43
A. Gambaran Umum Umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen
1. Sejarah singkat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen
Pada  tahun  1970  untuk  pertama  kalinya  daerah  ini  kenal  dengan Agama Katolik ketika seorang guru Sekolah Dasar yang mempersunting putri
dari  Bapak  LurahKepala  Desa  Kemranggen.  Namun  kerena  pasangan tersebut  tidak  menetap  di  Desa  Kemranggen  maka  Agama  Katolik  masih
kurang  berkembang.  Awal  tahun  1975  barulah  mulai  diadakan  kelompok Misa  di  salah  satu  keluarga,  walaupun  pada  saat  itu  umat  yang  hadir  ialah
pendatang  dari  Purworejo  dan  Kutoarjo.  Pada  tahun  itu  pula  dilakukan pembaptisan  pertama  oleh  Romo  Yitno,  sejak  saat  itu  mulai  diadakan
kunjungan-kunjungan  oleh  Romo  Yitno  dan  Romo  Sayadi.  Di  tahun  1983 salah satu keluarga yang kembali kekampung halamannya setelah merantau di
Purbalingga. Dari sinilah Agama Katolik mulai berkembang. Kehidupan  sebagai  seorang  Katolik  mulai  banyak  berpengaruh  nyata
dalam  masyarakat  setempat  pada  masa  itu.  Hal  ini  sangat  berpengaruh  pada pertambahan  jumlah  umat  yang  ingin  menjadi  Katolik.  Pada  saat  diadakan
Misa  disalah  satu  kediaman  umat  di  kecamatan  Bruno,  umat  dari Kemranggen  datang  untuk  mengikutinya.  Pada  saat  itu  pula  salah  satu  umat
dari  Kemranggen  meminta  untuk  sering  dikunjungi  dan  mendapat  pelajaran agama  Katolik.  Antusiasme  yang  tinggi  dari  umat  mendapat  respon  dari
Gereja,  untuk  itu  Romo  Diakon  Riyanto  mengadakan  kunjungan  pertama untuk  bertemu  simpatisan  yang  ingin  menjadi  Katolik.  Pada  perayaan  Natal
pada  tahun  1983  dilakukan  misa  Natal  disalah  satu  kediaman  umat  yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
dihadiri  oleh  simpatisan  dan  mulai  saat  itu  pula  mulai  diadakan  kunjungan tetap  oleh  Romo.  Pada  awal  terbentuknya  perkumpulan  sembahyangan
tercatat ada 9 orang yang mengikutinya dan kemudian bertambah menjadi 30 orang, yang terdiri dari orang tua, remaja dan anak-anak Sekolah Dasar.
Pada Januari 1985 diadakan perkawinan secara Katolik pertama yang dihadiri  oleh  katekumen  dan  simpatisan  yang  mulai  bertambah  banyak  dari
daerah  Kesodan  desa  Pamriyan.  Banyaknya  katekumen  di  daerah  Kesodan mereka membentuk  kelompok  sembahyangan sendiri  dan meminta pelajaran
agama  dari  umat  di  Kemranggen.  Perkembangan  yang  menggembirakan tersebuat  tidak  selamanya  berjalan  dengan  mulus,  banyak  hambatan  dan
ejekan  dari  orang  yang  tidak  suka  dengan  penyebaran  agama  Katolik  di daerah Kemranggen. Hal ini dijadikan kekuatan iman untuk menjadi seorang
Katolik  Budi Haryanto,V. 2010:27-18.
2. Letak Geografis Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen
Stasi  St.  Fransiskus  Xaverius  terletak  di  Desa  Kemranggen, Kecamatan  Bruno,  Kabupaten  Purworejo.  Umat  Stasi  Kemranggen  berasal
dari  tiga  desa,  yaitu  Desa  Pamriyan,  Desa  Karang  Gedang  dan  dari  Desa Kemranggen,  dari  ketiga  desa  tersebut  dibagi  menjadi  2  wilayah.  Stasi
Kemranggen berada di bagian paling utara dari Kabupaten Purworejo masuk dalam Paroki Yohanes Rasul Kutoarjo yang jarak  dari Paroki berkisar 46 km.
45
3. Jumlah Umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen
Berdasarkan  data  Umat  tahun  2015  Stasi  St.  Fransiskus  Xaverius Kemranggen  memiliki  jumlah  65  umat  dari  22KK  yang  terdiri  dari  7  balita,
43  orang  tua,  11  remaja,  dan  4  anak-anak  yang  sudah  komuni  pertama. Pekerjaan  utama  umat  Stasi  St.  Fransiskus  Xaverius  Kemranggen  ialah
sebagai petani.
4. Pelaksanaan Ekaristi di Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen
Sakramen  Ekaristi  di  Stasi  St.  Fransiskus  Xaverius  Kemranggen dilaksanakan  dua  kali  dalam  satu  bulan,  yaitu  pada  minggu  kedua  dan
keempat. Pada minggu pertama, ketiga dan kelima dilaksanakan ibadat  yang dipimpin  oleh  salah  satu  prodiakon  Stasi.    Agama  Katolik  masuk  ke  daerah
Kemranggen  dan  sekitarnya  pada  tahun  1975.  Berdasarkan  wawancara dengan  Bapak  Bernadus  Hartoyo  sejak  semula  Romo  dan  guru  agama  yang
datang  ke  Kemranggen  menggunakan  Bahasa  Jawa  dalam  memperkenalkan agama  Katolik  termasuk  dalam  Perayaan  Ekaristi  yang  selalu  mengunakan
Bahasa Jawa. Sampai saat  ini Perayaan Ekaristi masih  menggunakan bahasa Jawa.  Pada  tahun  2003-2007  ketika  ada  Pastor  paroki  yang  berasal  dari
Menado  yaitu  Romo  Jovinus  Rahail,  MSC  atau  lebih  akrab  disapa  dengan Romo  Nus.  Ketika  Romo  Nus  berkarya  di  Paroki  Kutoarjo  umat  Stasi
Kemranggen  diperkenalkan  dengan  Perayaan  Ekaristi  yang  menggunakan Bahasa  Indonesia,  supaya  umat  Stasi  St.  Fransiskus  Xaverius  Kemranggen
tidak hanya dapat mengikuti Ekaristi dengan Bahasa Jawa.
