Roman La Gloire de Mon Père Tinjauan dari Sudut Pandang Pemujaan Individu Menurut Émile Durkheim

(1)

Roman La Gloire de Mon Père: Tinjauan dari Sudut

Pandang Pemujaan Individu Menurut Émile Durkheim

Skripsi

diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra

Prodi Sastra Prancis

oleh Atik Rohmawati

2350407008

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ASING FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG


(2)

ii

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke sidang panitia ujian skripsi,

hari : Senin

tanggal : 6 Mei 2013

Mengetahui:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. B. Wahyudi Joko Santoso, M.Hum. Suluh Edhi W., S.S, M.Hum.


(3)

iii

iii

PENGESAHAN KELULUSAN

Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan sidang panitia ujian skripsi Jurusan Bahasa dan Sastra Asing, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang pada,

hari : Jumat

tanggal : 17 Mei 2013

Panitia Ujian Skripsi

Ketua, Sekretaris,

Dr. Abdurrachman Faridi, M. Pd. Dr. Zaim Elmubarok, M. Ag.

NIP. 195301121990021001 NIP. 197103041999031003

Penguji I,

Ahmad Yulianto, SS., M.Pd. NIP. 197307252006041001

Penguji II, Penguji III,

Suluh Edhi W., S.S, M.Hum. Dr. B. Wahyudi Joko S., M.Hum. NIP 197409271999031002 NIP 196110261991031001


(4)

iv

iv

PERNYATAAN

Dengan ini saya,

Nama : Atik Rohmawati NIM : 2350407008 Prodi : Sastra Prancis

Jurusan : Bahasa dan Sastra Asing Fakultas : Bahasa dan Seni.

menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul ‘Roman La Gloire de Mon Père : Tinjauan dari Sudut Pandang Pemujaan Individu Menurut Emile

Durkheim’ saya tulis dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk

memperoleh gelar sarjana ini benarbenar merupakan karya sendiri. Skripsi ini saya hasilkan setelah melalui penelitian, pembimbingan, diskusi dan pemaparan/ujian. Semua kutipan, baik yang langsung maupun tidak langsung, maupun sumber lainnya, telah disertai identitas sumbernya dengan cara sebagaimana yang lazim dalam penulisan ilmiah. Dengan demikian, walaupun tim penguji dan pembimbing skripsi ini membubuhkan tanda tangan sebagai keabsahannya, seluruh isi karya ilmiah ini tetap menjadi tanggung jawab saya sendiri. Jika kemudian ditemukan ketidakberesan, saya bersedia menerima akibatnya.

Demikian, harap pernyataan ini dapat digunakan seperlunya.

Semarang, Mei 2013 Yang membuat pernyataan,

Atik Rohmawati NIM 2350407008


(5)

v

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Motto :

1. Bismillahirrohmanirrohim

2. Syukur adalah cara hidup

3. Muliakan diri dengan ilmu

4. The secret of living is giving

Persembahan :

Karya ini ku persembahkan untuk ayah-ibuku

tercinta, kakak-kakaku

, Kang Rus, Kang Rofi’

i,

Kang Ni, Mbak Pi

ah, keluarga besarku, para

sahabat,

serta

segenap

keluarga

besar

entreupreuneur muda HSE Semarang yang

mencintaiku, dan tak lupa pula almamaterku,

Universitas Negeri Semarang.


(6)

vi

vi PRAKATA

Alhamdulillah puji syukur penulis haturkan kepada penggenggam jiwa ini, penguasa alam jagat raya, yang menentukan takdir setiap ciptaannya namun membebaskan nasib setiap hambanya. Allah SWT telah memberikan penulis proses yang luar biasa dalam penyelesaian skripsi ini. Tempaan, pilihan, dan kesempatan yang telah penulis dapatkan membuat penulis mengerti lebih baik tentang makna diri.

Rasa syukur juga penulis haturkan kepada Allah SWT atas terselesaikannya skripsi yang berjudul Roman La Gloire de Mon Père : Tinjauan dari Sudut Pandang Pemujaan Individu Menurut Emile Durkheim ini, segala puji hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.

Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa ada dukungan dan bimbingan dari semua pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih dan rasa hormat kepada:

1. Prof. Dr. Agus Nuryatin, M.Hum., Dekan Fakultas Bahasa dan Seni yang telah memberikan ijin dalam penyusunan skripsi ini.

2. Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Asing, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang, Bapak Dr. Zaim Elmubarok, M.Ag., yang memberikan kesempatan untuk mengadakan penelitian ini.

3. Pembimbing I, Bapak Dr. B. Wahyudi Joko Santoso, M.Hum., yang telah membimbing saya dengan penuh kesabaran dan ketelitian.

4. Pembimbing II, Bapak Suluh Edhi W., S.S, M.Hum., yang telah membimbing saya dengan caranya yang luar biasa.


(7)

vii

vii

5. Penguji sidang skripsi, Bapak Ahmad Yulianto, S.S., M.Pd., yang telah bersedia menguji dan memberikan saran-saran yang membangun.

6. Kedua orang tua saya tercinta yang selalu sabar dan ikhlas dalam menghadapi saya serta mau memberikan yang terbaik untuk saya.

7. Kakak-kakak saya tersayang, Kang Rusdi, Kang Rofi‟I, Kang Rohani, dan Mbak Supi‟ah yang senantiasa memberikan dukungan, semangat, doa, dan kepercayaan kepada saya.

8. Sahabat-sahabat sejati yang selalu menjaga silaturrahim dan selalu ada untuk saya, Marfu‟atin, Icha, dan Ghea.

9. Teman-teman seperjuangan saya yang luar biasa, Les Belles Cadettes (Mawar & Iin) untuk setiap tawa yang kalian berikan.

10. Para entreupreneur muda HSE Semarang tanpa kecuali, karena telah mengajarkan pada saya kedewasaan, keikhlasan, dan kebijaksanaan.

11. Keponakan-keponakan saya yang kocak dan sering menagih banyak hal dari saya, Teguh, Ririn, Pipit, Agung, Dhoni, si kembar Usamah-Thoriq, Alfi, Salma, Muhannad, dan Nayla. Kalian adalah hadiah yang dikirim dari langit. 12. Seluruh keluarga besar yang selalu mengalirkan cinta kasih tanpa henti untuk

saya.

13. Mo Lova, Arief S. Nugraha yang sudah menjadi penggembira dalam hidup saya. Thank you for loving me.

14. Teman-teman Sastra Prancis ‟07 yang unik-unik, Iin, Mawar, Angel, Aji, Eri, Kholik, Sinta, Wulan, Oski, Ega, Ali, Mega, dan Indah.

15. Semua mahasiswa Sastra Prancis, terutama Mbak Ditha serta anak-anak SP


(8)

viii

viii

16. My perfect enemy Mbak Elly Rosalina Dewi, yang selalu menjadi musuh sekaligus teman untuk mengadu dan meminta saran, serta Mi Hijo Dewa Indaryanto yang telah mengajarkan kepada saya agar tidak mengeluh dan untuk setiap bantuan yang selalu diberikannya.

17. Ibu dan Bapak Kos yang sudah memperlakukan saya layaknya anak sendiri, juga para junior, Niswah dan Widi yang selalu menjadi junior yang manis. 18. Semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah

membantu saya dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis sadar bahwa karya ini belum sempurna, namun penulis berharap karya ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, khususnya pecinta karya sastra.

Semarang, 17 Mei 2013


(9)

ix

ix SARI

Rohmawati, Atik. 2013. Roman La Gloire de Mon Père : Tinjauan dari Sudut Pandang Pemujaan Individu menurut Emile Durkheim. Skripsi. Jurusan Bahasa dan Sastra Asing, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I: Dr. B. Wahyudi Joko Santoso, M.Hum. dan Pembimbing II: Suluh Edhi Wibowo, S.S., M.Hum.

Kata kunci : La Gloire de Mon Père, pemujaan individu

Roman La Gloire de Mon Père karya Marcel Pagnol merupakan roman biografi yang menggambarkan kehidupannya ketika ia masih kecil. Roman ini banyak bercerita mengenai kebanggaan Pagnol terhadap ayahnya, Joseph Pagnol. Selain itu, roman ini juga memberi gambaran kehidupan sosial masyarakat Prancis yang termanifestasikan dalam keluarga Pagnol pada abad ke-20.

Fokus penelitian ini adalah pemujaan individu, sebuah pendekatan sosiologis dari Emile Durkheim. Penelitian ini bertujuan 1) Mendeskripsikan pemikiran para tokoh dalam roman La Gloire de Mon Père melalui sudut pandang homo duplex, 2) Mendeskripsikan bentuk perwujudan individualisme moral para tokoh yang terdapat dalam roman La Gloire de Mon Père, dan 3) Mendeskripsikan bentuk perwujudan pemujaan individu oleh Marcel Pagnol sebagai tokoh utama terhadap ayahnya, Joseph Pagnol.

Korpus data penelitian ini adalah roman La Gloire de Mon Père karya Marcel Pagnol. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kepustakaan, Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik studi kepustakaan. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis, sedangkan teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis isi. Simpulan penelitian ini adalah adanya fakta pemujaan individu melalui tahapan 1) homo duplex yang terepresentasikan dalam masyarakat Prancis secara umum dan keluarga Marcel Pagnol, 2) realitas individualisme moral masyarakat Prancis yang direpresentasikan oleh keluarga Pagnol, tercermin oleh tokoh-tokoh di dalam roman, 3) Dalam pemujaan individu terhadap ayahnya, tokoh Marcel Pagnol menunjukkan sebuah kebanggaan terhadap ayahnya yang berlanjut pada rasa simpati dan kerelaan dalam melakukan sesuatu yang dianggap berguna dan dapat membantu ayahnya sebagai tokoh yang dipujanya. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pemujaan individu tidak didasari oleh egoisme melainkan oleh perasaan-perasaan simpati yang tercermin dalam hakikat manusia sebagai homo duplex dan adanya individualisme moral dalam masyarakat.

Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah agar penelitian ini dapat menjadi kerangka acuan dalam memahami hakikat manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri, terlebih lagi kaitannya dalam pemujaan individu menurut Emile Durkheim.


(10)

x

x

ROMAN LA GLOIRE DE MON PÈRE : UNE PERSPECTIVE DU CULTE DE L’INDIVIDU D’APRÈS EMILE DURKHEIM

Atik Rohmawati., Wahyudi Joko S., Suluh Edhi W. Département de Langue et de Littérature Étrangère

Faculté des Langues et des Arts Université d‟État de Semarang.

EXTRAIT

Le roman La Gloire de Mon Père, l‟œuvre de Marcel Pagnol est un roman

autobiographique qui représente sa vie quand il était petit. Ce roman parle beaucoup de fiertés de Marcel Pagnol envers son père, Joseph Pagnol. En outre,

ce roman donne aussi l‟image de la vie sociale en France qui est représenté dans la famille de Pagnol en 20éme siècle.

