52
sendiri dikatakan bahwa ia tidak memandang susunan urutan sila-sila Pancasila sebagai suatu yang prinsipil.
25
Dalam rapat ini Preambule hampir dimufakati oleh para anggota rapat. Perdebatannya hanya mengacu kepada bentuk negara yang juga ada di dalam preambule
itu, yakni “Republik” Indonesia. Perdebatan dimulai dari Wongsonagoro hingga diambil keputusan oleh Ketua Radjiman, bahwa bentuk negara Indonesia merdeka
adalah Republik.
26
“Dalam pada itu, Paduka Tuan Ketua, bilamana kami menerima dan membaca usul panitia itu, janganlah diartikan bahwa kita
dapat menyetujui 100, sebab ada sebuah perkataan di dalamnya
yang menurut
keyakinan, barangkali
dapat bertentangan
dengan perasaan
rakyat, yaitu
perkataan republik
”.
27
2. Pembentukan Panitia Perancang Undang-undang Dasar
Pada tanggal 11 Juli, Ketua Radjiman membentuk tiga kelompok panitia: 1 panitia perancang hukum dasar,
28
2 panitia perancang keuangan,
29
3 panitia perancang pembelaan tanah air.
30
Untuk membahas isi preambule dan disepakati
25
Soekarno, Pantja-Sila Sebagai Dasar Negara, Jilid IV-V Jakarta: Kementrian Penerangan RI, 1958, 3.
26
Saafroedin Bahar, Nannie Hudawati, Risalah …, 148.
27
Ibid., 124.
28
Anggotanya yaitu: A.A. Maramis, Oto Iskandar, Poeroebojo, A. Salim, Soebardjo, Soepomo, Ny. Maria Ulfah Santoso, Wachid Hasjim, Parada Harahap, Latuharhary, Soesanto, Sartono,
Wongsonagoro, Woerjaningrat, Singgih, Tan Eng Hoa, Hoesein Djajadiningrat, Soekiman, Soekarno. Kepanitiaan ini diketuai oleh Soekarno. Lih. Yudi Latif, Negara
…, 27.
29
Anggotanya yaitu: Soerachman, Margono, Soetardjo, Sanoesi, Rooseno, Soerjo Amidjojo, Dewantara, Koesoema Atmadja, Dassaad, Oei Tjong Haum, Asikin, Dahler, Besar, Yamin, Baswedan,
Hadikoesoemo, Sastromoeljono, Abd. Fatah Hasan, Mansoer, Oei Tiang Tjoe, Wiranatakoesoeman, Soewandi. Kepanitiaan ini diketuai oleh Moh. Hatta. Lih. Ibid.
30
Anggotanya yaitu: Abd. Kadir, Asikin, Bintoro, Hendromartono, Moedzakir, Sanoesi, Moenandar, Sasoedin, Soekardjo Wirjopranoto, Soerio, Abd. Kafar, Maskoer, Abd. Halim, Kolopaking,
Soedirman, Aris, Moh.Noor, Pratalykrama, Lim Koen Hian, Boentaran, Roeslan, Ny. R.S.S. Soenarjo Mangoenpoespito. Kepanitian ini diketuai oleh Abikoesno Tjokrosoejoso. Lih. Ibid.
53
dengan mengambil dari Piagam Jakarta.
31
Melalui kepanitiaan Perancang Hukum Dasar ini dibentuklah Panitia Kecil perancang UUD yang diketuai oleh Prof. Supomo atas
usul Wongsonagoro dengan anggota-anggotanya Mr. Wongsonagoro, Mr. Ahmad Subardjo, Mr. A.A. Maramis, Mr. R.P. Singgih, H. Agus Salim dan dr. Soekiman.
32
Penunjukkan Soepomo mencerminkan kualitasnya sebagai ahli hukum karena ia adalah seorang sarjana yang cemerlang, yang meraih gelar Doktor dari Universitas
Leiden dalam bidang hukum pada 1927, dan merupakan orang kedua yang mendapat gelar profesor pada zaman Hindia Belanda 1942. Ia memiliki pengalaman keterlibatan
dalam komisi ketatanegaraan yang dibentuk pada 14 September 1940 untuk menanggapi aspirasi kalangan pergerakan yang meminta agar Indonesia berparlemen.
