Fenomenajukunen Rikon ( Perceraian Di Usia Tua) Dalam Masyarakat Jepang Dewasa Ini

(1)

FENOMENAJUKUNEN RIKON ( PERCERAIAN DI USIA TUA) DALAM MASYARAKAT JEPANG DEWASA INI

GENZAI NO NIHON SAKAI DE NO JUKUNEN RIKON NO GENSOU SKRIPSI

Skripsi ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk Melengkapi Salah Satu Syarat

Ujian Sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh :

LORA JUWITA SITUMORANG 110708013

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(2)

FENOMENAJUKUNEN RIKON ( PERCERAIAN DI USIA TUA) DALAM MASYARAKAT JEPANG DEWASA INI

GENZAI NO NIHON SAKAI DE NO JUKUNEN RIKON NO GENSOU

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan Kepada Panitia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana dalam

Bidang Ilmu Sastra Jepang

Pembimbing I, Pembimbing II,

NIP. 19580704 1984 12 1 001 NIP. 19600403 1991 03 1 001 Prof. Drs. Hamzon Situmorang, MS,.Ph.D.Drs. Amin Sihombing

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

Disetujui Oleh

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan

Medan, September2015 Departemen Sastra Jepang Ketua,

NIP : 19600919 198803 1 001 Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum


(4)

ABSTRAK

Fenomena Jukunen Rikon (Perceraian Diusia Tua) Dalam Masyarakat Jepang Dewasa ini

げんざい

,現在の日本社会

にほんしゃかい

での

じゅくねんりこん

熟 年 離 婚 の 現 象

1. Perceraian adalah cerai hidup atau perpisahan hidup antara pasangan suami istri sebagai akibat dari kegagalan perkawinan mereka

げんしょう

りこん

,離婚とは夫婦

ふ う ふ

しっぱい

失 敗 としての 夫

おっと

つま

妻 の 間

あいだ

けっこんせいかつ

2. Dalam bahasa jepang perceraian diterjemahkan menjadi Rikon.

結 婚 生 活 ので

ある。

「Perceraian」は日本語

に ほ ん ご

では「

り こ ん

3. Akhir-akhir ini permasalahan perceraian di Jepang dibandingkan dengan negara lain semakin meningkat. Salah satunya adalah fenomena Jukunen Rikon.

離婚」という。

さいきん

,最近、日本

に ほ ん

での

りこんもんだい

離婚問題はほかのくによりたくさん上

がって

きた。その 一

ひと

, つは

じゅくねんりこん

熟 年 離 婚 の 現 象

げんしょう

4. Kata Jukunen Rikon merupakan istilah yang digunakan untuk menujukkan perceraian yang terjadi pada pasangan usia tua.

でいる。

じゅくねんりこん

,熟年離婚という言葉

こ と ば

と し よ

年寄りのカッブル

か っ ぶ る

り こ ん

離婚をあらわ すようごである。


(5)

5. Jukunen Rikon terjadi pada saat suami memasuki masa pensiun dan anak-anak telah keluar dari rumah karena sudah menikah.

じゅくねんりこん

,熟年離婚は子供

こ ど も

けっこん

結 婚 して 家

いえ

出た後

あと

おっと

夫 が 定 年

ていねん

たあとふうふが

り こ ん

6. Di Jepang proses perceraian dapat yang dapat diperoleh di kantor catatan sipil.

離婚することである。

にほん

,日本 で は 離婚

り こ ん

て つ づ

手続 き か んた んで す 。 登 録 所

とうろくじょ

得 ら れる

離婚願書

りこんがんしょ

きにゅう

7. Jukunen Rikon banyak dilakukan oleh atas permintaan istri, karena para istri yang merasa tidak bahagia dan hidup dalam tekanan selama menikah dengan suaminya.

記 入 することだけでできる。

じゅくねんりこん

,熟年離婚は良

おく

奥 さんの 頼

たの

みで

おこな

行 われる。 奥

おく

さんは

じゅうにん

住 人 と結 婚

けっこん

ている

かん

間 に不幸

ふ こ う

8. Kemudian para istri menunggu anak-anaknya membentuk keluarga baru dan keluar dari rumah saat suami sudah memasuki masa pensiun dan istri langsung mengajukan perceraian.

からである。

それから、主 人

しゅじん

gさ

たいしょく

退 職 の時期入

じ き は い

るとき

いえ

家 を出

てから、

ちょくせつ

直 接 に

離婚

り こ ん

すす


(6)

9. Ada dua faktor penyebab Jukunen Rikon, pertama faktor Internal utamanya berasal dari sudut pandang sang istri.

じゅくねんりこん

,熟年離婚 の 要 因

よういん

ふた

二 つある。 一

ひと

目 は 妻

つま

み と お

見通 しの

内部

な い ぶ

しゅいん

10.Perceraian ini terjadi karena kurangnya komunikasi dengan pasangan, ketidaksetiaan pasangan dan kemandirian seorang perempuan dalam hal keuangan.

主 因 である。

この離婚

り こ ん

あ い て

相手と通 信

つうしん

があまりなく、

あ い て

相手の不倫

ふ り ん

じょせい

女 性 の経 済 的

けいざいてき

じ り つ

自立のせいで発 生

はっせい

11.Kedua faktor Eksternal berubahnya pandangan terhadap perceraian, terbukanya kesempatan kerja bagi perempuan dan hukum pembagian harta bersama ketika bercerai.

する。

ふた

,二つ目

よういん

要 因 は高

たか

いは

り こ ん

離婚に対

たい

する

み か た

見方の変 更

へんこう

じょせい

女 性 のため

の雇用機会

こ よ う き か い

ひら

開 くこと、離婚共同財産分離

りこんきょうどうざいさんぶんり

ほうりつ

12.Terjadinya Jukunen Rikon ini menyebabkan banyak pria hidup sendiri pada masa tuanya karena diceraikan oleh istri.

法 律 である。

この 熟 年 離 婚

じゅくねんりこん

つま

妻 と離婚

り こ ん

するせいで

おお

多 くの男 性

だんせい

と し よ

年寄りの年

ねんれい

で一人暮

ひ と り ぐ

らしになる

げんいん


(7)

13.Para wanita memulai kehidupan baru dengan bantuan keuangan dari pensiun suaminya dan hidup merasa lebih bahagia telah terlepas dari suaminya.

じょせい

,女性は 住 人

じゅうにん

ねんきん

年 金 の財政支援

ざいせいしえん

受けて 新

あたら

しい

せいかつ

生 活 を 始

はじ

め、

じゅうにん

住 人 と離

はな

れて

せいかつ

生 活 はもっと 幸

しあわ

せに

かん

14.Setelah para istri tersebut memiliki banyak waktu untuk dirinya sendiri. Istri juga dapat melakukan hal yang tidak bisa dilakukan sebelumnya tanpa terganggu dengan keberadaan suami.

感 じる。

りこん

,離婚した後

あと

おく

奥 さんが自分

じ ぶ ん

じ か ん

時間があるようになった。奥

おく

んも

い ぜ ん

以前の 夫

おっと

そんざい

存 在 に 中 断

ちゅうだん

15. Anak-anak yang pada umumnya telah menikah dan memiliki keluarga sendiri tidak merasa terganggu dengan perceraian orangtuanya.

されてできないことをやられるよう

になった。

結婚して自分の家があった子供たちは 両 親りょうしん

16.Jukunen Rikon tidak hanya berdampak pada pasangan yang telah melakukan perceraian saja.

の離婚に中断されない。

熟年離婚は離婚したカップルに影 響えいきょうをあた

17.Agar tidak mengalami Jukunen Rikon, para suami di Jepang lebih mencemaskan pernikahannya dan mulai memberikan perhatian pada istrinya.


(8)

熟年離婚を避さけるように、日本での夫は自分の結婚をしんぱい心配しており、

妻にもっと気きをつか

18.Para suami meluangkan waktu untuk bersama keluarga dan mengikuti pembagian tugas rumah tangga.

使っている。

夫はもっと家族と時間を過すごし、家事の分別か じ ぶんべつをしたが

19.Mereka mulai menyadari bahwa mereka tidak dapat melakukan pekerjaan dengan baik apabila tidak ada dukungan dari istri mereka.

従 う。


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis mengucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang senantiasa menyertai penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini guna memperoleh gelar Sarjana Sastra di Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.Adapun yang menjadi judul skripsi ini adalah

FENOMENAJUKUNEN RIKON (PERCERAIAN DI USIA TUA) DALAM

MASYARAKAT JEPANG DEWASA INI”.

Selama proses penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan baik moril, materi dan ide dari berbagai pihak. Oleh sebab itu pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih, penghargaan dan penghormatan kepada :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Eman Kusdyana, M.Hum, selaku Ketua Departemen Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D. selaku Pembimbing I, yang selalu memberikan waktu dan pemikirannya dalam membimbing, mengarahkan serta memberikan saran-saran kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai.

4. Bapak Drs. Amin Sihombing selaku Pembimbing II, yang selalu memberikan waktu dan tenaga sedemikian besarnya untuk membimbing,


(10)

memeriksa serta memberikan saran-saran kepada penulis dalam rangka penyempurnaan skripsi ini hingga selesai.

5. Bapak dan Ibu dosen, serta Staf Pegawai di Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang dengan penuh kesabaran telah memberikan ilmu yang berguna bagi penulis serta dukungan dalam menyelesaian skripsi ini.

6. Terima kasih yang tidak terhingga kepada ayahanda Alm. Edi Erikson Situmorang dan ibunda Alm. Asnah Rose Uli Hutagalung yang selalu memberi dukungan baik moril maupun materil dan selalu mendoakan sampai penulis dapat menyelesaikan studinya dan dapat menyelesaikan skripsi ini.

7. Kevin Lades Tampubolon yang selalu memberi dukungan dan semangat pada penulis serta kepada sahabat setia, Angelina Martha Manik A.md dan Citra Lestari Situmeang yang memberikan doa, semangat, canda tawa serta dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Seluruh abang dan kakak Randy Simanjuntak SS, Claudia Bernadine Purba SS,Mars Alfredo Silaen SS, Jefry Sitepu SS dan senior-senior lainnya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang selalu senantiasa memberikan dorongan dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 9. Seluruh rekan-rekan seperjuangan Sastra Jepang 2011, Aguslan, Romando, Alfred, Rio, Kevin, Cindy, Grace, Aida dan rekan-rekan stambuk 2011 lainnya yang selalu mengingatkan dan memberi semangat penulis agar segera menyelesaikan skripsi ini.


(11)

10.Terimakasih kepada abang kami Joko Santoso A.md yang telah memberikan dukungan, semangat dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari isi maupun uraiannya.Oleh karena itu, penulis mengharapkan masukan kritik dan saran yang membangun.Akhir kata, semoga skripsi ini nanti dapat berguna dan bermanfaat bagi penulis, pembaca khususnya mahasiswa/ mahasiswi Jurusan Sastra Jepang Universitas Sumatera lainnya.