L'objectif de cette étude est le culte de l'individu, une approche sociologique de Durkheim. Cette étude vise à 1) décrire la pensée des personnages dans le roman par l‟idée de l'homo duplex, 2) décrire les modes de réalisation de l'individualisme moral par les individus contenues dans le roman et, 3) Décrire le culte de la l‟individu qui est réalisé par Marcel Pagnol comme le personnage principal envers son père, Joseph Pagnol.

Le corpus de cette recherche est le roman La Gloire de Mon Père l‟œuvre

de Marcel Pagnol. La méthode de collecte des données utilisée dans cette étude est la méthode de bibliographique. Et puis, la technique de collecte des données utilisée dans cette étude est la technique d‟étude bibliographique. Ensuite, la méthode d'analyse des données utilisée dans cette recherche est descriptif analytique, et puis la technique de l'analyse des données utilisée dans cette étude est celle de l‟analyse du contenu.

La conclusion de cette analyse est l‟existence du culte de l‟individu par les étapes 1) Le roman de La Gloire de Mon père est un roman autobiographique où se trouve les éléments de l‟homo duplex de la société française en général et de la famille de Marcel Pagnol, 2) dans l‟individualisme moral, un individu devient une

représentation collective qui attache son désir individuel afin qu‟il ne fasse pas ce qu‟il veut. Dans ce roman, une personne devient un aspect collectif de l‟autre

personne, 3) dans le culte de l‟individu, le personnage de Marcel Pagnol a montré une fierté et une admiration sur son père, et ses sentiments suivent la sympathie et la disposition pour faire quelque chose qui pourrait donner des secours à son père. Le résultat de cette analyse montre que le culte de l‟individu n‟est pas basé sur l‟égoïsme mais par les sentiments sympathiques qui sont reflétés dans la nature de

l‟homme comme l‟homo duplex et l‟existence de l‟individualisme moral dans la société.

L‟intérêt peut être donnés de la recherche est que cette analyse peut être un cadre de référence pour comprendre la nature de l'homme comme un être social qui ne peut pas vivre seul, surtout en ce qui concerne le culte de l‟individu selon Emile Durkheim.


(11)

xi

xi 1. Introduction

Le roman est un genre littéraire, caractérisé pour l'essentiel par une narration fictionnelle plus ou moins longue, ce qui le distingue de la nouvelle. La place importante faite à l'imagination transparaît dans certaines expressions comme « C'est du roman ! » ou dans certaines acceptions de l‟adjectif

« romanesque » qui renvoient à l'extraordinaire des personnages, des situations ou

de l‟intrigue (http://fr.wikipedia.org/wiki/Roman_ (littérature)).

Le roman est le genre qui tient plutôt au développement des mouvements

intérieurs de l‟âme qu‟aux événements qu‟on se persuade aisément que tout peut

arriver ainsi ; ce n‟est pas l‟histoire du passé, mais on dirait souvent que c‟est celle de l‟avenir (Staël dans Rey 1992:13).

D‟après le sens ci-dessus, on peut voir que même si le roman soit une

histoire imaginaire, mais l‟événement dans son histoire est basé sur la réalité. Les caractéristiques fictionnels qui existent dans le roman est un des caractéristiques

du roman en tant qu‟une œuvre littéraire. Avec les caractéristiques fictionnels ci -dessus, les lecteurs sont censés d‟y apprécier les faits et les problèmes (Sumardjo 1994:13).

Le roman La Gloire de Mon Père est la première œuvre de Marcel Pagnol

publiée en 1957. Auparavant, il était connu comme metteur en scène. Il était le

premier metteur en scène à avoir été couronné par l‟Académie Française en 1946.

Son roman, La Gloire de Mon Père, est l‟un de ses souvenirs d‟enfance qui lui

vaudra un regain de succès, donc, on peut dire que ce roman est un chef-d‟œuvre


(12)

xii

xii

Le roman La Gloire de Mon Père a raconté l‟enfance de Marcel Pagnol,

l‟origine de ses aïeux, et sa famille. En accord avec le titre du roman, son histoire raconte que son père lui a donné une grande influence des pensées en ce moment-là. Il a pensé que son père faisait partie de sa vie. Le type principal de ce roman raconte une admiration individuelle de Marcel Pagnol envers son père.

Basée sur l‟explication ci-dessus, on peut constater que les grands écrivains sont ceux qui savent combiner entre les faits qui existent dans la société et leurs personnages fictifs (Ratna 2009:334). À partir de ce fait, je m‟intéresse à

analyser le roman La Gloire de Mon Père par le perspectif de la sociologie

d‟Emile Durkheim, principalement sur le culte de l‟individu par le personnage de Marcel Pagnol sur son Père, Joseph Pagnol.

Il existe, une autre raison du choix du roman comme matériel d‟étude, c‟est que ce roman est écrit dans la langue française moderne, et il utilise des mots simples. D‟ailleurs, ce roman est un roman autobiographique (www.EuropeanMasterpiece.com), il signifie que l‟écrivain raconte les faits qui peuvent être analysé par la théorie de la sociologie, notamment par le culte de

l‟individud‟Emile Durkheim.

Dans des nombreux de ses œuvres, Durkheim parle d‟une idée du culte de

l‟individu. Ce corpus donne à la culture moderne une représentation collective qui peut intégrer et organiser la société. Le culte de l‟individu n‟est pas du même perspectif que l‟égoïsme. Dans le culte de l‟individu, il s‟agit de quelqu‟un qui

est disposé à se sacrifier son importance au nom de l‟individualité appartenue à

tout le monde, tandis que l‟égoïsme parle d‟un individu qui ne pense qu‟à son


(13)

xiii

xiii

Selon la perspective d‟Emile Durkheim (Johnson 1986 :173), une perception individuelle sur l‟intérêt privé n‟est pas formée d‟une isolation d‟autrui, mais d‟une confiance collective et des valeurs collectives suivies par les membres de la société.

2. Théorie

Fauconnet (dans Ritzer et Goodman 2010:109) dit que jusqu‟à maintenant, l‟attention se concentre sur le concept de Durkheim de la société et de l‟étude en recherche pour développer son concept. Il y a un autre point important qui ne correspond pas au focus d‟attention de Durkheim par rapport au fait social, c‟est

son idée du culte de l‟individu. Cette idée contient trois étapes, ce sont : (i) l‟homo duplex, (ii) l‟individualisme moral, (iii) le culte de l‟individu.

2.1 Homo Duplex

Durkheim dit que l‟âme de l‟être-humain se compose de deux natures. La première nature est basée sur l‟individualité humaine isolée et la deuxième nature

est basée sur la nature de l‟homme comme la créature sociale. La nature comme créature sociale est plus importante que celle de l‟individualité humaine isolée, car dans ce cas-là nous sommes disposés à se sacrifier notre existence et notre importance physique (Ritzer et Goodman 2010:109).

2.2 Individualisme Moral

L‟individualisme moral veut dire que l‟individu devient une représentation

collective. Grâce à cette idée, l‟individualisme moral attache un espoir de


(14)

xiv

xiv 2.3 Culte de L’individu

Le culte de l‟individu apparait comme la suite de l‟homo duplex et de

l‟individualisme moral. Il n‟est pas basé sur l‟égoïsme, mais basée sur le sentiment de sympathie qui est en concurrence avec le malheur humain et la justice sociale (Giddens 2007:144).

Durkheim dit (dans Ritzer et Goodman 2010:111) l‟adoration envers quelqu„un, soit chez l‟adorateur ou bien chez la personne adorée, ne s‟adresse pas à un certain être qui forme soi-même et qui porte son nom, mais à un être-humain

qu‟on peut trouver partout dans n‟importe quelle manifestation.

3. Méthodologie de la Recherche

Pour l‟approche de la recherche, j‟utilise la théorie sociologie d‟Emile

Durkheim. L‟objet de cette recherche est de 1) décrire la pensée des personnages dans le roman La Gloire de Père par l‟idée de l'homo duplex, 2) décrire les modes de réalisation de l'individualisme moral par les individus contenues dans le roman et, 3) Décrire le culte de l‟individu qui réalisé par Marcel Pagnol comme le personnage principal envers son père, Joseph Pagnol.

Il y a deux sources des données dans cette méthodologie, ce sont la source des données primaire et les sources des données secondaires. La source des données primaire est le roman de La Gloire de Mon Père œuvre de Marcel Pagnol et celles de secondaires sont des théories concernant la sociologie d‟Emile

Durkheim.

La méthode de collecte de données utilisée dans cette étude est la méthode de lire attentivement. Et puis, la technique de collecte des données utilisée est la


(15)

xv

xv

technique de lire et noter. Ensuite, la méthode d'analyse des données utilisée dans cette recherche est descriptif analytique, et finalement, la technique de l'analyse des données utilisée dans cette étude est la technique de l‟analyse du contenu.

4. Analyse

L‟analyse se divise en trois étapes: (1) la représentation de la réalité de l‟homo duplex par des personnages du roman de La Gloire de Mon Père, (2) la représentation de la réalité de l‟individualisme moral dans la société française par la famille de Pagnol, (3) la réalité du culte de l‟individu par la figure de Marcel Pagnol envers son père, Joseph Pagnol.

4.1 Représentation de la réalité de l’homo duplex par des personnages du roman de La Gloire de Mon Père

Chaque personne a deux classes de conscience différentes, ce sont

l‟origine et l‟essence. La réalité de l‟homo duplex dans cette analyse est partagée par deux parties. Premièrement, la réalité de l‟homo duplex de la société française en générale et deuxièmement, la réalité de l‟homo duplex de la société française qui est représentée par la famille de Pagnol.

4.1.1 Réalité de l’homo duplex de la société française en générale

Avant parler de sa famille, Pagnol, l‟écrivain et le personnage principal de ce roman donne une réflexion de la société française en générale. D‟abord, il parle

de la société française reflétée par l‟Eglise et par l‟éducation laïque. La citation suivante montre la vie de M. le Curé comme représentant de l„Eglise en France :

(1) Il est vrai, d‟autre part, que le curé de mon village, qui était fort intelligent, et d‟une charité que rien ne rebutait, considérait la Sainte Inquisition comme une sorte de Conseil de Famille : il disait


(16)

xvi

xvi

que si les prélats avaient brûlé tant de Juifs et de savants, ils l‟avaient fait les larmes aux yeux, et pour leur assurer une place au Paradis. (LGdMP/1/16)

Ce roman de Pagnol est une réflexion sociale parlant du gouvernement de la République Parlementaire et Laïcité (1870-1914). C‟est la troisième République en France. La laïcité ou le sécularisme désigne le principe de séparation de l'État et de la religion et donc l'impartialité ou la neutralité de l'État à l'égard des confessions religieuses. Par extension, la laïcité et le sécularisme désignent également le caractère des institutions, publiques ou privées, qui sont indépendantes du clergé (http://id.wikipedia.org/wiki/Laïcité).