33
Ada tiga pokok perdebatan yang timbul, yaitu: 1 Di dalam Republik apakah menjadi unitarisme atau federalisme? ; 2 Keberatan dengan prinsip tentang
“Ke- Tuhanan
”; 3 Perhatian pada isu Hak Asasi Manusia HAM. Tiga pokok perdebatan ini akan penulis jelaskan sebagai berikut:
Pertama, dengan tidak melalui perdebatan yang sengit, keputusan dilakukan dengan pemungutan suara atas usul Singgih dan hasilnya ialah Negara Indonesia
Merdeka mufakat untuk Unitarisme. “Latuharhary: Saya mempertahankan Bondstaat, tetapi
berhubung dengan keadaan sekarang ini sudah tentu soal Bondstaat tidak dapat diselidiki dan tidak dapat dipandang
dengan seluas-luasnya, bukan saja oleh kita yang duduk dalam Badan Penyelidik, tetapi oleh rakyat seluruhnya. Saya
berpendapat bahwa soal unitarisme atau bondsaat adalah hak rakyat untuk menetapkannya. Jadi, saya meminta supaya dalam
31
Marwati Dj. Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, edisi keempat, 1993, 72.
32
Saafroedin Bahar, Nannie Hudawati, Risalah …, 245.
33
Latif, Negara ..., 28.
54
hukum dasar diadakan satu formule bahwa sesudah aman kembali di tanah air kita, supaya soal ini dimajukan lagi.
Ketua Soekarno: kalau sudah aman, semua akan dibicarakan lagi. Siapa mufakat dengan unitarisme, saya minta berdiri.
Kecuali dua anggota yang tinggal duduk, sekalian anggota berdiri
”.
34
Kedua, keberatan ini diajukan oleh Latuharhary, karena hal ini merupakan benih-benih atau kemungkinan yang dapat diartikan dalam rupa macam-macam, dan
menimbulkan perasaan tidak senang pada golongan-golongan yang bersangkutan. Kemudian ditambah lagi dengan terjadinya benturan pada adat-istiadat karena agama
Islam dalam menjalankan Syariat Islam harus murni tanpa ada unsur adat-istiadat. “anggota Latuharhary: saya tidak setuju dengan semuanya, yaitu
dengan perkataan tentang: “Ke-Tuhanan”. Anggota Latuharhary: Akibatnya akan besar sekali. Umpamanya
terhadap pada agama lain. Maka dari itu saya harap supaya dalam hukum dasar, meskipun ini berlaku buat sementara
waktu, dalam hal ini tidak boleh diadakan benih-benih atau kemungkinan yang dapat diartikan dalam rupa-rupa macam.
Saya usulkan supaya dalam hukum dasar diadakan pasal 1 yang terang supaya tidak ada kemungkinan apa pun juga yang dapat
membawa perasaan tidak senang pada golongan-golongan yang
bersangkutan. Umpamanya dalam hal ini”… yang mewajibkan syariat Islam pada pemeluk-pemeluknya, yaitu bagiamana
mewajibkan untuk menjalankannya? Salah satu anggota mengatakan pada saya bahwa terhadap pada adat-istiadat di
Minangkabau, rakyat yang menjalankan agama Islam harus meninggalkan adat-
istiadatnya.”
35
Perdebatan ini memicu beberapa anggota angkat bicara, seperti: Agus Salim yang menyangkal ketakutan Latuharhary dengan mengatakan bahwa ketakutan itu
berlaku pada orang Islam yang umur agamanya masih muda. Orang Minangkabau yang sudah menganut Islam sejak lama tidak lagi kesulitan tentang hal tersebut;
“anggota Salim: Orang Minangkabau bukan Islam sejak sekarang, malah orang Minangkabau dapat nama paling
Islamnya di Indonesia ini. Berhubung dengan adat Minangkabau dan pertikaian atau sasaran adat Minangkabau dengan hukum
34
Saafroedin Bahar, Nannie Hudawati, Risalah …, 238..
