14
bahasa lokal dalam liturgi. Di Jawa sudah diterbitkan buku-buku Misa dalam menggunakan  Bahasa  Jawa.  Hal  ini  menjadi  bukti  bahwa  Gereja  Indonesia
tergolong  cepat  dalam  mempraktekan  dan  mensosialisakan  pembaharuan
liturgi Martasudjita. 2014:61.
B. Inkulturasi Dalam Gereja Katolik
1. Inkulturasi Gereja
“Inkulturasi  gereja  adalah  suatu  usaha  untuk  mengikutsertakan manusia dalam karya penciptaan baru dan penyelamatan yang dikerjakan oleh
Allah ”. Allah senantiasa hadir, berkarya, dihayati dan diungkapkan oleh umat
melalui  perbuatan  dan  perkataan.  Dengan  demikian  sesuatu  kebiasan  baik dalam  peristiwa  kehidupan  sehari-hari  ditafsirkan  dengan  iman  yang
ditunjang  dengan  adat-istiradat  yang  ada  dalam  suatu  masyarakat.  Hal  ini dilakukan  demi  pengungkapan  iman  melalui  kekayaan  adat  setempat,
sehingga  umat  dapat  dengan  bebas  mengungkapkan  iman  dan  ikut  serta dalam karya penyelamaan Allah  Sekretariat PWI Liturgi, 1980: 281
Dalam  seminar  inkulturasi  yang  diadakan  di  Yogyakarta  yang digerakkan  dan  diatur  oleh  Fakultas  Misiologi  di  Gregoriana  Roma,
dirumuskan pengertian inkulturasi sebagai berikut: Inkulturasi  adalah  suatu  proses  dimana  persekutuan  gereja
menghidupi  iman  dan  pengalaman  kristennya  dalam  konteks kebudayaan  tertentu,  sehingga  penghayatan  ini  tidak  hanya  dapat
diungkapkan  lewat  elemen-elemen  kebudayaan  setempat,  melainkan menjadi  satu  kekuatan  yang  menjiwai,  membentuk  dan  secara
mendalam membaharui kebudayaan itu, sehingga terciptalah pola-pola PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
baru  persekutuan  dan  komunikasi  dalam  kebudayaan  dan  di  luar kebudayaan itu sendiri Muda, 1992:34.
Pengertian  tersebut  dikatakan  bahwa  inkulturasi  merupakan  relasi dinamis  antara  keselamatan  Kristen  dengan  berbagai  kebudayaan.  Di
dalamnya terdapat proses dua arah yaitu percampuran antar warta kristen dan kekhasan  kristiani  dengan  kebudayaan.  Penerimaan  dalam  kebudayaan
terhadap warta khas kristen, sebagai sikap keterbukaan diantaranya. “Inkulturasi  tidak  hanya  terbatas  pada  cara  pengungkapan  iman,
melainkan  harus  lebih  mendalam  yakni  pada  satu  perayaanselebrasi  iman” Muda, 1992:87. Seperti yang dihasilkan Konsili Vatikan II dalam SC yaitu
usaha  inkulturasi  liturgi  dengan  kebudayaan  setempat.  Hal  ini  menjadi penekanan  kembali  penyesuaian  inkulturasi  dengan  berbagai  bangsa  dan
kebudayaan di  seluruh dunia. Gereja sangat  mendukung penyesuaian liturgi, karena  dengan  demikian  Gereja  ikut  serta  dalam  mengambil  bagian  dalam
kebudayaan asal supaya tidak terjadinya kekeliruan dalam liturgi. Dengan  demikian,  mulailah  dilaksanakannya  pembaharuan  liturgi
dengan  merevisi  kitab-kitab  liturgi  yang  memberikan  tempat  perbedaan sesuai  dengan  berbagai  kebudayaan  bangsa  dan  daerah.  Hal  ini  menunjukan
pula  keterbukaan  dalam  Gereja  dengan  menerima  dan  masuk  ke  dalam kebudayaan  setempat  guna  mempermudah  setiap  umat  dalam  menghayati
iman  dalam  Perayaan  Ekaristi.  Konstitusi  Liturgi  dalam  pembaharuannya tidak menggunakan kata inkulturasi melainkan dengan kata penyesuaian.