Penulis

Medan, September 2015


(12)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang Masalah ... 1

1.2Perumusan masalah ... 5

1.3Ruang Lingkup... 5

1.4Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

1.4.1 Tujuan Penelitian ... 6

1.4.2 Manfaat Penelitian ... 6

1.5Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ... 7

1.5.1 Tinjauan Pustaka ... 7

1.5.2 Kerangka Teori ... 8

1.6Metode Penelitian... 9

BAB II GAMBARAN UMUM FENOMENA JUKUNEN RIKON 2.1 Defenisi Jukunen Rikon ... 10

2.2 Data Statistik Jukunen Rikon ... 12

2.3 Penyebab Jukunen Rikon ... 17


(13)

2.4 Kasus-kasus Jukunen Rikon ... 22

2.4.1 Kasus Yuji Tanaka ... 23

2.4.2 Kasus Yamada ... 24

2.4.3 Kasus Junko Yasukawa ... 24

2.4.4 Kasus Yoshiko Yamauchi ... 24

2.4.5 Kasus Tomoko ... 25

2.4.6 Kasus Keiko Imaizumi ... 25

BAB III PENYELESAIAN JUKUNEN RIKON 3.1 Usaha Penyelesaian Keluarga ... 28

3.1.1 Defenisi Keluarga ... 28

3.1.2 Peran Keluarga ... 30

3.1.3 Waktu Yang Dihabiskan Bersama Keluarga ... 34

3.1.4 Dampak Jukunen Rikon Pada Keluarga ... 36

3.2 Usaha Penyelesaian Pemerintah ... 37

3.2.1 Usaha Yang Dilakukan Pemerintah ... 37

3.2.2 Dampak Jukunen Rikon Pada Pemerintah ... 46

3.2.3 Harapan Hidup Orang Jepang ... 47

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan ... 50

4.2 Saran ... 52 DAFTAR PUSTAKA


(14)

ABSTRAK

Fenomena Jukunen Rikon (Perceraian Diusia Tua) Dalam Masyarakat Jepang Dewasa ini

げんざい

,現在の日本社会

にほんしゃかい

での

じゅくねんりこん

熟 年 離 婚 の 現 象

1. Perceraian adalah cerai hidup atau perpisahan hidup antara pasangan suami istri sebagai akibat dari kegagalan perkawinan mereka

げんしょう

りこん

,離婚とは夫婦

ふ う ふ

しっぱい

失 敗 としての 夫

おっと

つま

妻 の 間

あいだ

けっこんせいかつ

2. Dalam bahasa jepang perceraian diterjemahkan menjadi Rikon.

結 婚 生 活 ので

ある。

「Perceraian」は日本語

に ほ ん ご

では「

り こ ん

3. Akhir-akhir ini permasalahan perceraian di Jepang dibandingkan dengan negara lain semakin meningkat. Salah satunya adalah fenomena Jukunen Rikon.

離婚」という。

さいきん

,最近、日本

に ほ ん

での

りこんもんだい

離婚問題はほかのくによりたくさん上

がって

きた。その 一

ひと

, つは

じゅくねんりこん

熟 年 離 婚 の 現 象

げんしょう

4. Kata Jukunen Rikon merupakan istilah yang digunakan untuk menujukkan perceraian yang terjadi pada pasangan usia tua.

でいる。

じゅくねんりこん

,熟年離婚という言葉

こ と ば

と し よ

年寄りのカッブル

か っ ぶ る

り こ ん

離婚をあらわ すようごである。


(15)

5. Jukunen Rikon terjadi pada saat suami memasuki masa pensiun dan anak-anak telah keluar dari rumah karena sudah menikah.

じゅくねんりこん

,熟年離婚は子供

こ ど も

けっこん

結 婚 して 家

いえ

出た後

あと

おっと

夫 が 定 年

ていねん

たあとふうふが

り こ ん

6. Di Jepang proses perceraian dapat yang dapat diperoleh di kantor catatan sipil.

離婚することである。

にほん

,日本 で は 離婚

り こ ん

て つ づ

手続 き か んた んで す 。 登 録 所

とうろくじょ

得 ら れる

離婚願書

りこんがんしょ

きにゅう

7. Jukunen Rikon banyak dilakukan oleh atas permintaan istri, karena para istri yang merasa tidak bahagia dan hidup dalam tekanan selama menikah dengan suaminya.

記 入 することだけでできる。

じゅくねんりこん

,熟年離婚は良

おく

奥 さんの 頼

たの

みで

おこな

行 われる。 奥

おく

さんは

じゅうにん

住 人 と結 婚

けっこん

ている

かん

間 に不幸

ふ こ う

8. Kemudian para istri menunggu anak-anaknya membentuk keluarga baru dan keluar dari rumah saat suami sudah memasuki masa pensiun dan istri langsung mengajukan perceraian.

からである。

それから、主 人

しゅじん

gさ

たいしょく

退 職 の時期入

じ き は い

るとき

いえ

家 を出

てから、

ちょくせつ

直 接 に

離婚

り こ ん

すす


(16)

9. Ada dua faktor penyebab Jukunen Rikon, pertama faktor Internal utamanya berasal dari sudut pandang sang istri.

じゅくねんりこん

,熟年離婚 の 要 因

よういん

ふた

二 つある。 一

ひと

目 は 妻

つま

み と お

見通 しの

内部

な い ぶ

しゅいん

10.Perceraian ini terjadi karena kurangnya komunikasi dengan pasangan, ketidaksetiaan pasangan dan kemandirian seorang perempuan dalam hal keuangan.

主 因 である。

この離婚

り こ ん

あ い て

相手と通 信

つうしん

があまりなく、

あ い て

相手の不倫

ふ り ん

じょせい

女 性 の経 済 的

けいざいてき

じ り つ

自立のせいで発 生

はっせい

11.Kedua faktor Eksternal berubahnya pandangan terhadap perceraian, terbukanya kesempatan kerja bagi perempuan dan hukum pembagian harta bersama ketika bercerai.

する。

ふた

,二つ目

よういん

要 因 は高

たか

いは

り こ ん

離婚に対

たい

する

み か た

見方の変 更

へんこう

じょせい

女 性 のため

の雇用機会

こ よ う き か い

ひら

開 くこと、離婚共同財産分離

りこんきょうどうざいさんぶんり

ほうりつ

12.Terjadinya Jukunen Rikon ini menyebabkan banyak pria hidup sendiri pada masa tuanya karena diceraikan oleh istri.

法 律 である。

この 熟 年 離 婚

じゅくねんりこん

つま

妻 と離婚

り こ ん

するせいで

おお

多 くの男 性

だんせい

と し よ

年寄りの年

ねんれい

で一人暮

ひ と り ぐ

らしになる

げんいん


(17)

13.Para wanita memulai kehidupan baru dengan bantuan keuangan dari pensiun suaminya dan hidup merasa lebih bahagia telah terlepas dari suaminya.

じょせい

,女性は 住 人

じゅうにん

ねんきん

年 金 の財政支援

ざいせいしえん

受けて 新

あたら

しい

せいかつ

生 活 を 始

はじ

め、

じゅうにん

住 人 と離

はな

れて

せいかつ

生 活 はもっと 幸

しあわ

せに

かん

14.Setelah para istri tersebut memiliki banyak waktu untuk dirinya sendiri. Istri juga dapat melakukan hal yang tidak bisa dilakukan sebelumnya tanpa terganggu dengan keberadaan suami.

感 じる。

りこん

,離婚した後

あと

おく

奥 さんが自分

じ ぶ ん

じ か ん

時間があるようになった。奥

おく

んも

い ぜ ん

以前の 夫

おっと

そんざい

存 在 に 中 断

ちゅうだん

15. Anak-anak yang pada umumnya telah menikah dan memiliki keluarga sendiri tidak merasa terganggu dengan perceraian orangtuanya.

されてできないことをやられるよう

になった。

結婚して自分の家があった子供たちは 両 親りょうしん

16.Jukunen Rikon tidak hanya berdampak pada pasangan yang telah melakukan perceraian saja.

の離婚に中断されない。

熟年離婚は離婚したカップルに影 響えいきょうをあた

17.Agar tidak mengalami Jukunen Rikon, para suami di Jepang lebih mencemaskan pernikahannya dan mulai memberikan perhatian pada istrinya.


(18)

熟年離婚を避さけるように、日本での夫は自分の結婚をしんぱい心配しており、

妻にもっと気きをつか

18.Para suami meluangkan waktu untuk bersama keluarga dan mengikuti pembagian tugas rumah tangga.

使っている。

夫はもっと家族と時間を過すごし、家事の分別か じ ぶんべつをしたが

19.Mereka mulai menyadari bahwa mereka tidak dapat melakukan pekerjaan dengan baik apabila tidak ada dukungan dari istri mereka.

従 う。


(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia adalah mahluk sosial yang dalam kesehariannya berinteraksi dengan sesamanya dengan menghasilkan apa yang di sebut dengan peradaban. Semenjak terciptanya peradaban dan seiring dengan terus berkembangnya peradaban tersebut, melahirkan berbagai macam bentuk kebudayaan.

Ienaga Saburo dalam Situmorang (2009:2) menjelaskan kebudayaan dalam arti luas.Ienaga menjelaskan bahwa kebudayaan ialah keseluruh hal yang bukan alamiah.Misalnya ikan adalah suatu benda alamiah, tetapi dalam suatu masyarakat ikan tersebut dibakar atau ikan pepes atau shashimi tersebut adalah kebudayaan.

Sedangkan dalam arti sempit kebudayaan adalah terdiri dari ilmu pengetahuan, sistem kepercayaan dan seni.Oleh karena itu Ienaga mengatakan kebudayaan dalam arti luas ialah segala sesuatu yang bersifat konkrit yang di olah manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan kebudayaan dalam arti sempit adalah sama dengan pengertian budaya yang diuraikan di atas, yaitu budaya yang berisikan sesuatu yang tidak kentara atau yang bersifat semiotik.

Koentjraningrat (1976:28) mengatakan bahwa kebudayaan berarti keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus di biasakan dengan belajar serta keseluruhan dari hasil budi pekertinya.Dan konsep tentang kebudayaan itu adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang di jadikan milik manusia dengan belajar.


(20)

Sehingga dapat di tarik suatu pengertian yaitu kebudayaan adalah segala hasil karya cipta dan gagasan manusia yang mengalami suatu proses adaptasi sehingga menciptakan suatu sistem dalam masyarakat, baik itu berupa ilmu pengetahuan, nilai, norma dan juga sistem kepercayaan di dalam kehidupan masyarakat.

Dalam Kamus Kanji Sonomama Rakubiki Jiten (Kumagai 2006:123), Rikon

memiliki makna sebagai perihal pembatalan hubungan pernikahan suami-istri secara hukum.Perceraian di Jepang telah mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Di tengah peningkatan angka perceraian pada masyarakat Jepang saat ini, terjadi sebuah fenomena perceraian yang terjadi di kalangan pasangan tua yang dikenal dengan istilah Jukunen Rikon yang merupakan perceraian yang terjadi pada usia pernikahan yang lebih dari 20 tahun. Mengacu pada data yang dipublikasikan pemerintah melalui laman resmi Kementrian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Rakyat Jepang, fenomena ini meningkat sejak pertengahan tahun 1990-an.

