Kehidupan Lansia di Jepang

Dari pendapat Murdock itu terlihat perbedaan yang mendasar antara konsep ie dan nuclear family keluarga inti atau yang dikenal dengan istilah kaku kazoku dalam bahasa Jepang. Keluarga dalam konsep Barat lebih menekankan pada hubungan pria dan wanita atau suami-istri yang disahkan dengan perkawinan beserta dengan anak-anaknya, sedangkan ie sebagai unit kerja sama lebih menekankan pada hubungan anggotanya yang tinggal bersama tanpa memandang hubungan perkawinan dan kerabat atau nonkerabat.

2.3 Kehidupan Lansia di Jepang

Perubahan besar dan cepat terjadi dalam kehidupan keluarga di Jepang khususnya sesudah perang. Industrialisasi mempercepat perubahan struktur keluarga. Perubahan struktur keluarga di sini adalah struktur keluarga Jepang dalam konsep ie menjadi struktur keluarga kaku kazoku keluarga inti. Selain industrialisasi, penyebab lainnya adalah dengan dihapuskannya sisstem ie, konsep keluarga inti menjadi konsep keluarga baru di Jepang. Berbeda dengan sistem keluarga tradisional ie di mana anggota keluarga terdiri dari kerabat dan nonkerabat dan memungkinkan dua atau tiga generasi tinggal bersama, keluarga inti hanya beranggotakan ayah, ibu, dan anak-anak yang belum menikah. Pertumbuhan ekonomi yang pesat, urbanisasi yang disebabkan oleh kecendrungan kaum muda mencari kerja di kota dan hidup sendiri, majunya pendidikan dan perkembangan teknologi membawa perubahan terhadap keluarga dan masyarakat. Modernisasi di bidang teknologi merupakan salah satu faktor pendorong berkembangnya industri. Berbeda dengan masyarakat agraris yang kehidupannya bergantung pada tanah sebagai sarana produksi, dan belum dapat melahirkan lapangan kerja yang bervariasi, sebaliknya, pembangunan industri memberikan kemungkinan tersedianya lapangan kerja yang bervariasi Putri Elsy:2012. Kehadiran suatu industri di dalam masyarakat agraris yang belum mengenal industri, dan secara langsung kehidupannya tidak tergantung pada industri, merupakan pertemuan dua pola kebudayaan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Pertemuan dua bentuk kebudayaan ini melahirkan satu proses perubahan, dari masyarakat agraris menuju kepada terbentuknya masyarakat industri yang hidup dalam masyarakat luas, terbuka, dan heterogen. Kegiatan ekonomi yang semula sekedar untuk memenuhi permintaan pasar guna mengejar keuntungan materi. Untuk itu diterapkan teknologi maju yang eksploitatif dan ekspansif demi efisiensi dan produktivitas. Perubahan kehidupan ini mempengaruhi pula struktur sosial, pola-pola interaksi dan nilai-nilai budaya masyarakat setempat, sampai kepada unsur yang paling mendasar, yaitu sistem hubungan dalam keluarga, khususnya dalam perawatan lansia. Pertumbuhan ekonomi, urbanisasi, dan industrialisasi menyebabkan harga tanah dan rumah di perkotaan menjadi mahal. Banyak dari kaum urban ini tinggal di apartemen kecil yang hanya cukup menampung anggota inti mereka. Hal ini menyebabkan orang tua lansia mereka hidup terpisah dengan anak-anaknya. Selain berubahnya sistem keluarga ini, jumlah anggota keluarga juga cenderung menurun. Sebelum perang, rata-rata jumlah anak dalam keluarga adalah lima orang dan anak berfungsi sebagai tenaga kerja pertanian. Akan tetapi, setelah perang, jumlah anak cenderung menurun. Meningkatnya jumlah keluarga inti dan berkurangnya jumlah anggota keluarga disertai dengan meningkatnya