Dataran Tinggi Golan dan melakukan pembicaraan dengan Suriah dan Iran terkait masalah Lebanon Institute for Research: Middle Eastern Policy Inc. 2003:3.
Menteri Pertahanan Israel Sha ul Mofaz mengatakan bahwa “kami memiliki
sebuah daftar masalah panjang dengan Suriah yang menurut kami harus dibereskan oleh Suriah dan wajar jika itu harus dilakukan melalui tangan AS” Mearsheimer
dan Walt 2010:433. Pernyataan ini menandakan adanya usaha Israel untuk mempengaruhi pemerintah AS dalam memilih strategi pro- Israel dalam kaitannya
dengan Konflik Suriah – Israel.
Jika Kelompok Neokonservatif merupakan sekumpulan orang-orang yang disatukan dengan ideologi neokonservatisme, maka ada pula institusi legal yang
mengimplementasikan prinsip-prinsip neokonservatif. Institusi yang berideologi neokonservatif diantaranya American Israel Public Affairs Committee AIPAC,
American Jewish Committee ACJ, American Jewish Congress, American for Peace Now, Anti
– Defamation League, Foundation for Middle East Peace, The Israel Project dan S. Daniel Abraham Center for Middle East Peace Zanotti 2012:34.
Seluruh institusi pro-Israel ini disebut sebagai kelompok Lobi Israel oleh Profesor John Mearsheimer dan Stephen M. Walt dalam bukunya
“Dahsyatnya Lobi Israel” 2010:174.
Salah satu kelompok yang penulis bahas adalah American Israel Public Affairs Committee AIPAC yang mempromosikan legislasi strategi konfrontatif terhadap
Suriah di Kongres AS Mearsheimer dan Walt 2010:432. AIPAC adalah organisasi Zionis-Amerika yang didirikan oleh I.L Kenen pada tahun 1959. AIPAC
mengandalkan kontak dengan para legislator untuk mengamankan kepentingan Israel di AS Mearsheimer dan Walt 2010:185-186. Contoh keberhasilan kelompok
neokonservatif dan AIPAC dalam melobi pemerintahan Presiden Bush dan Kongres adalah disetujuinya Syrian Accountability Act 2003.
Presiden Bush awalnya menolak Syrian Accountability Act yang diajukan Kongres pada 2002 karena takut legislasi itu dapat merusak upaya penciptaan
stabilitas di Irak dan dapat membuat Suriah menghentikan pemberian informasi intelijen yang berguna kepada Washington dalam menangani Al Qaeda. Kongres
setuju menunda legislasi ini sampai Baghdad benar-benar dikuasai AS. Setelah Presiden Irak Saddam Hussein jatuh dari kekuasannya maka kelompok
neokonservatif dan AIPAC kembali melobi Presiden Bush dan Kongres Mearsheimer dan Walt 2010:432.
Akhirnya Presiden Bush setuju menandatangani Syrian Accountability Act walaupun dengan keengganan. Keengganan ini dibuktikan dari pernyataan salah satu
pejabat senior di Gedung Putih bernama Flyn Leverett bahwa: ”Dalam komunikasinya dengan Presiden Suriah, Presiden Bush selalu
mengakui kerjasama AS dan Suriah efektif dalam membendung Al Qaeda. Meloloskan Syrian Accountability Act sama artinya dengan
memutuskan simbiosis mutualisme ini dan Presiden Bush mengakui bahwa str
ategi konfrontasi ini bisa membuat AS menanggung resiko” Mearsheimer dan Walt 2010:436.
Pengesahan Syrian Acountability Act memperlihatkan keberhasilan Kelompok Neokonservatif dan Kelompok Lobi Israel dalam mempengaruhi Presiden George W.
Bush. Oleh karena itu, menurut penulis prinsip-prinsip ideologi Neokonservatif juga
mempengaruhi pembuatan doktrin Presiden Bush. Kemudian Doktrin Bush mempengaruhi US National Security Strategy tahun 2002. Asumsi penulis ini senada
dengan pendapat Vaisse 2010:9 bahwa pemerintahan Presiden Bush banyak dipengaruhi oleh kelompok neokoservatif karena Presiden Bush menjadikan tokoh
neokonservatif seperti Paul Wolfowitz dan Richard Perle sebagai penasehat strategi AS di Timur Tengah.
Ilustrasi 4.1 Hubungan antara Prinsip Neokonservatisme, Doktrin Bush dan National Security Strategy 2002
Sumber: Ilustrasi dibuat oleh penulis berdasarkan penjabaran Prinsip Neokonservatif Vaisse 2010:3-7, Doktrin Bush Jervis 2003:365 dan US National Security Strategy
2002 Hubungan dari isi prinsip neokonservatif, Doktrin Bush dan US National
Security Strategy 2002 penulis ilustrasikan dalam sebuah tabel sebagai berikut.
