80
BAB IV PERLINDUNGAN ANAK-ANAK KOBAN BENCANA DITINJAU
DARI KONVENSI HAK-HAK ANAK DAN HUKUM NASIONAL
A. Perlindungan Anak-Anak Korban Bencana Menurut Konvensi Hak-Hak Anak
Dalam situasi gawat darurat, secara alamiah usaha bantuan lebih difokuskan pada usaha-usaha penyelamatan dan pemberian bantuan kepada
penduduk.Karena secara umum anak-anak memiliki posisi yang rentan dan fakta bahwa kemungkinan para pengasuh utama mereka hilang atau meninggal, maka
anak-anak sangat beresiko untuk menghadapi bahaya.Karena alasan ini maka penting untuk menjamin bahwa telah dilakukan langkah-langkah untuk
melindungi anak-anak dari bahaya dan kekerasan lebih lanjut serta meminimalisir dampak trauma dan dampak lebih lanjut dari trauma tersebut.
99
Tentu sangat jelas bahwa kebutuhan-kebutuhan dasar anak-anak seperti perumahan, makanan, air, sanitasi dan layanan kesehatan harus dipandang sebagai
sesuatu yang sangat penting dan dalam situasi bencana biasanya diberikan perhatian terhadap hal ini. Tetapi, kebutuhan-kebutuhan ini harus dipenuhi dengan
cara-cara yang sesuai dengan usia dan perkembangan anak seperti pemberian makanan dan tingkat gizi yang layak. Penting untuk menjamin bahwa jika ada
99
Stephanie Delaney, Op. Cit., hal 90.
Universitas Sumatera Utara
keluarga-keluarga yang dikepalai oleh anak-anak pasca terjadinya bencana maka mereka juga harus mendapatkan akses terhadap bantuan situasi gawat darurat.
100
Oleh karena itu, penting untuk melakukan kajian yang hati-hati tentang kebutuhan anak-anak untuk menjamin bahwa kebutuhan-kebutuhan ini dapat
terpenuhi.Tetapi, sebagaimana yang telah diketahui bersama bahwa pasca terjadinya situasi gawat darurat sepertinya tidak mungkin untuk dapat melakukan
hal ini secara sistematis.Oleh sebab itu, untuk dapat memenuhi kebutuhan- kebutuhan dasar yang diperlukan untuk bisa bertahan hidup maka ada beberapa
langkah yang harus dilakukan terkait dengan anak-anak.
101
1.
Non diskriminasi, yaitu bertindak adil dan tidak membeda-bedakan pada
semua anak. Anak-anak yang terjebak dalam keadaan darurat memiliki hak yang sama
dengan anak-anak lainnya. Konvensi tentang Hak-hak Anak terus berlaku sepenuhnya, bahkan selama keadaan darurat.Anak dalam situasi tanggap darurat
menurut Konvensi Hak-hak Anak dikategorikan sebagai kelompok anak yang membutuhkan perlindungan khusus.Perlindungan anak dalam situasi darurat
bertujuan untuk menjamin adanya lingkungan protektif bagi setiap anak yang melindungi mereka dari perlakuan salah, eksploitasi, kekerasan, penelantaran dan
diskriminasi. Berdasarkan Konvensi Hak-hak Anak KHA, penangananan anak korban bencana secara cepat dan tepat perlu memperhatikan 4 prinsip KHA, yaitu:
100
Ibid.
101
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
2.
Kepentingan terbaik anak, yaitu mengupayakan semua keputusan, kegiatan,
dan dukungan dari para pihak yang berpengaruh semata-mata untuk kepentingan terbaik anak.
3.
Mengutamakan anak akan hidup, kelangsungan hidup, dan tumbuh kembang
, yaitu kegiatan disusun untuk meningkatkan perkembangan anak berdasarkan kemampuan dan tugas-tugas perkembangannya.
4.
Menghormati pandangan anak, yaitu memperhatikan dan memasukkan
pandangan anak dalam setiap proses pembahasan dan pengambilan keputusan
setiap kegiatan.