Tout le monde sait que l‟Eglise avant la révolution française avaient occupait la position la plus haute et la plus importante dans le gouvernement de la France. Elle avait la fonction religieuse à la fois la fonction socio-politique.

Dans la citation « ils l‟avaient fait les larmes aux yeux, et pour leur assurer une place au Paradis », elle montre qu‟il y avait un conflit dans la figure de M. le Curé. D‟un côté, il était chagriné du fait que les prélats avaient brûlé tant de Juifs et de savants, mais d‟un autre côté, c‟était son environ social qui les avait brûlé. Alors, il honorait la Sainte Inquisition de l‟Eglise, mais par contre il a pleuré et a prié les victimes de cette peine de mort et les assurer une place au Paradis. Cette analyse donne une preuve qu‟il y a un conflit dilemmatique dans


(17)

xvii

xvii

4.1.2 Représentation de la réalité de l’homo duplex de la société française par la famille de Pagnol

Le jeudi et le dimanche, la tante Rose, qui était la sœur ainée de la mère de Pagnol venait déjeuner chez Pagnol. Après le déjeuner elle l‟invitait à visiter le parc Borély. La citation de la donnée (10), montre le fait de l‟homo duplex dans la figure de Marcel Pagnol.

(10) Ma principale occupation était de lancer du pain aux canards. Ces stupides animaux me connaissaient bien. Dès que je montrai un croûton, leur flottille venait vers moi, à force de palmes, et je commençais ma distribution.

Lorsque ma tante ne me regardait pas, tout en leur disant, d‟une voix suave, des paroles de tendresse, je leur lançais aussi des pierres, avec la ferme intention d‟en tuer un. Cet espoir, toujours déçu, faisait le charme de ces sorties, et dans le grinçant tramway du Prado, j‟avais des frémissements d‟impatience. (LGMP/1/38-39)

Dans la citation de la donnée (10), il paraît que Pagnol comme l‟être

individuel a un caractère assez obstiné. Il a donné des croûtons aux canards, mais dans les croûtons, il a glissé des pierres, et puis il les lançait. Il faisait sa mesure

quand il n‟y avait personne. Dans la citation « je leur lançais aussi des pierres, avec la ferme intention d‟en tuer un », affirme que Pagnol voulait tuer un des canards mais il aura compris que son acte n‟est pas permit par la société. Il a donné les croûtons aux canards mais il les lançait des pierres en cachette. La réalité de l‟homo duplex dans cette analyse se trouve dans l‟acte de Marcel Pagnol

quand il faisait sa distribution du pain aux flottilles de canards mais en même temps il les lançait aussi des pierres.


(18)

xviii

xviii

4.2. Représentation de la réalité de l’individualisme moral dans la société française par la famille de Pagnol

Le petit dialogue de la donnée (21) ci-dessous est une citation qui nous indique l‟individualisme moral dans la vie sociale représentée par les figures de la

mère, de l‟oncle de Pagnol, et du petit Marcel Pagnol.

(21) Je vois ensuite un plafond qui tombe sur moi à une vitesse vertigineuse, pendant que ma mère, horrifiée, crie : « Henri ! tu es idiot ! Henri, je te défends… »

C‟est que mon oncle Henri, le frère de ma mère, me lance en l‟air, et me rattrape au vol. Je hurle d‟angoisse, mais quand ma mère m‟a repris dans ses bras, je crie : « Encore ! Encore ! ». (LGMP/2/27)

On peut y voir ci-dessus, que l‟oncle Henri à invité son neveu, Pagnol à jouer d‟une façon assez effrayant. Alors, ce garçon avait peur comme dans la citation « Je vois ensuite un plafond qui tombe sur moi à une vitesse vertigineuse ». L‟oncle Henri a essayé de lui faire plaisir en jetant son neveu au ciel puis il l‟a repris. Quand la mère de Pagnol a vu cet événement, elle était horrifiée et hystérique, parce qu‟elle avait peur si son frère, Henri a manqué à reprendre son fils. On exprime l‟inquiétude de la mère de Pagnol être dans la citation «pendant que ma mère, horrifiée, crie : « Henri ! Tu es idiot ! Henri, je te défends ».

L‟action de l‟oncle Henri est jugé dangereux car s‟il manque à capturer Pagnol, la conséquence sera fatale, par exemple, Pagnol risque d‟être foulé ou se rompre les os. Donc, le fait d‟individualisme moral se trouve quand Augustine, la mère de Marcel Pagnol a défendu son frère, Henri, de jeter son fils au ciel et puis de le capturer. Elle est devenue la représentation collective de la société qui


(19)

xix

xix

attachait les tendances individuelles d‟Henri et de Pagnol pour qu‟ils ne jouent pas

d‟une façon extrême. Dans ce cas-ci, la réprimande d‟Augustine à Pagnol est aussi

la réalité de l‟individualisme moral, parce qu‟il a demandé à son oncle de le jeter encore comme dans la citation « Je hurle d‟angoisse, mais quand ma mère m‟a repris dans ses bras, je crie : « Encore ! Encore ! ».

4.3 Réalité du culte de l’individu par la personnage de Marcel Pagnol envers son père, Joseph Pagnol

La citation de la donnée (54) nous raconte le culte de l‟individu d‟un fils

envers son père qui se passe dans l‟histoire de La Gloire de Mon Père. (54) Je m‟étais approché, et je voyais le pauvre Joseph. Sous sa

casquette de travers, il mâchonnait nerveusement une tige de romarin, et hochait une triste figure. Alors, je bondis sur la pointe d‟un cap de roches, qui s‟avançait au-dessus du vallon et, le corps tendu comme un arc, je criai de toutes mes forces : « Il les a tuées ! Toutes les deux ! Il les a tuées ! »

Et dans mes petits poings sanglants d‟où pendaient quatre ailes dorées, je haussais vers le ciel la gloire de mon père en face du soleil couchant. (LGMP/3/198)

Le père de Pagnol était triste parce qu‟il avait manqué de tirer sur la bartavelle. Il se sentait coupable et avait du regret. Tout à coup, Marcel Pagnol a

apparu d‟un cap de roches, qui s‟avançait au-dessus du vallon. Il a crié de toutes ses forces que son père avait tué toutes les deux bartavelles. Ce cas est prouvé dan la citation « je bondis sur la pointe d‟un cap de roches, qui s‟avançait au-dessus du vallon et, le corps tendu comme un arc, je criai de toutes mes forces : « Il les a tuées ! Toutes les deux ! Il les a tuées ! » ». Le père de Pagnol qui est un chasseur

amateur a eu du succès d‟avoir bien abattu deux bartavelles d‟une seule coup,


(20)

xx

xx

Cette analyse montre une réalité du culte de l‟individu de Marcel Pagnol envers son père. Pagnol voulait implicitement montrer à son père qu‟il était formidable. Alors, Il a crié fortement que son père avait réussi à tuer toutes les

deux bartavelles. C‟est un grand succès parce qu‟une bartavelle est un gibier de

rêve de tous les chasseurs. Au début, le père de Pagnol était un chasseur débutant

humilié par l‟oncle Jules, mais finalement il est devenu gagnant de cette épreuve. Le fait du culte de l‟individu est prouvé par l‟acte de Marcel Pagnol, quand il a crié de toute ses puissances jusqu‟à ce que son corps ait tendu comme un arc.

C‟est une disposition qui est fait par un fils sur son admirable père.

5. Conclusion

Basée sur les analyses des données qui sont présentées dans le chapitre quatre sur les trois problèmes dans la recherche du culte de l‟individu d‟Emile

Durkheim sur le roman de La Gloire de Mon Père, on a trouvé trois conclusions suivantes.

Premièrement, le roman de La Gloire de Mon père est un roman autobiographique où se trouve les éléments de l‟homo duplex dans la société française en général et dans la famille de Marcel Pagnol. La réalité de l‟homo duplex de ce roman est prouvée par l‟existence de deux natures de personnalité possédées par les personnages du roman.

Deuxièmement, dans le processus vers le culte de l‟individu, il y a une

phase appelée l‟individualisme moral. Dans l‟individualisme moral, un individu devient une représentation collective qui attache son désir individuel afin qu‟il ne fasse pas ce qu‟il veut. Dans ce roman, une personne devient un aspect collectif de


(21)

xxi

xxi

l‟autre personne, par exemple, la mère ou le père de Pagnol devient des aspects

collectifs pour Pagnol et son frère, Paul.

Troisièmement, le culte de l‟individu qui est appliqué par l‟auteur, Marcel

Pagnol, sur son père est généralement fait par beaucoup d‟enfants sur leurs parents, surtout sur leurs pères. Dans ce culte de l‟individu envers son père, le personnage de Marcel Pagnol lui a montré une fierté et une admiration envers son

père, et puis son sentiment de la fierté et de l‟admiration suivent la sympathie et la disposition pour faire quelque chose qui pourrait donner des secours à son père.

6. Remerciements

Je tiens à remercier mon père, ma mère, mes frères, et ma sœur de me supporter et de me combler toujours de leur amour. Ensuite, je remercie également mes professeurs de m‟avoir guidée et de m‟avoir donné un autre point de vue pour voir la vie. Et finalement, je remercie aussi mes amis de leurs joies et de leurs bonheurs.


(22)

xxii

xxii

7. Bibliographie

Arifin, Winarsih dan Farida Soemargono. 1999. Kamus Perancis-Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Cotterrell, Roger. 2010. Durkhem on Justice, Morals and Politics. London: Queen Mary University of London.

Damono, Sapardi Djoko. 2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta : Pusat Bahasa Pendidikan Nasional.

Giddens, Anthony. 2007. kapitalisme dan Teori Sosial Modern. Terjemahan Soeheba Kramadibrata. Jakarta: UI Press.

Johnson, Doyle Paul.1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Terjemahan Robert M.Z. Lawang. Jakarta: Gramedia.

Narbuko, Cholid dan Abu Achmadi. 2003. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara.

Narwoko, J Dwi dan Bagong Suyanto (ed). 2004. Sosiologi Text Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana Media Prenada.

Nazir, M. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Nurgiyantoro, Burhan. 2009. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada Universitas Press.

Pagnol, Marcel. 1957. La Gloire de Mon Père. Paris: Edition de Fallois .

Pierre, Jean dkk. 1994. Dictionnaires des Ecrivains de Langue Française. Paris: Larousse.

Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Sastra dan Cultural Studies. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


(23)

xxiii

xxiii

Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rey, Pierre-Lois. 1992. Le Roman. Paris : Hachette.

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2010. Teori Sosiologi. Terjemahan Nurhadi. Bantul: Kreasi Wacana.

Siswantoro Sunanda, Adyana. 2004. Metode Penelitian Sastra. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Press.