Fenomena Jukunen Rikon di Jepang banyak terjadi ketika sang suami memasuki masa pensiun sehingga dikenal juga dengan istilah 定年離婚 Teinen

Rikon. Dalam perceraian seperti ini, biasanya istri yang mengajukan perceraian kepada suami.Di Jepang, fenomena perceraian usia tua juga membuat munculnya sebuah drama yang berjudul Middle Aged Divorce dengan judul asli 熟年離婚

Jukunen Rikon (perceraian usia tua). Menurut hasil J-Dorama Weekly Rating, drama ini sangat diminati dan dianggap mengalahkan drama Jepang lainnya di


(21)

Dalam situs di internet yang bernama Smart Marriage, seorang konselor pernikahan bernama Hiromi Ikeuchi mengatakan bahwa dalam sebuah kasus dimana perceraian usia tua terjadi diakibatkan karena pada saat masa produktif sang suami mencari nafkah dan sang istri tinggal dirumah sehingga sedikit sekali percakapan yang terjadi antara pasangan tersebut. Kemudian, pada saat mendekati usia pensiun, waktu luang sang suami bertambah dan mengakibatkan sang suami lebih lama di rumah. Terbiasanya sang istri yang dulunya lebih sering ditinggal sang suami pergi bekerja, menghabiskan waktu bersama dimasa pensiun sang suami menjadi tekanan dan beban bagi sang istri.

Beberapa wanita Jepang melihat suami sebagai sebuah penghambat untuk menikmati hari tua, setelah pensiun sang suami mulai menguasai setiap aspek dalam kehidupan seperti banyak menghabiskan waktu luang di rumah. Kebanyakan suami di Jepang yang pensiun cenderung untuk bergantung kepada istri, lalu menghabiskan waktu-waktu mereka di rumah sehingga membuat istri merasa tidak bebas. Istri ingin bebas dari pekerjaan rumah tangga dan juga kewajibannya terhadap sang suami, selain itu istri juga menginginkan agar dirinya juga dapat memiliki kebebasan secara keuangan agar dapat mempergunakan uang tersebut untuk keperluan dirinya sendiri (Reynolds, Isabel. Middle Aged Divorce: Japan Baby Boomer Face Late-Life Divorce Risk. Harudanji, 3 Januari 2006).

Sejak dahulu para suami di Jepang tidak diharapkan untuk membantu istri mereka memasak, mencuci, atau membersihkan rumah. Sebuah gaya lama yaitu, tiga kata dari suami untuk istri setelah pulang ke rumah dari bekerja 飯 meshi

(makanan),風呂furo (mandi) dan お茶ocha (teh), yang berarti ketiga hal tersebut merupakan kewajiban sang istri kepada suami. Beberapa wanita menyadari bahwa


(22)

20 atau 30 tahun sudah cukup untuk suami istri hidup bersama, dan pada saat mereka tidak memiliki kecocokan lagi, alternatif yang dipilih adalah bercerai (Osedo, Hirosi. Wives Retiring From Marriage. The Courier Mail, Japan: 24 Februari 2006).

Karena meningkatnya keinginan wanita untuk bercerai membuat pemerintah berencana untuk mengubah sistem pensuin di Jepang yaitu undang-undang perceraian pada tahun 2007 yang mendorong ledakan perceraian. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa istri akan mendapat 50% dari uang pensiun suaminya setelah bercerai. Sehingga meskipun para wanita tidak memiliki pekerjaan penuh, mereka tidak mengkhawatirkan tentang biaya hidup sendiri.

Jumlah pasangan yang bercerai memiliki angka yang tertinggi setiap tahunnya.Menurut Internal Affairs and Communications Ministry pada tahun 2002, jumlah perceraian mencapai puncaknya yaitu sekitar 290.000 pasangan. Sedangkan pada tahun 2003 berjumlah 284.000 pasangan, dan pada tahun 2004 berjumlah 271.000 pasangan. Jumlah perceraian tersebut menurun karena banyak wanita menunggu dikeluarkannya undang-undang pensiun yang baru pada bulan April 2007.

Cerita di dalam drama 熟年離婚 Jukunen Rikon ini mirip dengan kasus-kasus perceraian usia tua di Jepang yang terjadi saat ini. Suami yang menghabiskan sebagian besar waktunya selama puluhan tahun hanya untuk pekerjaannya, anak-anak yang mulai tumbuh dewasa dan istri yang mengisi waktunya di luar rumah.Saat suami memasuki masa pensiun, istri meminta sebuah perceraian.


(23)

diberi judul “FENOMENAJUKUNEN RIKON(PERCERAIAN USIA TUA) DALAM MASYARAKAT JEPANG DEWASA INI”

1.2 Rumusan Masalah

Dalam Jepang dewasa ini masalah sebagai suatu keadaan yang bersumber dari hubungan antara 2 faktor atau lebih yang menghasilkan situasi lain yang menyeret mereka dalam hubungan yang rumit yang mereka sendiri sulit memahaminya.

Jukunen Rikon adalah perceraian yang pernikahannya menginjak lebih dari 20 tahun. Tinggi angka perceraian usia tua di Jepang merupakan salah satu masalah yang kini melanda Jepang. Selain itu, dinamika yang terjadi pada angka

Jukunen Rikon di Jepang tampaknya merupakan salah satu dampak lain dari masalah tersebut.

Berdasarkan pengurairan di atas, maka penulis mengangkat permasalahan yang akan di bahas dalam penelitian ini, yaitu :

1. Bagaimana realitas Jukunen Rikon?

2. Bagaimana usaha-usaha mengatasi Jukunen Rikon di Jepang

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Dari permasalahan yang telah dirumuskan di atas, penulis menganggap perlunya pembatasan ruang lingkup dalam pembahasan selanjutnya.Hal ini bertujuan agar penelitian ini tidak menjadi luas dan tetap terfokus pada masalah yang ingin diteliti.


(24)

Dalam analisis ini, penulis hanya fokus pada realitas Jukunen Rikon di Jepang, usaha setelah bercerai dalam mengatasi Jukunen Rikon.Penulis menganalisis penelitian ini dengan menggunakan pendekatan fenomenologi ekstensial sebagai acuan.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka penulis merangkum tujuan dari penelitian sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui realitas Jukunen Rikon di Jepang.

2. Untuk mengetahui usaha-usaha mengatasi Jukunen Rikon di Jepang. 1.4.2 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini :

1. Bagi peneliti dan pembaca, dapat menambah wawasan mengenai realitas dan usaha penyelesaian terjadinya Jukunen Rikon di Jepang. 2. Bagi pembaca, dapat menambah bahan bacaan dan sumber penelitian

untuk Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya.

1.5 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.5.1 Tinjauan Pustaka

Keluarga adalah sebuah lembaga sosial yang berkembang di masyarakat.Keluarga memiliki sebutan yang berbeda untuk setiap budaya.Tetapi, semua kehidupan dimulai dari keluarga.Di masyarakat manapun di dunia, keluarga


(25)

kegiatan dalam kehidupan individu.Keluarga dapat digolongkan ke dalam kelompok penting, selain karena para anggotanya saling mengadakan kontak langsung juga karena adanya keintiman dari para anggotanya.

Dalam membentuk keluarga harus ada pernikahan.Di Jepang ada 2 pernikahan yang dijodohkan (miai-kekkon) dan pernikahan cinta (renai-kekkon).Pernikahan yang diatur antar keluarga dan berfungsi untuk memperkuat ikatan antar keluarga maupun untuk mendapat tambahan tenaga kerja yang baik dan kuat.Pernikahan merupakan urusan keluarga dan bukan urusan pribadi.Sehingga wanita tidak bisa menolak untuk dijodohkan. Bagi wanita, pernikahan dianggap tujuan utama dan suatu keharusan karena pernikahan merupakan sumber kekuatan ekonomi selain untuk meneruskan hubungan kekeluargaan (Iwao 1993:23) sehingga dalam pernikahan, wanita harus tunduk dan patuh pada ayah mertua (kacho) dan tunduk pada suaminya. Dalam hal perceraian, hanya dari pihak laki-laki yang bisa memutuskan, baik itu ayah mertua (kacho)

maupun suami.Namun adakalanya ibu mertua yang menceraikan istri anaknya. Ada beberapa dasar dalam menceraikan istri, yaitu tidak mematuhi ayah dan ibu mertua dan tidak memiliki keturunan.Dasar inilah yang menjadi alasan suami untuk menceraikan istrinya.Namun, pada beberapa tahun belakangan ini, istri yang meminta cerai dari suaminya karena mulai berpikir tentang kebahagian dirinya sendiri.

Para istri yang mengajukan cerai setelah menikah lebih dari 20 tahun dengan pasangan hidupnya dipicu oleh dikeluarkannya undang-undang pensiun yang mengatur separuh pensiun suami akan diterima setelah bercerai. Selain itu


(26)

persamaan derajat antara pria dan wanita yang semakin terlihat juga mendukung perceraian tersebut.

1.5.2 Kerangka Teori

Dalam penelitian ini digunakan pendekatan teori sosiologis dalam keluarga.Keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal bersama dan masing-masing anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga menjadi terjadi saling mempengaruhi, saling memperhatikan, dan saling menyerahakan diri (Soelaeman, 1994:5-10).

Dengan demikian, pendekatan teori sosiologis dalam keluarga digunakan untuk menafsirkan gejala yang ditemukan dalam Jukunen Rikon pada masyarakat Jepang. Salah satu faktor pencetus Jukunen Rikon ini adalah banyaknya pria generasi pasca perang yang mencapai usia 60 tahun dan pensiun. Artinya sejumlah besar pria akan melepaskan kegiatan kantor dan menghabiskan waktu lebih banyak dengan pasangannya

Generasi tersebut dikenal dengan sebutan generasi baby boom, yaitu orang-orang yang lahir setelah Perang Dunia II.Generasi tersebut memiliki jumlah yang luar biasa banyak, dan merupakan generasi pembangun Jepang dalam bidang industry.Sehingga kesibukan mereka benar-benar menghabiskan waktu kebersamaan mereka dengan keluarga.Sehingga pada pihak istri sangat tertekan dengan pernikahan mereka.Pada saat suami telah pensiun dan anak-anak telah dapat mandiri, para istri yang merasa telah menjalankan kewajiban mereka sebagai seorang istri dan seorang ibu, para istri tersebut menceraikan suami yang telah dinikahi selama 20 tahun lebih.Sehingga terjadi Jukunen Rikon.


(27)

1.6 Metode Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini penulis akan menggunakan beberapa metode, yakni dengan metode kualitatif, kepustakaan, deskriptif analitis dan analisis kasus. Menurut Oxford University Dictionary of Sociology (1998: 312) metode penelitian adalah suatu metode atau pendekatan umum secara empiris dari suatu ilmu, atau sebuah penelitian bebas khusus. Penelitian ini akan dilakukan dengan metode kualitatif yaitu dengan meneliti kasus-kasus perceraian. Dalam melalui studi kepustakaan, penulis mempelajari teori-teori yang berkaitan dengan penelitian ini menggunakan buku-buku teori yang terdapat di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, Japan Fondation yang ada di Medan dan juga mengumpulkan data-data melalui internet.

Selain itu penelitian juga akan menganalisis pada kasus-kasus yang didapat secara deskriptif analitis. Dalam Oxford University Dictionary of Sociology (1998: 415), penelitian kasus atau studi kasus adalah sebuah bentuk penelitian tentang status subjek penelitian yang mengambil contoh dari suatu kasus atau beberapa contoh kejadian sosial seperti komunitas, grup sosial, keluarga, kehidupan sejarah, peran masyarakat, kejadian, atau hubungan masyarakat, kemudian menelitinya dengan menerapkan beberapa metode penelitian.

Pada umumnya, studi kasus adalah bagaimana strategi yang diinginkan menggunakan pertanyaan bagaimana dan mengapa, ketika yang meneliti memiliki sedikit kemampuan untuk mengendalikan kejadian, dan ketika fokus dari fenomena dalam konteks sebenarnya.Data-data dalam bentuk tulisan tersebut kemudian dianalisis untuk mendapatkan kesimpulan dan saran.


