan mengurangi kemungkinan timbulnya permasalahan bertalian dengan penghayatan keagamaan.
Keteladanan merupakan metode yang sangat dipentingkan dalam usaha mencapai pendidikan Agama di School of Universe pada semua peserta didik. Hal ini
sangat sesuai dengan kebutuhan peserta didik bila ditinjau dari segi perkembangan psikologi.
11
Berdasarkan wawancara dengan M Ishak, Guru Agama TK dan SD sekolah alam School of Universe, 11 Agustus 2008, Parung Bogor.
12
Jalaluddin, Psikologi Agama; Memahami Perilaku Keagamaan dengan Mengaplikasikan Prinsip-prinsip Psikologi. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005, h. 67
13
Lihat. Abin Syamsuddin Makmun, Psikologi Kependidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005, h. 134
115 Masa remaja merupakan masa masih mencari dan mencoba menemukan
pegangan hidup.
14
Dalam mengatasi hal tersebut, mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan dan membutuhkan seorang tokoh yang dapat mengajak mereka berdialog
dan berbagi rasa sekaligus menjadi tauladan bagi mereka. Dengan demikian, kegiatan berdialog antara guru dan peserta didik dalam memecahkan permasalahan-
permasalahan yang sedang terjadi dalam kegiatan intensive Islam merupakan hal yang sangat membantu anak dalam proses pembelajaran peserta didik sesuai dengan
karakteristik tahap perkembangan mereka. Menurut Piaget, setiap peserta didik memiliki cara tersendiri dalam
menginterpretasikan dan beradaptasi dengan lingkungannya teori perkembangan kognitif. Menurutnya, setiap peserta didik memiliki struktur kognitif yang disebut
schemata yaitu sistem konsep yang ada dalam lingkungannya. Pemahaman tentang objek tersebut berlangsung melalui proses asimilasi menghubungkan objek dengan
konsep yang sudah ada dalam pikiran dan akomodasi proses memanfaatkan konsep- konsep dalam pikiran untuk menafsirkan objek. Kedua, proses tersebut jika
berlangsung terus menerus akan membuat pengetahuan lama dan dan pengetahuan baru menjadi seimbang. Dengan cara seperti itu secara bertahap peserta didik dapat
membangun pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungannya. Berdasarkan hal tersebut, maka perilaku peserta didik sangat dipengaruhi oleh aspek-aspek dari dalam
diri dan lingkungannya. Kedua hal tersebut tidak mungkin dipisahkan karena memang proses belajar terjadi dalam konteks interaksi diri anak dengan
lingkungannya. Proses pengalaman belajar yang diperoleh siswa dapat melalui proses perbuatan
atau mengalaminya langsung, melalui proses pengamatan dan mendengarkan melalui
14
Lihat. Abin Syamsuddin Makmun, Psikologi Kependidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005, h. 134
116 media tertentu atau mungkin hanya melalui proses mendengarkan melalui bahasa.
Jika pengalaman belajar siswa melalui pengalaman langsung, maka akan memberikan hasil belajar yang konkret. Jika hal demikian tidak mungkin terjadi dalam kelas,
seperti misalnya proses persalinan pada binatang, maka guru dapat menggunakan model. Dengan demikian siswa akan tetap mendapatkan pengalaman yang mendekati
konkret. Begitu seterusnya, semakin ke atas pengalaman belajar yang diperoleh siswa akan semakin abstrak.
Semakin konkret siswa mempelajari bahan pengajaran, maka semakin banyaklah pengalaman belajar yang diperolehnya. Berkaitan dengan hal ini, Dale
berkeyakinan bahwa simbol dan gagasan yang abstrak dapat lebih mudah dipahami dan diserap, manakala diberikan dalam bentuk pengalaman yang konkret.
Bagi sekolah alam, alam yang ada di sekitar merupakan media tanpa batas yang bisa dijadikan alat pembelajaran secara langsung. Dengan pembelajaran langsung
melalui alam, siswa akan mampu menyerap pengetahuan dengan maksimal. Dengan demikian, pembelajaran langsung melalui media alam yang tersedia merupakan hal
yang sangat ditekankan di sekolah alam. Belajar langsung dari alam mempunyai dampak yang sangat menguntungkan
secara kuantitatif maupun kualitatif. Sebagaimana dalam teori cone of learning Dale kerucut pengalaman Dale, bahwa peserta didik hanya akan menangkap 10 dari
apa yang mereka baca, 20 dari apa yang mereka dengar, 30 dari apa yang mereka lihat, 50 dari apa yang mereka lihat dan dengar, 70 dari apa yang
mereka katakan, dan 90 dari apa yang mereka katakan dan lakukan.