35
Ibid., 239.
55
Islam bukanlah masalah baru. Hal itu tidak dapat dijalankan dengan paksaan cuma saja percaya bahwa perubahan aliran adat
pada kita pihak Islam kepada Syariat Islam, adalah satu perkara yang dengan sengaja harus dijaga oleh kekuasaan pemerintah,
sehingga kalau boleh dijalankan dengan jernih dan tegas pertikaian di Minangkabau sudah selesai, bisa ditentukan di
mana dasar hukum adat dan di mana dasar hukum agama. Jadi, itu satu perkara yang tidak akan menerbitkan kekacauan
sebagaimana disangkakan.
”
36
Wonsonagoro mengusulkan: “Seandainya tidak diubah tetapi ditambah bagi pemeluk-pemeluk agama lain dengan jalan menurut agamanya masing-
masing”; Djajadiningrat mengusulkan: “Apakah ini tidak bisa menimbulkan fanatisme, misalnya
memaksa sembahyang, memaksa shalat, dan lain-lain.; dan Wachid Hasjim memberi solusi pada Djajadinigrat kalau hal itu terjadi, akan ada wadah perwakilan rakyat untuk
menyelesaikan paksaan-paksaan itu dan menyarankan untuk tidak lagi memperpanjang perdebatan tersebut.
“Anggota Wachid Hasjim: “Ini semuanya tergantung kepada jalannya dan oleh karena kita sudah berkali-kali menegaskan di
antara kita semua bahwa susunan pemerintahan didasarkan atas perwakilan dan permusyawaratan, jadi kalau ada kejadian
paksaan, soal ini dapat dimajukan dan diselesaikan. Dalam hal ini saya perlu memberikan keterangan sedikit. Seperi kemarin
telah dikatakan oleh anggota Sanoesi, kalimat ini baginya kurang tajam. Saya sudah mengemukakan ini hasil kompromis
yang kita peroleh, dan jika dijadikan lebih tajam, bisa menimbulkan kesukaran.
Kita tidak usah khawatir dan saya rasa bagi kita masih banyak daya upaya untuk menjaga jangan sampai kejadian hal-hal yang
kita khawatirkan, malah saya yakin tidak akan terjadi apa yang dikhawatirkan. Saya sebagai orang yang banyak sedikitnya
mempunyai perhubungan dengan masyarakat Islam dapat mengatakan bahwa jika ada badan perwalian kejadian itu tidak
akan terjadi. Saya kemukakan ini supaya soal ini tidak akan menjadi pembicaraan panjang lebar, hingga menimbulkan
macam-macam kekhawatiran yang sebenarnya tidak dirasa.
36
Ibid., 239-40.
56
Dan jika masih ada yang kurang puas karena seakan-akan terlalu tajam, saya katakan bahwa masih ada yang berpikir sebaliknya,
sampai ada yang menanyakan pada saya apakah dengan ketetapan yang demikian itu orang Islam sudah boleh berjuang
menyeburkan jiwanya untuk negara yang kita dirikan ini. Jadi,
dengan ini saya minta supaya hal ini jangan diperpanjang.”
37
Perdebatan ditutup oleh Soekarno dengan mengatakan bahwa rumusan itu adalah hasil kompromis antara dua golongan dan menegaskan kembali bahwa
kompromi itu telah diterima oleh Panitia : “Jadi, manakala kalimat ini tidak dimasukkan,
saya yakin bahwa pihak Islam tidak bisa menerima preambule ini”.
38
Ketiga, b eberapa anggota mengikuti pola “Declaration of Rights” yang ada di
luar negeri. Pengalaman terjajah dan keterlibatan para pendiri bangsa dalam pelbagai gerakan anti-kolonialisme dan anti-imperialisme memberi pembelajaran dan kepekaan
bagi pembebasan umat manusia, mendasarkan negara pada hukum atas dasar pengakuan akan kemerdekaan manusia. Kesadaran akan pentingnya internasionalisme sebagai
wahana saling belajar dan saling membantu dalam kebaikan serta luasnya wawasan internasionalisme para pendiri bangsa tampak pada penyusunan rancangan UUD yang
disusun pada semasa persidangan kedua BPUPKI. Internasionalisasi diakomodasi dalam bentuk usaha mewujudkan kedaulatan
negara dalam pergaulan internasional serta kedaulatan rakyat dengan menjunjung tinggi HAM.