Suharianto, S. 2005. Dasar-dasar Teori Sastra. Semarang: Rumah Indonesia. Sumardjo, Jacob dan Saini K.M. 1994. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Surajiyo, dkk. 2009. Dasar-Dasar Logika. Jakarta : Bumi Aksara.

Wellek dan Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

http://en.wikipedia.org/wiki/école_Normale_Supérieure http://en.wikipedia.org/wiki/Marcel_Pagnol

http://en.wikipedia.org/wiki/Pont_du_Gard http://en.wikipedia.org/wiki/Utilitarianism http://fr.wikipedia.org/wiki/Provence

http://fr.wikipedia.org/wiki/Roman_ (littérature) http://id.wikipedia.org/wiki/Tour_de_France http://id.wikipedia.org/wiki/EmileDurkheim http://id.wikipedia.org/wiki/Laïcité


(24)

xxiv

xxiv http://www.EuropeanMasterpieces.com/url


(25)

xxv

xxv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii PENGESAHAN KELULUSAN ... iii PERNYATAAN ... iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v PRAKATA ... vi SARI ... ix EXTRAIT ... x DAFTAR ISI ... xxv DAFTAR LAMPIRAN ... xxviii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 7 1.3 Tujuan Penelitian ... 8 1.4 Manfaat Penelitian ... 8 1.5 Sistematika Penulisan ... 9

BAB 2 LANDASAN TEORI ... 11 2.1 Kaitan antara Sosiologi dan Sastra secara Umum... 11 2.2 Konsep Emile Durkheim mengenai Pemujaan Individu ... 12 2.2.1 Homo Duplex ... 17


(26)

xxvi

xxvi

2.2.2 Individualisme Moral... 18 2.2.3 Pemujaan Individu ... 22

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ... 25 3.1 Pendekatan Penelitian ... 25 3.2 Objek Penelitian ... 26 3.3 Sumber Data ... 27 3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 28 3.5 Metode dan Teknik Analisis data ... 30 3.6 Metode dan Teknik Penyajian Analisis Data ... 32 3.7 Langkah Kerja Penelitian ... 33

BAB 4 MANIFESTASI PEMUJAAN INDIVIDU DURKHEIM PADA

TOKOH MARCEL PAGNOL ... 34 4.1 Realitas Homo Duplex yang Direpresentasikan oleh Pemikiran

Marcel Pagnol ... 34 4.1.1 Realitas Homo Duplex Masyarakat Prancis secara Umum. 35 4.1.2 Realitas Homo Duplex Masyarakat Prancis yang

Direpresentasikan oleh Keluarga Pagnol ... 42 4.2 Realitas Individualisme Moral yang Terdapat dalam Masyarakat

Prancis yang Dimanifestasikan oleh Keluarga Pagnol ... 64 4.3 Realitas Pemujaan Individu yang Dimanifestasikan oleh Tokoh

Marcel Pagnol kepada Ayahnya, Joseph Pagnol... 98

BAB 5 PENUTUP ... 126 5.1 Simpulan ... 126


(27)

xxvii

xxvii

5.2 Saran ... 127 DAFTAR PUSTAKA ... 129


(28)

xxviii

xxviii

DAFTAR LAMPIRAN

1. Ringkasan cerita roman La Gloire de Mon Père karya Marcel Pagnol 2. Keterangan mengenai perdrix bartavelle


(29)

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kecenderungan dalam visi kontemporer menjelaskan bahwa fiksi digunakan untuk menyebutkan karya sastra dengan keseluruhan hakikatnya, sebagai kata benda, sedangkan imajinatif, kreatif, konotatif, subjektif, interpretatif, dan sebagainya, adalah keseluruhan ciri-cirinya (Ratna 2007 :310).

Berbeda dengan pengetahuan masyarakat pada umumnya, yang menganggap bahwa karya sastra merupakan khayalan dan lamunan yang semata-mata dialami oleh pengarang secara individual, fiksi dalam pengertian ini diperoleh atas dasar kenyataan sehari-hari, dunia fiksional yang dengan mudah dialami oleh orang lain (Ratna 2007:310-311).

Ratna (2007:311) menyebut bahwa karya sastra tidaklah secara keseluruhan bersifat rekaan. Hal ini karena karya sastra yang secara keseluruhan merupakan rekaan justru tidak mungkin dapat dipahami karena pembaca tidak memiliki referensi-referensi untuk mengadakan identifikasi. Karya sastra diciptakan sebagai

„tiruan‟ masyarakat karena menceritakan kembali realita yang terjadi dalam masyarakat.

Karya sastra cenderung mempermasalahkan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan juga terhadap realitas yang berlangsung sepanjang zaman. Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri sebagian besar terjadi dari kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup


(30)

2

hubungan antar masyarakat dengan orang-orang antar manusia, antar peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Maka memandang karya sastra sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia merupakan kenyataan yang melatarbelakangi terciptanya sebuah karya sastra (Damono, 2002:4).

Wellek dan Werren (1990:108) mengungkapkan bahwa sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa. Teknik-teknik sastra tradisional seperti simbolisme dan matra bersifat sosial karena merupakan konvensi dan norma masyarakat. Masih menurut Wellek dan Werren (1990:108), sastra

mempunyai fungsi sosial atau “manfaat” yang tidak sepenuhnya bersifat pribadi.

Permasalahan studi sastra menyiratkan atau merupakan masalah sosial, masalah tradisi, konvensi, norma, jenis sastra (genre), simbol, dan mitos.

Karya sastra mempunyai beberapa bentuk yaitu, prosa, drama dan puisi. Prosa terbagi atas cerita pendek dan roman. Penelitian ini menggunakan roman sebagai bahan kajian. Istilah “roman” berasal dari kesastraan Prancis. Roman adalah nama bahasa rakyat sehari-hari di negara tersebut yang pertama kali digunakan oleh pengarang di sana untuk menceritakan kehidupan rakyat biasa (Suharianto 2005:30).

Dalam sebuah sumber di Wikipedia dijelaskan pengertian roman sebagai berikut.

Le roman est un genre littéraire, caractérisé pour l'essentiel par une narration fictionnelle plus ou moins longue. La place importante faite à l'imagination transparaît dans certaines expressions comme « C'est du roman ! » ou dans certaines acceptions de l‟adjectif « romanesque » qui renvoient à l'extraordinaire des personnages, des situations ou de l‟intrigue (http://fr.wikipedia.org/wiki/Roman_ (littérature)).


(31)

3

Roman adalah suatu jenis karya sastra, yang melukiskan ciri-ciri pokok melalui narasi fiksional yang cukup panjang. Posisi penting yang dibuat dalam imajinasi yang tampak dalam ekspresi tertentu seperti « inilah roaman ! » atau dalam makna tertentu dari kata sifat « romanesque » yang menggambarkan sesuatu yang luar biasa dalam penokohan, situasi, dan alur cerita (http://fr.wikipedia.org/wiki/Roman_ (littérature)).

Dalam pengertian modern, roman berarti prosa yang melukiskan pengalaman batin dari beberapa orang yang berhubungan satu dengan yang lainnya dalam suatu keadaan (Leeuwen dalam Nurgiyantoro 2009 :15).

Berikut ini adalah kutipan yang saya ambil dari buku Le Roman Paris karya Pierre-Lois Rey :

“Le roman est le genre qui tient plutôt au développement des mouvements intérieurs de l‟âme qu‟aux événements qu‟on se persuade aisément que tout peut arriver ainsi; ce n‟est pas l‟histoire du passé, mais on dirait souvent que c‟est celle de l‟avenir” (Staël dalam Rey 1992:13).

“Roman adalah jenis karya sastra yang lebih menekankan pada perkembangan gerak batin daripada kisah yang diceritakan. Semua cerita yang ada di dalam roman seolah-olah benar-benar terjadi sehingga dapat diterima dengan mudah; roman bukan cerita tentang masa lalu tetapi lebih tepat sebagai cerita

masa depan” (Staël dalam Rey 1992:13).

Dari pengertian tersebut dapat dilihat bahwa walaupun roman berupa cerita rekaan tetapi kejadian yang ada di dalamnya seolah-olah benar-benar terjadi. Sifat rekaan yang ada di dalam roman merupakan salah satu ciri roman sebagai karya sastra. Dengan adanya sifat rekaan tersebut pembaca diharapkan dapat menghayati kenyataan-kenyataan dan masalah di dalam bentuk konkretnya.


(32)

4

Dengan demikian, pembaca dapat menjawab terhadap kenyataan atau masalah yang disajikan dengan seluruh kepribadiannya (Sumardjo 1994:13).

La Gloire de Mon Père adalah roman pertama Marcel Pagnol yang diterbitkan pada tahun 1957, sebelumnya Marcel Pagnol lebih dikenal sebagai seorang sutradara film yang karya-karyanya banyak dikenal oleh masyarakat luas. Roman ini membawanya kembali ke kesuksesannya sehingga roman ini dapat dikatakan sebagai karya agung (masterpiece) Marcel Pagnol. Dia adalah salah satu pengarang besar dari abad ke-20 dan dia merupakan sutradara film pertama yang menerima penghargaan dari l‟Académie Française pada tahun 1946 atas beberapa karyanya (Pierre 1994:1341).

Marcel Pagnol lahir pada tanggal 28 Februari 1895 di Aubagne, di selatan Prancis, dekat Marseille, dia adalah anak tertua dari seorang guru yang bernama Joseph Pagnol dan tukang jahit Augustine Lansot. Marcel Pagnol tumbuh dewasa di Marseille bersama adik-adiknya yaitu Paul, René, dan Germaine. Pada tahun 1913, pada umur yg ke-18 tahun, Pagnol mulai belajar tentang sastra di Universitas Aix-en-provence. Ketika Perang Dunia I pecah, dia dipanggil ke dalam infanteri di Nice tapi pada bulan Januari 1915 dia keluar karena Undang-Undang yang lemah. Pada tanggal 2 Maret 1916 dia menikahi Simone Collin di Marseille dan pada bulan November dia lulus dari jurusan Sastra Inggris (http://en.wikipedia.org/wiki/Marcel_Pagnol).

Pada tahun 1992, dia pindah ke Paris, tempat dia mengajar Bahasa Inggris dan menjadi penulis naskah drama sampai tahun 1972. Berpisah dengan Simone Collin sejak 1926 (meskipun tidak bercerai hingga tahun 1941), dia menjalin hubungan dengan penari muda berkebangsaan Inggris Kitty Murphy: Putranya,


(33)

5

Jacques Pagnol lahir pada tanggal 24 September 1930 (http://en.wikipedia.org/wiki/Marcel_Pagnol).