Lebih lanjut berdasarkan pada Konvensi Hak-hak Anak, pelayanan anak dalam situasi darurat bencana mengacu pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
102
1. Semua anak memiliki hak atas keluarga dan keluarga memiliki hak untuk
mengasuh anak-anak mereka. Anak-anak menerima pengasuhan yang terbaik ketika mereka berada dalam lingkungan keluarga dan tetap dalam agama,
budaya, komunitas, dan keluarga mereka. 2.
Menempatkan anak agar berada dalam lingkungan yang mereka kenal. Di antara orang-orang yang mereka kenal membantu mereka merasa aman dan
membantu mereka mempertahankan keluarga, komunitas, budaya, dan identitas agamanya. Mencabut atau memindahkan anak dari lingkungan
sekeliling yang mereka kenal akan meningkatkan kecemasan dan dapat menghalangi pemulihan mereka.
102
Harry Hikmat, “Perlindungan Anak dalam Situasi Bencana”, sebagaimana dimuat dalam http:www.harryhikmat.com201011perlindungan-anak-dalam-situasi-bencana.html,
diakses pada 29 Mei 2014.
Universitas Sumatera Utara
3. Anak-anak memerlukan perhatian, kasih sayang, dan perlindungan. Mereka
khususnya rentan dalam krisis yang ada sekarang sehingga upaya-upaya khusus diperlukan untuk menjamin bahwa mereka menerima perlindungan
dan pengasuhan yang semestinya. 4.
Semua upaya harus dilakukan untuk menjamin bahwa anak-anak tetap berada dengan keluarga dan komunitas mereka. Keterpisahan anak dari keluarga
harus dihindari sejauh mungkin dengan mengupayakan untuk memperkuat pengasuhan anak di dalam keluarga atau dalam keluarga besar atau kerabat.
5. Bantuan-bantuan kemanusiaan dari lembaga nasional maupun internasional
baik dalam bentuk pendanaan, layanan, maupun barang harus disediakan untuk tujuan memperkuat kapasitas keluarga untuk mengasuh anak.
Termasuk pengasuhan bagi anak yang salah satu atau keduanya meninggal karena bencana.
6. Perangkat pemerintah dari tingkat RT sampai dengan KabupatenKota harus
membuat pencatatan tentang perubahan status dan situasi anak yang mencakup keberadaan orang tua mereka, situasi pengasuhan, dengan siapa
anak tinggal, kecacatan, perubahan tempat tinggal, dan sebagainya. 7.
Pengkajian terhadap anak-anak yang terpisah atau tidak terdampingi hendaknya mencakup tujuan penelusuran anggota-anggota keluarga dan
kerabat dalam upaya untuk menyatukan mereka. 8.
Penempatan anak korban bencana di panti asuhan dan institusi lainnya merupakan pilihan tindakan terakhir dan dalam keadaan darurat harus
Universitas Sumatera Utara
dilakukan untuk jangka waktu yang sangat pendek dan secepat mungkin harus direview untuk menemukan pengasuhan berbasis keluarga.
9. Penempatan anak di panti asuhan dalam keadaan darurat harus disupervisi
dan dilaporkan secara teratur kepada Dinas Sosial KabupatenKota setempat. 10.
Perubahan status hukum tetap anak dalam keadaan darurat seperti pengangkatan anak atau pemindahan anak ke propinsi lain atau ke luar negeri
yang untuk tinggal bukan dengan anggota keluarganya tidak diperkenankan sampai keadaan di mana Dinas Sosial berjalan dan berfungsi secara penuh
agar keputusan yang dimuat benar-benar berdasarkan kepentingan terbaik untuk anak.
11. Pendirian panti asuhan baru pada situasi bencana tidak diizinkan kecuali
dengan asesmen terlebih dahulu yang benar-benar menunjukkan adanya kebutuhan untuk mendirikan panti asuhan baru dan diakui oleh pemerintah
setempat bahwa hal tersebut memang dibutuhkan. 12.
Program layanan untuk anak-anak korban bencana harus termasuk pencegahan anak-anak dari tindakan kekerasan dan eksploitasi yang
mengambil keuntungan dari kerentanan mereka baik secara fisik, seksual, maupun ekonomi.