39
P erhatian pada isu HAM ini dikaitkan dengan konsepsi “negara kesatuan”.
Soepomo dalam hal ini berpendapat bahwa jangan sekali-kali menyandarkan diri pada
37
Ibid., 240-1.
38
Ibid., 241
39
Latif, Negara., 183.
57
perseorangan, tetapi pada aliran kekeluargaan, sehingga tidak perlu lagi adanya Declaration of Rights.
40
Pada tanggal 13 Juli kembali dicuatkan tentang kompromis antara golongan kebangsaan dan golongan Islam pada rapat Panitia Perancang Undang-undang. Wachid
Hasjim memberikan dua usul, sebagai berikut: a.
buat masyarakat Islam penting sekali perhubungan antara pemerintah dan masyarakat. Oleh karena itu, diusulkan pasal
4 ayat 2 ditambah dengan kata- kata: “yang beragama
Islam”. Jika presiden orang Islam, maka perintah-perintah berbau Islam, dan akan besar pengaruhnya.
b. Diusulkan supaya pasal 29 diubah, sehingga bunyinya kira-
kira: “agama negara ialah agama Islam”, dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain, untuk dsb.
Hal ini erat perhubungan dengan pembelaan. Pada umumnya pembelaan yang berdasarkan atas kepercayaan sangat hebat,
karena menurut ajaran agama, nayawa hanya boleh diserahkan buat ideologi agama.
41
Usulan ini dimentahkan ke mbali oleh Salim dengan mengatakan: “dengan ini
kompromis antara golongan kebangsaan dan Islam mentah lagi; apakah hal ini tidak dapat diserahkan kepada Badan Permusyawaratan Rakyat? Jika presiden harus orang
Islam, bagaimana halnya terhadap wakil presiden, duta-duta, dsb. Apakah artinya janji kita untuk melindungi agama lain?”
42
Soekiman mengajukan pendapatnya dengan mengatakan setuju dengan pendapat Hasjim. Ia berpendapat bahwa itu akan
memuaskan rakyat dan pada hakikatnya tidak berakibat apa-apa ketika dipraktekkan. Namun, Djajadiningrat menangkis dihadirkannya kalimat tersebut karena
sebenarnya dalam praktiknya sudah tentu yang menjadi presiden ialah yang beragama
40
Pernyataan ini persetujuan Soepomo terhadap usul Soekarno tentang suasana kekeluargaan in de damkring van kekeluargaan.
41
Ibid., 247.
42
Ibid.
58
Islam. Oleh karena itu, lebih baik dihapuskan saja pasal 4 ayat 2, dan ia juga sempat menanyakan apakah hal tersebut sungguh-sungguh tidak terjadi apa-apa jikalau kalimat
itu diberlakukan. Usulnya ini disetujui oleh Oto Iskandardinata dan Wongsonagoro.
43
Panitia ini berhasil merancang undang-undang dasar dan kemudian Ketua Radjiman membentuk Panitia Penghalus Bahasa yang terdiri dari Hoessein Djajadiningrat, Agus
Salim, dan Supomo untuk menyempurnakan dan menyusun kembali rancangan undang- undang dasar yang telah dibahas.
44
Setelah itu, persidangan dilanjutkan pada tanggal 14 Juli untuk menerima laporan Panitia Perancang Undang-Undang Dasar yang diketuai oleh Ir. Soekarno.
Panitia Perancang melaporkan tiga hasil rapat, yaitu berturut-turut: Pernyataan Indonesia Merdeka, Pembukaan Undang-undang Dasar, dan Batang Tubuh Undang-
undang Dasar. Dalam persidangan ini terjadi perdebatan awal yang diangkat oleh Hadikoesoemo dengan juga mengusung usul Kiai Sanusi yang a.l mengatakan, bahwa
perkataan dengan kewajiban umat Allah swt, “bagi pemeluk-pemeluknya”, tidak ada haknya dalam kata-kata Arab, tidak ada artinya, dan justru menambah janggalnya kata-
kata yang, bahkan menjurus kepada pemecahan bangsa Indonesia sendiri itu supaya dihilangkan saja.