15
Maka Belajar langsung melalui alam akan mampu menyerap seluruh aspek ranah kognitif, afektif
dan psikomotorik.
15
Lihat. http:www.willatworklearning.com. Hal ini juga diungkapkan oleh Bobbi De Porter. Lihat. Bobbi De Porter, et. Al., Quantum Teaching, Bandung: Kaifa, 2001, Cet. Ke- 4, h. 57
117 Peserta didik usia sekolah dasar berada pada tahapan operasi konkret. Pada
rentang usia tersebut peserta didik mulai menunjukkan perilaku pelajar sebagai berikut: Pertama, mulai memandang dunia secara objektif, bergeser dari satu aspek
situasi ke aspek situasi lain secara reflektif dan memandang unsur-unsur secara serentak. Kedua, mulai berpikir secara operasional. Ketiga, mempergunakan cara
berpikir operasional untuk mengklasifikasikan benda-benda. Keempat, membentuk dan mempergunakan hubungan sebab akibat. Kelima, memahami konsep substansi,
volume zat cair, panjang, lebar, luas dan berat. Memperhatikan tahapan perkembangan berpikir tersebut, kecenderungan belajar
peserta didik usia sekolah dasar memiliki tiga cara, yaitu: Pertama, konkrit. Yaitu beranjak dari hal-hal yang dapat dilihat, didengar,
dibaui, diraba, dan diotak-atik dengan titik penekanan pada pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar. Pemanfaatan lingkungan sebagai sumber. Pemanfaatan
lingkungan akan menghasilkan proses dan hasil belajar yang lebih bermakna dan bernilai, sebab peserta didik dihadapkan dengan peristiwa dan keadaan yang
sebenarnya, keadaan yang alami, sehingga lebih nyata, lebih faktual, lebih bermakna, dan kebenarannya lebih dapat dipertanggungjawabkan.
Kedua, integratif. Memandang sesuatu yang dipelajari sebagai suatu keutuhan, mereka belum mampu memilah-milah konsep dari berbagai disiplin ilmu, cara
berpikir peserta didik deduktif , yakni dari hal umum ke bagian demi bagian. Ketiga, Hierarkis. Peserta didik belajar berkembang secara bertahap mulai dari
hal-hal yang sederhana ke hal-hal yang sederhana ke hal-hal yang lebih kompleks.
16
Sekolah alam School of Universe mempunyai konsep mengutamakan belajar dari pengalaman, hal itu dilakukan untuk meminimalisir discrepancy gap antara
16
DepDikNas, Model Pembelajaran Tematik, Jakarta, PUSKUR, 2006, h. 3-7
118 teori dan praktek yang selama ini dialami. Filsuf Yunani, Aristoteles pernah
menyatakan pentingnya belajar dari pengalaman. Ia mengatakan bahwa: Apa yang harus kita pelajari, kita pelajari sambil melakukannya what we have to learn to do,
we learn by doing. Gardner mengatakan bahwa setiap manusia memiliki kecerdasan jamak, salah
satunya adalah kecerdesan naturalis,
17
yaitu kemampuan seseorang untuk peka terhadap lingkungan alam, misalnya senang berada di lingkungan alam terbuka
seperti pantai, gunung, cagar alam atau hutan. Peserta didik dengan kecerdasan seperti ini cenderung suka mengobservasi lingkungan seperti aneka macam bebatuan,
aneka macam flora dan fauna, dan benda-benda di angkasa. Maka apa yang telah dikembangkan sekolah alam School of Universe berkaitan
dengan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan alam atau lingkungan merupakan salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan siswa akan kecerdasan naturalis. Hal ini
dilakukan, karena selama ini siswa sangat asing dengan lingkungan, terutama pada sekolah-sekolah diperkotaan. Sehingga dengan adanya sekolah alam yang
mengkonversi alam untuk memenuhi salah satu kecerdasan yang terdapat pada manusia merupakan hal yang sangat perlu untuk direspon.
Pendidikan kebanyakan di Indonesia belum menyentuh tatanan praktis yang dapat menciptakan suasana belajar yang nyaman dan menyenangkan bagi sasarannya.
Dan jika merujuk pada Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pada pasal 1 ayat 1, dijelaskan bahwa: ”Pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spritual keagamaan, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
17
Lihat. Howard Gardner, Multiple Intelligences; The Theory in Practice”, New York: Basic Books, 1993, h. 36
119 dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara”. Bila tuntutan yang termaktub dalam UU
Sisdiknas tersebut dapat direalisasikan, maka out put yang dihasilkan lebih optimal bila didukung dengan diberikannya ruang untuk berekspresi.
