Latar Belakang Tinjauan Yuridis Terhadap Sengketa Pemeliharaan Anak Di Bawah Umur Sebagai Akibat Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Putusan Mano. 23/Pdt.G/2013/Pa.Bik )

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan selanjutnya disebut UUP No. 1 Tahun 1974, berbunyi bahwa “perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Apabila mereka melangsungkan perkawinan maka timbulah hak dan kewajiban antara suami-istri secara timbal balik, demikian juga akan timbul hak dan kewajiban antara orang tua dan anak secara timbal balik. 1 Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka UUP No. 1 Tahun 1974 mempersulit terjadinya perceraian cerai hidup, karena perceraian berarti gagalnya tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera akibat perbuatan manusia. Lain halnya terjadi putus perkawinan karena kematian yang merupakan takdir dari Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat dielakkan manusia. 2 Dengan lahirnya UUP No. 1 Tahun 1974 pada tanggal 2 Januari 1974 yang mulai berlaku secara efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975 yakni sejak mulai 1 Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, Semarang,Universitas Diponegoro, 2008, hal 6. 2 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung, Mandar Maju, 1990, hal 160. berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 selanjutnya disebut PP No. 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanaannya, maka perceraian tidak dapat bisa lagi dilakukan dengan semaunya seperti banyak terjadi pada masa sebelumnya, melainkan harus dengan prosedur tertentu dan hanya boleh dilakukan kalau ada alasan atau alasan-alasan yang dapat dibenarkan. 3 Menurut Pasal 38 UUP No. 1 Tahun 1974, putusnya perkawinan disebabkan karena 3 tiga hal, yaitu : a. Kematian b. perceraian dan c. atas keputusan pengadilan. 1Terjadinya peristiwa-peristiwa dalam rumah tangga, yaitu perselisihan, pertengkaran atau percekcokkan antara suami istri akan mengakibatkan terjadinya perceraian, jika tidak diselesaikan dengan baik. Adapun alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk mengajukan perceraian, sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 39 ayat 2 UUP No. 1 Tahun 1974, dan diulang lagi dengan bunyi yang sama dalam Pasal 19 PP No. 9 Tahun 1975 adalah 4 : a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya serta sukar disembuhkan; b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 dua tahun berturut- turut, tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal di luar kemampuannya; c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain; e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri; 3 Riduan Syahrani, Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil, Edisi Pertama, Jakarta, Media Sarana Press, 1986, hal 50. 4 Penjelasan Pasal 39 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang 1Perkawinan jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Alasan-alasan perceraian tersebut menurut R.Sardjono, sifatnya limitatif artinya tidak ada alasan lain yang dapat dipergunakan untuk bercerai selain yang disebut Undang-Undang. 5 Pembuat Undang-Undang ternyata tidak memberikan penjelasan apa-apa kecuali disebutkan “cukup jelas” terhadap alasan-alasan itu. Padahal dalam perumusan alasan-alasan perceraian tersebut sifatnya masih terlalu umum, karenanya perlu penafsiran yang sesuai dengan jiwanya, agar kesalahan pengertian dari masyarakat dapat dihindarkan. Sehubungan dengan ini maka peranan yurisprudensi terutama dari Mahkamah Agung sangat besar sekali dalam menginterpretasi dan memberi arti alasan-alasan perceraian tersebut. 6 Adapun alasan-alasan perceraian dalam UUP No. 1 Tahun 1974 tersebut apabila dari segi tujuan perkawinan yaitu : “Untuk membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” 7 . Maka dari uraian diatas dapat dilihat bahwa apabila tujuan perkawinan tersebut tidak mungkin lagi akan tercapai, maka sudah sewajarnya rumah tangga tersebut tidak perlu lagi dipertahankan. 5 R.Sardjono, Masalah Perceraian Menurut Undang-Undang Perkawinan 1974 Nomor 1, Burgerlijk Wetboek Indonesia, Burgerlijk Wetboek Belanda Lama dan Burgerlijk Wetboek Belanda Baru, Jakarta, Academica, 1979, hal 26. 6 Ibid. 7 Pasal 1 UUP No. 1 Tahun 1974. Dengan alasan-alasan tersebut di atas, maka suami atau istri dapat mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Dengan alasan-alasan tersebut di atas, maka suami atau istri dapat mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama setempat, yaitu untuk mengajukan cerai talak atau cerai gugat. 8 Cerai talak adalah diperuntukkan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam sedangkan cerai gugat, adalah diperuntukkan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya selain agama Islam dan bagi seorang istri yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam. Kemudian hakim akan melakukan pemanggilan dan pemeriksaan kepada pihak suami atau istri setelah diterimanya surat gugatan. Hakim akan menawarkan kepada para pihak untuk menghendaki perdamaian atau tidak. Jika tidak menghendaki perdamaian, maka hakim akan memutuskan putusan gugatan perceraian tersebut yang dilakukan dalam sidang terbuka yang dapat dihadiri oleh umum, dihitung sejak saat pendaftaran putusan perceraian itu di Kantor Catatan Sipil. Pentingnya penetapan saat terjadi perceraian adalah untuk menghitung lamanya masa tunggu masa idah. Putusan perkawinan karena perceraian akan menimbulkan akibat hukum terhadap orang tua anak dan harta benda perkawinan. 9 Akibat putusnya perkawinan karena perceraian menurut Pasal 41 UUP No. 1 Tahun 1974 ialah : 8 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1980, hal 38. 9 Ibid, hal 34 -35. a. Baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak- anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya; b. Bapak bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, dan bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut; c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan danmenentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri. Mengenai kedudukan anak, apabila anak sudah dewasa dapat mengikuti ayahnya dan apabila anak belum dewasa mengikuti ibunya. Apabila anak-anak sudah menjadi dewasa, keputusan diserahkan kepada mereka hendak mengikuti ayah atau ibunya. Dalam melakukan pembagian harta benda perkawinan harus memperhatikan kepentingan anak dan kepada siapa akan diserahkan Tentang pemeliharaan, dan pendidikan anak. Mengenai status suami istri yang telah bercerai menjadi duda atau janda, dapat melakukan perkawinan kembali dengan orang lain, dengan memenuhi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh UUP No. 1 Tahun 1974. Undang-Undang Perkawinan dan KHI menentukan perceraian hanya dapat dilaksanakan bila dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah melalui proses dan tahapan tertentu. Hal ini dapat ditemukan pada Bab VII Pasal 39, Pasal 40 dan Pasal 41 UU Perkawinan , 10 Pasal 115 KHI. 11 Diadakannya ketentuan hukum yang berkaitan dengan perceraian tentunya untuk meghilangkan kesan bahwa 10 Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Jakarta, 1997,hal.222 11 Ibid, hal. 331 proses perceraian dapat dilakukan dengan teramat mudah, disamping juga untuk melindungi hak bekas iistri dan hak anak setelah terjadinya perceraian. Dalam mengajukan permohonan atau gugatan perceraian, para pihak dapat sekaligus mengajukan permohonan pembagian harta dan pemeliharaan anak atau dapat pula mengajukan permohonan sendiri-sendiri secara terpisah. 12 Terhadap permohonan ini, Hakim akan membuka sidang untuk memeriksa apakah permohonan tersebut layak dikabulkan atau tidak. Seperti telah tersinggung di atas bahwa perceraian menimbulkan akibat bagi anak yang telah lahir dalam perkawinan tersebut. Akibat perceraian terhadap anak diatur daam Pasal 41 UU Perkawinan, yang menyatakan sebagai berikut : “ Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak- anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak-anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anaak-anak, Pengadilan memberikan keputusan. Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi tanggung jawab pihak bapak, kecuali dalam pelaksanaan pihak bapak tidak dapat melakukan kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. Dan Pengadian dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan danatau menentukan suatu kewajiban bag i bekas istri”. 12 Pasal 66 ayat 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3Tahun 2006 Tentang Perubahan Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Dengan ketentuan Pasal 41 UU Perkawinan tersebut, dapat diambil kesimpulan walaupun orang tua sudah bercerai, mereka masih terikat pada kewajiban untuk memelihara anak-anak yang telah lahir dari perkawinan mereka, dan dari pasal tersebut juga dapat diketahui bahwa ibu ataupun bapak mempunyai hak yang sama terhadap pemeliharaan anak. Dalam hal ini dengan siapapun anak ikut, ayah sebagai bekas suami tetap berkewajiban memberikan nafkah kepada anak untuk biaya hidup dan pendidikannya sampai anak menjadi dewasa atau anak tersebut telah kawin, namun dalam hal bapak tidak dapat melakukan kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu memikul biaya pemeliharaan anak. Bagi orang yang beragama Islam ketentuan tentang pemeliharaan anak dapat dilihat dalam Pasal 105 KHI, yang berbunyi sebagai berikut : a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya ; b. Pemeliharaan anak mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya; c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. Jika dibandingkan antara ketentuan Pasal 41 UUP dengan Pasal 105 KHI, kedua ketentuan tersebut tetap mengatur hak anak pasca terjadinya perceraian, hanya saja dalam KHI ditetapkan batas umur pemeliharaan anak yang merupakan hak ibunya, yaitu sampai si anak berumur 12 dua belas tahun, dan jika telah lewat 12 dua belas tahun sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih apakah ikut ibunya atau ikut bapaknya. Sementara itu dalam Pasal 41 UU Perkawinan tidak ditentukan batas usia anak, namun tetap ditentukan adanya kewajiban orang tua untuk memelihara anak-anaknya. Berdasarkan hal-hal yang diuraikan tersebut diatas, maka penulis mengambil pokok pembahasan dan topik penulisan skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis terhadap Sengketa Pemeliharaan Anak di Bawah Umur Sebagai Akibat Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam Studi Putusan MA No. 23Pdt.G2013PA.Bik