(28)

BAB II

GAMBARAN UMUM PENYELESAIAN JUKUNEN RIKON

2.1 Defenisi Jukunen Rikon

Untuk menjelaskan tentang asal usul kata Jukunen Rikon dan pengertiannya secara etimologi, maka digunakan Kamus Kanji Modern Jepang-Indonesia oleh Andew N. Nelson.

Jukunen Rikon berasal dari 2 buah kata, yaitu Jukunen(熟年) dan Rikon(離

婚).Kata Jukunen(熟年)dan Rikon(離婚) masing-masing juga berasal dari 2 buah kata yang digabungkan. Kata Jukunen(熟年) memiliki komponen Juku(熟) yang berarti “matang” dan Nen(年) yang berarti “tahun”. Sehingga kata Jukunen(熟年) diartikan dengan tahun yang telah matang.Dalam bahasa inggris kata ini dapat dipadankan dengan “mature years”.

Kata Rikon(離婚)memiliki komponen Ri(離)yang merupakan onyomi (car abaca menurut aksara cina) dari hanareru(離)yang berarti “berpisah” sedangkan

Kon(婚) merupakan onyomi yang berarti “menikah”. Dengan demikian kata

Rikon(離婚) dapat diartikan “bercerai” atau “divorce”.

Secara keseluruhan Jukunen Rikon dapat diartikan dengan perceraian disaat usia pernikahan telah menginjak usia matang, yaitu 20 tahun ke atas (dalam

Di Jepang, proses perceraian dapat dilakukan dengan mudah yaitu dengan mengisi formulir perceraian perceraian yang dapat diperoleh di kantor catatan


(29)

Jepang setelah Perang Dunia II.melibatkan Jepang dan nilai-nilai keluarga dalam masyarakat Jepang, perceraian adalah hal yang sangat memalukan. Terlebih lagi bila wanita yang menjadi penginisiatif perceraian.Pasangan yang bercerai dianggap tidak bisa menjaga keutuhan rumah tangga dengan baik dan mempermalukan keluarga.Tetapi, tidak berarti bahwa perceraian jarang terjadi di Jepang. Karena sistem keluarga yang mengatur pernikahan di Jepang pada saat itu memungkinkan keluarga dari pihak suami menceraikan istri jika ia tidak mampu menjadi menantu dan istri yang baik, serta tidak dapat keturunan bagi keluarga suaminya. Ditambah lagi pembangunan besar-besaran yang dilakukan Jepang dalam rangka pemulihan ekonomi telah menghasilkan industrialisasi yang menjadikan Jepang sekarang sebagai negara industry maju di dunia.Namun industrialisasi ini membuat para pria Jepang mendedikasikan seluruh hidupnya pada pekerjaan demi mencapai kesuksesan Jepang. Sehingga tanpa disadari telah menjadi korban kesibukan suami yang sama sekali tidak memperhatikan istrinya. Dengan demikian istri merasa tidak bahagia menjalani kehidupan rumah tangganya.

Akan tetapi, demi anak-anak dan pekerjaan suaminya, istri menahan diri dalam ketidakbahagiaan untuk menceraikan suaminya.Kemudian, ketika anak-anak telah memiliki keluarga sendiri dan keluar dari rumah, serta suami telah pensiun dari pekerjaannya, istri baru mengajukan cerai kepada suaminya.

2.2 Data Statistik Jukunen Rikon di Jepang

Perceraian di Jepang dewasa ini telah mengalami berbagai perubahan begitupun dengan Jukunen Rikon.Seiringnya dengan berkembangnya pertumbuhan ekonomi Jepang, pengaruhnya juga terasa hingga kehidupan pribadi


(30)

masyarakatnya. (Kumagai 2006: 123) menyatakan bahwa jumlah Jukunen Rikon, yang merupakan perceraian yang terjadi pada usia pernikahan yang lebih dari 20 tahun. Mengacu pada data yang publikasikan pemerintah melalui laman resmi Kementrian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Rakyat Jepang, perceraian di jepang telah meningkat cukup signifikan sejak pertengahan tahun 1990-an, tingkat Jukunen Rikon mengalami dinamika sejak masa bubble economy

pada tahun 1980-an. Pasca Perang Dunia II, perceraian di Jepang mulai mengalami peningkatan dan kini telah mencapai persentase 2,01% (253.353 kasus) pada tahun 2009. Peningkatan tersebut dilihat dengan membandingkan dengan persentase perceraian pada tahun 1935 yang hanya berkisar 0,70% (48.528 kasus). Dinamika yang menarik dapat dilihat dalam jumlah Jukunen Rikon yang terjadi sejak periode pasca Perang Dunia II hingga sekarang.Pada tahun 1947-1970, jumlah Jukunen Rikon tidak mencapai 6.000 kasus dengan data periode pernikahan hanya 20-25 tahun. Selanjutnya, sejak tahun 1975 dalam data yang dipublikasikan oleh Kementrian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Sosial Jepang, periode pernikahan dalam Jukunen Rikon diperlebar hingga 35 tahun lebih periode pernikahan.


(31)

(1947-2008) dalam ribuan

2.2 Tabel Jumlah dan Persentase Jukunen Rikon Tahun 1947 s.d 2008 Lama Menikah

Tahun

Total 20-25 25-30 30-35 35-…

Jml % Jml % Jml % Jml % Jml %

1947 2479 3,1 2479 3,1 … … … …

1950 2925 3,5 2925 3,5 … … … …

1955 3231 4,3 3231 4,3 … … … …

1960 3037 4,4 3037 4,4 … … … …

1965 3355 4,4 3355 4,4 … … … …

1970 5072 5,3 5072 5,3 … … … …

1975 6810 5,8 4050 3,4 1894 1,6 566 0,5 300 0,3 1980 10882 7,7 6573 4,7 2682 1,9 1164 0,8 463 0,3 1985 20434 12,4 12706 7,7 4827 2,9 1793 1,1 1108 0,7

2479 2925 3231 3037 3355 5072 6810 10882 20434 21717 31877 32659 34993 39614 40964 41824 42992 45536 45045 41958 40395 37782 40353 38920

0 10000 20000 30000 40000 50000

tahun 1947 tahun 1955 tahun 1965 tahun 1975 tahun 1985 tahun 1995 tahun 1997 tahun 1999 tahun 2001 tahun 2003 tahun 2005 tahun 2007 JUMLAH T AH U N


(32)

1990 21717 14,0 12801 8,2 5767 3,7 1964 1,3 1185 0,8 1995 31877 16,4 17847 9,2 8684 4,5 3506 1,8 1840 0,9 1996 32659 16,3 17701 8,8 9135 4,6 3810 1,9 2013 1,0 1997 34993 16,3 17782 8,3 10502 4,9 4277 2,0 2432 1,1 1998 39614 17,0 19072 8,2 12295 5,3 5160 2,2 3087 1,3 1999 40964 17,1 18898 7,9 13052 5,4 5526 2,3 3488 1,5 2000 41824 16,5 18701 7,4 13402 5,3 5839 2,3 3882 1,5 2001 42992 15,7 19021 6,9 13363 4,9 6318 2,3 4290 1,6 2002 45536 16,5 20417 7,4 13531 4,9 6969 2,5 4619 1,7 2003 45045 16,6 20308 7,5 12742 4,7 7032 2,6 4963 1,8 2004 41958 16,3 19041 7,4 11449 4,5 6758 2,6 4710 1,8 2005 40395 16,2 18401 7,4 10747 4,3 6453 2,6 4794 1,9 2006 37782 15,4 17059 7,0 10029 4,1 5947 2,4 4747 1,9 2007 40353 16,8 17789 7,4 10796 4,5 6261 2,6 5507 2,3 2008 38920 16,5 16932 7,2 10673 4,5 5867 2,5 5448 2,3

Pada grafik di atas, jumlah Jukunen Rikon di Jepang terlihat cukup mencolok dengan adanya peningkatan dan penurunan terhadap jumlah Jukunen Rikon di Jepang dalam rentang waktu 61 tahun yakni sejak tahun 1947-2008. Jumlah Jukunen Rikon yang terjadi di Jepang pada tahun 2002 merupakan yang tertinggi dengan 45.536 kasus (16,5%) perceraian. Namun, untuk persentase tertinggi dari Jukunen Rikon terjadi pada tahun 1999 dengan 17,1% (40.964 kasus) dari jumlah perceraian secara keseluruhan sebanyak 250.529 kasus. Berdasarkan


(33)

yang termasuk ke dalam kategori Jukunen Rikon stabil pada kisaran 16% dari jumlah perceraian secara keseluruhan.

Salah satu yang menjadi awal dari Jukunen Rikon adalah suami yang memasuki masa pensiun.Bahkan beberapa perempuan yang berniat menceraikan suaminya, sengaja menunggu lebih lama sampai suami mereka memasuki masa pensiun. Data pada tahun 2007 menujukkan bahwa dari 27.159 kasus (14,7%)

Jukunen Rikon rentang usia 40-85 tahun ke atas merupakan rentang usia yang beresiko tinggi mengalami Jukunen Rikon, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Namun rentang usia yang paling banyak melakukan perceraian pada kategori

Jukunen Rikon adalah 29,3% dari 27.159 kasus, untuk rentang usia 45-49 tahun bagi perempuan (7.948 kasus), rentang usia 50-54 tahun sebesar 22,7% (6.126 kasus), sedangkan bagi laki-laki rentang usia 50-54 tahun merupakan yang paling banyak yaitu sebesar 25,6% (6.949 kasus), rentang usia 55-59 tahun sebanyak 6.392 kasus (23,5%). Data di bawah ini menujukkan bahwa periode 20-25 tahun sebagai fokus dari jumlah Jukunen Rikon. Pada tabel 2.1 dan tabel 2.2 terlihat bahwa pada rentang usia yang terbanyak, baik pada usia suami maupun istri, sebagian besar melakukan perceraian pada periode tersebut.

2.3 Jumlah Jukunen Rikon berdasarkan Usia Suami & Istri Tahun 2007

Usia Total

Periode Pernikahan

20-25 Tahun 25-30 Tahun 30-35 Tahun 35 Tahun-… (Tahun) Suami Istri Suami Istri Suami Istri Suami Istri Suami Istri

35-39 57 222 57 222 . . . . . .

40-44 1823 3910 1780 3734 43 176 . . . .

45-49 5930 7948 4730 5441 1177 2413 23 94 . .

50-54 6949 6162 3185 1444 3026 3233 727 1430 11 55 55-59 6392 4640 1325 468 2153 890 2279 2169 635 1113


(34)

65-69 1679 1235 123 29 137 39 207 45 1212 400

70-74 843 513 77 12 58 21 59 17 649 171

74-79 298 221 26 2 22 8 16 11 234 55

80-… 166 76 11 93 15 80 20 114 120 948

Selanjutnya Jenis pekerjaan dalam suatu rumah tangga pasangan usia tua juga berpengaruh terhadap keputusan bercerai. Mengacu pada data yang terdapat dalam Vital Statistic 2008, jenis pekerjaan yang dijadikan sebagai patokan terbagi menjadi enam kategori. Secara umum pada kasus Jukunen Rikon jenis pekerjaan yang paling banyak mengalami perceraian adalah pegawai swasta dimana terjadi 14.673 kasus (37,7%) perceraian pada tahun 2008 oleh pegawai negeri sebanyak 8.928 kasus (25,4%). Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa mayoritas pasangan usia tua yang memutuskan bercerai meskipun telah bertahun-tahun menikah bekerja sebagai salaryman.

