84
itu memang sudah sedia, dan dapat dipakai oleh segala tenaga yang hendak berusaha ke jurusan itu.
”
90
9. Agoes Salim
Salim dikenal sebagai orang yang modern dalam mengembangkan Islamnya. Hal ini dapat disimak pada pandangannya yang lain dari teman-teman ulama se-zamannya
tentang kedudukan perempuan. Pernyataan ini ada dalam surat kabar Neratja, 4 September 1917.
“Apabila gadis sudah besar dan sudah meninggalkan sekolah, maka pada pendapat orang banyak, ia harus bersuami, yaitu
tidak perlu mencari penghidupan seperti orang laki-laki. Oleh sebab itu, perempuan tidak perlu diberi pengajaran sama banyak
dengan laki-laki. Akan tetapi, pada pendapat kita pikiran itu sesat semata-mata. Sekalipun kita umpamakan sekalian
perempuan mendapat jodoh tidak juga kurang perlu baginya kecerdasan, kepandaian, dan kecakapan. Si suami harus bekerja
akan mencari penghidupan bagi anak isterinya, akan tetapi si isterilah yang harus memegang belanja, mengemudikan rumah
tangga, dan mendidik serta mengajar anak. Maka, dalam dunia Bumiputera telah kita lihat buktinya, bahwa pada umumnya
mencari uang dan membelanjai rumah tangga lebih mudah daripada memegang uang dan mengemudikan rumah tangga itu.
Bumi putera yang bergaji atau berperolehan besar sudah banyak sekali, akan tetapi yang tahun menyimpan uang dan mengurus
rumah tangga dengan sepertinya masih mahal dicari... Laki-laki dan perempuan harus mengerti sama mengerti, menghargakan
sama menghargakan satu dengan lain, dan sekali-kali tidaklah harus masing-masing mengutamakan diri atau pihaknya. Dengan
jalan ini lah boleh tercapai kesesuaian dan serasi, yang amat perlu sekali akan jadi alasan penghidupan bersama, menuju, dan
mengusahakan maksud yang esa, yang harus kepada tiap-tiap manusia: kecakapan diri harus digunakan untuk mengusahakan
kepentingan dan guna umum.
”
91
Sepuluh tahun kemudian, pada Kongres Jong Islamieten Bond JIB Salim menyampaikan pidatonya dengan keras tentang harem dan cadar:
90
William H. Frederick dan Soeri Soeroto, Pemahaman Sejarah Indonesia: Sebelum dan Sesudah Revolusi Jakarta: LP3ES, Cetakan Pertama, 1982, 53. Lih.juga Muhammad Ya
min, “Tjatur-sila Chalduniah”, Seminar Sedjarah Nasional I Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1957, 32.
91
Ibid., 14. Lih.juga Mohammad Roem et al., Jejak Langkah Haji A. Salim Jakarta: Tintamas, 1954, 28.
85
“Salah satu kecondongan adalah memisahkan laki-laki dan perempuan di rapat-rapat. Orang perempuan disimpan di pojok
dengan ditutup kain putih tabir.” Menurut Salim, kebiasaan semacam ini adalah kebiasaan bangsa Arab, tidak berasal dari
perintah Islam. Bahkan mungkin juga berasal dari kepercayaan golongan Yahudi dan Kristen yang memandang posisi
perempuan lebih rendah ketimbang laki-laki. Islam sebaliknya
“memelopori emansipasi perempuan.”
92
Salim mengangkat derajat perempuan untuk setara dengan laki-laki melalui posisi di mana perempuan biasanya di dalam rumah tangga. Dalam posisi tersebut
Salim menangkap kelebihan perempuan yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain suami kebanyakan, bahkan di kalangan isteri pun juga jarang. Informasi lanjut
mengenai perkataan Salim ini didasari karena masih banyak kaum perempuan yang dipingit dengan konsekuensi buta huruf, hingga tahun 1945 masih 90 rakyat Indonesia
yang buta huruf dan sebagian besar adalah perempuan. Tanpa pendidikan yang setara akan menjadi mustahil kemajuan suatu bangsa dapat dicapai.