Prinsip Neokonservatif
Doktrin Bush
National Security
Strategy 2002 mempengaruhi
mempengaruhi
Tabel 4.3 Tabel Ilustrasi Hubungan antara Prinsip Neokonservatisme dalam Pembuatan Kebijakan Luar Negeri AS, Doktrin Bush dan
National Security Strategy Tahun 2002
Prinsip Neokonservatisme
Doktrin Bush US National Security
Strategy 2002
1. Internasionalisme
Kepercayaan mengenai
rezim domestik negara dalam
pembuatan kebijakan Luar Negeri
AS dan
menentukan waktu yang tepat untuk
mentransformasikannya dalam
politik Internasional
Memperjuangkan aspirasi
martabat kemanusiaan
Membangun agenda kerjasama
dengan global
power lainnya
Bekerjasam dengan negara lain untuk
mencegah konflik
regional 2.
Keunggulan AS
harus memiliki
keunggulan untuk
menciptakan stabilitas
dan perdamaian di level regional
dan Mentransformasikan
institusi keamanan nasional AS untuk
menghadapi
internasional tantangan dan
peluang di abad 21
Mempromosikan era baru pertumbuhan
ekonomi melalui pasar bebas dan
perdagangan bebas
3. Unilateralisme
Unilateralisme
4. Militerisme
Preventive War Memperkuat Aliansi
untuk melawan
terorisme global dan mencegah serangan
kepada AS
dan Aliansi
AS termasuk Israel
Mencegah musuh
menggunakan senjata masal untuk
mengancam AS, sekutu,
negara- negara sahabat AS
5. Demokrasi
Memperluas
lingkaran pembangunan
dengan keterbukaan masyarakat
dan pembangunan
infrastruktur demokrasi
Sumber: Prinsip Neokonservatif Vaisse 2010:3-7, Doktrin Bush Jervis 2003:365 dan US National Security Strategy 2002
Doktrin kedua Presiden Bush yaitu preventive war yang kemudian dituangkan dalam US National Security Strategy 2002, terinspirasi dari prinsip militerisme
kelompok neokonservatif dengan patron hawkish-nya. Hal ini diungkapkan oleh Profesor John Mearsheimer dalam Kabalan 2010:13, menurutnya neokonservatif
percaya bahwa AS adalah negara dengan power terbesar di dunia dan power ini harus digunakan untuk membentuk tatanan dunia yang sesuai dengan kepentingan AS.
Sehingga penggunaan power secara militer akan lebih efektif dibandingkan dengan diplomasi.
Doktrin Bush dan prinsip militerisme melahirkan strategi baru bernama preventive war
. Berdasarkan National Security Strategy tahun 2002, AS boleh menyerang negara lain terlebih dahulu preventive war jika diperlukan demi alasan
keamanan untuk menghentikan negara yang jahat beserta aliansi grup terorisnya sebelum negara teroris tersebut menjadi ancaman dan menggunakan weapon of mass
destruction senjata pemusnah masal. Maka bisa dikatakan perang melawan teror
yang dicanangkan Presiden Bush sebagai alasan untuk membela Israel dari Suriah, merupakan strategi ofensif yaitu menyerang sebelum musuh menyerang duluan
Azpiroz 2012:180. Hal ini terlihat jelas dari dukungan AS pada serangan Israel ke Suriah pada tahun 2003, Perang Israel
– Hizbullah tahun 2006 dan penyerangan perbatasan di Desa Hwijeh pada 2008.
Kemudian, prinsip kemampuan bertindak unilateral. Ini merupakan karakteristik dari kelompok Neokonservatif yang tidak percaya pada institusi multilateral Celik
2005:27. Menurut kelompok Neokonservatif hanya dominasi great power seperti AS-lah yang bisa mendominasi penentuan norma dunia tentang mana yang boleh
dilakukan negara-negara dan mana yang tidak. Oleh karena itu AS tidak mempertimbangkan norma saat memilih strategi karena AS-lah yang paling
berwenang membuat norma tersebut. Contohnya saat gagal memimpin perdamaian antara Suriah dan Israel, padahal dari segi kapabilitas AS adalah negara yang paling
mampu menyukseskan perdamaian ini. AS tidak mempertimbangkan norma dan stereotype
aktor-aktor lainnya akan penciptaan perdamaian abadi, AS hanya mempertimbangkan kepentingan AS.
Lebih jauh lagi Amerika Serikat sebagai great power memiliki kapabilitas untuk bertindak sesuai dengan kepentingannya tanpa mementingkan kepentingan aktor lain.