2.5 Jukunen Rikon Berdasarkan Jenis Pekerjaan Tahun 2008

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000

Petani Wiraswasta Pegawai (1) Pegawai (2) Lain-lain Tidak Bekerja

20-25 25-30 30-35 35-...

Keterangan :

Pegawai (1) : pegawai tetap yang bekerja pada perusahaan swasta yang memiliki pegawai lebih dari 99 orang (karyawan swasta).


(35)

2.3 Penyebab Jukunen Rikon

Faktor penyebab yang mendorong terjadinya perceraian pada pasangan usiatua secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor penyebab Jukunen Rikon dalam tulisan ini berasal dari sudut pandang perempuan. Alasan yang mendasarinya adalah sebagian besar pihak yang mengajukan perceraian dalam pasangan usia lanjut adalah perempuan. 2.3.1 Faktor Internal

Pada pasangan usia tua, setidaknya terdapat tiga faktor internal yang menyebabkan Jukunen Rikon, yaitu:

1. Kondisi keluarga sebelum bercerai

Kondisi keluarga pada usia tua yang memutuskan untuk bercerai pada umumnya merupakan rumah tangga dimana suami telah memasuki masa pensiun. Rumah tangga yang telah dijalani begitu lama, bukan tetapi tidak terdapat masalah.Salah satu menjadi masalah yang menjadi alasan kuat adanya kurang komunikasi di antara suami-istri selama masa pernikahan.Suami yang sering bekerja terlalu fokus dalam karier dan pulang larut malam sementara istri selama ini sibuk mengurus anak dan pekerjaan rumah tangga.Kebiasaan tersebut berlangsung begitu lama hingga pada saat anak mulai beranjak dewasa dan suami memasuki masa


(36)

pensiun, masalah kurangnya interaksi dan komunikasi suami-istri menjadi semakin terasa dan menimbulkan ketidaknyamanan, khususnya di pihak istri.Terlebih lagi, anak yang biasanya menjadi teman bercengkrama lebih sering berkumpul bersama teman-temannya, atau bahkan telah tinggal terpisah. Ketidaknyamanan sang istri diperburuk dengan tidak terbiasanya merasakan kehadiran suami yang terus berada dirumah dan tidak mengerjakan apapun. Hal tersebut dianggap oleh para istri sebagai masalah yang berat sehingga mereka lebih memilih untuk bercerai ketimbang melanjutkan kehidupan bersama suami yang telah pensiun (Tanaka, 1995: 46-47).

2. Keinginan istri untuk mandiri

Perempuan Jepang saat ini cenderung lebih mandiri dengan tidak hanya fokus terhadap pekerjaan rumah tangga yang mengandalkan penghasilan suami sebagai pendapatan rumah tangga.Banyak di antara mereka yang juga mengikuti berbagai kegiatan di sela-sela kesibukan pekerjaan rumah tangga, atau bahkan bekerja, sehingga pergaulan mereka menjadi luas.Yamashita (1986: 416-417) menyatakan bahwa para istri di Jepang kini tidak lagi sepenuhnya bangga menjadi ibu rumah tangga.Hal ini kemudian menjadi salah satu elemen yang memperkuat keinginan seorang istri untuk bercerai.


(37)

Salah satu faktor internal yang lain yang menyebabkan Jukunen Rikon

adalah ketidaksetiaan pasangan. Bagi para istri yang lebih banyak menghabiskan waktu sebagai ibu rumah tangga.Ketidaksetiaan pasangan menjadi pukulan berat dalam perjalanan rumah tangga. Beberapa kasus yang diungkapkan oleh Yamashita (1986) menunjukkan bahwa perselingkuhan yang dilakukan salah satu pasangan dapat menjadi alasan kuat bagi pasangan usia tua untuk memutuskan untuk bercerai.

2.3.2 Faktor Eksternal

Selain faktor internal yang mendorong terjadinya Jukunen Rikon, terdapat juga faktor eksternal yang mempengaruhi dinamika jumlah perceraian pada pasangan usia tua. Sedikitnya terdapat empat faktor eksternal dalam keputusan

Jukunen Rikon, antara lain :

1. Angka harapan hidup perempuan

2. Perubahan pandangan terhadap perceraian 3. Kesempatan kerja bagi perempuan

4. Pembagian harta bersama

Masyarakat Jepang merupakan salah satu penduduk dunia yang memiliki angka harapan hidup yang tinggi. Pada tahun 2008, angka harapan hidup bagi perempuan adalah 86,05 tahun sementara bagi laki-laki adalah 79,29 tahun. Yamashita (1986: 416-417) menyatakan bahwa para perempuan kini menginginkan kehidupan yang lebih berharga karena sekarang eskpektasi hidup mereka lebih lama. Dalam banyak kasus Jukunen Rikon, para wanita yang berumur 40-60 an tidak sedikit yang menyadari betapa tidak menyenangkannya hidup


(38)

mereka selama ini sehingga dalam sisa hidupnya, para perempuan tersebut ingin memperbaiki kehidupan mereka.

Seiring dengan perkembangannya zaman, terjadi perubahan pandangan perempuan mengenai perceraian serta mulai terbukanya masyarakat Jepang dalam menyikapi perceraian yang juga disebut Yamashita sebagai salah satu faktor berpengaruh dalam tingkat Jukunen Rikon. Perempuan yang mengalami perceraian dianggap gagal dan ia akan dikucilkan oleh masyarakat sekitarnya. Namun, kini persepsi negatif mengenai perempuan yang bercerai mulai berkurang.Di saat para suami masih memikirkan bagaimana pandangan masyarakat jika mereka pernah bercerai, para istri justru berpikir lebih realistis dengan percaya bahwa lebih baik bercerai dan memulai kehidupan baru daripada terus melanjutkan pernikahan (Yamashita 1986: 417).Namun sekarang, sebagaimana pendapat Iwao (1993: 20) yang menyatakan bahwa perceraian di Jepang semakin mudah dilakukan karena pertimbangannya lebih bersifat pribadi ketimbang dulu yang melibatkan keluarga besar dalam keputusan bercerai mengakibatkan muncul perkiraan peningkatan pada jumlah perceraian, khususnya Jukunen Rikon.

Faktor eksternal lain yang membuat para istri berani mengajukan cerai adalah semakin terbukanya kesempatan kerja yang banyak bagi perempuan. Seiring dengan perkembangan ekonomi dan penerapan UU Persamaan Derajat dalam pekerjaan di Jepang, kesempatan untuk berkarier bagi para perempuan menjadi lebih luas. Hal ini menyebabkan berkurangnya kekhawatiran akankesulitan keuangan pasca bercerai yang sering dialami para wanita yang


(39)

Kemudian, sistem pembagian harta bersama (財産分与: zaisan bun’yo) selama pernikahan yang mengacu pada lamanya periode pernikahan dapat dijadikan salah satu motif melakukan Jukunen Rikon. Hal mengenai pembagian harta bersama (zaisan bun’yo) diatur dalam Minpou Jilid IV Bab 2 Bagian 4 Pasal 768:

1. Salah satu pihak yang telah bercerai berdasarkan kesepakatan pribadi dapat menuntut pembagian harta bersama kepada mantan pasangannya.

2. Terkait dengan pembagian harta bersama selama menikah yang disebutkan pada ayat (1), jika kedua belah pihak tidak dapat menemukan kata sepakat, maka pihak yang menuntut pembagian dapat mengajukan haknya tersebut di Kateisaibansho sebagai pengganti kesepakatan. Namun, batas pengajuan klaim terhadap harta bersama adalah paling lambat dua tahun dari tanggal perceraian.

3. Untuk kasus yang disebutkan pada ayat sebelumnya, kateisaibansho

memutuskan perkara pembagian harta bersama selama menikah, apakah pembagian harta bersama perlu, berapa jumlah yang diterima masing-masing pihak dan bagaimana metode pembagiannya, dengan bekerja sama dengan kedua belah pihak, serta memperhatikan segala kemungkinan.

Meskipun terdapat peraturan mengenai zaisanbun’yo, di dalam peraturan tersebut tidak tercantum secara jelas berapa besaran minimal dalam pembagian harta bersama yang dapat diperoleh oleh masing-masing pihak sehingga untuk


(40)

perceraian berdasarkan kesepakatan bersama agak sulit untuk mendata secara pasti berapa bagian yang berhak yang diterima oleh masing-masing pihak.

Berikut ini terdapat kasus pembagian harta bersama yang didapat dari pendataan perceraian yang melalui kateisaibansho disebabkan oleh sulitnya melacak kesepakatan pada perceraian berdasarkan kesempatan bersama.

2.6 Pembagian Harta Bersama Ketika Bercerai (Zaisan Bun’yo) Berdasarkan Nominal dan Periode Pernikahan

2.7 Tabel Pembagian Harta Ketika Bercerai (Zaisanbun’yo) Berdasarkan Nominal dan Periode Pernikahan

< 1 juta yen < 2 juta yen < 4 juta yen < 6 juta yen < 6 juta

0 100 200 300 400 500 600 700 800 900

<satu tahun 1-5 tahun 5-10 tahun 10-15 tahun 15-20 tahun 20 tahun lebih

Jumlah Kasus L

a m a

M e n i k a h


(41)

yen

< satu tahun 82 23 4 2 2

1-5 tahun 622 218 160 44 67

5-10 tahun 479 242 263 106 178

10-15 tahun 289 161 159 102 242

15-20 tahun 136 105 137 88 189

20 tahun lebih

174 158 267 220 803

Pada pasangan yang terhitung belum lama menikah, hampir sebagian besar memperoleh bagian harta bersama kurang dari 1 juta yen sementara pada pasangan yang telah lama menikah sekitar 20 tahun lebih dari 6 juta yen. Dari data di atas, dapat dilihat kecenderungan bahwa pasangan yang telah lama menikah memiliki kemungkinan untuk mendapat bagian harta yang lebih besar daripada pasangan yang belum lama menikah.

2.4 Kasus-kasus Jukunen Rikon

Jukunen Rikon terjadi setelah pernikahan berjalan sekurang-kurangnya 20 tahun. Perceraian yang dilakukan setelah anak-anak menikah atau keluar dari rumah akan mengurangi rasa malu pada lingkungan sosial. Apabila perceraian dilakukan pada saat anak-anak belum menikah akan menimbulkan kesan negative pada calon pasangan anak. Meskipun pada masa sekarang perceraian tidak lagi dianggap sebagai hal yang buruk, karena pandangan masyarakat terhadap pernikahan dan perceraian juga telah bergeser. Sedangkan pada beberapa tahun


(42)

lalu, terlebih ketika sistem keluarga tradisional (Ie) masih dipegang erat oleh masyarakat Jepang sebagai dasar dalam kehidupan keluarga, perceraian akan mengakibatkan seorang wanita dikucilkan dalam masyarakat. Sehingga pada masa itu, wanita lebih baik untuk menahan perasaannya meskipun ia ingin bercerai karena tidak berbahagia dengan pernikahannya. Para istri lelah dan tidak bahagia dengan pernikahannya yang ia jalani selama puluhan tahun. Tetapi suami hanya menomorsatukan pekerjaan tanpa sedikit pun memperhatikan kehidupan keluarganya.

