Keluarga Penanganan Lansia di Jepang

3.3 Penanganan Lansia di Jepang

Dengan meningkatnya jumlah lansia dan bertambah panjangnya usia harapan hidupnya, tanggung jawab merawat orang tua yang dulu menjadi tanggung jawab keluarga serta kerabat saat ini menjadi tanggung jawab semua pihak. Masyarakat dan pemerintah turut berpartisipasi dalam menanganinya. Tidak dapat disangkal, dengan panjangnya usia harapan hidup ini, timbul industri dan pekerjaan baru yang berhubungan dengan perawatan lansia.

3.3.1 Keluarga

Meskipun telah terjadi perubahan struktur keluarga di Jepang, keluarga masih merupakan tempat ideal dalam merawat orang tua lansia di Jepang. Dibandingkan dengan negara maju lainnya, banyak orang Jepang yang masih memilih untuk tinggal bersama anaknya pada hari tuanya. Sebagai alasan utama tinggal bersama adalah menghilangkan kesepian dan berjaga-jaga kalau terjadi sesuatu, seperti sakit di saat kondisi fisiknya telah lemah. Pada tahun 1991, 57,6 persen lansia yang berusia 65 tahun ke atas tinggal bersama dengan anaknya Sodei Takako dalam Putri Elsy:2012. Di lain pihak, tinggalnya orang tua bersama anak dianggap sebagai ryoushin fuyou, yaitu kewajiban anak untuk membantu, mengurus, atau menanggung orang tuanya. Fuyou atau bantuan anak terhadap orang tua ini dapat dibagi tiga, yaitu bantuan yang bersifat ekonomi atau keuangan, bantuan secara fisik merawat ketika sakit, dan bantuan bersifat batin menghibur terhadap perasaan sendiri dan kesepian. Perlu tidaknya orang tua mendapatkan bantuan ekonomi tergantung dari kemampuan ekonomi orang tua itu sendiri. Sampai sekitar 1970, masalah yang dirisaukan oleh lansia adalah masalah ekonomi untuk kelangsungan hidup di hari tuanya. Akan tetapi, dengan matangnya sistem pensiun dan meningkatnya kemampuan ekonomi orang tua, masalah ini lambat laun dapat diatasi sehingga tidak terlalu mengkhawatirkan. Dengan semakin panjang usia harapan hidupnya, kondisi yang paling dikhawatirkan oleh orang Jepang di masa tuanya adalah netakiri tidak dapat beranjak dari tempat tidur dan boke pikun. Baik pria maupun wanita usia di bawah 60 tahun lebih mencemaskan kehidupan ekonominya dibandingkan dengan mereka yang berusia 60 tahunan. Hal ini mungkin disebabkan oleh masih banyaknya tuntutan pengeluaran yang harus mereka penuhi serta dana yang harus mereka siapkan untuk pendidikan serta biaya perkawinan anak, untuk perumahan, dan dana untuk tabungan di masa tua sendiri. Pendapat dari survei yang dilakukan terhadap orang Jepang usia dewasa menyatakan bahwa mereka memilih keluarga sebagai tempat merawat lansia yang berada dalam kondisi fisik yang lemah sebagai rasa tanggung jawab mereka untuk melakukan perawatan tersebut. Pada kenyataannya permintaan lansia untuk dirawat oleh keluarga adalah permintaan yang sah. Setiap anak diharapkan untuk berbagi tanggung jawab untuk merawat orang tuanya. Merawat orang tua juga tetap merupakan suatu norma yang berlaku dalam masyarakat Jepang. Hal ini terlihat dalam penelitian bahwa kurang dari 2 persen dari lansia yang berusia 65 tahun ke atas berada di nursing homes panti jompo atau tempat perawatan lainnya dan 90 persen lansia yang berada dalam kondisi lemah, baik fisik maupun mental, menerima perawatan di lingkungan keluarga Long, 1996:167. Kenyataan di atas sesuai dengan pendapat Pasurdi Suparlan 1986:96 mengenai salah satu fungsi keluarga, yaitu merawat orangtua yang jompo. Katanya”Para antropolog melihat keluarga sebagai satuan sosial terkecil yang dipunyai oleh manusia sebagai makhluk sosial. Pendapat ini didasarkan atas kenyataan bahwa keluarga adalah satu satuan kekerabatan yang juga merupakan satuan tempat tinggal yang ditandai oleh adanya ekonomi dan mempunyai fungsi untuk berkembang biak, menyosialisasikan atau mendidik anak, dan menolong serta melindungi yang lemah, khususnya merawat orang tua yang jompo”. Wanita dari dulu sampai sekarang merupakan perawat utama dalam keluarga. Menurut