BAB IV TINJAUAN YURIDIS TERHADAP SENGKETA HAK ASUH ANAK
DIBAWAH UMUR AKIBAT PERCERAIAN ORANGTUA PADA PUTUSAN NOMOR 23Pdt.GPA.Bik
4.1 Hak Asuh Anak Dibawah Umur Setelah Perceraian Berdasarkan
Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Perlindungan Anak, dan Kompilasi Hukum Islam
4.1.1 Hak Asuh Anak Dibawah Umur Setelah Perceraian Berdasarkan
Undang-Undang Perkawinan
Disahkannnya UU perkawinan dapat dikatakan melalaui suatu proses dengan kadar sensitivitas tinggi. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa
perkawinan tidak hanya memiliki perikatan keperdataan, tetapi juga sangat lekat dengan dimensi keagamaan.
Pemahaman terhadap perkawinan yang hanya dianggap sebagai peristiwa perdata menurut hukum Belanda, mengalami perubahan
segnifikan dimana sahnya perkawinan harus berdasarkan norma Agama. Setelah perkawinan disahkan secara Agama, maka selanjutnya akan
dicatatkan di dalam register Negara sebagai wujud dari aspek administrative sipil. Oleh karena itu validasi anak yang dihasilkan memiliki keabsahan
dengan berpedoman pada keabsahan perkawinan orang tuanya secara Agama.
Validasi perkawinan akan sangat menentukan validasi perceraian manakala terdapat pihak-pihak yang menghendaki adanya perceraian.
Sedangkan validasi perceraian akan menentukan validasi kekuasaan orang tua terhadap anak pasca perceraian. Di dalam proses perceraian tersebut,
akan ditentukan juga persoalan kekuasaan orang tua terhadap anak. Dengan demikian kekuasaan orang tua terhadap anak pasca perceraian, akan selalu
di dalam satu rangkaian permasalahan perkawinan dan perceraian orang tua.
Kekuasaan orang tua terhadap anak pasca perceraian di dalam UU Perkawinan pada dasarnya mengarah pada tanggug jawab orang tua dalam
bentuk kewajiban guna memenuhi hak-hak anak. Pengutamaan kewajiban oang tua dari pada hak orang tua terhadap anak, di dalam konteks kekuasaan
orang tua terhadap anak, pada akhirnya melahirkan suatu rumusan bahwa kepentingan anak merupakan keutamaan yang harus direalisasikan. Dengan
kata lain, orag tua yang bercerai diwajibkan untuk berbuat sesuatu yang terbaik bagi anak.
Pernyataan yang demikian telah menunjukkan bahwa sebenarnya UU perkawi
nan memiliki paradigma “berikan yang terbaik bagi anak”. Dengan adanya perceraian orang tua tetap bertanggung jawab penuh atas
kepentingan anak hasil perkawinan mereka. Perceraian orang tua tidak memberikan ruang bagi orang tua untuk bertindak yang dapat merugikan
kepentingan anak.
Kendati demikian, secara global sebenarnya UU Perkawinan telah memberikan aturan dalam pemeliharaan anak tersebut yang diikuti dengan
putusnya sebuah perkawinan di dalam Pasal 41 UU Perkawinan. Pasal tersebut menjelaskan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan
mendidik anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum menikah berada dalam kekuasaan
orang tua. Selama tidak dicabut kekuasannya, mereka tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak mereka. Pemeliharaan atau
perwalian terhadap anak-anak mereka sesudah terjadinya perceraian, mereka mempunyai hak yang sama untuk melaksanakan segala kepentingan
pemeliharaan, pendidikan dan pengajaran serta kesejahteraan anak-anak tersebut.
Menurut UU Perkawinan, kewajiban orang tua terhadap anaknya pada dasarnya terbagi atas 2 bagian, yaitu pemeliharaan dan pendidikan.
Kewajiban ini berlaku terus sampai anak tersebut kawin atau dapat berdiri sendiri walaupun perkawinan antara kedua orang tua itu telah putus.
Jadi pokok-pokok batas kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya tidak ditentukan sampai batas umur tertentu, tetapi
dilihat dari keadaan anak tersebut. Apabila anak dianggap telah dapat berdiri sendiri atau telah kawin, maka terlepaslah kewajiban orang tua untuk
memelihara dan mendidiknya walaupun anak berumur 17 tahun, sebaliknya anak yang telah berumur 25 tahun tetapi belum mampu berdiri sendiri maka
orang tua masih berkewajiban memelihara dan mendidiknya.
4.1.2 Hak Asuh Anak Dibawah Umur Setelah Perceraian Berdasarkan
Undang-Undang Perlindungan Anak
Walaupun kata “Hak Asuh“ telah biasa dipergunakan dalam membahas hak orang tua untuk mengasuh anaknya khususnya ketika
pasangan suami istri yang telah memiliki anak melakukan perceraian atau pisah rumah, akan tetapi kata hak asuh tersebut tidak ditemukan dalam UU
Perlindungan Anak. Kosakata yang identik dengan hal tersebut adalah kuasa Asuh sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 11 UU Perlindungan
Anak yang mengatakan bahwa “Kuasa Asuh adalah kkuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan
menumbuh kembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya.”