Hadikoesoemo masih ragu dengan kata-kata tersebut, sebab di Indonesia banyak perpecahan-perpecahan dan pada praktiknya maksudnya sama saja.
45
Namun, respon ketua panitia, Ir. Soekarno justru menolak hal tersebut a.l dengan alasan, bahwa kalimat
itu seluruhnya berdasar ke-Tuhanan. Itulah hasil kompromis di antara dua pihak, yakni
43
Ibid., 248. Keputusan yang diambil Ketua Panitia Kecil ialah menerima usulan Oto dan Wongsonagoro yang menyetujui pendapat Djajadiningrat.
44
Ibid., 249. Lih. juga Nugroho Notosus anto, “Mengamankan Pancasila Dasar Negara”,
Persepsi, I, No. 1, 1979, 12-3; dan lih. juga Muh. Yamin, Naskah Persiapan ..., 250-1.
45
Ibid., 264.
59
pihak Islam dan Kebangsaan. Sebelum ini dipaparkan ke dalam sidang, kalimat tersebut telah ditinjau sedalam
– dalamnya, di mana ada juga anggota-anggota yang dikenal sebagai pemuka Islam, seperti Wachid Hasjim dan Agus Salim ikut dalam
peninjauan tersebut. Inilah kompromis yang baik. Panitia memegang teguh kompromis ini yang oleh Yamin diberi
nama “Djakarta Charter” atau ungkapan lain dari Soekiman sebagai gentlemen agreement.
Setelah mendengar penjelasan ketua panitia, Hadikoesoemo di tengah-tengah diskusi yang diangkat oleh beberapa anggota lainnya mengajukan keberatannya kembali
dengan alasan yang sanga t nasionalistik, yaitu alasan “kurang enak” terhadap warga
yang bukan umat Islam, karena ada pengkhususan di salah satu golongan yang mengakibatkan akan ada dua peraturan yakni satu untuk umat Islam dan satu untuk
yang bukan Islam di dalam satu negara. Oleh karena itu, anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya itu” lebih baik dihapuskan dan ini diajukannya sampai empat kali dengan cara masih memegang teguh
pendiriannya. Akhirnya, Abikoesno angkat bicara untuk menerangkan maksud Ketua Panitia a.l., bahwa hasil kompromis itu sudah ada perdamaian di dalamnya.
46
“...ialah buah kompromi antara golongan Islam dan golongan kebangsaan. Kalau tiap-tiap daripada kita harus misalnya
membentuk kompromi itu, dan kita dari golongan Islam harus menyatakan pendirian, tentu saja kita menyatakan, sebagaimana
harapan Tuan Hadikoesoemo. Tetapi kita sudah melakukan kompromi, sudah melakukan perdamaian dan dengan tegas oleh
Paduka Tuan Ketua Panitia sudah dinyatakan, bahwa kita harus memberi dan mendapat. Untuk mengadakan persatuan.
Janganlah terlihat perbedaan faham tentang soal ini dari steman.... Kita harapkan sungguh-sungguh, kita mendesak
kepada segenap golongan yang ada dalam Badan ini, sudilah kiranya kita mengadakan suatu perdamaian.
”
47
46
Ibid., 264-71.
47
Ibid., 271.
60
Di sisi lain, Hadikoesoemo masih belum merasa jelas dengan perdebatan yang dia angkat sehingga pada 15 Juli dia tetap mempertanyakan kejelasan makna dan arti
tentang anak kali mat “dengan kewajiban melakukan syari’at Islam bagi pemeluknya”
itu. Ketua Radjiman mengakui penjelasan arti anak kalimat itu sulit sekali dan intinya tetap kembali kepada penjelasan Abikoesno yang sampai saat itu belum dipahami
dengan jelas dan terang oleh Hadikoesoemo.
