18
C. Penggunaan Bahasa Jawa dalam Liturgi Gereja Katolik
1. Bahasa Liturgi
Dalam  Sacrosantum  Concilium,  Konstitusi  tentang  Liturgi  Suci  art. 36, dikatakan bahwa Bahasa Latin hendaknya dipertahankan dalam ritus-ritus
lain.  Namun  dalam  Misa,  dalam  pelayanan  Sakramen-sakramen,  maupun bagian liturgi lainnya, bahasa pribumi lebih bermanfaat dan lebih dikenal oleh
umat.  Oleh  sebab  itu  maka  diberi  kelonggaran  yang  lebih  luas.  Pengunaan bahasa  inilah  hendaknya  mendapatkan  persetujuan  ataupun  pengesahan  dari
Tahta  Apostolik.  Penyesuaian  bahasa  dengan  Gereja  setempat  dimaksudkan
supaya pesan Injil sungguh nyata diterima oleh umat.
Bahasa setempat membuat liturgi lebih mudah diikuti dan dimengerti, mulai dari doa-doa, bacaan dan nyanyian dalam liturgi bisa langsung diserap
dan  dihayati  oleh  umat  setempat.  Dengan  bahasa  setempat  juga memungkinkan  umat  untuk  menyusun  doa  spontan  dengan  lebih  mendalam
dan  ekpresif  sesuai  dengan  apa  yang  diinginkan.  Bahasa  setempatpun membuat  umat  lebih  berperan  aktif,  misalnya  untuk  menjadi  lektor.  Karena
mengunakan bahasa setempat, bahasa yang digunakan sehari-hari maka lebih mudah  dari  pada  menggunakan  bahasa  yang  asing.  Begitu  juga  dengan
nyanyian yang telah tersedia dengan bahasa setempat dengan teks yang telah tersedia dan telah disahkan, misalnya dengan Kidung Adi untuk Bahasa Jawa,
yang  berisi  doa-doa,  tata  Perayaan  Ekaristi  serta  nyanyian  Mariyanto,
1997:278-279. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
2. Bahasa Jawa sebagai Bahasa Liturgi
a. Bahasa Jawa
Magnis  Suseno  dalam  buku  Etnologi  Jawa  mendefinisikan  mengenai suku  bangsa  Jawa  yaitu  sebagai  berikut:  Suku  Jawa  adalah  penduduk  asli
pulau  Jawa  bagian  tengah  dan  timur,  kecuali  pulau  Madura.  Selain  itu, mereka  yang  menggunakan  bahasa  Jawa  dalam  kesehariannya  untuk
berkomunikasi  juga  termasuk  dalam  suku  Jawa.  Asal  usul  suku  Jawa berkaitan  juga  dengan  bahasa  yang  digunakan,  yaitu  bahasa  Jawa.  Ada  dua
jenis bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat Jawa, yaitu: bahasa Jawa Ngoko  yaitu  bahasa  Jawa  yang  digunakan  oleh  orang  yang  sudah  akrab,
dengan usia  yang sepadan ataupun kepada orang  yang status  sosialnya lebih rendah.  Bahasa    Jawa  Krama  digunakan  kepada  orang  yang  belum  akrab,
orang  muda  kepada  orang  yang  lebih  tua  ataupun  kepada  orang  yang  status
sosialnya lebih tinggi Endraswara, 2015:169.
Sifat, karakter, pendidikan dan wawasan  seseorang terlihat dari tutur kata dan pilihan dalam berbahasa. Begitu juga dalam perayaan liturgi, bahasa
menjadi  sangat  penting  yang  menjadikan  simbol  liturgi.  Sebelum  Konsili Vatikan  II,  Bahasa  Latin merupakan bahasa  resmi  yang menyatukan seluruh
umat  Katolik  di  dunia.  Namun  seiring  dengan  kebutuhan  dan  keterlibatan umat  dalam  liturgi,  dalam  SC  36  memperkenankan  pengunaan  bahasa
pribumi  yang  dirasa  lebih  bermanfaat  bagi  seluruh  umat.  Begitu  juga  bagi masyarakat  Jawa  maka  akan  lebih  bermanfaat  apabila  perayaan  Ekaristi
dengan  menggunakan  Bahasa  Jawa.  Seringkali  beberapa  umat  yang  kurang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
berminat  dengan  liturgi  yang  menggunakan  Bahasa  Jawa  walaupun  mereka orang jawa.
Namun masih banyak pula yang masih mempertahankan penggunaan Bahasa Jawa dalam liturgi. Bahasa yang memang menjadi bahasa sehari-hari
yang  tentu  saja  akan  lebih  mudah  umat  dalam  menghayati  Ekaristi. Penggunaan  Bahasa Jawa dalam liturgi  menyangkut  segala  aspek mulai  dari
nyanyian,  doa,  maupun  khotbahnya.  Tata  Perayaan  Ekaristi  Bahasa  Jawa yang digunakan  yaitu  Bahasa Jawa Krama  Inggil,  sedangkan dalam khotbah
biasanya menggunakan bahasa yang santai yang biasa digunakan oleh umat.
b. Asal Mula Penggunaan Bahasa Jawa dalam Liturgi
Bahasa  sebagai  sarana  komunikasi  bagi  manusia  mendapatkan perhatian yang tinggi di dalam masyarakat pada umumnya. Begitu juga dalam
Gereja  yang  senantiasa  memperhatikan  kebutuhan  umatnya.  Seperti  halnya penggunaan bahasa dalam Ekaristi di daerah Jawa yang sampai saat ini masih
dipertahankan. Hal ini bermula dari para misionaris sebagai pembawa Agama Katolik  yang  menyadari  bahwa  keberhasilan  misinya  di  daerah  Jawa
tergantung  dari  penguasaan  bahasanya.  Romo  Van  Lith,  SJ  salah  satu misionaris dari Belanda yang datang ke Indonesia pada bulan Oktober 1896,
jauh sebelum konsili Vatikan II diadakan.
Beliau  ditugaskan  sebagai  misionaris  di  Jawa  Tengah,  yang  sejak kedatangannya di semarang Beliau berusaha keras untuk belajar Bahasa Jawa
serta  adat  istiadatnya  sebagai  salah  satu  kunci  penting  dalam  menjalankan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
misi  perutusannya.  Beliau  mengecam  bahwa  kemacetan  dalam  menjalankan misi  di  Jawa  kerena  keterbatasan  tentang  bahasa  dan  perilaku  orang  Jawa.
Dalam misinya di Muntilan  Romo Van Lith menampilkan figur Gereja yang menyatu dan hidup berdampingan dengan umat walaupun di sisi lain ada pula
yang menganggapnya terlalu keras kepala.
Beliau  juga  menerjemahkan  buku  pelajaran  agama  dan  doa-doa kedalam Bahasa Jawa bukan hanya menerjemahkan dari Bahasa Belanda dan
Latin  saja  melainkan  lebih  mendalam  lagi  mengenai  makna  dan  perasaan yang  mau  diungkapkannya.  Hal  ini  memerlukan  waktu  yang  lama  karena
beliau  harus  berkontak  langsung  dengan  masyarakat  sampai  kraton
Yogyakarta Hendarto, 1990: 114-118.
D. Penggunaan  Bahasa  Jawa  dalam  Perayaan  Ekaristi  untuk  Membantu