16
Melalui pengesahan dokumen Sacrosanctum Concilium, Gereja secara resmi  menyatakan  diri  bahwa  Gereja  tidak  terikat  hanya  pada  satu
kebudayaan  saja,  misalnya  kebudayaan  RomawiLatin  saja  yang  dipakai dalam  seluruh  Tata  Perayaan  Liturgi  sebelumnya.  Begitu  banyak  perubahan
yang  terjadi  dalam  Liturgi,  maka  hal  ini  semakin  memanfaatkan  harta kekayaan budaya setempat sebagai cara pengungkapan iman Muda, 1992:87-
93.
2. Inkulturasi Liturgi
Kemungkinan penyesuaian adaptasi Tata Perayaan Ekaristi dilakukan oleh  dua  cara  yaitu:  akomodasi,  penyesuaian  ini  berkaitan  dengan  unsur-
unsur perayaan tanpa mengubah struktur perayaan. Dalam hal ini yang dapat disesuaikan  ialah  penggunaan  bahasa,  pilihan  bacaan,  doa-doa  presidensial,
juga  sikap  tubuh  yang  disesuaikan  dengan  situasi  dalam  Perayaan  Ekaristi. Kedua ialah: adaptasi, penyesuaian ini berkaitan dengan unsur-unsur budaya.
Istilah  adaptasi  dikenal  dengan  kata  inkulturasi  sebagai  penyesuaian  budaya secara  umum.  Wewenang  adaptasi  ialah  Konferensi  Waligereja  karena
menyangkut hal-hal  yang bersifat permanen. Misalnya  gerak-gerik dan sikap badan, nyanyian pembuka dan rumusan teks. Rumusan teks dapat dimengerti
sebagai  usaha  menerjemahkan  ungkapan  kata  dari  Bahasa  Latin  kedalam Bahasa Indonesia, Bahasa Jawa, Bahasa Dayak dan sebagainya. Namun yang
menjadi persoalan ialah apakah pengungkapan bahasa tersebut sesuai dengan bahasa  setempat.  Dalam  hal  ini  yang  menjadi  perhatian  ialah  unsur  kultural
17
secara  teologis  dan  unsur  kultural  dalam  masa  sekarang  ini  Cunha, 2012:119-122.
Kemungkinan  inkulturasi  liturgi  yang  diperbolehkan  oleh  Gereja Indonesia  antara  lain  musik  misalnya  dengan  mengunakan  gamelan  dalam
budaya  jawa,  penggunaan  bahasa  jawa,  musik  rebana.  Gedung  Gereja diinkuturasikan  dengan  ciri  budaya  setempat  misalnya  dengan  mengusung
arsitek  lokal,  misalnya  terdapat  tokoh  dalam  wayang  serta  ornamen  dalam budaya  Jawa.  Lambang  dalam  Tabernakel  dengan  lambang  gunungan
wayang, serta  ritus  dalam  Perayaan Ekaristi, misalnya dengan menggunakan bahasa setempat, misa syukur. Ruang penyesuaian yang terjadi dalam Gereja
antara lain bahasa, musik dan kesenian lainnya,  hal  ini seperti  yang terdapat dalam SC 36, sebagai berikut:
Akan  tetapi,  dalam  Misa.  Dalam  pelayanan  sakramen-sakramen,  dan dalam bagian-bagian liturgi lainnya, tidak jarang mengunakan bahasa
pribumi dapat sangat bermanfaat bagi umat. Maka seyogyanyalah hal ini diberi kelonggaran yang lebih luas, terutama dalam bacaan-bacaan
dan ajakan-ajakan, dalam berbagai doa dan nyanyian
Di  daerah-daerah  tertentu  terdapat  berbagai  macam  kesenian  yang dimiliki  yang  berfungsi  penting  dalam  kelangsungan  beragama  dan
bermasyarakat. Begitu juga dengan bahasa yang sangat berperan sebagai alat berkomunikasi  dengan  sesama,  hendaknya  juga  sarana  sebagai  komunikasi
dengan Tuhan dengan bahasanya sendiri Mariyanto, 1997:274-275.
18
C. Penggunaan Bahasa Jawa dalam Liturgi Gereja Katolik