Pada tahun 1945, Pagnol menikah lagi, dengan artis Jacqueline Bouvier dan dikaruniai dua anak, Frédéric (lahir 1946) dan Estelle (lahir 1949). Dia kembali menulis naskah drama, tapi setelah karyanya tidak diterima baik oleh masyarakat dia memutuskan mengganti pekerjaannya sekali lagi dan mulai menulis seri dari roman otobiografi –Souvenirs d‟enfance- berdasarkan pengalaman masa kanak-kanaknya. Pada tahun 1957, kedua roman seri pertamanya, La Gloire de Mon Père dan Le Château de Ma Mère yang dipublikasikan, langsung diterima dengan baik oleh masyarakat Prancis (http://en.wikipedia.org/wiki/Marcel_Pagnol).

Pagnol meninggal di Paris pada tanggal 18 April 1974. Dia dimakamkan di pemakaman La Treille di Marseille, bersama dengan orangtua, para adik laki-laki, dan istrinya. Novel La Gloire de Mon Père dan Le Château de Ma Mère juga difilmkan dengan sukses oleh sutradara Yves Robert pada tahun 1990 (http://en.wikipedia.org/wiki/Marcel_Pagnol).

Roman otobiografi tersebut menceritakan tentang masa kanak-kanak Marcel Pagnol, tentang asal-usul nenek moyangnya, dan tentang keluarganya sendiri. Sesuai judul roman tersebut, kisahnya banyak bercerita mengenai ayahnya. Dia menganggap ayahnya adalah orang yang sangat berpengaruh terhadap pola pikirnya pada masa itu dan dia menganggap ayahnya sebagai bagian dari hidupnya. Ciri utama roman ini menceritakan tentang kebanggaan seorang anak terhadap ayahnya.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diperoleh gambaran bahwa pada umumnya para pengarang yang berhasil adalah merekalah yang mampu untuk


(34)

6

mengombinasikan antara fakta-fakta yang ada dalam masyarakat dengan ciri-ciri fiksional (Ratna 2009 :334). Datang dari berbagai pertimbangan tersebut, saya memiliki ide untuk mengkaji roman La Gloire de Mon Père melalui sudut pandang pemikiran sosiologi Emile Durkheim yaitu bentuk perwujudan pemujaan individu oleh tokoh Marcel Pagnol terhadap ayahnya, Joseph Pagnol.

Selain beberapa pertimbangan di atas, alasan lain dalam pemilihan roman tersebut sebagai bahan kajian yaitu, roman ini ditulis dalam bahasa Prancis modern, dan menggunakan gaya ungkap yang lugas sehingga mudah untuk dipahami. Selain itu, roman ini juga merupakan roman otobiografi (www.EouropeanMasterpieces.com), yang berarti pengarang roman tersebut bercerita tentang sebuah fakta yang bisa dianalisis menggunakan teori sosiologi Emile Durkheim khususnya melalui perspektif pemujaan individu.

Dalam sejumlah karyanya, Durkheim membahas gagasan tentang pemujaan individu yang memberi budaya modern representasi kolektif yang mampu mengintegasikan dan mengatur masyarakat. Pemujaan individu dibedakan dari egoisme. Dalam egoisme, individu hanya peduli dengan kepentingan sendiri, sementara dalam pemujaan individu, orang rela mengorbankan kepentingan mereka atas nama suatu individualitas yang sama-sama dimiliki oleh setiap manusia (Ritzer dan Goodman 2010:120).

Pemujaan individu itu merupakan rekan sejawat bagi perkembangan pembagian kerja, akan tetapi isinya sama sekali berbeda dari bentuk-bentuk tradisional dari komunitas moral (Giddens 2007:99). Dalam perspektif Durkheim (Johnson 1986:173), persepsi individu tentang kepentingan pribadinya tidak dibentuk dalam isolasi dari sesamanya, melainkan dibentuk oleh kepercayaan


(35)

7

bersama serta nilai-nilai yang dianut bersama orang-orang lainnya dalam masyarakat.

Pemujaan individu ini memiliki tiga konsep dasar, yaitu homo duplex atau hakikat manusia sebagai makhluk ganda, individualisme moral atau individu dianggap sebagai representasi kolektif yang mampu mengikat hasrat masing-masing individu lain yang dianggap terlalu berlebihan, dan pemujaan individu yang muncul dari rasa simpati yang mengakibatkan individu rela mengorbankan kepentingan pribadinya demi individu yang dipujanya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang dapat diajukan adalah:

1. Bagaimanakah pemikiran para tokoh dalam roman La Gloire de Mon Père melalui sudut pandang homo duplex?

2. Bagaimanakah bentuk perwujudan individualisme moral para tokoh yang terdapat dalam roman La Gloire de Mon Père?

3. Bagaimanakah bentuk perwujudan pemujaan individu oleh Marcel Pagnol sebagai tokoh utama terhadap ayahnya, Joseph Pagnol?

1.3 Tujuan Penelitian

Berkaitan dengan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan pemikiran para tokoh dalam roman La Gloire de Mon Père melalui sudut pandang homo duplex.


(36)

8

2. Mendeskripsikan bentuk perwujudan individualisme moral para tokoh yang terdapat dalam roman La Gloire de Mon Père.

3. Mendeskripsikan bentuk perwujudan pemujaan individu oleh Marcel Pagnol sebagai tokoh utama terhadap ayahnya, Joseph Pagnol.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini setidaknya dapat dipilah menjadi dua bagian, yakni manfaat teoritis dan praktis. Manfaat teoritis penelitian ini adalah:

1. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dan pengetahuan tentang penelitian sosiologi pada mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Asing.

2. Penelitian ini dapat menambah wawasan tentang sosiologi dalam kaitannya dengan dunia sastra.

3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dan perbandingan untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

Adapun secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat:

1. Mengembangkan teori sosiologi Emile Durkheim tentang pemujaan individu.

2. Memperkaya khasanah tentang roman yang merupakan sebuah cerminan dari masyarakat tertentu.

1.5 Sistematika Penelitian

Secara garis besar skripsi ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian awal skripsi, inti skripsi, dan akhir skripsi.


(37)

9

Bagian awal skripsi berisi halaman judul, lembar pengesahan, lembar pernyataan, moto dan persembahan, prakata, article, daftar isi, dan daftar lampiran.

Bagian inti skripsi terdiri dari lima bab. Bab I adalah pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan skripsi.

Bab II berupa landasan teori yang mengungkapkan pendapat para ahli dari berbagai sumber yang mendukung penelitian. Bab II ini meliputi penjelasan mengenai karya sastra dan sosiologi Emile Durkheim.

Bab III berisi tentang penjelasan mengenai metodologi yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu mengenai metode dan pendekatan penelitian, objek penelitian, sumber data, metode dan teknik pengumpulan data, metode dan teknik analisis data, teknik penyajian hasil analisis data, serta langkah kerja penelitian.

Bab IV berisi analisis terhadap roman La Gloire de Mon Père melalui tinjauan sudut pandang pemujaan individu menurut Emile Durkheim.

Bab V berisi simpulan dan saran.

Adapun bagian akhir skripsi ini terdiri dari daftar pustaka dan lampiran-lampiran.


(38)

10

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Kaitan antara Sosiologi dan Sastra Secara Umum

Hubungan karya sastra dengan masyarakat, baik sebagai negasi dan inovasi, maupun afirmasi, jelas merupakan hubungan hakiki. Karya sastra mempunyai tugas penting, baik dalam usahanya untuk menjadi pelopor pembaharuan, maupun memberikan pengakuan terhadap suatu gejala kemasyarakatan (Ratna 2009 :334).

Ratna menambahkan, bahwa diantara genre karya sastra, yaitu puisi, prosa dan drama, genre prosalah, khususnya novel, yang dianggap paling dominan dalam menampilkan unsur-unsur sosial. Alasan yang dapat dikemukakan, di antaranya : a) novel menampilkan unsur-unsur cerita yang paling lengkap, memiliki media yang paling luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang juga paling luas, b) bahasa novel cenderung merupakan bahasa sehari-hari, bahasa yang paling umum digunakan dalam masyarakat. Oleh karena itulah, dikatakan bahwa novel merupakan genre yang paling sosiologis dan responsif sebab sangat peka terhadap fluktuasi sosiohistoris (Ratna 2009:335-336).

Menurut Hauser (dalam Ratna 2009:336) karya sastra lebih jelas dalam mewakili ciri-ciri zamannya. Veeger (dalam Narwoko 2004 :3) berpendapat bahwa kekhususan sosiologi adalah bahwa perilaku manusia selalu dilihat


(39)

11

dalam kaitannya dengan struktur-struktur kemasyarakatan dan kebudayaan yang dimiliki, dibagi, dan ditunjang bersama.

Ratna (2007:269) berpendapat bahwa sastra dan masyarakat berhubungan secara potensial. Masih menurut Ratna (2007 :269), secara sosiologis jelas pengarang memiliki hubungan yang intens dengan masyarakatnya. Imajinasi dan kreativitas, dan dengan demikian juga bahasa yang digunakan untuk mengungkapkannya juga milik masyarakat.

Setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan atau milieu tempat pengarang tinggal dan berasal. Kita dapat mengumpulkan tentang latar belakang sosial, latar belakang keluarga, dan kondisi ekonomi pengarang (Wellek dan Werren 1990 :112).

2.2 Konsep Emile Durkheim mengenai Pemujaan Individu

Perhatian Durkheim yang utama adalah bagaimana masyarakat dapat mempertahankan integritas dan koherensinya di masa modern, ketika hal-hal seperti latar belakang keagamaan dan etnik bersama tidak ada lagi. Untuk mempelajari kehidupan sosial di kalangan masyarakat modern, Durkheim berusaha menciptakan salah satu pendekatan ilmiah pertama terhadap fenomena sosial. Bersama Herbert Spencer, Durkheim adalah orang pertama yang menjelaskan keberadaan dan sifat berbagai bagian dari masyarakat dengan mengacu kepada sebuah fungsi. Fungsi yang mereka lakukan demi mempertahankan kesehatan dan keseimbangan suatu masyarakat


(40)

12

Berbeda dengan para pendahulunya seperti Saint-Simon dan Compte, Durkheim mengembangkan basis akademis yang lebih solid ketika kariernya mulai menanjak. Durkheim mendaulat sosiologi di Prancis, dan karyanya menjadi kekuatan dominan dalam perkembangan sosiologi secara umum dan teori sosiologi khususnya (R. Jones dalam Ritzer dan Goodman 2010 :18)

Durkheim sering kali disebut sebagai seorang yang berhaluan politik konservatif, dan pengaruhnya dalam bidang sosiologi jelas-jelas konservatif. Namun, pada zamannya ia dipandang sebagai seorang liberal, dan ini tercermin ketika dia secara aktif berperan dalam membela Alfred Dreyfus, kapten tentara keturunan Yahudi yang divonis mati karena penghinaan terhadap Tuhan dirasakan banyak orang sebagai anti semit (Farrel dalam Ritzer dan Goodman 2010 :90-91).