93
Pada lain kesempatan, Hatta, Bahder Djohan, dan Amir menemui Salim pada Februari 1920 untuk berdiskusi mengenai masalah-masalah besar yang dihadapi
bersama sebagai bangsa terjajah. Salah satu paham di Asia yang begitu terkenal pada saat itu ialah paham Sosialisme yang selalu digunakan oleh bangsa-bangsa yang terjajah
untuk menentang penjajahan karena bagian penjajahan merupakan bagian dari kolonialisme dan kapitalisme. Agus Salim mempunyai pikirannya tentang Islam dan
Kapitalisme. Hal ini dikarenakan pada masa kolonial saat itu, selain dari jalur agama yang menolak kolonialisme juga dari sosialisme. Sosialisme yang digunakan ialah
sosialisme Karl Marx yang bersifat materialisme, anti-Tuhan.
9292
Ibid ., 8. Lih. juga Mohammad Roem, “Memimpin Adalah Menderita : Kesaksian Haji Agus
Salim” dalam Taufik Abdullah, Aswab Mahasin, Daniel Dhakidae ed., Manusia dalam Kemelut Sejarah Jakarta: LP3ES, 1978, 126.
93
Ibid., 15.
86
“Nabi Muhammad s.a.w. yang diutus oleh Tuhan mengembangkan Islam di atas dunia ini sudah 12 abad lebih
dahulu dari Marx mengajarkan sosialisme. Perkataan sosialisme baru didapat dalam abad ke-19. Sosialisme Marx anti-Tuhan.
Tetapi tujuan yang hendak dicapai masyarakat yang berdasarkan sama rasa sama rata yang bebas dari kemiskinan, sudah lebih
dahulu dibentangkan dalam Islam, gama Allah yang disampaikan Nabi Muhammad kepada umat manusia.
Sayangnya, ulama-ulama kita hanya mengutamakan segi ibadat dan Fiqh dan melupakan segi kemasyarakatan itu daripada
Islam. Mengerjakan segi kemasyarakatan itu ialah juga perintah
Allah dalam Qur’an. Dari ulama-ulama kita didikan langgar yang pengetahuannya berat sebelah tidak dapat diharapkan
bahwa mereka akan sanggup menelaah segi kemasyarakatan itu dalam Islam.
”
94
Dalam perkataan Salim ini dapat dilihat bahwa pikiran tentang sosialisme sudah ada dalam Islam. Dapat diperkirakan bahwa Salim ingin mengatakan bahwa untuk apa
bingung menyesuaikan sosialisme Marx dengan Islam. Sosialisme sudah ada di dalam Islam sehingga tidak lagi bingung untuk Islam berpegang pada paham apa untuk
menentang kolonialisme dan kapitalisme. Sumber lain dapat disimak ketika Salim pernah mengutarakan pendapatnya
mengenai keragaman yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Kalimat ini ia berikan bagi para pemuda Indonesia di Washington ketika ia mampir setelah menjadi dosen tamu di
Universitas Cornell 1953. “Begitu pula di Tanah Air kita. Janganlah pemuda-pemuda
Indonesia bimbang tentang adanya berbagai-bagai partai. Bukan uniformitas yang mencapaikan tujuan yang tinggi-tinggi, tetapi
kesadaran tentang unitas unity dalam berlain-lain asas, dalam berlain-lain pendapat, satu bangsa, satu Tanah Air, selamat sama
selamat, celaka sama celaka. Bukan satu saja, bukan uniform, tapi gerich of het gemeenschappelij nutt, bertujuan pada
keselamatan bersama karena keselamatan masing-masing yang tidak membawa keselamatan bersama tidak akan tercapai.
”
95
94
Sularto edt., Haji Agus Salim 1884-1954: Tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004, 9.
95
Ibid., 37.
87
Pada kesempatan menjadi dosen tamu itu juga Salim melontarkan pendapatnya ketika ia juga menjadi salah satu pendiri negara yang ikut secara aktif menyusun dasar
negara. Haji Agus Salim menempatkan perjuangan kemerdekaan dan pembentukan negara merdeka dalam kerangka pengabdian kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini
dilakukan olehnya untuk menghindari nasionalisme dan fanatisme pada negara yang berlebihan hingga mendewakan negaranya. Gerakan nasionalisme demi mengusung
kemerdekaan supaya tidak salah arah, perlu ditempatkan dalam kerangka kehidupan “bagi Allah SWT”.
Dalam pembukaan UUD 1945 yang mengungkapkan “Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan
kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya,” merupakan haluan NKRI yang sudah dipatrikan untuk tidak menjadi
negara teokrasi, tidak pula negara yang banyak pada perumusan ayat suci Al- Qur’an
atau hadis Rasul dalam batang tubuh undang- undang negara. “I think, that for Indonesia
we have overcome that difficulty .”
96
D. Pancasila dalam Dokumen-dokumen Sejarah