13. Perhatian khusus dalam pendekatan dan intervensi pelayanan dalam keadaan
darurat hendaknya diberikan kepada anak-anak yang mempunyai kebutuhan berbeda. Seperti anak-anak balita, anak-anak perempuan, anak-anak yang
mengalami kecacatan.
Universitas Sumatera Utara
14. Anak-anak hendaknya dilibatkan dalam proses pemulihan dan rekonstruksi
serta dalam proses pengambilan keputusan tentang pengasuhan dan program- program layanan yang akan diberikan kepada mereka dan keluarga mereka
sesuai dengan kematangan mereka. 15.
Pembangunan dan penyediaan tempat-tempat penampungan sementara untuk pengungsi hendaknya dibangun atau dipersiapkan dengan memperhatikan
keamanan dan kenyamanan untuk anak-anak serta dengan tujuan untuk mengembalikan mereka secepatnya ke lingkungan yang berbasis keluarga dan
komunitas sebelumnya dimana mereka tinggal. 16.
Anak-anak hendaknya dikembalikan secara cepat kepada situasi kehidupan biasa bersama orang tua, saudara, kerabat, dan warga komunitas sebelum
bencana untuk mendukung pemulihan mereka. Termasuk kembali ke lingkungan sekolah, pertemanan, dan kegiatan-kegiatan olahraga dan
rekreasi. Secara umum ada lima kluster pengelompokan hak anak yang harus
dipenuhi dalam konteks tanggap darurat bencana mengacu kepada Konvensi Hak Anak yaitu:
103
1. Hak sipil dan kemerdekaan
Ada dua hak dasar anak yang harus diperhatikan terkait dengan hak sipil dan kemerdekaan dalam situasi tanggap darurat bencana yaitu:
103
M. Ulil Absor, “Penanganan Anak dalam Masa Tanggap Darurat Bencana Alam: Tinjauan Konvensi Hak Anak dan Undang-Undang Perlindungan Anak”, sebagaimana dimuat
dalam http:bajank-welfare.blogspot.com201204penanganan-anak-dalam-masa-tanggap.html, diakses pada tanggal 29 Mei 2014.
Universitas Sumatera Utara
a Hak atas pendaftaran kelahiran dan bentuk-bentuk dokumen lainnya
104
Pendaftaran kelahiran adalah catatan resmi atas kelahiran seorang anak oleh negara.Kebanyakan yusrisdiksi memiliki undang-undang yang mengatur
pendaftaran kelahiran, tetapi bentuk informasi yang dikumpulkan serta cakupannya bervariasi tergantung pada tingkat pembangunan infrastruktur
negara tersebut, kapasitas administrasi dan aksesibilitas penduduk.Di negara-negara yang sedang berkembang, pendaftaran kelahiran sering kali
kurang berjalan dan sangat tidak lengkap.Hal ini menjadi mimpi buruk dalam situasi bencana alam, dimana pendaftaran mungkin tidak dianggap
sebagai hal yang prioritas oleh pemerintah atau keluarga. Pendaftaran kelahiran minimal harus mencakupi nama anak, jenis kelamin, tempat dan
tanggal lahir serta nama, alamat dan kewarganegaraan orang tua. Di negara tertentu, pihak berwenang mengumpulkan informasi tambahan seperti sidik
jari dan pengenal fisik lainnya seperti tanda lahir.Informasi tambahan ini dapat berperan sebagai pelindung terhadap perdagangan anak dan
pengadopsian illegal, serta dapat membantu reunifikasi keluarga.
105
Hambatan utama terhadap pendaftaran kelahiran mencakup biaya yang tinggi dibandingkan dengan penghasilan, persyaratan administratif–orang
tua mungkin tidak mempunyai dokumen yang diperlukan seperti akte kelahiran mereka sendiri–keterbatasan akses ke fasilitas pendaftaran,
hancurnya infrastruktur pemerintah dalam keadaan bencana, diskriminasi terhadap kelompok etnis minoritas tertentu serta penggunaan bahasa resmi
104
Lihat pasal 7 KHA.
105
UNICEF and Inter-Parliamentary Union, Child Protection: A Handbook for Parliamentarians no. 7
, 2004, hal 42. Dalam buku Erica Harper, Op. Cit., hal 207.
Universitas Sumatera Utara
yang eksklusif dalam formulir pendaftaran. Hambatan penting lainnya adalah kurangnya kesadaran mengenai proses pendaftaran serta manfaat dan
perlindungan dari pendaftaran kelahiran.
106
b Hak atas Kebebasan Beragama
107
Dalam situasi bencana, bantuan kemanusiaan baik fisik maupun bersifat dukungan psikologis harus ditujukan kepada semua anakorang dewasa
tanpa memandang keyakinan dan agama. Situasi pasca bencana sangat mudah dijumpai pemberian bantuan dan dukungan kemanusiaan yang lain
dimanfaatkan baik secara langsung maupun terselubung untuk memaksakan keyakinan agama pada korban, termasuk anak-anak. Oleh karena itu, setiap
program yang dilaksanakan haruslah menghormati keyakinan dan agama yang dianut oleh penerima manfaat program, sehingga program yang
dilaksanakan tidak dijadikan media untuk mengubah keyakinan anak.Dalam konteks ini, peran masyarakat dan pemerintah menjadi penting sekali untuk
memantau setiap program yang mempunyai maksud dan tujuan tersembunyi untuk mengubah agama para penerima manfaat.
2. Lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif
a Hak anak atas bimbingan orang tua
108
Dalam situasi bencana, kehidupan yang serba darurat sering membuat orangtua kehilangan kontrol atas pengasuhan dan bimbingan terhadap anak-
anak mereka.Keadaan ini dapat mengancam perkembangan mental, moral
106
UNICEF, The “Rights” Start to Life: A Statistical Analysis of Birth Registration, no. 7
, 2005, hal 2. Dalam buku Erica Harper, Op. Cit., hal 208.
107
Lihat pasal 27 KHA.
108
Lihat pasal 5 KHA.
Universitas Sumatera Utara
dan sosial anak sekaligus menempatkan anak dalam posisi rentan terhadap kemungkinan tindak eksploitasi, penculikan, kekerasan dan
perdagangan.Perhatian dari orang tua mengambil peran penting dalam membantu anak melewati masa-masa krisis setelah bencana. Oleh karena
itu, menjadi penting untuk setiap stakeholder melibatkan peran orang tua dalam melakukan pendampingan terhadap anak-anak mereka sesuai dengan
kapasitas yang bisa diperankan oleh mereka. Peran paling sederhana yang bisa diperankan oleh orang tua adalah bersikap tenang karena anak-anak
secara psikologis melihat tanda dari apa yang diperlihatkan oleh orang tua mereka. Mereka akan menjadi semakin panik dan stress ketika orang tua
mereka menunjukkan kepanikan dan stress. Oleh karena itu orang tua dan pemangku kepentingan yang lain harus mendampingi anak dan meyakinkan
mereka bahwa keluarga dan masyarakat akan memperhatikan mereka dan keadaan akan kembali normal. Disamping itu, orang tua adalah teman anak
yang dapat mendorong anak untuk mengungkapkan perasaan dan perhatian mereka terkait dengan bencana. Kemampuan mendengarkan dan berempati
dari orang tua menjadi kekuatan yang luar biasa dalam membantu anak melewati masa-masa krisis akibat bencana.
b Hak untuk tidak dipisahkan dan penyatuan kembali dengan orang tua
109
Selama keadaan darurat bencana, semua anak memiliki hak atas keluarganya dan keluarga memiliki hak untuk menjaga anak mereka. Dalam
situasi bencana, anak-anak dapat terpisahkan dari orangtua mereka.
109
Lihat pasal 9 dan 10 KHA.
Universitas Sumatera Utara
Kemungkinan situasi keterpisahan bersifat permanen orangtua meninggal atau tidak pernah ditemukan atau temporer hingga orangtua kelak
ditemukan. Seorang anak yang orang tuapengasuh utamanya meninggal, yang terpisah dari keluargapengasuh utamanya berisiko bagi mereka,
berhak atas perawatan alternatif yang sesuai.
110
Menurut pasal 20 KHA, pilihan untuk perawatan alternatif mencakup perawatan asuh, kafala,
pengadopsian dan penitipan dalam lembaga. Pemindahan dari lingkungan keluarga harus dianggap sebagai langkah sementara dari pilihan terakhir,
karena anak-anak tanpa pemeliharaan orang tua, khususnya mereka yang di lembaga, berisiko lebih tinggi terhadap diskriminasi, pemeliharaan yang
tidak memadai, penyiksaan, ekploitasi, dan kematian dini. Situasi yang ideal adalah anak untuk sementara waktu dipelihara oleh anggota keluarga.
Jika keluarga besarnya tidak dapat atau tidak mau memberikan perawatan, pilihan terbaik berikutnya adalah keluarga asuh pengganti yang diseleksi
terlebih dahulu.
111
110
Ibid ., hal 214.
111
UNICEF, Child Protection Handbook, no. 6, 2004, hal 120. Dalam buku Erica Harper, Ibid.,
hal 215.
Hanya ketika pilihan-pilihan tersebut tidak dapat dilakukan, maka seorang anak ditempatkan di pemeliharaan lembaga. Ada
dua pengecualian: i anak-anak dibawah 5 tahun tidak boleh ditempatkan dalam pemeliharaan lembaga; dan ii anak-anak yang lebih tua mungkin
lebih suka tinggal dalam sebuah keluarga kecil yang dibantu atau dalam tempat tinggal independen yang dibantu daripada kembali ke keluarga.
Universitas Sumatera Utara
UNICEF lebih lanjut menyarankan bahwa keputusan pemeliharaan alternatif jangka panjang harus didasarkan pada prinsip berikut:
112
1. Solusi berbasis keluarga umumnya lebih disukai daripada penitipan
dalam lembaga; 2.
Solusi permanen lebih disukai daripada solusi temporer; 3.
Solusi nasional lebih disukai daripada solusi internasional. Mengenai adopsi, sesuai dengan pasal 21 KHA mengatakan bahwa adopsi
internasional hanya dapat dipertimbangkan ketika anak tidak dapat ditempatkan dalam keluarga adopsi atau dalam pengasuhan di negara asal
mereka. Konvensi ini juga menyatakan bahwa anak harus menikmati pengamanan dan standar yang sama dengan hal-hal yang ada dalam hal
adopsi nasional dan bahwa semua tindakan yang sesuai harus diambil untuk menjamin bahwa penempatan tersebut tidak mengakibatkan keuntungan
finansial yang tidak pantas. Meskipun bertujuan baik untuk mengadopsi misalnya terkadang hal tersebut dapat merampas hak anak untuk
mendapatkan pengasuhan langsung dari orang tua mereka. Oleh karena itu, prioritas utama program yang dapat dilakukan adalah program reunifikasi
atau mempertemukan anak dengan orang tua dan keluarganya. 3.
Kesehatan dan kesejahteraan dasar a
Hak khusus anak difabelorang dengan kecacatan
113
Anak-anak penyandang cacat menikmati semua hak asasi manusia dan kebebasan dasar atas dasar kesetaraan dengan anak-anak lain. Pada saat dan
112
Erica Harper, Op. Cit., hal 215.
113
Lihat pasal 23 KHA.
Universitas Sumatera Utara
pasca bencana, anak-anak difabel berada dalam kerentanan khusus karena situasi kecacatan mereka. Saat terjadi bencana mereka mengalami kesulitan
untuk menyelamatkan diri. Di samping itu, peristiwa bencana dapat mengakibatkan anak menjadi difabel baru. Saat pasca bencana kebutuhan
khusus mereka seringkali terabaikan oleh bantuan masa tanggap darurat yang disalurkan. Oleh karena itu menjadi penting untuk merancang program
yang memperhatikan kebutuhan khusus dari anak-anak difabel baik karena bencana atau tidak. Selain di dalam Konvensi Hak Anak, lebih lanjut
Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Cacat CRPD menyediakan bagi anak penyandang cacat hak-hak khusus yang mencerminkan kerentanan
mereka yang meningkat. Anak-anak perempuan penyandang cacat selalu berisiko lebih besar baik di dalam maupun di luar rumah terhadap
kekerasan, cedera atau penyiksaan, pengabaian atau perlakuan dengan lalai, penganiayaan atau pengeksploitasian. Risiko tersebut meningkat dalam
situasi bencana alam karena pengasuh institusi atau perorangan mungkin telah meninggal, penyandang cacat mungkin terpisahkan dari keluarga
mereka, dan pelayanan bantuan komunitas mungkin terhenti beroperasi. CRPD mengharuskan bahwa negara pihak menetapkan undang-undang dan
kebijakan untuk menjamin bahwa kejadian-kejadian eksploitasi, kekerasan dan pelecehan terhadap para penyandang cacat, khususnya wanita dan anak-
anak, diidentifikasi, diinvestigasi, dan apabila perlu, diadili.
114
114
Ibid ., hal 149-150.
Universitas Sumatera Utara
b Hak atas layanan kesehatan
115
Pada saat dan pasca bencana, anak-anak dihadapkan pada situasi yang dapat mengancam tingkat kesehatan mereka. Hancur dan rusaknya fasilitas
sanitasi, luka-luka akibat bencana alam ataupun lingkungan buruk pasca bencana alam menyebabkan dapat menurunkan tingkat kesehatan anak. Di
sisi lain, hilangnya kemampuan orang tua memberikan asupan gizi yang layak dalam jangka panjang dapat mempengaruhi perkembangan fisik dan
kesehatan anak. Oleh karena itu, program yang memberikan layanan kesehatan gratis bagi korban anak sangat dibutuhkan dalam situasi tanggap
darurat. Pengalaman penanganan bencana selama ini menunjukan banyak sekali program-program layanan kesehatan yang disediakan untuk korban
bencana baik anak-anak maupun orang dewasa baik dari unsur pemerintah dan non-pemerintah.
c Hak atas standar penghidupan yang layak
116
Dalam situasi pasca bencana, standar kehidupan yang layak bagi perkembangan jasmani, mental, spiritual, moral and sosial anak yang dalam
situasi normal disediakan oleh orangtuawali tidak terpenuhi akibat kerusakan sarana prasarana.Stakeholder
khususnya negara wajib memberikan bantuan material serta program dukungan, khususnya
menyangkut nutrisi, pakaian dan penampungan sementara. Menyangkut bantuan tersebut, anak-anak memiliki kebutuhan sangat khusus terutama
berkaitan dengan tingkat usia mereka. Pemenuhan hak dasar inilah dalam
115
Lihat pasal 6 dan 24 KHA.
116
Lihat pasal 27 KHA.
Universitas Sumatera Utara
konteks tangap darurat melalui bantuan logistik mendominasi model dan bentuk bantuan kemanusian yang diberikan oleh hampir semua stakeholder.
4. Pendidikan, waktu luang dan kegiatan budaya
a Hak atas pendidikan termasuk pelatihan dan bimbingan keterampilan
117
Dalam situasi pasca bencana, kerusakan sarana dan prasarana pendidikan termasuk prasarana perhubungan serta situasi-situasi seperti kehidupan
keluarga anak dan keluarga guru yang tidak normal dapat menyebabkan proses belajar-mengajar reguler terhenti. Terganggunya perekonomian
akibat bencana juga menempatkan anak-anak dalam posisi rawan putus sekolah. Berdasarkan kondisi ini, program-program pendidikan alternatif
yang diberikan para pemangku kepentingan akan sangat membantu para korban anak. Program sekolah darurat, program menggambar, bercerita,
Taman Pendidikan Al-Qur’an adalah program yang sering dilaksanakan untuk menjawab kebutuhan dan hak anak atas pendidikan dalam masa
tanggap darurat. Penyediaan tempat belajar untuk sekolah-sekolah yang hancur maupun
rusak berat akibat bencana juga sangat penting.Sekolah tenda selalu menjadi pilihan utama untuk memulihkan segara aktifitas pendidikan darurat, hal ini
dilakukan karena rekonstruksi sekolah permamen seringkali memakan waktu lama 2–5 tahun.Sekolah tenda hanya dapat digunakan untuk jangka
waktu singkat antara 1-3 minggu, karena suasana belajar di tenda sangat tidak nyaman dan tidak sehat, panas, pengap dan sirkulasi udara kurang
117
Lihat pasal 28 KHA.
Universitas Sumatera Utara
baik. Apabila di sekitar lokasi pengungsian tidak tersedia bangunan atau fasilitas yang dapat dipergunakan untuk proses belajar-mengajar, maka
penyediaan sekolah darurat atau sekolah sementara sangat penting. Menunggu dibangunnya kembali sekolah permanen diperlukan sekolah
sementara temporary school.Penyediaan sekolah sementara dapat menggunakan dari bahan bambu atau kayu dan juga bahan bekas bangunan
lama yang rusak akibat peristiwa bencana.Bahan-bahan lokal menjadi prioritas tergantung ketersediaan dan kecukupan bahan lokal dalam waktu
cepat dan mudah diperoleh.
118
b Hak atas waktu luang, rekreasi dan kegiatan budaya
119
Dalam situasi darurat pasca bencana, aktifitas sosial-budaya menjadi terganggu. Ruang fisik dan ruang sosial untuk bermain dan bersosialisasi
secara normal menjadi hilang. Keadaan ini dapat berlangsung lama hingga masa rekonstruksi dan rehabilitasi. Begitu pula, kehidupan perekonomian
yang belum pulih membuat anak-anak rawan untuk kehilangan waktu beristirahat dan mendapatkan waktu luang yang cukup. Untuk menjawab
kebutuhan dan hak anak akan waktu luang, rekreasi dan budaya, banyak program yang bisa ditawarkan seperti program bermain, rekreasi, pelatihan
seni seperti menari, menyanyi dll. 5.
Perlindungan khusus
118
“Perlindungan Anak dalam Situasi Bencana Kajian Perumusan Pedoman Praktis Tanggap Darurat Berperspektif Anak”, sebagaimana dimuat dalam http:potret-
online.comindex.phpnews-flash829-perlindungan-anak-dalam-situasi-bencana, diakses pada 5 Juni 2014.
119
Lihat pasal 31 KHA.
Universitas Sumatera Utara
a Hak untuk dilindungi dari eksploitasi ekonomi
120
Buruh anak merupakan persoalan yang semakin meningkat di banyak negara: diperkirakan 250 juta anak bekerja mencari nafkah – hampir
setengah dari mereka bekerja penuh waktu.
121
Faktor-faktor yang menimbulkan praktik buruh yang eksploitatif meliputi kondisi berhutang,
kurangnya akses ke atau kualitas sekolah yang buruk, hilangnya pekerjaan bagi pencari nafkah utama, kurangnya pendidikan di kalangan orang tua,
ekspektasi budaya mengenai peran anak-anak, tingkat kelahiran yang tinggi serta konsumerisme.
122
Faktor-faktor tersebut lebih parah dalam situasi bencana alam, karena banyak keluarga mungkin kehilangan pencari nafkah
utama, tingkat pengangguran mungkin tinggi dan sekolah-sekolah mungkin telah hancur atau tidak beroperasi.
123
120
Lihat pasal 32 KHA.
121
UNICEF, Beyond Child Labor: Affirming Rights, 2001, hal 1. Dalam buku Erica Harper, Op. Cit., hal 226.
122
UNICEF, Child Protection Handbook no. 6, 2004, hal 142. Dalam buku Erica Harper, Op. Cit.,
hal 226.
123
UNICEF, Beyond Child Labor: Affirming Rights, 2001, hal 2.Dalam buku Erica Harper, Op. Cit., hal 226.
Kerusakan sarana prasarana ekonomi serta situasi tidak normal yang dialami oleh keluarga-keluarga
mengancam kelangsungan pendapatan keluarga baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.Tantangan pemenuhan kebutuhan yang dihadapi
oleh keluarga-keluarga menempatkan anak-anak dalam posisi rawan mengalami eksploitasi ekonomi, baik oleh orangtuakeluarga sendiri
maupun oleh orangpihak lainnya.Dalam kondisi tersebut, tidak jarang anak bekerja dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak seperti menjadi
pekerja rumah tangga dll.
Universitas Sumatera Utara
b Hak untuk dilindungi dari eksploitasi dan kekerasan seksual
124
Pada situasi pasca bencana, terutama dalam situasi pemukiman kolektif di barak-barak pengungsian, tidak memberi ruang privasi dan pemenuhan
kebutuhan seksual orang dewasa sehingga menempatkan anak-anak dalam posisi rawan mengalami kekerasan atau eksploitasi seksual.
Eksploitasi seksual anak telah menjadi sangat problematis dalam situasi bencana alam: i Segera setelah bencana, anak-anak mungkin ditempatkan
dalam tempat tinggal darurat dengan orang dewasa yang tidak dikenal atau dengan anak-anak lain yang berbeda jenis kelamin. Penempatan seperti ini
mungkin tidak pantas dari segi budaya, dan hal ini meningkatkan risiko pemerkosaan, penyalahgunaan dan eksploitasi seksual. ii Stres, trauma dan
kemiskinan yang berkaitan dengan bencana dapat mengakibatkan tingkat pelecehan seksual yang lebih tinggi dalam keluarga maupun keluarga besar;
iii Ketika keluarga telah kehilangan pencari nafkah utama atau tingkat pengangguran yang tinggi, maka terdapat tekanan tambahan bagi anak-anak
yang terlibat dalam “seks untuk hidup”; iv Dalam situasi bencana, kebingungan, aparat negara yang tidak beroperasi dan kurangnya sistem
pemantauan perlindungan dapat meninggalkan celah-celah melalui mana kegiatan eksploratif terjadi tanpa terdeteksi atau tanpa dituntut; v Terdapat
bukti yang meningkat mengenai hubungan antara kehadiran pekerja
124
Lihat pasal 34 KHA.
Universitas Sumatera Utara
kemanusiaan internasional dengan eksploitasi seksual yang meningkat dalam lingkungan pasca-bencana dan pasca-konflik.
125
c Hak untuk mendapat perlindungan dari penculikan dan perdagangan anak
126
Dalam situasi pasca bencana, keterpisahan dari orangtua, atau orangtua yang kehilangan kontrol efektif terhadap anak-anak mereka, orangtua yang
kehilangan kemampuan finansial untuk mengasuh anak-anak mereka, atau terdesak oleh kebutuhan finansial yang nyata dan ketiadaan perlindungan
sosial yang memadai, menempatkan anak-anak dalam posisi rawan untuk menjadi korban penculikan dan perdagangan.
Semua anak, menjadi lebih rawan terhadap perdagangan orang setelah suatu bencana alam terjadi. Kemiskinan yang meningkat dan kurangnya
kesempatan kerja adalah tekanan utama bagi keluarga untuk mendapatkan penghasilan tambahan dengan cara apapun yang mungkin. Para pelaku
perdagangan orang mungkin menyesatkan keluarga-keluarga dengan menjanjikan perawatan kesehatan dan pendidikan yang lebih baik untuk
anak-anak sebagai imbalan untuk “pekerjaan ringan”.Masalah lebih lanjut adalah bahwa para pelaku perdagangan orang memanfaatkan kekacauan,
tidak berjalannya penegakan hukum dan ketertiban, dan kurangnya mekanisme regulasi yang menyertai kejadian bencana alam.
127
125
J. Hagen, Fighting Sexual Exploitation and Abuse by UN Peacekeepers, Volume XLIII No. 3 UN Chronicle, 2006. Dalam bukuErica Harper, Op. Cit., hal. 237.
126
Lihat pasal 35 KHA.
127
UNICEF and Inter-Parliamentary Union, Combating Child Trafficking: Handbook for Parliamentarians,
no. 75, 2005, hal. 19. Dalam buku Erica Harper, Op. Cit., hal 245.
Sejumlah besar anak yatim piatu dan anak-anak terlantar, lemahnya pengawasan di
Universitas Sumatera Utara
perbatasan, dan banyaknya orang yang keluar masuk daerah bencana mengakibatkan kondisi ideal bagi penculikan ilegal.
Adapun negara-negara yang telah mensahkan undang-undang khusus mengenai perdagangan anak adalah: Fiji, Filipina, Ethiopia, Pantai Gading
dan Mali, Benin, Burkana, Faso, Kamerun, Gabon, Gambia, Irak, Republik Demokrasi Rakyat Laos, Mali, Mauritius, Republik Demokrasi Korea,
Papua New Guinea, Afrika Selatan, Togo dan Uruguai.
B. Perlindungan Anak-anak Korban Bencana Menurut Hukum Nasional