Sebagian besar diwawancarai dalam sebuah survey menyatakan bahwa perceraian dapat membebaskan diri mereka dari suami dan keluarga dan mereka memilki lebih banyak waktu luang untuk dirinya sendiri (dalam

Dari pernyataan di atas ada beberapa kasus perceraian usia tua di Jepang yang terjadi kurun waktu 2000-2007 melalui beberapa studi kasus. Tujuannya untuk menjelaskan hal-hal yang mempengaruhi perceraian usia tua dari kasus-kasus yang ada.

2.4.1 Kasus Yuji Tanaka

Kasus Yuji Tanaka penyebab perceraian kehidupan rumah tangganya adalah karena istri yang mengaku telah berselingkuh selama Yuji bekerja di luar kota. Hal itu membuat Yuji merasa sangat depresi selama satu tahun sebelum akhirnya dia bercerai kepada istrinya yang tidak setia tersebut. Dimana sang suami diharapkan sebisa mungkin memperhatikan keluarganya dan sang istri juga diharapkan untuk


(43)

merasa bebas melakukan apapun yang terbaik untuknya, seperti melakukan pekerjaan lain dan bersosialisasi dengan teman kerjanya. Hal ini menerangkan bahwa wanita berhak untuk mendapatkan hak bebas mengkontruksi diri sendiri seperti yang dimiliki laki-laki dan bebas mendefenisikan dirinya sendiri.

2.4.2 Kasus Yamada

Pada kasus Yamada alasan perceraian mereka adalah karena suami Yamada yang telah sering berselingkuh. Walau Yamada telah mengetahui hal tersebut, Yamada bersabar dengan ketidaksetiaan sang suami demi anak-anaknya. Setelah anak-anaknya dewasa dan meninggalkan rumah, lalu akhirnya Yamada mengajukan perceraian terhadap suaminya. Sang suami sibuk bekerja mendedikasi diri sepenuhnya pada pekerjaannya dan sang istri juga sepenuhnya mengurus rumah tangga mereka. Dan adanya keluar undang-undang perceraian Yamada merasa ini saatnya mengajukan perceraian.

2.4.3 Kasus Junko Yasukawa

Pada kasus Junko Yasukawa, dia merasa suaminya jauh darinya karena suaminya sering berselingkuh sehingga Junko selalu mengacuhkan perselingkuhan suaminya tersebut karena dia ingin tetap mempertahankan keutuhan keluarganya. Hingga pada akhirnya dia merasa tidak dapat hidup bahagia sebagai bayangan sang suami lalu dia memutuskan untuk bercerai. Dimana suami dan istri masing-masing ditarik dalam pekerjaan dan kepentingan mereka sendiri.


(44)

Pada kasus Yoshiko Yamauchi, alasan Yoshiko mengajukan perceraian karena dia merasa sangat khawatir dan tidak tenang terhadap suaminya yang mungkin akan banyak mengaturnya setelah pensiun. Karena kekhawatiran tersebut Yoshiko menjadi sangat stress dan akhirnya suaminya menyetujui untuk bercerai dengan Yoshiko. Dikarenakan istrinya mendedikasikan diri sepenuhnya untuk tugas-tugas rumah tangga dan sang suami pada pekerjaannya mencari uang. Yoshiko merasa sang suaminya akan terlalu ikut campur dan mengaturnya setelah pensiun. Rasa takut akan suami yang akan mengaturnya setelah pensiun.

2.4.5 Kasus Tomoko

Pada kasus Tomoko, dia merasa bahwa selama ini pernikahannya tidak bahagia.Karena selama ini mereka selalu sibuk dengan pekerjaan dan kewajibannya masing-masing.Oleh kurangnya komunikasi tersebut mereka menjadi sering bertengkar. Hal tersebut membuat Tomoko menjadi stress terhadap sikap suaminya yang tidak pernah berubah sejak mereka menikah. Hal ini ayah dan ibu secara antusias ditarik dalam pekerjaan dan kepentingan mereka sendiri. Pasangan suami istri ini saling mendedikasikan dirinya kepada pekerjaan dan kewajibannya masing-masing.Tomoko percaya bahwa setiap perempuan berhak untuk mendapat kesamaan hak secara hukum dan sosial dengan laki-laki.


(45)

Pada kasus Keiko Imaizumi, dia merasa tidak bahagia untuk waktu yang sangat lama. Selama bertahun-tahun ia memutuskan untuk hanya istri yang baik, tapi ia tidak pernah bahagia. Akhirnya ketika ia memberitahu anak-anak bahwa ia ingin bercerai, ketiga anak mengatakan mereka mendukung. Bahkan mereka berkata bahwa ia seharusnya bebas untuk menikmati kehidupannya sendiri.

BAB III


(46)

3.1 Usaha Penyelesaian Keluarga 3.1.1 Defenisi Keluarga

Keluarga adalah sebuah lembaga sosial yang berkembang dimasyarakat.Keluarga memiliki sebutan yang berbeda untuk setiap budaya.Tetapi, semua kehidupan dimulai dari keluarga.

Di dalam bahasa Jepang, keluarga disebut dengan kazoku.Namun, adakalanya disebut dengan Ie, tergantung dari kondisi dan kebutuhan.Kazoku

marupakan unut kecil yang merupakan bagian dalam masyarakat. Situmorang (2006: 22) mengatakan :

“Dalam konsep umum yang dimaksud dengan kazoku adalah hubungan persaudaraan yang didasarkan pada struktur masyarakat tersebut dan struktur keluarga berbeda dengan pada masing-masing budaya.”

Sedangkan yang dimaksud dengan Ie adalah sebuah konsep keluarga tradisional keluarga. Konsep ini merupakan warisan dari gaya hidup Samurai dan telah diakui dalam kode hukum sipil Meiji. Secara ringkas, Ie dapat diartikan sebagai sebuah keluarga luas yang mengikuti garis keturunan ayah.

Sistem Ie pertama kali muncul pada masa pemerintahan Tokugawa, yaitu pada saat kaum militer (bushi) berkuasa di Jepang antara tahun 1603-1867.Perkembangan Ie dari keluarga Samurai ke seluruh lapisan masyarakat pada saat itu dan disahkan dalam Meiji Mimpo (Undang-Undang Hukum Perdata Meiji) pada pasal 31 (Henry Harahap 2005: 17).Bahkan konsep Ie dijadikan pola dasar sistem negara pada pemerintahan Meiji.


(47)

“Kata Ie seperti yang sudah kita ketahui, menujuk pada sebuah konsep yang memiliki pengertian yang lebih daripada sebuah “keluarga” sebagai keluarga yang terdiri dari individu-individu yang hidup pada saat ini. Dala kata Ie mengandung rumah fisik dan harta benda milki keluarga, sumber-sumber yang menjadi penerus usaha keluarga, kuburan tempat para leluhur dimakamkan sebagai suatu kesatuan yang mengikat masa lalu dan masa sekarang serta menempati tempat tertentu dalam sistem kelas pendesaan kelas di pendesaan dan perkotaan.”

Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Ie tidak hanya merupakan hubungan keluarga antara anggota yang masih hidup saja.Ie juga mengikat anggotanya dengan benda-benda pendukung keberlangsungan sebuah Ie. Bahkan Ie mengatur hubungan anggotanya dengan nenek moyang dan leluhur yang telah tiada, dalam Ie diajarkan cara untuk menghormati leluhur dan menjaga peninggalan-peninggalan keluarga. Anggota Ie juga harus menjaga harkat dan martabat Ie-nya sehingga harus selalu memperhatikan dengan baik setiap hal yang ia perbuat. Dengan demikian ikatan di dalam Ie sangat erat dan tidak mudah runtuh.

Kazoku dan Ie dapat dibedakan dari jumlah anggotanya.Kazoku hanya terdiri dari satu generasi saja, yaitu orangtua dan anak.Sedangkan Ie terdiri dari minimal dua generasi yang bertempat tinggal dalam satu rumah.Dapat dikatakan bahwa Ie

terdiri dari 2 kazoku atau lebih yang tinggal bersama-sama.Namun orang-orang yang ada di dalam Ie, tidak harus memiliki ikatan darah atau keluarga.Orang-orang yang berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan ekonomi keluarga Ie juga bisa menjadi anggota keluarga Ie.Hal ini karena keluarga Ie merupakan kelompok untuk menjalankan kehidupan, maka orang yang tidak memiliki hubungan darah dengan keluarga Ie-nya dimungkinkan menjadi anggota keluarga.Sebaliknya orang


(48)

yang dilahirkan di dalam keluarga, tetapi karena berbagai penyebab dapat menjadi orang luar (Ariga dalam Situmorang 2006: 26).

Kacho memiliki dua kekuasaan, yaitu kekuasaan yang disebut dengan

kachoken (kekuasaan sebagai seorang kacho) dan fuken (kekuasaan sebagai ayah).Kacho mempunyai wewenang untuk memimpin hubungan kekerabatan di dalam Ie dan mengatur keluarganya.

3.1.2 Peran Anggota Keluarga

Setiap anggota keluarga baik kazoku maupun Ie memilki status dan peran yang berbeda-beda sesuai dengan kedudukannya dalam keluarga.

Dalam keluarga tradisional Jepang (Ie) yang memegang peranan penting adalah kacho (kepala keluarga).Karena struktur yang digunakan pada sistem keluarga tradisional Jepang atau Ie adalah patrilineal yaitu berdasarkan garis keturunan laki-laki.Maka yang dapat menjadi kacho adalah ayah atau suami, atau menantu laki-laki yang diangkat menjadi anak dari sebuah Ie yang memilki anak sulung perempuan.Dengan demikian dapat dilihat bahwa pria Jepang dalam Ie

memiliki kedudukan yang jauh lebih tinggi dari wanita.

Kedudukan pria yang tinggi dalam sistem Ie dapat dilihat dari kutipan berikut:

“Ini merupakan prinsip dasar dari keluarga Jepang bahwa laki-laki tertua (anak perempuan bila tidak memiliki anak laki-laki) membawa istri (suaminya) masuk ke dalam keluarganya dan pasangan muda tersebut hidup bersama orangtua serta kakek dan neneknya.Hubungan horizontal


(49)

karena perkawinan tetapi merupakan hubungan orangtua dengan anak.Sifat keluarga yang mengambil garis keturunan dari pihak laki-laki menjadi unit dasar masyarakat Jepang (Shinozuka dalam Harahap 2005: 18).

Kacho memiliki dua kekuasaan yaitu kekuasaan yang disebut dengan

kachoken (kekuasaan sebagai kacho) dan fuken (kekuasaan sebagai ayah).Kacho

mempunyai wewenang untuk memimpin hubungan kekerabatan di dalam Ie dan mengatur keluarganya.Kacho memiliki kekuasaan tertinggi untuk memutuskan semua hal yang berkaitan dengan milik keluarga.Kacho merupakan orang yang terpenting dalam hal upacara keagamaan dan adat keluarga yang harus dilaksanakan untuk menghormati leluhurnya.Kacho juga harus membagi pekerjaan pada seluruh anggota Ie dan mengawasi semua usaha anggotanya sekaligus bertanggung jawab pada semua bawahannya.Kacho sebagai seorang ayah atau kepala keluarga memiliki peran sebagai pelindung dan pemimpin bagi keluarganya. Seorang wanita dalam keluarga memiliki status tinggi atau rendah dari posisi di mana ia berada. Seorang istri belum mendapatkan wewenang apapun di dalam keluarga selama masih menjadi yome (menantu perempuan).Ia harus menempatkan diri sebagai yome dan tunduk kepada kacho maupun shutome (istri

kacho atau ibu mertua). Sebagai seorang menantu perempuan, ia diharuskan untuk menghormati dan melayani mertuanya lebih baik melebihi orangtuanya sendiri. Ia harus bangun paling awal dan tidur paling akhir dalam keluarga. Keberadaan seorang menantu peremupuan baru diakui dalam keluarga apabila ia berhasil dengan baik melayani mertuanya atau setelah ia bisa memberikan keturunan untuk keluarga suaminya. Apabila ia dianggap gagal oleh kacho mapun shutome, ia bisa saja diceraikan oleh mertuanya tersebut tanpa seizin suaminya sendiri.