Dalam rangka menunjang terciptanya proses pembelajaran yang kondusif, sekolah alam School of Universe menata ruang dan menciptakan lingkungan sekolah
sedemikian rupa baik di lingkungan sekolah secara umum maupun di lingkungan ruang belajar. Hal ini dapat diperhatikan dari berbagai hal, yakni lingkungan
pembelajaran yang luas, bersih, nyaman dan asri dengan pepohonan yang rindang di sekitar sekolah. Ruang belajar yang terdapat disana terbuat dari kayu dan tanpa
dinding atau seperti panggung semi permanen dengan display ruang yang dapat dirubah sehingga bisa memberikan nuansa berbeda. Artinya, tidak monoton dalam
satu ruang yang mengharuskan para peserta didik diam dan duduk di bangku yang sama selama tahun pelajaran. Setiap ruang dirancang terbuka akan memudahkan
peserta didik untuk belajar sambil menghirup udara segar disekelilingnya. Berkaitan dengan hal ini, E Mulyasa,
18
mengatakan bahwa tatanan lingkungan fisik sekolah yang menyenangkan akan memberikan dampak positif bagi proses belajar.
Dunia peserta didik sekolah dasar adalah dunia bermain, kegiatan bermain memberikan pengalaman pada peserta didik untuk membangun dunia tersendiri yang
dapat dihuninya sambil terus memekarkannya melalui berbagai fungsi mental dan emosional. Membangun dunia bermain bagi seorang peserta didik merupakan
pengalaman yang berdampak sebagai proses belajar.
19
Bagi sekolah alam School of Universe, belajar tidak hanya bersumber dari pendidik dan buku pelajaran. Alam merupakan sumber pengetahuan yang tanpa batas.
18
Lihat. E Mulyasa, Implementasi Kurikulum 2004; Panduan pembelajaran KBK, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005, h. 138
19
Fuad Hasan, Stadium General, Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998, h. 131
120 Sekolah Alam School of Universe sengaja mendesain lingkungan alamnya sebagai
sumber belajar yang dapat dimanfaatkan dalam proses pembelajaran. Sehingga sumber belajar bisa didapat dari lingkungan yang ada di sekolah, seperti area sekolah,
tempat parkir kendaraan, lapangan sepak bola, area tanaman, dan area peternakan. Hal ini menunjukkan kekayaan alam sekolah alam School of Universe yang
berlimpah yang dapat sebagai sumber belajar dan memudahkan tercapainya tujuan pembelajaran.
Menurut Muzayyin Aripin,
20
lingkungan alam sekitar tempat siswa belajar mempunyai pengaruh terhadap perasaan dan sikapnya akan keyakinan atau
agamanya. Lingkungan ini besar sekali peranannya terhadap keberhasilan pendidikan peserta didik, karena lingkungan sekolah memberikan pengaruh yang positif maupun
negatif terhadap perkembangan peserta didik. Pengaruh positif ialah pengaruh lingkungan yang memberi dorongan atau motivasi serta rangsangan kepada peserta
didik untuk berbuat atau melakukan segala sesuatu yang baik. Sedangkan pengaruh yang negatif ialah sebaliknya, tidak memberikan dorongan terhadap peserta didik
untuk menuju ke arah yang baik.
Dalam rangka menciptakan lingkungan pendidikan yang positif untuk pembelajaran, terutama berkaitan dengan pendidikan agama Islam, sekolah alam School of Universe berusaha menciptakan
suasana religius di lingkungan sekolah. Penciptaan suasana religius
21
adalah menciptakan suasana atau iklim kehidupan keagamaan. Dalam konteks pendidikan agama Islam di sekolah berarti penciptaan
suasana atau iklim kehidupan keagamaan Islam yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan hidup yang dijiwai oleh ajaran-ajaran dan nilai-nilai agama Islam. Penciptaan suasana
religius tersebut diwujudkan dalam sikap hidup serta keterampilan hidup warga sekolah.
20
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2008, h. 173.
21
Religius mengandung makna bersifat religi atau keagamaan atau yang bersangkut paut dengan religi atau keagamaan atau taat beragama. Lihat. Alex MA. Kamus Ilmiah Populer Kontemporer,
Surabaya: Karya Harapan, 2005, h. 560
121
B. Aspek Sosiologis