AS akan menjadi aktor rasional yang menunjukan pencarian strategi yang tetap dan menginginkan pilihan yang lebih disukai. Preferensi ini bisa berupa: sikap egois,
menghancurkan diri sendiri, dan lain-lain. Oleh karena itu strategi AS terhadap Suriah terkesan eksklusif sehingga bersifat kontradiktif mengikuti lingkungan strategis. AS
tidak membutuhkan saran dari PBB maupun aktor lain untuk menentukan strateginya. Contoh tindakan unilateral AS adalah melakukan veto terhadap tiap resolusi yang
akan dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa PBB mengenai Israel. Selanjutnya menciptakan hegemoni AS. Kelompok Neokonservatif berpendapat
bahwa AS sedang menghadapi tantangan dalam mengatur sistem dunia yang unipolar pasca keruntuhan Uni Soviet. Agar sistem unipolar ini langgeng maka AS harus
mengerahkan segenap kemampuannya untuk menyebarkan nilai-nilai Amerika Serikat seperti demokrasi ke seluruh dunia. Menurut Kelompok Neokonservatif,
otoritarian dan teokrasi merupakan akar dari gerakan anti-Amerika dan lahirnya kelompok teror seperti Hizbullah di Timur Tengah. Usaha menciptakan hegemoni ini
berkaitan erat dengan Doktrin Bush dan dukungan Neokonservatif terhadap strategi baru bernama preventive war atau perang pencegahan untuk meredam kelompok-
kelompok teror ini dalam menghalangi usaha AS untuk menyebarkan nilai-nilai AS ke seluruh dunia Celik 2005:27.
Untuk menjaga hegemoninya di Timur Tengah, AS melakukan usaha-usaha manajemen hegemoni. Usaha-usaha ini dilakukan melalui strategi balancing yang
bertumpu pada aliansi AS – Israel untuk meredam Suriah yang dianggap sebagai
negara revisionis pasca dimasukkan dalam daftar negara pendukung terorisme oleh Departemen Luar Negeri AS Country Reports of Terrorism 2008:282.
4.3 AS menciptakan Balance of Power BoP di Timur Tengah
Politik Internasional Timur Tengah didominasi oleh beragam konflik yang bisa berkembang menjadi eksternalisasi konflik domestik dan bilateral, perang saudara
dan intervensi eksternal dari great power. Great power pada era perang dingin adalah Amerika Serikat AS dan Uni Soviet. Keduanya tertarik untuk berperan dalam
dinamika Timur Tengah karena sumber daya minyak yang dimiliki Timur Tengah, lokasinya yang strategis sebagai jalur penghubung Asia dan Eropa serta kepentingan
politik dan ekonomi. Keterlibatan AS dan Uni Soviet mempengaruhi politik regional khususnya ketika AS dan Uni Soviet berkompetisi melakukan balancing dengan adu
pengaruh terhadap beberapa negara di Timur Tengah atau ketika AS sebagai satu- satunya great power yang tersisa melakukan manajemen hegemoni. Kompetisi
balancing antar great power dan manajemen hegemoni ini akan menciptakan balance
of power dan mencegah lahirnya hegemoni regional karena negara-negara akan
cenderung beraliansi dengan great power bandwagoning Paul, Wirtz dan Fortmann 2004:202. Oleh karena itu kehadiran negara-negara revisionis seperti Suriah dan Iran
akan dimarjinalkan dan mendapat penangkalan dari great power. Pasca Perang Dingin dan keruntuhan Uni Soviet balance of power berubah dari
bipolar yaitu Uni Soviet dan Amerika Serikat ke unipolar hanya AS saja. Menurut analisa penulis, AS menjaga aliansi dengan Israel untuk menjaga hegemoninya
melawan negara-negara yang pernah berada di bawah pengaruh Uni Soviet seperti
Suriah. Sejarah mencatat bahwa keberpihakan negara-negara Arab begitu dinamis sehingga sering berubah aliansi contohnya Suriah pada Perang Teluk 1990
– 1991 mendukung AS namun saat invasi AS ke Irak tahun 2003 menentang AS. Maka Israel
yang non-Arab adalah sekutu yang paling loyal dan tepat untuk mengakomodir keinginan dan kepentingan AS di Timur Tengah.
Lebih jauh lagi bagi AS, peran penting Israel di Timur Tengah adalah sebagai buck-catcher
yaitu negara yang menerima tanggung jawab untuk menghadapi aggressor
dari negara buck-passer AS Toft 2003:8. Israel akan membantu AS menghadapi aktor-
aktor di kawasan yang masuk dalam terminologi “musuh” bagi AS seperti Hizbullah. Keberadaan Israel membuat AS tidak harus selalu turun langsung
dalam menghadapi Hizbullah contohnya Perang Israel – Hizbullah tahun 2006. AS
hanya memberikan bantuan kepada Israel dan Israel-lah yang menyerang Hizbullah secara langsung.