48
Kemudian anggota Abd. Pratalykrama kembali mengusulkan tentang presiden ialah orang indonesia asli yang beragama Islam, yang umurnya tidak kurang dari 40
tahun. Soepomo menanggapi usulan ini dengan mengatakan bahwa untuk usia presiden tidak perlu dibatasi karena pertimbangan kepandaian, kebijaksanaan, dan luhur budi
bisa dimiliki oleh siapa saja dan tidak terbatas oleh umur, sedangkan mengenai agama presiden, sudah diatur dalam piagam jakarta yang sekali lagi ditekankan sebagai hasil
kompromis antara golongan Islam dan kebangsaan. Lalu tambahan usulan datang dari anggota Masjkoer. Ia mengatakan bahwa ada dua pasal yang akan mendatangkan
permasalahan, yaitu pasal 7 yang berbicara soal Presiden beragama Islam dan pasal 28 soal anak kal
imat “dengan kewajiban melakukan syari’at Islam bagi pemeluknya”.
Pada, rapat-rapat sebelumnya mengenai Presiden sudah cukup jelas bahwa Presiden akan disumpah menurut agamanya, artinya orang Indonesia asli beragama apa
saja boleh menjadi presiden. Namun, pada pasal 28 dikatakan bahwa ada kewajiban menjalankan Syariat Islam untuk pemeluk-pemeluknya. Oleh karena itu, ia berasumsi
bahwa apakah keadaan itu dapat dijalankan dengan baik, apakah umumnya golongan Islam dapat menerimanya. Masjkoer mengusulkan bahwa lebih baik ada salah satu
48
Ibid., 291. Dalam rapat itu Hadikoesoemo menegaskan ketika sidang rapat setuju, dia juga setuju. Akan tetapi, itu diterimanya dengan sangat terpaksa 2 kali mengatakan “saya terpaksa”.
61
pasal yang diubah, seperti pasal 7 diubah menjadi Presiden harus orang Islam, atau pada pasal 28 diubah kalimat yang sebelumnya menjadi Agama resmi bagi Republik
Indonesia ialah agama Islam. Paham pada pasal 28 ini lebih ringan karena tidak ditulis harus memikul
kewajiban, tetapi hanya mengakui sebagai halnya mengakui agama-agama lainnya. Pada sidang itu, akhirnya Ketua Radjiman meminta Soekarno untuk angkat bicara
sebagai Ketua Panitia. Soekarno mengatakan bahwa ketika diadakan pemilihan presiden, maka mereka Penyusun Rancangan UUD berkepercayaan terhadap rakyat
Indonesia kalau yang dipilih adalah orang yang bisa menjalankan pasal 28 tersebut. Oleh karena itu, Soekarno kembali menekankan alasannya supaya umat Islam yang
mempunyai penduduk 95 berupaya keras di Badan Perwakilan Rakyat. Soekarno mengajak para pendiri bangsa yang beragama Islam untuk menerima apa yang
dinamakan fair play . Hasil rancangan UUD itu merupakan perdamaian “kita dengan
kita”, yang menghindari perselisihan antara dua pihak yang bertentangan. Itulah gentle- agreement.
49
Namun, melalui penjelasannya tersebut Soekarno melakukan kompromi lagi dengan usul Masjkoer, yaitu pada pasal 7 tentang Presiden harus bersumpah dan kata
“menurut agamanya” itu dihapus karena ditakutkan dalam penafsirannya jadi berbeda dengan yang diharapkan Sokearno melalui “jebakan” kalimat pada pasal 28. Akan
tetapi, tiba-tiba anggota Moezakir mengusulkan kompromi dengan mengatasnamakan “kami wakil-wakil umat Islam”…”Usul saya disetujui oleh semua ulama di sini” yang
lain, yaitu supaya dari permulaan pernyataan Indonesia Merdeka sampai kepada pasal di
49
Ibid., 370.
62
dalam UUD itu yang menyebut-nyebut nama Allah atau agama Islam atau apa saja untuk dicoret sama sekali.