Durkheim sangat tersinggung oleh persoalan Dreyfus, khususnya Semitisme yang ada di dalamnya. Namun Durkheim tidak menyebut anti-Semitisme tersebut sebagai rasisme di kalangan masyarakat Prancis. Secara khusus, ia melihatnya sebagai penyakit moral yang dihadapi masyarakat Prancis secara keseluruhan (Birnbaum dan Todd dalam Ritzer dan Goodman 2010:91).

Minat Durkheim pada kasus Dreyfus lahir dari minatnya yang begitu dalam dan lama terhadap moralitas dan krisis moral yang dihadapi masyarakat modern (Ritzer dan Goodman 2010:91).

Fauconnet (dalam Ritzer dan Goodman 2010 :109) mengungkapkan bahwa sejauh ini, fokus perhatian kita adalah konsep Durkheim tentang masyarakat dan serangkaian penelitian yang mengembangkan konsep tersebut.


(41)

13

Ada tema penting lain yang pada awalnya terlihat tidak selaras fokus perhatian Durkheim tentang fakta sosial, yaitu idenya tentang individualisme. Memang

salah satu dari pengikutnya menulis bahwa „kita tidak akan mengada-ada jika

menamai teori [Durkheim] dengan individualisme‟.

Durkheim membedakan individualisme moral dengan egiosme (Ritzer dan Goodman 2010:109). Egoisme adalah kesadaran tentang individualitas kita, kita bisa lebih sadar tentang individu kita, kebutuhan dan hasrat non sosial. Sedangkan dalam individualisme moral, individu menjadi representasi kolektif dan oleh karena itu mengikat harapan kohesi sosial di sekitar ide individualitas (Ritzer dan Goodman 2010:110).

Pada kenyataanya dalam masyarakat-masyarakat kontemporer, bentuk kohesi ini (solidaritas mekanis) makin lama makin diganti oleh suatu jenis baru dari kohesi sosial (solidaritas organis). Akan tetapi berfungsinya solidaritas organis tidak bisa ditafsirkan dengan cara teori utilitarianisme (Giddens 2007:99).

Utilitarianisme sebagai teori sistematis pertama kali dipaparkan oleh

Jeremy Bentham dan muridnya, John Stuart Mill. Utilitarianisme merupakan suatu paham etis yang berpendapat bahwa yang baik adalah yang berguna, berfaedah, dan menguntungkan. Sebaliknya, yang jahat atau buruk adalah yang tak bermanfaat, tak berfaedah, dan merugikan. Karena itu, baik buruknya perilaku dan perbuatan ditetapkan dari segi berguna, berfaedah, dan menguntungkan atau tidak. Menurut kaum utilitarianisme, tujuan perbuatan sekurang-kurangnya menghindari atau mengurangi kerugian yang diakibatkan


(42)

14

oleh perbuatan yang dilakukan, baik bagi diri sendiri ataupun orang lain (http://en.wikipedia.org/wiki/Utilitarianism).

Memang betul ada suatu bidang, di mana conscience collective (kesadaran kolektif) menjadi „diperkuat dan dibuat lebih tepat: dalam

hubungannya dengan „kultus individu.‟ Pertumbuhan „kultus individu‟ hanya

mungkin, oleh karena sekularisasi dari kebanyakan sektor kehidupan sosial. Ini berlawanan dengan bentuk-bentuk tradisional conscience collective yaitu dalam hal, bahwa walaupun kultus individu terdiri atas kepercayaan-kepercayaan dan sentiment-sentimen bersama, namun kepercayaan-kepercayaan dan perasaan terpusat kepada nilai dan gengsi pribadi orang dan bukannya kepada kolektivitas (Giddens 2007:99).

Durkheim mendefinisikan kesadaran kolektif sebagai berikut:

Seluruh kepercayaan dan perasaan bersama orang kebanyakan dalam sebuah masyarakat akan membentuk suatu sistem yang tetap punya kehidupan sendiri; kita boleh menyebutnya dengan kesadaran kolektif atau kesadaran umum. Dengan demikian, dia tidak sama dengan kesadaran partikular, kendati hanya bisa disadari lewat kesadaran-kesadaran partikular. (Durkheim dalam Ritzer dan Goodman 2010:85).

Dalam sebuah jurnal yang berjudul durkheim‟s “Cult of the Individual” and the Moral Reconstitution of Society karya Charles E. Marske yang diterbitkan pada tahun 2003 menegaskan bahwa inti dari hasil pemikiran Durkheim yang utama adalah mengenai Individualisme moral.

Although the expanding literature on Durkheim‟s thought contains a variety of interpretations of much of his work, the significance of his long-standing concern with the development of


(43)

15

individualism in society is undeniable. The age-old question of the relationship between the individual and society is a keystone of his work (www.jstor.org/sici).

Meskipun perluasan hasil karya pemikiran Durkheim terdiri dari bermacam-macam interpretasi dari sekian banyak hasil pemikirannya, makna dari pemikiran yang panjang mengenai perkembangan individualisme dalam masyarakat tidak bisa diabaikan. Pertanyaan kuno mengenai hubungan antara individu dan masyarakat adalah jawaban dari hasil pemikirannya (www.jstor.org/sici).

Masih dari sumber yang sama, individualisme moral Durkheim tampak pada konsep mengenai pemujaan individu. Sebagaimana dapat kita lihat melalui kutipan berikut:

This chronological sequence culminates in Durkheim‟s development of the idea of moral individualism as seen in his “cult of the individual”, a potentially integrative factor in modern society (www.jstor.org/sici).

Urutan kronologis ini puncaknya adalah perkembangan paham

individualisme moral Durkheim seperti terlihat dalam “pemujaan individu”

yang diajukannya, sebuah faktor yang melekat dalam masyarakat modern (www.jstor.org/sici).

2.2.1 Homo Duplex

Menurut Durkheim, dalam diri kita terdapat dua hakikat. Hakikat yang pertama didasarkan pada individualitas tubuh kita yang terisolasi dan kedua adalah hakikat kita sebagai makhluk sosial. Hakikat yang terakhir inilah yang merupakan diri kita yang tertinggi dan merepresentasikan segala sesuatu yang


(44)

16

deminya kita rela mengorbankan kedirian dan kepentingan jasmaniah kita sendiri (Ritzer dan Goodman 2010:109). Dua diri ini hadir dalam ide tubuh dan pikiran:

Bukan tanpa alasan kalau manusia merasakan dirinya menjadi ganda, karena dia memang ganda. Dalam dirinya ada dua kelas kesadaran yang berbeda satu sama lain dalam hal asal dan hakikatnya, dan dalam hal tujuan akhir yang ingin dicapai keduanya. Kelas pertama selalu mengekspresikan organisme kita dan objek-objek yang terkait dengannya. Karena bersifat sangat individual, kesadaran dari kelas ini hanya menghubungkan kita dengan diri kita sendiri, dan kita tidak bisa melepaskan mereka dari diri kita sebagaimana halnya kita tidak bisa lepas dari tubuh kita sendiri. Kesadaran dari kelas kedua, sebaliknya, datang kepada kita dari masyarakat, dia mengirim masyarakat ke dalam diri kita dan menghubungkan diri kita dengan sesuatu yang melebihi kita. Karena bersifat kolektif, impersonal, kesadaran ini mengarahkan kita kepada tujuan yang sama-sama ingin kita capai bersama orang lain; hanya melalui kesadaran inilah kita dapat dan mungkin berkomunikasi dengan orang lain. Oleh karena itu, sebenarnya hakikat kita terbagi menjadi dua bagian, dan layaknya dua makhluk berbeda, yang meskipun terkait erat satu sama lain, namun terdiri dari unsur yang sangat berbeda dan mengarahkan kita menuju arah yang berlawanan (Durkheim dalam Ritzer dan Goodman 2010:109-110).

Seperti yang dijelaskan oleh Durkheim di atas, dua diri tersebut selalu berada dalam bentuk ketegangan, tetapi juga saling berhubungan. Pengertian


(45)

17

kita tentang individualitas kita berkembang sebagaimana berkembangnya masyarakat (Ritzer dan Goodman 2010:110).

Analisis ini bisa dikaitkan lagi kepada teori campur berbaurnya agama dan moralitas yang bersifat primitif. Dimana-mana dalam pemikiran, orang telah membayangkan diri sebagai dua makhluk berlainan, raga dan jiwa. Raga dikatakan berada di dunia materiil, jiwa di dalam lingkungan yang tidak kontinu dari yang kudus. Suatu kepercayaan yang universal bukanlah suatu kebetulan dan sama sekali juga bukan khayalan, serta harus berada si atas suatu kegandaan, yang hakiki untuk kehidupan manusia di dalam masyarakat (Giddens 2007:142).

Dalam masyarakat modern, homo duplex merepresentasikan perbedaan antara mengejar ego dan hasrat individual kita dengan kesiapan untuk mengorbankan mereka atas nama individualitas yang kita percaya bahwa semua manusia memiliki keadaan yang sama (Ritzer dan Goodman 2010:110).

2.2.2 Individualisme Moral

Durkheim sangat memperhatikan kebutuhan untuk memperkuat aspek kolektif dari diri kita agar ada kontrol terhadap hasrat individu kita yang berlebihan. Di satu pihak, ketika kita sadar tentang individualitas kita, kita bisa menjadi lebih sadar tentang individu kita, kebutuhan dan hasrat nonsosial. Inilah yang disebut oleh Durkheim dengan egoisme. Di pihak lain, sebagaimana ide individualitas berkembang dalam masyarakat, individu menjadi representasi kolektif. Oleh karena itu, individualisme moral tersebut


(46)

18

mengikat harapan kohesi sosial di sekitar ide individualitas. Durkheim menamai ini dengan individualisme moral (Ritzer dan Goodman 2010:110).

Tole (dalam Ritzer dan Goodman 2010:110) mengungkapkan bahwa bagi Durkheim, adalah etika individualisme yang melandaskan kebebasan manusia pada solidaritas komunal, suatu etika yang mengakui hak individu dalam hubungannya dengan keberadaan seluruh warga alih-alih dengan upaya individual terhadap pemuasan kepentingan-diri. Inilah etika yang merepresentasikan pengalaman sesungguhnya dari cita-cita individualisme, dan bagi Durkheim adalah satu-satunya jalan keluar bagi persoalan bagaimana

individu bisa tetap “punya solidaritas sementara dia semakin menjadi otonom”.

Tiap orang memulai kehidupannya sebagai makhluk yang egoistis (walaupun tentunya bukan makhluk anomi), yang hanya mengetahui perasaan, di mana kegiatan-kegiatannya dikuasai oleh kebutuhan-kebutuhan rasa. Akan tetapi dengan adanya sosialisasi terhadap anak, sifat egoistisnya sebagian menjadi tertutup segala sesuatu yang dia pelajari dalam masyarakat. Dengan demikian, setiap orang mempunyai sisi egoistis pada pribadinya, dan pada saat yang sama dia merupakan makhluk sosial (Giddens 2007:143).