Menurut analisa penulis konflik Israel dengan Suriah dan negara-negara Arab lain yang menolak keberadaan Israel juga memberikan keuntungan sendiri pada AS, yaitu
membuat Suriah dan negara-negara Arab tergantung pada AS untuk mendapatkan kembali daerah yang telah diokupasi oleh Israel melalui jalur diplomasi. Oleh karena
itu, menurut analisa penulis AS harus menjaga kapabilitas militer Israel agar aktor lain di Timur Tengah, tidak bisa mengalahkan Israel dengan jalur militer. Jika Suriah
bisa mendapatkan kembali Dataran Tinggi Golan dengan jalur militer maka Suriah dan negara-negara Arab tidak memerlukan peran AS lagi di kawasan. Jika negara-
negara di Timur Tengah yang sebagian besar merupakan negara OPEC tidak merasa
membutuhkan AS lagi maka ketika terjadi konflik yang disebabkan oleh keberadaan dan okupasi Israel serta kepentingan AS yang eksklusif maka skenario terburuk bagi
AS, yaitu embargo minyak seperti tahun 1973 akan terulang lagi. Selain itu jika tidak ada pengaturan balance of power dari great power seperti AS maka eskalasi
konflik di Timur Tengah akan meningkat seperti munculnya aktor-aktor revisionis yang ingin mengubah tatanan regional yaitu Iran, Hizbullah, Al Qaeda, Israel, Suriah,
Irak dan akan terjadi perlombaan pengembangan senjata nuklir untuk menciptakan imperium dan hegemoni di Timur Tengah, seperti yang sudah mulai marak terjadi
pada periode 2002-2008. AS sebagai Great Power dalam BoP berperan sebagai balancer Shehaan
1996:77. Fungsi balancer adalah mencegah lahirnya hegemoni suatu negara atau aliansi terhadap negara-negara lain atau bahkan membuat sebuah imperium dalam
sistem internasional. AS sebagai balancer akan mengeluarkan kebijakan yang penting dalam menjaga keseimbangan power di Timur Tengah. Implementasinya bisa melalui
fleksibilitas diplomatik, memberikan dukungan bagi Israel untuk melawan Suriah, atau bahkan melakukan aksi militer terhadap Suriah Shehaan 1996:65-66.
Balancing penyeimbangan adalah mengambil langkah bertanggung jawab secara
langsung untuk menghalangi aggressor penyerang yang potensial melalui pembangunan internal penyeimbangann internal atau dengan formasi aliansi
internasional penyeimbangan eksternal atau kombinasi dari keduanya Toft 2003:8. Lebih jauh lagi Organski dalam Sheehan 1996:54 mengidentifikasi metode yang
digunakan oleh negara-negara untuk menjaga Balance of Power yaitu meningkatkan
kemampuan militer, memperluas territorial, membangun buffer zone, beraliansi, ikut campur dalam masalah internal negara lain atau memecah belah dan menaklukan.
Dalam hal ini, AS meningkatkan kapabilitas militer Israel dengan memberikan bantuan keuangan yang jumlahnya selalu meningkat, dari tahun 1987 ke tahun 1990
jumlahnya 2,3 milyar dollar AS, tahun 1991-1994 jumlahnya 2,7 milyar dollar AS, tahun 1995
– 1998 jumlahnya 2,6 milyar dollar kemudian tahun 1999 – 2002
jumlahnya naik drastis menjadi 7 milyar dollar Cordesman dan Popescu 2007:17.
Jumlah ini merupakan jumlah bantuan militer terbesar yang diberikan AS diantara negara di Timur Tengah lainnya. Dibandingkan dengan Suriah yang pada tahun 1987
– 1990 mendapatkan bantuan dari Rusia senilai 5,3 milyar dollar AS, tahun 1991 – 1994 turun drastis menjadi 500 juta dollar AS, tahun 1995
– 1998 senilai 200 juta dollar AS dan tahun 1999
– 2002 senilai 100 juta dollar AS. Jumlah bantuan militer ini memperlihatkan usaha AS dan Rusia untuk tetap menjaga pengaruhnya dan
menciptakan superioritas militer. Bantuan ekonomi dan militer yang diberikan AS digunakan oleh Israel untuk
melakukan balancing militer terhadap Suriah dan negara-negara Arab lainnya. Berikut adalah perbandingan anggaran belanja militer Israel dan Suriah dalam
periode penelitian 2002 – 2008.