(50)

Bila posisi seorang wanita sebagai kacho, ia akan memiliki status tinggi dan hampir setara dengan kacho. Sebagai istri kacho, biasanya ia dijadikan teman berunding kacho untuk memutuskan hal-hal yang penting dalam keluarga. Bila anak laki-lakinya telah menikah, maka ia akan menjadi shutome bagi istri anak laki-lakinya. Dengan demikian ia mendapat tugas tambahan untuk mendidik dan membimbing yome. Ketika suaminya pensiun, maka ia harus menyerahkan kekuasaannya sebagai seorang istri kacho kepada menantu perempuannya.

Anak-anak dalam Ie telah ditanamkan status dan peranan dalam keluarga sejak kecil. Seorang chonan (anak laki-laki tertua) akan mendapatkan tugas untuk menjaga, merawat, dan melanjutkan kelangsungan hidup keluarga. Sejak kecil

chonan sudah mendapatkan perlakuan istimewa dari orangtuanya.Ia akan mendapatkan pendidikan yang lebih baik dari saudara-saudaranya yang lain, sedangkan saudara-saudaranya harus menghormatinya dan membantunya bila ia mendapatkan kesulitan. Hal ini dibiasakan karena chonan yang akan menjadi penerus nama keluarga dan menggantikan kedudukan kepala keluarga untuk meneruskan kepala keluarga.

Jinan (anak laki-laki kedua), sannan (anak laki-laki ketiga), dan selanjutnya setelah menikah biasanya keluar dari Ie-nya.Mereka diizinkan untuk membuat keluarga baru dan tinggal terpisah dari keluarga asalnya.Bila mereka mengalami kegagalan, maka diperbolehkan kembali kekeluarga asalnya. Bagi anak perempuan yang bukan anak sulung, ia akan menikah dan masuk kedalam Ie

keluarga suaminya. Bila ia kembali kekeluarga asalnya karena diceraikan, maka ia akan menjadi aib keluarganya.


(51)

Pada keluarga batih atau keluarga modern, ayah atau suami juga menjadi kepala keluarga.Suami bertugas mencari nafkah untuk keluarganya dan melindungi keluarganya.Namun karena kesibukan yang tinggi pada pekerjaan, biasanya ayah atau suami tidak mempunyai waktu untuk memperhatikan kehidupan rumah tangganya. Segala sesuatu yang berhubungan dengan urusan dan anak-anak, ia serahkan kepada istri.

Seorang istri dalam keluarga batih memiliki kedudukan yang sedikit lebih baik.Hal ini karena telah terjadi perubahan keluarga keluarga dan perubahan peran anggota keluarga.Seorang suami dari keluarga batih cenderung hidup terpisah dari orangtuanya.Setelah menikah, biasanya mereka tinggal di tempat yang baru, sehingga para istri tidak perlu hidup di bawah bimbingan shutome.Hal ini membuat istri memiliki status sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap perekonomian rumah tangga dan mengatur segala macam pengeluaran yang dibutuhkan keluarga termasuk uang saku suaminya.

Pada kehidupan pernikahan, perempuan masa kini menginginkan hubungan yang harmonis, saling pengertia dan saling mncintai.Akan tetapi hubungan seperti ini hanya terjadi beberapa saat setelah pernikahan mereka. Hubungan tersebut setelah beberapa tahun kehidupan pernikahan akan mengalami perubahan, yaitu mereka akan memiliki kehidupan sosial yang jauh berbeda. Hal ini terjadi karena suami di Jepang mengabdikan seluruh hidupnya pada perusahaan tempat ia bekerja. Setiap pagi berangkat pagi-pagi sekali dan baru pulang larut malam dari kantor. Bahkan biasanya setelah bekerja ia harus menjamu rekan bisnisnya atau tamu kantornya di bar atau restoran. Selain itu, pada hari libur ia juga akan bertemu rekan bisnisnya di lapangan golf dan membicarakan masalah pekerjaan. Sehingga


(52)

sedikit sekali waktu yang dapat ia dedikasikan untuk keluarganya terutama untuk istri dan anaknya. Sehingga lama kelamaan sosok suami dan ayah menjadi kurang penting dalan kehidupan keluarganya.

Pria Jepang beranggapan bahwa ia telah memenuhi kewajiban sebagai kepala keluarga setelah ia memberikan gajinya kepada istrinya sedangkan bagi mereka seorang istrilah yang memiliki tanggung jawab untuk mengurus anak-anak dan keperluan rumah tangga. Suami Jepang menginginkan agar istrinya mengurusi semua kebutuhan keluarga, sehingga ia dapat berkonsentrasi pada pekerjaannya.

Pada keluarga batih, anak laki-laki pertama tidak lagi berkewajiban untuk melanjutkan kelangsungan kehidupan keluarga atau mewarisi harta keluarga.Sehingga setelah menikah, setiap anak berhak tinggal terpisah dari orangtuanya.

3.1.3 Waktu Yang Dihabiskan Bersama Keluarga

Berdasarkan data yang ada, rata-rata waktu yang dihabiskan bersama keluarga oleh pria Jepang yang hidup sendiri adalah sebesar 45 menit sedangkan untuk perempuan 52 menit dalam sehari (Fujimori 2010: 158). Namun data tersebut merupakan rerata gabungan dari para usia tua yang mempunyai anak dan tidak mempunyai anak. Apabila melihat data yang mempunyai anak dan tinggal di lokasi yang sama, maka waktu yang dihabiskan bersama keluarga menjadi lebih panjang, untuk pria yang hidup sendiri rata-rata 1 jam 54 menit, sedangkan untuk wanita yang hidup sendiri rata-rata 2 jam 38 menit dalam sehari. Sebaliknya, untuk yang tidak mempunyai anak, rata-rata waktu yang dihabiskan bersama keluarga


(53)

oleh pria yang hidup sendiri adalah 10 menit, sedangkan untuk wanita yang hidup sendiri sebesar 8 menit.

Namun yang perlu diperhatikan adalah dua mengenai rata-rata waktu yang dihabiskan bersama keluarga tersebut dimasukkan rata-rata waktu yang hidup sendiri dan tidak melakukan interaksi sama sekali dengan anggota keluarga. Apabila dikeluarkan data yang tidak berinteraksi sama sekali dengan keluarga, maka rata-rata waktu yang dihabiskan bersama keluarga oleh pria yang hidup sendiri 4 jam 34 menit, sedangkan untuk wanita 4 jam 57 menit. Sehingga dapat diketahui rata-rata waktu yang dihabiskan bersama keluarga menjadi lebih panjang. Namun disatu sisi dari data tersebut dapat terungkap bahwa jumlah yang hidup sendiri dan tidak berinteraksi sama sekali dengan keluarga sangat besar. Dari penelitian yang dilakukan terhadap 80.000 yang hidup sendiri dapat diketahui bahwa persentase keseluruhan (baik yang mempunyai anak maupun tidak) jumlah pria yang hidup sendiri dan tidak melakukan interaksi sama sekali dengan keluarga 84% dan untuk perempuan yang hidup sendiri 82,7%. Kemudian jika melihat data yang tidak mempunyai anak persentase jumlah pria yang hidup sendiri dan tidak melakukan interaksi sama sekali dengan keluarga menjadi semakin besar, untuk pria yang hidup sendiri 95,7%, sedangkan untuk wanita sebesar 96,8% (Fujumori 2010: 159).

Dari data yang sama, dapat diketahui pula bahwa walaupun mempunya anak, namun persentase jumlah yang tidak berinteraksi sama sekali dengan keluarga tidak menurun tajam. Misalnya untuk yang mempunyai dilokasi yang sama, persentase jumlah laki-laki yang hidup sendiri dan tidak melakukan interaksi sama sekali dengan keluarga 57,9% dan untuk perempuan 50,7% (Fujimori 2010: 160).


(54)

Bahkan untuk yang hidup sendiri dan mempunyai anak yang sebagai tetangga. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa banyak laki-laki dan perempuan yang hidup sendiri di Jepang walaupun mempunyai anak yang tinggal dengan mereka, namun tidak melakukan interaksi sama sekali dengan anak mereka. Berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri Jepang yang melakukan survey dalam kurun waktu dari tahun 1985 sampai dengan tahun 2007, mengenai “pergi untuk mengunjungi rumah”, dapat diketahui bahwa jumlah orang yang pergi untuk mengunjungi rumah menurun yakni 66,1% pada tahun 1985 menjadi 57,9% pada tahun 2007. Sebaliknya, orang yang menjawab “kalau ada permasalahan, akan berdiskusi dengan keluarga” meningkat dari 41,8% pada tahun 1985 menjadi 52% pada tahun 2007. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa orang Jepang mempunyai kecenderungan akan berdiskusi dengan anggota kelaurga apabila mereka mempuyai permasalahan, apabila mereka tidak mempunyai permasalahan maka mereka akan menjalani kehidupan sehari-hari tanpa perlu berhubungan dengan anggota keluarga.

Dari data ini dapat diketahui bahwa terjadi perubahan dalam struktur keluarga Jepang, yakni dari keluarga besar menjadi keluarga yang lebih kecil.Sebelumnya banyak orang Jepang menghabiskan hidupnya untuk tinggal bersama dengan keluarga besar. Pada tahun 1986 menurut data Kementrian Kesehatan dan Kesejahteraan, keluarga Jepang yang terdiri dari tiga generasi dimana anggota keluarganya terdapat usia tua berumur 65 tahun ke atas sebesar 44,8%, namun pada tahun 2009 jumlah tersebut menurun drastis menjadi 18,5% (Fujimori 2010: 52). Tinggal bersama dengan keluarga, secara struktural


(55)

keluarga. Dengan semakin meningkatnya perubahan keluarga di Jepang menjadi keluarga kecil, maka akan semakin mempersulit perawatan dan pelayanan kepada para usia tua dari pihak anggota keluarga. Anggota keluarga terutama anak seharusnya merupakan orang yang berada di garda terdepan untuk mengurus dan bertanggung jawab terhadap orangtua yang semakin renta, namun bia melihat kecenderungan dalam keluarga di Jepang dimana anak tidak tinggal lagi bersama dengan orangtuanya ketika mereka sudah dewasa, maka kecenderungan para usia tua yang hidup sendiri di Jepang akan terus meningkat di tahun-tahun mendatang.

3.1.4 Dampak Jukunen Rikon Pada Keluarga

Jukunen Rikon menyebabkan banyak pria hidup sendiri pada masa tuanya karena ditinggalkan oleh istri.Namun ada juga yang menikah lagi dengan wanita yang lebih muda.

Para wanita memulai kehidupan baru dengan bantuan keuangan dari pensiun suaminya yang terlebih dahulu.Para wanita ini merasa bahagia telah terlepas dari suaminya.Setelah bercerai, para wanita tersebut memiliki banyak waktu untuk dirinya sendiri. Mereka bisa melakukan hal-hal yang tidak pernah memperhatikan mereka terganggu dengan keberadaan suami yang tidak pernah memperhatikan mereka sama sekali.