Tuntutan moral dari kehidupan dalam masyarakat tidak bisa seluruhnya akur dengan kecenderungan-kecenderungan egoistisnya: „masyarakat tidak

bisa dibentuk atau dipertahankan keberadaanya, tanpa kita diharuskan memberikan pengorbanan dengan terus-menerus dan berharga‟ (Giddens

2007:143). Giddens (2007:143) melanjutkan bahwasanya ada suatu aneka ragam keinginan-keinginan egoistis, yang tidak berasal dari


(47)

kebutuhan-19

kebutuhan rasa. „Justru egoisme kita inilah sebagian besar merupakan hasil dari masyarakat.‟

Individualisme moral berasal dari masyarakat. “Individualisme adalah

produk sosial sama seperti moralitas dan agama. Bahkan dari masyarakatlah

individu menerima keyakinan moral yang membuatnya menjadi “tuhan”

(Durkheim dalam Ritzer dan Goodman 2010:111).

Durkheim on Justice, Morals and Politics merupakan judul dari sebuah jurnal karya Roger Cotterrell yang di dalamnya menyinggung mengenai individualisme moral. Durkheim beranggapan bahwa individualisme moral merupakan moralitas utama yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat modern.

Moral individualism, the system of ultimate values which modern society needs, establishes the individual as a moral being with dignity and autonomy; and society, through this value system, determines what dignity, autonomy, rights, etc (Cotterell 2010:12).

Individualisme moral, sistem nilai utama yang merupakan kebutuhan masyarakat modern, menetapkan individu sebagai moral yang dengan moral dan otonomi, dan masyarakat, melalui sistem nilai, menentukan apa itu martabat, otonomi, hak dan lain-lain.

Pandangan Durkheim berikutnya mengenai individualisme dalam masyarakat ialah dalam konteks modernitas. Durkheim mengamati bahwa keseragaman ide, termasuk ide tentang moralitas mulai menurun dengan adanya peningkatan pembagian kerja dan peningkatan perbedaan struktur pada masyarakat modern.

The individual comes to acquire even wider rights over his own person and over the possession to which he has title; he also comes to form ideas about the world that seem to him most fitting


(48)

20

and to develop his essential qualities without hindrance (www.jstor.org/sici).

Individu hadir untuk memperoleh bahkan kebenaran yang lebih luas terhadap dirinya sendiri dan terhadap gelar yang dimilikinya. Individualisme juga hadir untuk membentuk ide tentang dunia yang tampak baginya paling tepat dan mengembangkan kualitas intinya tanpa penghalang (www.jstor.org/sici).

Moralitas, bagi Durkheim, memiliki tiga komponen. Pertama, moralitas melibatkan disiplin, yaitu suatu pengertian tentang otoritas yang menghalangi dorongan-dorongan idiosinkratis (cara berbuat/bertingkah laku secara khusus terhadap seseorang). Kedua, moralitas menghendaki keterikatan dengan masyarakat karena masyarakat adalah sumber moralitas. Ketiga, melibatkan otonomi, suatu konsep tentang individu yang bertanggung jawab atas tindakan mereka (Ritzer dan Goodman 2010:113)

2.2.3 Pemujaan Individu

Kultus individu (Giddens 2007:144), tidak didasari oleh egoisme akan tetapi oleh kelanjutan dari perasaan-perasaan simpati yang sama sekali bertolak belakang bagi penderitaan manusia dan keadilan sosial. Kendatipun individualisme mau tidak mau memproduksi suatu peningkatan dalam egoisme, individualisme dalam segi apa pun tidak berasal dari egoisme, dan

dengan demikian tidak produktif bagi „suatu egoisme moral yang sekiranya


(49)

21

Durkheim percaya bahwa problem utama masyarakat modern adalah moral alami dan bahwa solusi satu-satunya hanya ada dalam penguatan daya moralitas kolektif. Meskipun Durkheim mengakui bahwa tidak mungkin mengembalikan kekuatan kesadaran kolektif masyarakat solidaritas mekanis, namun dia yakin kalau bentuk modern solidaritasnya dapat diwujudkan. Untuk menguatkan fakta bahwa individu bisa menjadi sakral bagi kita, dia mengistilahkan bentuk modern kesadaran kolektif dengan pemujaan individu, Tole (dalam Ritzer dan Goodman 2010:110).

Durkheim (dalam Ritzer dan Goodman 2010:111) mengungkapkan bahwa pemujaan terhadap seseorang yang merupakan yang dipuja sekaligus pemuja tidak mengalamatkan dirinya kepada makhluk tertentu yang membentuk dirinya dan membawa namanya, akan tetapi seorang manusia, dimanapun dia dapat ditemui, dan dalam perwujudan apa pun. Karena impersonal dan anonim, seseorang yang dipuja itu berada diatas kesadaran partikular dan menjadi titik tuju. Maka individualisme yang diperluas ini bukanlah pengudusan suatu diri, akan tetapi individu secara umum. Sumbernya bukan dari egoisme tapi dari simpati untuk semua yang disebut manusia.

Hal ini dipertegas oleh Durkheim dalam kutipan berikut ini. The “individual” who is the subject of the ideas embodied in moral individualism is not the specific individual or personality, but “man” in general. The basis of the morality of the cult of the individual is composed of those of „man‟ in the abstract. These values are the direct opposite of the self-interest of egoistic individualism; the imply sentiments of sympathy for others and for human suffering (www.jstor.org/sici).


(50)

22

“Individu” yang menjadi subjek dari ide-ide yang terkandung dalam

individualisme moral bukan individu tertentu atau pribadi, tetapi “manusia”

pada umumnya. Dasar moral pengkultusan individu adalah konsep moral manusia secara abstrak. Nilai-nilai tersebut adalah kebalikan dari kepentingan individualisme egois, yang menyiratkan perasaan simpati bagi orang lain dan bagi penderitaan manusia (www.jstor.org/sici).

Durkheim juga berpendapat sebagai berikut.

The cult, moreover, has all that required to take the place of the religious cults of former times. It serves as well as they to bring about the communion of minds and wills which is a first condition of any social (www.jstor.org/sici).

Kultus individu ini, lagi pula, memiliki semua yang perlu untuk menggantikan pemujaan yang bersifat keagamaan pada masa lalu. Kultus semacam ini menghadirkan penyatuan pikiran dan kehendak yang menjadi syarat utama kehidupan sosial (www.jstor.org/sici).

Pemujaan individu di sini dibatasi sebagai ikatan sosial, sebagaimana dipertegas dalam kutipan berikut ini.

The cult of man is something, accordingly, very different from the egoistic individualism above referred to, which lead to suicide. Far from detaching individuals from society and from every aim beyond themselves, it unites them in one thought, make them servant of one work (www.jstor.org/sici).

Dengan demikian, pemujaan terhadap manusia adalah sesuatu yang sangat berbeda dari individualisme egois yang disebut di atas, yang menyebabkan bunuh diri. Tanpa memisahkan individu dari masyarakat dan dari tujuan di luar diri mereka sendiri, pemujaan individu menyatukan mereka


(51)

23

dalam satu pikiran, dan menjadikan mereka hamba dari satu karya (www.jstor.org/sici).


(52)

24

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

Dalam bab ini akan dibahas mengenai Pendekatan Penelitian, Objek Penelitian, Sumber data, Metode dan Teknik Pengumpulan Data, Metode dan Teknik Analisis Data serta Langkah Kerja Penelitian.

3.1 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologis. Pendekatan sosiologis menganalisis manusia dalam masyarakat, dengan proses pemahaman mulai dari masyarakat ke individu. Pendekatan sosiologis menganggap karya sastra sebagai milik masyarakat (Ratna 2009:59).

Dasar filosofis pendekatan sosiologis adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Hubungan-hubungan yang dimaksudkan disebabkan oleh a) karya sastra dihasilkan oleh pengarang, b) pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat, dan c) pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat, dan d) hasil karya sastra itu dimanfaatkan kembali oleh masyarakat (Ratna 2009:60).

Ratna (2009:60) menambahkan, sesuai dengan hakikatnya, sebagai sumber estetika dan etika, karya sastra tidak bisa digunakan secara langsung. Sebagai sumber estetika dan etika karya sastra hanya bisa menyarankan. Oleh karena itulah, model pendekatannya adalah pemahaman dengan harapan akan terjadi perubahan perilaku masyarakat. Apabila manusia sudah tidak mungkin untuk


(53)

25

mencari kebenaran melalui logika, ilmu pengetahuan, bahkan agama, maka hal ini diharapkan dapat terjadi dalam karya sastra.

Pendekatan sosiologis juga memiliki implikasi metodologis berupa pemahaman mendasar mengenai kehidupan manusia dalam masyarakat. Aspek estetis memiliki kekuatan besar dalam mengorganisasikan massa (Ratna 2009:61). Pada dasarnya kita hidup di tengah masyarakat yang cenderung melihat segala sesuatu disebabkan oleh individu, bahkan persoalan sosial sekalipun seperti rasisme, polusi, dan resesi ekonomi. Durkheim mendekati masalah ini dari perspektif yang berlawanan, ia lebih menekankan dimensi sosial dari seluruh fenomena manusia (Ritzer dan Goodman2010:80).

Teori pemujaan individu dengan pendekatan sosiologis dalam penelitian ini untuk memahami bagaimana Marcel Pagnol sebagai pengarang menceritakan masa kecilnya ketika berusia delapan tahun, yang hidup bersama anggota keluarganya. Dia bercerita lebih khusus mengenai sebuah kebanggaan terhadap ayahnya. Bagi Pagnol, ayahnya merupakan bagian yang tidak bisa dihilangkan dari masa lalunya sehingga membentuk dirinya ketika dewasa.

3.2 Objek Penelitian

Objek penelitian ini terdiri dari dua bagian, yaitu objek penelitian material dan objek penelitian formal. Objek penelitian material merupakan sasaran material suatu penelitian yaitu suatu bahan yang menjadi tinjauan penelitian dan diselidiki atau disorot oleh suatu disiplin ilmu (Surajiyo 2009:36). Objek material penelitian ini adalah roman La Gloire de Mon Père karya Marcel Pagnol.


(54)

26

Objek penelitian formal merupakan pendekatan secara cermat dan bertahap yang dipakai atas objek material yang sedemikian khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang yang diteliti. Objek formal disebut juga sebagai sudut pandang yang ditujukan pada bahan dari penelitian atau sudut pandang darimana objek material itu disorot (Surajiyo 2009:36).