Usulan ini didukung oleh Soekardjo Wirjopranoto yang mengambil alasan dari pasal 27 yang telah disepakati tentang satu keadilan yang ia percayakan diterima dan
dihormati oleh segenap rakyat, apa pun agamanya, keadilan itu tercantum seterang- terangnya, seindah-indahnya:
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Artinya tiap-tiap warga negara
mempunyai hak yang sama di dalam penghidupannya yang sudah tentu diperlindungi oleh hukum dan oleh pemerintah.
Pendek kata, di dalam Negara Indonesia tidak akan ada kelas- kelas, kelas warga negara. Artinya tidak akan ada warga negara
kelas satu, warga negara kelas dua, inilah keadilan. Konsekuensinya daripada keadilan itu ialah, bahwa tiap-tiap
putra Indonesia berhak juga untuk menempati kedudukan Presiden Republik Indonesia. Janganlah sebelumnya sudah
diadakan suatu pagar, bahwa putera Inodnesia yang bukan beragama Islam, meskipun ia bijaksana, meskipun ia tinggi
budinya, meskipun ia pandai, meskipun ia giat, tidak bisa ia akan menduduki kedudukan Presiden Indonesia, hanya oleh
karena ia tidak beragama Islam. Ini yang saya khawatirkan, kalau usul Kiai Haji Masjkoer diterima. Saya mengerti, saya
menghargai usul atau pikiran Haji Masjkoer, tetapi saya juga harus mempertahankan keadilan yang sudah tentu akan
mendapat perlindungan dari agama Islam….”
50
Dalam perbincangan ini Ketua Radjiman selalu mengusulkan untuk distem dijedahpending dulu karena baginya persoalan ini sudah cukup jelas diterangkan oleh
Ketua Panitia Soekarno. Anggota Sanoesi dengan sangat tegas menolak stem tersebut agar persoalan itu dapat diputuskan kalau tidak menerima usul Masjkoer, berarti
menerima Moezakir dan ia menekankan bahwa persoalan ini bukan persoalan yang berbau agama. Oleh karena telalu berat Ketua BPUPKI dan Ketua Panitia berpikir,
50
Ibid., 372.
63
maka ia mengusulkan kompromi lainnya lagi yaitu untuk menghapus kata “nya” pada kata “menurut agamanya”.
Melalui usul Sanoesi ini, Soekarno mengambil keputusan untuk menghapus kata “nya” saja, sehingga menjadi “menurut agama”. Alasan Sanoesi melakukan ini karena
ia berpendapat bahwa tindakan yang mereka lakukan dalam sidang demi sidang merupakan pertanggungjawaban yang serius terhadap rakyat. Jangan pernah menerima
usul secara mentah-mentah, harus disusul oleh alasan-alasannya agar dapat bertukar pikiran terus menerus sampai kepada keadaan yang senyata-nyatanya Indonesia menjadi
satu, negara persatuan baru.
51
Kemudian mengenai usul Moezakir, Soekarno menyatakan bahwa panitia tidak mufakat dengan usulnya. Lalu Moezakir meminta hal itu untuk dipertimbangkan sekali
lagi. Hadikoesoemo angkat bicara dalam hal ini. Ia mengatakan bahwa Islam mengandung ideologi, maka tidak bisa negara dipisahkan dari Islam. Begitu banyak
ideologi Islam masuk dalam Perancangan UUD, seperti tentang pembelaan, tentang hal ekonominya, dan segala-galanya. Artinya, ia menyetujui usul Moezakir, jikalau
ideologi Islam tidak diterima lebih baik memang tidak menerimanya. Hal ini menegaskan bahwa negara ini tidak berdiri di atas agama dan negara akan netral. Hasil
ini akan menjadi terang, tidak lagi seperti yang selalu dikatakan oleh Soekarno tentang hasil kompromis. Hendaknya untuk keadilan dan kewajiban seperti ini tidak ada
kompromis.
52
Perdebatan tentang anak kalimat yang berdampak pada batang tubuh UUD ini ditangguhkan sementara oleh Soekarno. Ia melakukan perundingan kompromis terhadap
51
Ibid., 375.
52
Ibid., 376.