Anak-anak yang pada umumnya telah menikah dan memiliki keluarga sendiri tidak merasa terganggu dengan perceraian orangtuanya.


(56)

3.2.1 Usaha Yang Dilakukan Pemerintah

Berdasarkan Piagam Penanggulangan Masyarakat Menua (Keputusan Kabinet tanggal 7 september 2012) yang ditetapkan berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-undang dasar Penanggulangan Masyarakat Menua (UU no 129 tahun 1995): untuk mecegah orangtua yang terisolasi di dalam masyarakat atau dengan kata lain terhadap orang-orang yang membutuhkan bantuan atau dukungan secara sosial, maka pemerintah perlu meningkat upaya agar orang-orang tersebut tidak kehilangan hubungan dengan masyrakat. Pemerintah melakukan upaya untuk membantu yang hidup sendiri diantaranya adalah meningkatkan layanan perawatan (kaigo saabisu:介護サービス) yang terdiri dari 3 layanan:

1. Layanan yang dilakukan di sebuah bangunan (kyotaku saabisu:居宅

サービス)

2. Layanan fasilitas (shisetsu saabisu:施設サービス) 3. Layanan berbasis masyarakat

(chi-iki micchakugata saabisu:地域密着型サービス)

Selain itu terjadi juga layanan yang terkait dengan tempat tinggal (kyoju _

Kyotaku saabisu atau disebut juga dengan zaitaku saabisu (在宅サービス) merupakan layanan yang dilakukan di rumah atau fasilitas dan terdiri dari 12 jenis

kei saabisu:居住系サービス).Kaigo saabisu ini merupakan layanan yang diberikan pemerintah Jepang tidak terbatas hanya terhadap pria dan wanita yang hidup sendiri, namun juga terhadap warga lainnya yang sakit parah atau mempunyai cacat dianggota tubuhnya.


(57)

1. Ho _

a. Perawatan Fisik yakni perawatan yang berhubungan dengan fisik pasien seperti memandikan, menggantikan pakaian, mengganti popok, membantu ke toilet, dan menyuapi.

mon kaigo (訪問介護)atau layanan kunjungan merupakan layanan berupa perawatan kunjungan terdiri dari dua jenis:

b. Dukungan hidup berupa pekerjaan rumah tangga seperti mencuci, memasak, membersihkan rumah, belanja untuk keperluan rumah maupun konsultasi tentang kehidupan.

2. Ho _

mon ny _

3. H

uyoku kaigo (訪問入浴介護) atau layanan perawatan mandi melalui kunjungan merupakan kunjungan ke rumah para pasien yang terbaring sakit dengan mobil patrol yang dilengkapi dengan bak mandi portabel. Setelah pasien diperiksa suhu tubuh dan tekanan darahnya, para perawat akan memandikan, menyeka dan menyampo.

o _

4. H

mon kango (訪 問 看 護) merupakan layanan medis melalui kunjungan yaitu para pasien akan mendapat kunjungan dari staf medis dan akan menerima bantuan dan perawatan medis berdasarkan petunjuk dari seorang dokter.

o _

mon rihabiriteeshon (訪 問 リ ハ ビ リ テ ー シ ョ ン) merupakan layanan rehabilitas kunjungan yaitu para pasien akan mendapat kunjungan dari para ahli terapis dan menerima layanan terapi fisik atau terapi bicara tanpa harus pergi ke tempat layanan terapis di luar rumah.


(1)

Sejalan dengan hal tersebut pemerintah juga memikirkan tentang kesejahteraan masyarakat usia lanjut dan menaikkan batas usia pensiun dari 60 tahun pada tahun 2001 menjadi 65 tahun pada tahun 2026 yang akan dating.

Harapan hidup yang tinggi pada wanita membuat para istri cenderung lebih memikirkan kualitas dari pernikahan yang telah ia jalani selama ini bersama suaminya. Kemudian kenyataan yang mereka temukan adalah ketidakbahagiaan selama pernikahan, karena suami tidak pernah memberikan perhatian kepadanya sebagai mitra dalam pernikahan mereka.

Bagi suami, istri hanyalah seorang yang dinikahi untuk member keturunan dan mengurus rumah tangga.Sedangkan bagi istri, kehidupan rumah tangga yang diinginkan adalah berbagi tugas dan suami untuk mempertahankan kehidupan pernikahan.Namun, demi anak-anak dan pekerjaan suami, para istri menahan dirinya untuk meminta cerai. Maka ketika anak-anak telah dewasa dan memiliki keluarga sendiri dan suami pensiun, istri baru mengajukan cerai dari suami yang telah ia nikahi selama lebih dari 20 tahun.

Beberapa peneliti percaya bahwa fenomena baru ia muncul hanya karena harapan hidup yang tinggi. Mereka berpendapat bahwa dalam generasi sebelumnya harapan hidup relative pendek, yang berarti bahwa perceraian perak bisa jarang terjadi. Namun, penelitian lain juga mengindikasikan dengan kuat bahwa sikap masyarakat terhadap pernikahan telah berubah secara signifikan dan ini merupakan salah satu faktor utama di balik para masyarakat usia tua.


(2)

50 BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dari uraian-uraian yang telah dipaparkan di atas maka kita dapat mengambil beberapa kesimpulan yaitu :

1. Jukunen Rikon yaitu perceraian di Jepang yang terjadi pada pasangan yang telah 20 tahun lebih menjalani masa pernikahan.

2. Di Jepang, proses perceraian dapat dilakukan dengan mudah yaitu dengan mengisi formulir perceraian yang dapat diperoleh di kantor catatan sipil dan ditanda tangani oleh suami dan istri.

3. Faktor-faktor penyebab terjadinya Jukunen Rikon dapat dibagi menjadi dua yaitu:

a. Faktor Internal utamanya berasal dari sudut pandang sang istri. Di mana pada umumnya sang istri yang menceraikan suaminya. Perceraian ini terjadi karena kurangnya komunikasi dengan pasangan, ketidaksetiaan pasangan dan kemandirian seorang perempuan dalam hal keuangan.

b. Faktor-faktor Eksternal disebabkan oleh 4 hal yaitu: 1.Tingginya angka harapan hidup.

2. Berubahnya pandangan terhadap perceraian. 3.Terbukanya kesempatan kerja bagi perempuan. 4.Hukum pembagian harta bersama ketika bercerai.


(3)

4. Data statistik Jukunen Rikon dapat dilihat berdasarkan dari:

a. Tahun pendataan yaitu pada tahun 1947-2008 perceraian terjadi lebih banyak pada tahun 2002 (45.536 kasus) sedangkan yang lebih sedikitpada tahun 1947 (2.479 kasus).

b. Periode pernikahan yaitu pada tahun 1947-2008 perceraian jumlah kasus yang lebih banyak pada tahun 2002 (20.417 kasus) dan periode pernikahan 20-25 tahun sedangkan perceraian yang lebih sedikit pada tahun1975 (300 kasus) dan periode pernikahan 35-…tahun.

c. Usia suami dan istri yaitujumlah usia yang lebih tinggi 45-49 (suami 4.730 kasus dan istri 5.441 kasus) periode pernikahan 20-25 tahun

d. Jenis pekerjaan yang lebih banyak bercerai adalah pegawai swasta (14.673 kasus) periode pernikahan 20-25 tahun sedangkan yang lebih sedikit adalah petani (125 kasus) periode pernikahan 30-35 tahun.

5. Jukunen Rikonsecara umum memiliki dampak pada keluarga yaitu

menjadi bercerai-berai. Namun, banyak wanita Jepang merasa lebih bahagia dalam hidupannya setelah bercerai.

6. Pada masyarakat luas, Jukunen Rikon memberi dampak positif,para suami menjadi lebih memperhatikan istrinya.


(4)

52 4.2 Saran

1. Skripsi ini mempunyai banyak kekurangan, baik dari segi isi, pemahaman konsep, penulisan dan analisis data. Bagi rekan-rekan yang ingin melanjutkan pembahasan tentang Jukunen Rikon alangkah lebih baik mempersempit ruang lingkup pembahasan agar kekurangan dalam pembahasan semakin berkurang.

2. Untuk menjaga keutuhan dalam pernikahan, maka seharusnya setiap anggota keluarga selalu menjaga keharmonisan dan saling menghormati antar anggota keluarga.

3. Setiap anggota keluarga hendaknya mendukung tugas dari anggota keluarga lainnya. Misalnya, meskipun seoarang ayah atau kepala rumah tangga bertugas untuk mencari nafkah, bukan berarti ia tidak memberikan perhatian kepada istri dan anak-anaknya. Seperti apapun kesibukan kepala rumah tangga dalam mencari nafkah, ia harus memberikan perhatiannya pada anggota keluarga lainnya, terutama pada istrinya yang selalu mendukungnya dalam pekerjaan dan mengurus keluarga.

4. Persamaan hak pria dan wanita seharusnya dapat lebih menghargai iastrinya. Dengan demikian dapat tercipta keharmonisan dalam rumah tangga.

5. Skripsi ini diharapakan berguna untuk pembaca, sehingga pembaca dapat memahami bagaimana kehidupan keluarga dan perceraian di Jepang, serta dapat mencegah diri dari perceraian seperti ini dan dapat menjaga keharmonisan keluarga walapun masih muda.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Benedict, Ruth. 1982. Pedang Samurai Dan Bunga Seruni, Pola-pola Kebudayaan Jepang. Jakarta: Sinar Harapan.

Curtin, J Sean.5 Agustus 2002. Living Longer, Divorcing Later: The Japanese

Silver Divorce Phenomenon. 16 April

Fitrianti, Dessy. 2003. Peran Wanita dalam Sistem Keluarga Ie di Jepang (skripsi). Medan: Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara. Fukute, Tadashi. 1998. Masyarakat Jepang Dewasa Ini. Jakarta: Gramedia.

Ido, Mie. 2007. Jukunen Rikon Shiteiru Baai ka!. Tokyo: Kadogawa Magazine Inc.

Ihromi, T. 1999. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga “Pendekatan Perceraian dari Perspektif Sosiologi”. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Iwasaki, Yasu. 1930. Divorce in Japan. American Journal of Sociology.

Iwao, Sumiko. 1993. Japanese Women: Tradisional Image and Changing Reality. New York: The Free Press

Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Sosial Jepang. 4 September 2009.Vital Statistic 2008. 14 Maret 2012

Koentjaraningrat. 1976. Metode-metode Peneltian masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta.

Koishi, Yuko. 2007. Pension Division at The Time of Divorce: New System in Japan.13 Maret 2012.


(6)

Lebra, Takie Sugiyama. 1984. Japanese Women Constrain and Fulfillment. Honolulu: University of Hawaii Press.

Nakane, Chie. 1981. Masyarakat Jepang. Jakarta: Sinar Harapan.

Nelson, Andew N. 2006. Kamus Kanji Modern Jepang-Indonesia.Jakarta: Kesaint Blanc.

Okamura, Masu. 1983. Peranan Wanita Jepang. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Osedo, Hirosi. 2006. Wives Reitiring From Marriage. The Courier Mail, Japan.

Situmorang, Hamzon. 2006. Ilmu Kejepangan I. Medan: USU Press

Hhtp://www.dijtokyo.org/doc/Js19_Alexy.pdf.

Hhtp://www.sinarharapan.co.id/berita/0702/02/lua5.html.