Apabila kata “Kuasa Asuh” tersebut berdiri sendiri maka kata tersebut dapat diartikan sebagai suatu kewenangan untuk mengasuh. Pemahaman
demikian dapat memeberikan kesan bahwa orang tua di satu pihak memiliki kewenangan terhadap anak di pihak lain.
Di dalam UU Perlindungan Anak pada dasarnya murni mengatur tentang mengatur perlndungan terhadap anak, tanpa melihat latar belakang
kondisi orang tua yang bercerai atau tidak bercerai. Undang-Undang ini juga tidak mempermasalahkan apakah anak memiliki kejelasan oang tua atau
tidak. Makna lain yang terlihat adalah, adanya ketegasan UU Perlindungan Anak dalam memberikan perlindungan terhadap anak. Maka tanggung
jawab pelibatan kewajiban bersama antara orang tua, masyarakat dan Negara demi yang terbaik bagi anak.
4.1.3 Hak Asuh Anak Dibawah Umur setelah perceraian Berdasarkan
Kompilasi Hukum Islam
Di dalam tinjauan fikih, pemeliharaan anak disebut juga dengan hadhanah yang megandung makna merawat dan mendidik anak yang belum
mumayyiz Vide Pasal 1 huruf f Kompilasi Hukum Islam. Substansi dari merawat dan mendidik tersebut adalah karena si anak tidak atau belum
dapat memenuhi keperluan sendiri. Pengasuhan atau pemeiharaan anak pada dasarnya menjadi tanggung
jawab kedua orang tuanya. Pemeliharaan dalam hal ini meliputi berbagai hal, yaitu dalam masalah ekonomi, pendidikan, dan segala sesuatu yang
menjadi kebutuhan pokok anak. Dalam konsep Islam, tanggung jawab ekonomi berada di pundak suami sebagai kepala rumah tangga Vide Pasal
105c KHI. Meskipun dalam hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa istri dapat membantu suami dalam menanggung kewajiaban ekonomi tersbut.
Karena yang terpenting adalah adanya kerjasama dan tolong-menolong antara suami dan istri dalam memelihara anak dan mengantarkan hingga
anak tersebut dewasa. Pasal-Pasal KHI tentang hadhanah tersebut menegaskan bahwa
kewajiban pengasuhan materil merupakan 2 hal yang tidak dapat dipisahkan. Lebih dari itu KHI juga menentukan tugas-tugas yang harus
diemban kedua orang tua kendatipun mereka berpisah. Anak yang belum mumayyiz tetap di asuh oleh ibunya sedangkan pembiayaan tanggung jawab
ayahnya. KHI secara rinci mengatur tentang kekuasaan orang tua terhadap anak
dengan mempergunakan istilah “pemeliharaan anak”, yang terdapat di
dalam pasal 98 sampai dengan Pasal 112, dimana di dalam Pasal 107 sampai dengan Pasal 112 khusus mengatur tentang perwalian.
Pasal 98 :
“Batas usia anak yang mampu bediri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau
belum pernah mlangsungkan perkawinan. Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar
Pengadilan.”
Pasal 105 :
Dalam hal terjadi perceraian : a.
Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak
untuk memilih antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;
c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Pasal 106 :
“Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau di bawah pengampuan, dan tidak di
perbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan keselamatan anak itu
menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi.”
Pasal 107 :
“Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Perwalian
meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaannya. Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya,
maka pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk
bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut.”
KHI mengatur tentang kekuasaan orang tua untuk terhadap anak yang belum mumayyiz dengan kriteria 12 tahun. Berdasarkan criteria ini,
maka anak yang belum memasuki usia 12 tahun akan berada di dalam kekuasaan ibunya. Setelah melewati usia 12 tahun, anak di perbolehkan
menentukan pilihan sendiri, apakah akan tetap ikut ibu atau ikut ayah. Namun demikian aturan ini ternyata bukan aturan mutlak. Artinya,
meskipun usia anak belum mencapai 12 tahun, tetapi situasi dan kondisi membuktikan bahwa anak ternyata lebih mendapat jaminan perkembangan
dan pemeliharaan dari ayah, maka kekuasaan orag tua akan berada pada ayah.
Sebenarnya KHI tidak berbeda dengan UU Perkawinan. Dimana kekuasaan orang tua terhadap anak pasca perceraian menurut kedua UU ini
adalah sejalan di mana secara umum tanggung jawab orang tua terhadap anak tetap melekat meskipun telah bercerai. Anak tetap memiliki hak dan
kewajiban terhadap orang tua, dan orang tua tetap memiliki hak dan keajiban terhadap anak. Oleh karena itu perlakuan terhadap anak adalah
berdasarkan prinsip memberikan yang terbaik bagi anak.
Demikain juga dengan pemaknaan perlindugan anak sebagaimana diatur di dalam UU Perlindugan Anak, juga sejalan dengan kedua UU
diatas, yaitu memberikan yang terbaik bagi anak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemaknaan kekuasaan orang tua terhadap anak pasca
perceraian di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kompilasi Hukum Islam, dan UU Perlindungan Anak adalah memiliki tingkat
harmonisasi yang baik.
4.2 Dasar Pengajuan Perceraian oleh Mantan Isteri Selaku Penggugat