64
beberapa pemuka kebangsaan dan pemuka pihak Islam. Kemudian pada sidang pada 16 Juli, Soekarno meminta untuk pengorbanan besar dari pihak kebangsaan untuk
menerima “keyakinan” yang telah ditetapkan karena itu merupakan bagian dari proses sulit dari suatu bangsa:
“Sebelum terbentuk sesuatu Undang-undang Dasar daripada sesuatu rakyat, selalu didahului oleh kesukaran-kesukaran yang
amat hebat, kesukaran-kesukaran, pertikaian dan perselisihan pendapat, tetapi akhirnya jikalau sesuatu bangsa cukup kekuatan
batinnya untuk mengatasi segala kesukaran-kesukaran itu, barulah disusun Undang-undang Dasar itu, oleh karenanya maka
Undang-undang
Dasar itu
menjadi suatu
hal yang
dikeramatkan…dikeramatkan oleh bangsa yang membuatnya. ... Kepada kaum yang dinamakan kaum kebangsaan Indonesia,
saya minta dengan tegas, supaya suka menjalankan sesuatu pengorbanan, menjalankan suatu offer kepada keyakinan itu.
Alangkah gilang-gemilang kita kaum kebangsaan, jikalau kita bisa menunjukkan kepada dunia umum, dunia Indonesia
khususnya, bahwa kita demi persatuan, demi Indonesia Merdeka yang hendaknya datang selekas-lekasnya, bisa menjalankan
suatu offer mengenai keyakinan itu sendiri. Saya berkata, bahwa adalah sifat kebesaran di dalam pengorbanan,... Marilah kita
sekarang menjalankan pengorbanan itu, dan pengorbanan yang saya minta kepada saudara-saudara yang tidak sepaham dengan
golongan-golongan yang dinamakan golongan Islam ialah supaya saudara-saudara mufakati apa yang saya usulkan ini.
Yang saya usulkan, ialah: baiklah kita terima, bahwa di dalam Undang-
undang Dasar dituliskan, bahwa “Presiden Republik Indonesia haruslah orang Indonesia aseli yang beragama
Islam.” Saya mengetahui, bahwa buat sebahagian pihak kaum kebangsaan ini berarti sesuatu hal yang berarti pengorbanan
mengenai keyakinan. Tetapi apa boleh buat Karena bagaimana pun kita sekalian yang hadir di sini, dikatakan 100 telah yakin,
bahwa justru oleh karena penduduk Indonesia, rakyat Indonesia terdiri dari pada 90 atau 95 orang-orang yang beragama Islam,
bagaimana pun, tidak boleh tidak, nanti yang menjadi Presiden Indonesia tentulah orang yang beragama Islam. ... Kemudian
artikel 28, yang mengenai urusan agama, tetapi sebagai yang telah kita putuskan, yaitu ayat ke-
1 berbunyi: “Negara berdasar atas Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluknya”. Ayat ke-2: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama lain dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaan masing- masing.”
... Terutama sekali dari pihak saudara-saudara kaum patriot Latuharhary dan Maramis yang tidak beragama Islam. Saya
65
minta dengan rasa menangis, rasa menangis, supaya sukalah saudara-saudara menjalankan offer ini kepada tanah air dan
bangsa kita, pengorbanan untuk keinginan kita, supaya kita bisa lekas menyelesaikan supaya Indonesia Merdeka bisa lekas
damai.
”
53
Keputusan sidang mengenai pertikaian antara pihak Islam dan Kebangsaan pada pasal 4 tentang Presiden dan pasal 28 tentang agama. Pasal 4
tetap berbunyi: “Presiden Republik Indonesia haruslah orang Indonesia asli yang beragama Islam”, dan pasal 28
ayat ke- 1: “Negara berdasarkan atas ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat
Islam bagi pemeluknya”; ayat ke-2: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama lain dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya masing- masing”. Walaupun Soekarno meminta dengan tegas kepada
segenap pihak kebangsaan dalam sidang itu, tetap ada tiga orang Tiong Hoa tidak mufakat.
54
B. Substansi Pembicaraan dalam Sidang PPKI