46
Namun setelah Romo Nus pindah dari Paroki Kutoarjo, umat Stasi St. Fransiskus  Xaverius  Kemranggen  tidak  pernah  misa  mengunakan  Bahasa
Indonesia.  Beberapa  umat  mengaku  kesulitan  dalam  melantunkan  doa, syahadat,  nyanyian  dengan  menggunakan  Bahasa  Indonesia.  Namun  disisi
lain  para  orang  tua  mengajarkan  anak-anaknya  doa-doa  dengan  Bahasa Indonesia  dengan  alasan  mudah  dihafal  dalam  jaman  sekarang,  begitu  pula
pada saat menerima pelajaran agama di sekolah. Hal ini menjadi rancu karena
dalam mengikuti Ekaristi semua mengunakan Bahasa Jawa.
Ketergantungan  dengan  Bahasa  Jawa  membuat  umat  kurang  terbiasa apabila teks misa pada hari raya Natal dan Paskah apabila tidak menggunakan
Bahasa  Jawa,  kemudian  salah  satu  umat  menerjemahkan  kedalam  Bahasa Jawa. Kendala lain yang dihadapi oleh umat yaitu jika ada pastor paroki yang
tidak  bisa  Bahasa  Jawa.  Pengucapan  kata  dalam  Bahasa  Jawa  tentu  tidak sama dengan tulisan, akan berarti beda jika salah dalam membacanya. Hal ini
yang sering dilakukan oleh romo yang tidak mengerti Bahasa Jawa.
5. Tantangan  yang  dihadapi  oleh  umat  di  Stasi  St.  Fransiskus  Xaverius
Kemranggen
Agama  Katolik  merupakan  agama  yang  sangat  minoritas  dan  berada di  tengah-tengah umat beragama Muslim  yang  menjadi  mayoritas. Beberapa
tantanganpun  harus  dihadapi  oleh  umat  di  Stasi  St.  Fransiskus  Xaverius Kemranggen.  Tantangan  yang dihadapi  oleh umat  dijadikan sebagai  batu  uji
47
bagi  kemurnian  niat  dan  sekaligus  kekuatan  iman  untuk  menjadi  orang Katolik, walaupun tidak semua umat dapat menghadapinya.
Kenyataan yang harus dihadapi oleh umat ialah mengenai jarak rumah umat  dengan  Gereja  dan  antar  umat  yang  berjauhan.  Umat  yang  berada  di
Desa Pamriyan harus menempuh jarak 4 km untuk ke Gereja dengan berjalan kaki  dan  dari  Desa  Karang  Gedang  menempuh  jarak  2  km.  Umat  sendiri
menyadari  bahwa  jarak  menjadi  salah  satu  tantangan  terbesar  untuk  bisa berkumpul dan mengadakan doa-doa di luar misa hari minggu yang biasanya
dilaksanakan  pada  malam  hari  yang  dirasa  kurang  efektif  bagi  umat  yang rumahnya jauh. Jarak dan waktu tempuh menjadi kendala yang paling utama,
umat  harus  menempuh  dua  jam  perjalanan  pada  siang  hari  karena  misa dimulai dari jam dua siang. Misa di Stasi Kemranggen mendapat jadwal dua
kali  dalam  satu  bulan  yaitu  pada  minggu  kedua  dan  keempat,  pada  minggu biasa  diadakan  ibadat  yang  dipimpin  oleh  salah  satu  prodiakon  dari  Stasi
Kemranggen.  Umat  yang  rumahnya  jauh  dan  menempuh  perjalanan  yang panjang harus datang lebih awal untuk istirahat.
Kurangnya kesadaran umat untuk mengikuti Misa setiap hari minggu juga  menjadi  pemicu  lunturnya  iman  umat  sehingga  mudah  untuk
meninggalkan  Gereja.  Pihak  orang  tua  yang  kurang  menyadari  untuk melibatkan anak dalam Ekaristi sehingga perkembangan iman anak juga tidak
diperhatikan. Hal ini menyebabkan beberapa kaum muda yang meninggalkan iman  Katolik  karena  memperoleh  pasangan  yang  berbeda  agama.  Selain  itu
beberapa  pasangan  yang  menikah  beda  agama  kurang  memperhatikan  iman PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
anak,  dengan  tidak  membaptiskan  anak.  Anak-anak  dari  pasangan  beda agama juga tidak dibaptis.
Hidup  ditengah-tengah  umat  beragama  lain,  bahkan  tidak  jarang beberapa  tahun  belakangan  ini  diketahui  ada  beberapa  keluarga  yang
memutuskan  untuk  meninggalkan  Gereja.  Umat  yang  memutuskan meninggalkan  Gereja  beralasan  karena  lebih  menguntungkan  dan  lebih
banyak  teman  apabila  mengikuti  mayoritas.  Anak-anak  dirasa  akan  lebih mudah mencari jodoh yang seiman karena dari pihak mayoritas.
B. Penelitian Mengenai Penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi