kita  tentang  individualitas  kita  berkembang  sebagaimana  berkembangnya masyarakat Ritzer dan Goodman 2010:110.
Analisis ini bisa dikaitkan lagi kepada teori campur berbaurnya agama dan  moralitas  yang  bersifat  primitif.  Dimana-mana  dalam  pemikiran,  orang
telah membayangkan diri sebagai dua makhluk berlainan, raga dan jiwa. Raga dikatakan  berada  di  dunia  materiil,  jiwa  di  dalam  lingkungan  yang  tidak
kontinu  dari  yang  kudus.  Suatu  kepercayaan  yang  universal  bukanlah  suatu kebetulan  dan  sama  sekali  juga  bukan  khayalan,  serta  harus  berada  si  atas
suatu kegandaan, yang hakiki untuk kehidupan manusia di dalam masyarakat Giddens 2007:142.
Dalam masyarakat modern, homo duplex merepresentasikan perbedaan antara  mengejar  ego  dan  hasrat  individual  kita  dengan  kesiapan  untuk
mengorbankan  mereka  atas  nama  individualitas  yang  kita  percaya  bahwa semua manusia memiliki keadaan yang sama Ritzer dan Goodman 2010:110.
2.2.2 Individualisme Moral
Durkheim  sangat  memperhatikan  kebutuhan  untuk  memperkuat  aspek kolektif  dari  diri  kita  agar  ada  kontrol  terhadap  hasrat  individu  kita  yang
berlebihan.  Di  satu  pihak,  ketika  kita  sadar  tentang  individualitas  kita,  kita bisa menjadi lebih sadar tentang individu kita, kebutuhan dan hasrat nonsosial.
Inilah  yang  disebut  oleh  Durkheim  dengan  egoisme.  Di  pihak  lain, sebagaimana  ide  individualitas  berkembang  dalam  masyarakat,  individu
menjadi  representasi kolektif. Oleh karena itu, individualisme moral  tersebut
mengikat  harapan  kohesi  sosial  di  sekitar  ide  individualitas.  Durkheim menamai ini dengan individualisme moral Ritzer dan Goodman 2010:110.
Tole  dalam  Ritzer  dan  Goodman  2010:110  mengungkapkan  bahwa bagi  Durkheim,  adalah  etika  individualisme  yang  melandaskan  kebebasan
manusia  pada  solidaritas  komunal,  suatu  etika  yang  mengakui  hak  individu dalam hubungannya dengan keberadaan seluruh warga alih-alih dengan upaya
individual  terhadap  pemuasan  kepentingan-diri.  Inilah  etika  yang merepresentasikan  pengalaman  sesungguhnya  dari  cita-cita  individualisme,
dan bagi Durkheim adalah satu-satunya jalan keluar bagi persoalan bagaimana individu  bisa  tetap  “punya  solidaritas  sementara  dia  semakin  menjadi
otonom”. Tiap  orang  memulai  kehidupannya  sebagai  makhluk  yang  egoistis
walaupun tentunya bukan makhluk anomi, yang hanya mengetahui perasaan, di mana kegiatan-kegiatannya dikuasai oleh kebutuhan-kebutuhan rasa. Akan
tetapi  dengan  adanya  sosialisasi  terhadap  anak,  sifat  egoistisnya  sebagian menjadi  tertutup segala  sesuatu  yang dia pelajari dalam masyarakat.  Dengan
demikian, setiap orang mempunyai sisi egoistis pada pribadinya, dan pada saat yang sama dia merupakan makhluk sosial Giddens 2007:143.
Tuntutan moral dari kehidupan dalam masyarakat tidak bisa seluruhnya akur  dengan  kecenderungan-
kecenderungan  egoistisnya:  „masyarakat  tidak bisa  dibentuk  atau  dipertahankan  keberadaanya,  tanpa  kita  diharuskan
memberikan  pengorbanan  dengan  terus- menerus  dan  berharga‟  Giddens
2007:143.  Giddens  2007:143  melanjutkan  bahwasanya  ada  suatu  aneka ragam  keinginan-keinginan  egoistis,  yang  tidak  berasal  dari  kebutuhan-
kebutuhan rasa.  „Justru egoisme kita inilah sebagian besar merupakan  hasil dari masyarakat.‟
Individualisme moral berasal dari masyarakat. “Individualisme adalah produk  sosial  sama  seperti  moralitas  dan  agama.  Bahkan  dari  masyarakatlah
individu  menerima  keyakinan  moral  yang  membuatnya  menjadi  “tuhan” Durkheim dalam Ritzer dan Goodman 2010:111.
Durkheim on Justice, Morals and Politics merupakan judul dari sebuah jurnal  karya  Roger  Cotterrell  yang  di  dalamnya  menyinggung  mengenai
individualisme  moral.  Durkheim  beranggapan  bahwa  individualisme  moral merupakan moralitas utama yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat modern.
Moral individualism, the system of ultimate values which modern society  needs,  establishes  the  individual  as  a  moral  being  with
dignity  and  autonomy;  and  society,  through  this  value  system, determines  what  dignity,  autonomy,  rights,  etc  Cotterell
2010:12.
Individualisme  moral,  sistem  nilai  utama  yang  merupakan  kebutuhan masyarakat  modern,  menetapkan  individu  sebagai  moral  yang  dengan  moral
dan  otonomi,  dan  masyarakat,  melalui  sistem  nilai,  menentukan  apa  itu martabat, otonomi, hak dan lain-lain.
Pandangan  Durkheim  berikutnya  mengenai  individualisme  dalam masyarakat  ialah  dalam  konteks  modernitas.  Durkheim  mengamati  bahwa
keseragaman  ide,  termasuk  ide  tentang  moralitas  mulai  menurun  dengan adanya  peningkatan    pembagian  kerja  dan  peningkatan  perbedaan  struktur
pada masyarakat modern. The individual comes to  acquire  even wider rights  over his  own
person  and  over  the  possession  to  which  he  has  title;  he  also comes to form ideas about the world that seem to him most fitting
and  to  develop  his  essential  qualities  without  hindrance www.jstor.orgsici.
Individu  hadir  untuk  memperoleh  bahkan  kebenaran  yang  lebih  luas terhadap dirinya sendiri  dan terhadap  gelar  yang dimilikinya.  Individualisme
juga  hadir  untuk  membentuk  ide  tentang  dunia  yang  tampak  baginya  paling tepat
dan mengembangkan
kualitas intinya
tanpa penghalang
www.jstor.orgsici. Moralitas, bagi Durkheim, memiliki tiga komponen. Pertama, moralitas
melibatkan disiplin, yaitu suatu pengertian tentang otoritas yang menghalangi dorongan-dorongan  idiosinkratis  cara  berbuatbertingkah  laku  secara  khusus
terhadap  seseorang.  Kedua,  moralitas  menghendaki  keterikatan  dengan masyarakat  karena  masyarakat  adalah  sumber  moralitas.  Ketiga,  melibatkan
otonomi, suatu konsep tentang individu yang bertanggung jawab atas tindakan mereka Ritzer dan Goodman 2010:113
2.2.3 Pemujaan Individu