Spitze dan Logan yang dikutip oleh Evelyn Suleeman 1999:108, ada dua alasan kenapa lebih banyak wanita yang merawat orang tuanya dibandingkan pria. Pertama, baik pria maupun wanita percaya bahwa anak perempuan secara alamiah mempunyai sifat merawat sehingga tugas wanita berkisar di bidang perawatan dan pengasuhan. Sebelum menikah ia akan mengasuh adiknya, dan setelah menikah ia akan merawat anak, suami, dan orang tua mereka yang sudah lanjut usia. Kedua, wanita biasanya tidak bekerja mencari nafkah, atau kalaupun mereka mencari nafkah, biasanya mereka bekerja part time paruh waktu, sehingga mereka mempunyai waktu lebih banyak untuk merawat orang tua mereka dibandingkan dengan pria. Menurut Sodei dalam Putri Elsy , ada beberapa alasan kenapa wanita Jepang berperan sebagai perawat di rumah. Alasan itu antara lain adalah, pertama, adanya perbedaan gender dari masyarakat. Secara tradisional telah ada pola pemikiran terhadap pembagian peran dalam keluarga di mana suami mencari uang dan bertanggung jawab terhadap sesuatu yang ada di rumah. Oleh sebab itu, tugas merawat anak dan lansia berada di tangan wanita. Kedua, adanya ideologi atau pemikiran ie. Meskipun sistem ie telah di hapus setelah perang di Jepang, nilai-nilai yang terdapat dalam ie masih tetap dianut orang Jepang. Ideologi ie yang berdasarkan ajaran Konfusius yang menekankan kepatuhan wanita kepada pria, yang muda kepada yang tua, dan menantu perempuan kepada ibu mertua mempunyai tekanan yang kuat kepada menantu perempuan untuk berperan merawat dan mengurus mertuanya di hari tua. Dari kedua alasan itu, yaitu perbedaan jenis kelamin dan dianutnya nilai-nilai dari sistem ie, secara alami wanita masih tetap diharapkan menjadi perawat dalam keluarga. Ketika salah seorang anggota keluarga sakit, saudara dekat, teman-teman, tetangga, teman kantor, dan bahkan pekerja-pekerja sosial mengharapkan wanita melayaninya sebagai perawat. Dengan kata lain, masyarkat mengharapkan wanita berperan sebagai perawat di Jepang. Tekanan dari masyarakat sangat kuat, khususnya ditujukan kepada wanita yang berada dalam posisi sebagai menantu, karena banyak yang masih percaya bahwa menantu harus bertanggung jawab dalam merawat mertuanya. Dalam kenyataannya, sekarang ini sangat sulit bagi wanita yang juga mempunyai pekerjaan di luar rumah untuk dapat melaksanakan perannya dengan baik dalam hal merawat mertuanya yang berada dalam kondisi fisik yang lemah di rumah. Peran yang diharapkan masyarakat untuk merawat mertuanya kadangkala membuat wanita merasa bersalah apabila tidak melakukan apa yang dianggap menjadi kewajibannya. Pada akhirnya mereka merasa bahwa hal tersebut merupakan peran yang wajar bagi mereka, dan menerima nasibnya. Dalam usaha melepaskan konflik peran antara kerja dan merawat, banyak dari wanita pekerja yang memilih melepaskan karier mereka. Merawat anak dan merawat lansia, meskipun pekerjaannya sama-sama merawat dan keduanya dilakukan di rumah, merupakan dua hal yang berbeda. Merawat anak dilakukan oleh ibu berdasarkan cinta dan kasih sayang, tetapi merawat lansia yang dilakukan oleh anak perempuan atau menantu perempuan berdasarkan cinta dan kewajiban. Ketergantungan anak terhadap ibunya tidaklah lama, tetapi merawat lansia tidak dapat dilihat sebagai masa depan yang cerah. Lansia yang berada dalam kondisi fisik yang lemah akan terus melemah dan akan menjadi lebih tergantung. Pada akhirnya kematian akan menunggu mereka. Dalam suatu penyelidikan terhadap 75 orang yang merawat lansia di prefektur Shiga, 86 persen dari orang yang memberikan perawatan adalah wanita. Perawat ini menerima bantuan dari suami khususnya pekerjaan berat seperti menjemur kasur, memandikan anggota keluarga yang tua, dan membawa mereka ke dokter, anak-anak, saudara kandung, dan lain- lain, tetapi sering bantuan ini dilakukan hanya ketika perawat utama harus pergi atau dibutuhkan dalam waktu tugas memberi makan lansia.

3.3.2 Masyarakat