Objek formal terdiri dari dua unsur. Unsur-unsur pertama dibicarakan dalam kaitannya dengan sistem sosiokultural yang lebih luas, sedangkan unsur-unsur yang kedua dibicarakan dalam kaitannya dengan karya sastra sebagai totalitas (Ratna 2009:50). Kaitan karya sastra sebagai sistem sosiokultural dan sebagai totalitas dalam objek formal ini yaitu hakikat manusia sebagai homo duplex, individualisme moral yang tercermin dalam kehidupan dan lingkungan Marcel Pagnol, serta gambaran pemujaan individu terhadap ayahnya.

3.3 Sumber Data

Sumber data dibagi menjadi dua, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer merupakan sumber utama data (Siswantoro 2004:140). Sumber data primer penelitian ini adalah roman La Gloire de Mon Père karya Marcel Pagnol. Karya tersebut menggunakan bahasa Prancis modern yang belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Peneliti menerjemahkan dengan pemahaman sendiri untuk kebutuhan analisis. Sumber data sekunder merupakan sumber data kedua (Siswantoro 2004:140). Sumber data sekunder dalam penelitian ini, yaitu data-data yang bersumber dari buku-buku acuan, yang dimaksud buku-buku acuan adalah buku-buku teori yang digunakan dalam menganalisis sumber data primer.


(55)

27

3.4 Metode danTeknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kepustakaan. Metode kepustakaan adalah metode pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan (Nazir 2003:111).

Selanjutnya, masih menurut Nazir (2003:112) metode kepustakaan merupakan langkah yang penting setelah seorang peneliti menetapkan topik penelitian, langkah selanjutnya adalah melakukan kajian yang berkaitan dengan teori yang berkaitan dengan topik penelitian. Dalam pencarian teori, peneliti akan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari kepustakaan yang berhubungan. Sumber-sumber kepustakaan dapat diperoleh dari: buku, jurnal, majalah, hasil-hasil penelitian (tesis dan disertasi), dan sumber-sumber lainnya yang sesuai (internet, koran dll). Bila kita telah memperoleh kepustakaan yang relevan, maka segera untuk disusun secara teratur untuk dipergunakan dalam penelitian. Oleh karena itu metode kepustakaan meliputi proses umum seperti: mengidentifikasikan teori secara sistematis, penemuan pustaka, dan analisis dokumen yang memuat informasi yang berkaitan dengan topik penelitian.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini juga menggunakan teknik studi kepustakaan. Teknik studi kepustakaan merupakan aktivitas pengumpulan berbagai jenis data sekunder yang dilakukan dengan cara mempelajari dan mengutip berbagai teori dari berbagai buku, mempelajari dan mengutip berbagai informasi dari internet dan media cetak (Narbuko dan Achmadi 2003:81).


(56)

28

Pada tahap ini, peneliti mengumpulkan dan menelaah sumber data yang ada relevansinya dengan tujuan penelitian, yaitu untuk memperoleh data yang kemudian digunakan dalam menganalisis objek penelitian. Langkah selanjutnya adalah memasukkan data tersebut ke dalam sebuah kartu data. Berikut adalah contoh kartu data:

5 Data:

Papa nous avait dit (avec une certaine joie laïque) que la mante dite « religieuse » était un animal féroce et sans pitié ; qu‟on pouvait la considérer comme le « tigre des insectes », et que l‟étude de ses mœurs était de plus intéressantes.

Je décidai donc les étudier, c‟est-à-dire que, pour déclencher une bataille entre les deux plus grosses, je les présentai de fort près l‟une à l‟autre, les griffes en avant (LGMP/3 /106)

Terjemahan :

Papa bilang pada kami (dengan kebahagiaan seorang atheis) bahwa la mante religiuse (nama sejenis serangga, belalang) adalah hewan buas dan tanpa belas kasihan, bisa dikatakan seperti « harimaunya serannga », dan bahwa mempelajari tingkah laku mereka sangatlah menarik.

Jadi, aku memutuskan untuk mempelajarinya, dengan maksud untuk melancarkan perang antara dua belalang yang paling besar, sambutlah belalang-belalang terkuat, cakar di depan.

Analisis :

Keterangan :

5 : Nomor data

LGMP : Judul Roman (La Gloire de Mon Père) 3 : Kode kajian (pemujaan individu) 106 : halaman yang digunakan


(1)

ilmu berburunya dengan Joseph. Setiap hari mereka berlatih teknik-teknik berburu dan menggunakan senjata, dan di setiap latihan, Marcel selalu ikut membantu mereka. Hal ini membuatnya merasa yakin bahwa dia juga akan ikut dalam perburuan tersebut, selain itu dia juga merasa dirinya sudah cukup besar untuk ikut berburu. Tetapi pada kenyataannya dia tidak diizinkan ikut oleh ayah dan pamannya karena berburu terlalu berbahaya untuk anak seusianya.

Marcel yang tidak diizinkan ikut berburu, merengek memaksa ikut berburu bersama ayah dan pamannya. Hal ini membuat mereka terpaksa membohonginya dengan menjanjikannya ikut serta dalam perburuan tersebut. Tetapi ketika hari perburuan tiba, Marcel mengetahui dari adiknya bahwa dia telah dibohongi. Dia menjadi putus asa dan marah, sehingga malam itu juga, dia memutuskan untuk mengikuti mereka secara diam-diam. Ketika Marcel membuntuti ayah dan pamannya, di tengah perjalanan dia kehilangan jejak mereka dan dia tersesat di dalam hutan. Rasa takut dan putus asa membuat semangatnya luntur. Tetapi kemudian, semangatnya tumbuh kembali karena dia teringat oleh nasihat ayahnya bahwa harapan itu tidak penting, yang terpenting adalah kegigihan dalam berusaha. Nasihat itulah yang membuatnya yakin bahwa dia akan dapat bertemu kembali dengan orang-orang yang dicintainya.

Setelah hampir seharian Marcel berputar-putar mencari jalan pulang, akhirnya dia bertemu kembali dengan ayah dan pamannya, dan sekaligus menjadi saksi kemenangan ayahnya yang berhasil menangkap bartavelle.


(2)

LAMPIRAN II:

Sumber: http://fr.wikipedia.org/wiki/Perdrix_bartavelle PERDRIX BARTAVELLE

La perdrix bartavelle ou simplement bartavelle (Alectoris graeca), aussi nommée Perdrix royale, perdrix de roche, perdrix grecque, fait partie de la famille des phasianidés(1).

Elle est la plus grande des perdrix(2), avec une taille variant de 32 à 43 cm et un poids oscillant entre 460 et 770 grammes. Elle a une gorge blanche, circonscrite d'un collier noir. C'est une perdrix qui ressemble beaucoup à la perdrix rouge, les différences sont que la perdrix rouge a un plumage plus rouge sur le torse alors que la bartavelle a un plumage plus jaunâtre. Chez les bartavelles, on ne peut pas différencier un mâle d'une femelle ; c'est au printemps lors de la reproduction que l'on peut les différencier, car le mâle sera un peu plus gros que la femelle et qu'il chantera pour attirer d'autres compagnes. Il faut savoir que cette perdrix vit surtout sur les pentes rocheuses alpines entre 1 000 et 2 000 m d'altitude. En France, elle a été rendue célèbre par le roman autobiographique de Marcel Pagnol, la Gloire de mon père(3).

Son nid est posé sur le sol dans les rochers et les zones pierreuses à

végétation rare. Elle pond de 8 à 14 œufs, à des intervalles de 24 à 36 heures, qui

sont couvés par la femelle de 24 à 26 jours. Les petits, nidifuges, sont élevés par les deux parents durant trois semaines. Ils atteignent leur taille adulte vers l'âge d'environ deux mois.


(3)

Elle vit dans des régions relativement élevées, pierreuses ou rocheuses, dans des zones montagneuses, même légèrement boisées. En hiver, elle descend à des altitudes plus basses. On la rencontre en Europe du sud-est, dans les Balkans, en Asie, au Proche-Orient ainsi que dans le golfe Persique.

Perdrix bartavelle atau yang biasa disebut bartavelle (Alectoris Graeca), juga disebut Perdrix royale, perdrix de roche, perdrix grecque, merupakan bagian dari famili dari phasianidés(1).

Bartavelle merupakan jenis burung perdrix(2) dengan ukuran paling besar, dengan ukuran mulai dari 32 sampai 43 cm dan berat antara 460 sampai 770 gram. Burung ini memiliki leher berwarna putih yang dilingkari garis hitam. Perdrix ini mirip dengan perdrix merah, bedanya kalau perdrix merah memiliki bulu yang berwarna lebih merah di bagian dada, sementara ada warna kekuniangan pada perdrix bartavelle. Bartavelle tidak bisa dibedakan jenis kelaminnya, kecuali pada musim semi ketika mereka bereproduksi, baru mereka bisa dibedakan, karena perdrix jantan memiliki ukuran lebih besar daripada perdrix betina. Sebagian besar perdrix ini hidup di lereng pegunungan berbatu dengan ketinggian antara 1000 sampai 2000 m. Di Prancis, burung ini menjadi terkenal karena ditulis dalam roman otobiografi oleh Marcel Pagnol, dengan judul La Gloire de Mon Père(3).

Sarang burung bartavelle diletakkan di tanah di daerah berbatu dengan vegetasi yang jarang. Dia meletakkan telur pada interval 8-14 dari 24-36 jam, yang diinkubasi oleh perdrix betina pada hari ke 24-26. Ketika masih kecil, prekosial, mereka dibesarkan oleh kedua orang tua mereka selama tiga minggu. Mereka mencapai ukuran dewasa pada usia sekitar dua bulan.


(4)

Bartavelle tinggal di daerah yang relatif tinggi, berbatu, daerah pegunungan, bahkan daerah hutan yang tidak begitu lebat. Pada musim dingin, dia turun menuju ketinggian yang lebih rendah. Hal ini terjadi di kawasan Eropa tenggara, di daerah Balkan, di Asia, di daerah Timur-Dekat, dan di teluk Persia. Catatan:

(1) Famille de phasianidés atau familia Phasianidae termasuk perdrix atau ayam hutan, ayam hutan hias, burung puyuh, kuau, merak, dan lain-lain. Burung-burung dalam famili ini banyak menghabiskan waktunya di tanah. Mereka memiliki bermacam-macam ukuran, tapi pada umumnya bersayap pendek dan biasanya, pejantan berukuran lebih besar dari pada yang betina (http://fr.wikipedia.org/wiki/Phasianidae).

(2) Perdrix dalam bahasa Indonesia biasa disebut dengan istilah ayam hutan, dalam roman La Gloire de Mon Père disebut juga sebagai Caccabis saxatilis atau coup du roi (lihat LGMP hal.221).

(3) La Gloire de Mon Père adalah seri pertama dari Souvenirs d‟enfance, yang

merupakan roman otobiografi karya Marcel Pagnol yang diterbitkan pada tahun 1957 (http://fr.wikipedia.org/wiki/La_Gloire_de_mon_père).


(5)

LAMPIRAN III :


(6)