1.2 Rumusan Masalah

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Terhadap Sita Marital Atas Sengketa Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

10 140 156

Status Anak Yang Dilahirkan Dari Perkawinan Wanita Hamil Karena Zina Menurut Kompilasi Hukum Islam Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

1 64 125

Perkawinan Dibawah Umur Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Hukum Adat Serta Kompilasi Hukum Islam

6 131 125

Pembatalan Perkawinan Menurut Undang-Undang NO. 1 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Pada Pengadilan Agama Medan)

3 123 72

Tinjauan Yuridis Pernikahan Siri Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam

3 77 140

Aspek Hukum Sita Marital Terhadap Sengketa Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Kuhperdata) Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

0 63 163

Kajian Yuridis Hak Pemeliharaan Anak Setelah Terjadinya Perceraian Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Studi Kasus Terhadap Putusan Pengadilan No. 101/Pdt.G/2009/Pn/Mdn)

0 38 141

Kedudukan Perjanjian Perkawinan Dan Akibat Hukumnya Ditinjau Dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam

0 35 116

Akibat Hukum Perceraian Terhadap Harta Bersama Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam

0 30 138

Tinjauan Yuridis Terhadap Sengketa Pemeliharaan Anak Di Bawah Umur Sebagai Akibat Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Putusan Mano. 23/Pdt.G/2013/Pa.Bik )

1 55 89