usia harapan hidup menimbulkan permasalahan terhadap pemeliharaan dan perawatan lansia. Banyak orang Jepang sekarang yang mencemaskan nasibnya dalam menghadapi hari tuanya kelak. Sampai sekitar tahun 1975, masalah perawatan lansia belum menjadi masalah utama, baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat Jepang. Hal ini disebabkan masih rendahnya usia harapan hidup dan rendahnya tingkat kesehatan pada waktu itu, di mana sedikit orang tua lanjut usia yang membutuhkan perawatan. Usia hidup rata-rata pada tahun 1947 adalah 50,06 tahun untuk pria dan 53,96 tahun untuk wanita. Banyak orang tua yang meninggal sebelum mencapai usia tua sehingga masa merawat orang tua dalam keluarga sangat pendek dan tidak memberatkan Yamada dalam Putri Elsy:2012 Sejak tahun 1975, usia harapan hidup orang Jepang bertambah panjang, tingkat kesehatan meningkat, dan jumlah lansia yang memerlukan perawatan juga meningkat. Masalah perawatan lansia mulai menjadi wacana dalam masyarakat. Meskipun belum ada aturan yang menyatukan umur berapa seseorang disebut lanjut usia, biasanya sesesorang dikatakan lanjut usia apabila ia telah berusia 65 tahun ke atas. Bahkan ada pula yang menyatakan seseorang lanjut usia apabila ia telah berusia di atas 70 atau 75 tahun. Karena usia 65 tahun ke atas batasannya terlalu besar, usia tersebut dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu usia 65-74 tahun di sebut zenkikoureisha masa sebelum lansia dan usia 75 tahun ke atas disebut gokikoureisha masa setelah lansia. Selain ini, ada yang membagi tiga, yaitu usia 65-74 tahun, 75-84 tahun, dan 85 tahun ke atas. Berdasarkan uraian di atas, yang akan dijadikan patokan usia lansia dalam hal ini adalah seseorang yang telah berusia 65 tahun ke atas. Di Jepang, istilah yang dipakai untuk lansia adalahroujin. Karakter kanji rou berarti berumur atau tua, sedangkan karakter kanji jin berarti orang. Jadi, roujin secara harafiah berarti orang tua atau orang yang sudah berumur. Seiring dengan meningkatnya populasi roujin ini dan berkembangnya masalah roujin, untuk menghindari kesan suram dari istilah roujin dilihat dari karakter kanji tersebut, menurut Sodei Takako dalam New Encyclopedia of Sociology 1993:448, sebagai ganti istilah roujin digunakan istilah koreisha yang secara harafiah berarti orang yang berusia tinggi atau lanjut. Dewasa ini masyarakat Jepang dikenal dengan koureika shakai masyarakat yang menua. Menurut Makizono kiyoko1993:448, sebuah negara dapat disebut sebagai koureika shakai apabila persentase penduduk lansianya persentase penduduk usia 65 tahun ke atas dari seluruh jumlah penduduk mencapai 7 persen dan indeks penduduk lansia indeks penduduk 65 tahun ke atas terhadap penduduk usia produktif di atas 15 tahun di bawah 64 tahun melewati sekitar 12,0. Jepang pada tahun 1970 persentase lansianya adalah 7 persen dan indeks lansianya 12,0 pada tahun 1975. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Jepang menjadi koreika shakai sejak tahun 1970-an. Seperti telah disebutkan di atas, masalah perawatan lansia mulai mendapat perhatian sejak tahun 1975. Hal ini disebabkan oleh semakin bertambah panjangnya usia harapan hidup orang Jepang. Sebelum perang, usia harapan hidup rata-rata orang Jepang kurang dari 55 tahun, dan setiap keluarga mempunyai beberapa anak. Akan tetapi, setelah perang, usia harapan hidup orang Jepang meningkat dengan tajam. Menurut data yang dikeluarkan Keizai Koho Center Pusat Informasi Ekonomi 1999:13, tahun 1950-1955 usia harapan hidup rata-rata pria adalah 62,1 tahun dan wanita adalah 65,9 tahun. Pada tahun 1995-2000 usia harapan hidup pria adalah 76,8 tahun dan wanita 86,9 tahun, dan diperkirakan pada tahun 2045-2050 usia harapan hidup pria 80,8 tahun dan wanita 88,9 tahun. Dari jumlah total penduduk, pada tahun 1950 jumlah penduduk yang berusia 65 tahun ke atas adalah 4,9 persen, meningkat dengan tajam menjadi 17,2 persen pada tahun 2000 dan diperkirakan menjadi 32,3 persen pada tahun 2050. Dengan kata lain, selama 50 tahun, yaitu dari tahun 1950 sampai tahun 2000, terjadi peningkatan jumlah lansia sebanyak 12,3 persen dan sebanyak 15,1 persen dari tahun 2000-2050. Meningkatnya jumlah lansia dengan usia harapan hidupnya yang panjang ini menjadi masalah dan beban sosial dalam masyarakat. Seiring dengan bertambah panjangnya usia harapan hidupnya, lingkaran hidup life cycle orang Jepang, khususnya masa perawatan pada usia lanjutpun mengalami perubahan. Ketika membandingkan perubahan lingkaran hidup orang Jepang pada tahun 1920 dan 1991, Okamoto Yuzo dalam bukunya, Otoshiyori Shiryoushu Kumpulan Bahan Mengenai Lansia menemukan terjadinya perubahan kehidupan antara pria dan wanita Jepang. Pada tahun 1920, misalnya, pria menikah pada usia 25,0 tahun dan wanita pada usia 21,2 tahun, sedangkan pada tahun 1991 pria menikah pada usia 28,4 tahun dan wanita pada usia 25,9 tahun. Itu berarti terjadi kenaikan usia menikah antara pria dan wanita. Pada tahun 1920 adalah biasa setiap keluarga memiliki anak sampai lima orang sehingga masa melahirkan seorang ibu berkisa 14,7 tahun. Kebalikannya, pada tahun 1991, jumlah anak dalam sebuah keluarga adalah dua orang sehingga waktu yang dibutuhkan ibu untuk melahirkan relatif pendek, yaitu 4,5 tahun. Masa merawat anak dalam arti mengasuh, mendidik, dan menyekolahkan anak berlangsung dalam jangka yang sama pada kedua tahun di atas, yaitu selama 27,3 tahun. Bedanya adalah apabila pada tahun 1920 sebelum anak bungsu lulus sekolah, anak laki-laki tertua sudah menikah, pada tahun 1991 anak laki-laki tertua kawin setelah anak bungsu lulus sekolah. Pada tahun 1920 suami pensiun pada usia 55 tahun dan mengundurkan diri dari segala urusan rumah tangga dan menyerahkan pekerjaan dan ekonomi keluarganya kepada chonan anak laki-laki pertama pada usia 60 tahun. Anak laki-laki pertama ini, karena menggantikan posisi kepala keluarga yang pensiun, berkewajiban merawat orang tuanya pada masa tuanya, yang berlangsung selama lebih kurang 5,3 tahun. Adapun waktu yang dibutuhkan oleh tiga generasi ini untuk hidup bersama adalah 10,5 tahun sampai sang ibu meninggal pada usia lebih kurang 61,5 tahun. Pada tahun 1991, masa pensiun berada di usia 60 tahun dan masa pengunduran diri kepala keluarga pada usia 65 tahun. Jarak antara masa pensiun dan usia kematian 77,2 tahun adalah 17,2 tahun. Dengan semakin panjangnya usia harapan hidup pada tahun 1991, waktu yang digunakan untuk merawat lansiapun bertambah, yaitu 20,3 tahun sampai sang ibu meninggal pada usia 82,8 tahun. Di samping itu, masa tiga generasi tinggal bersamapun bertambah panjang, yaitu 25,5 tahun, sedangkan masa menjanda sang ibu yang 4,2 tahun pada tahun 1920 menjadi 8,1 tahun pada 1991. Dari perbandingan tersebut terlihatlah adanya perbedaan yang mencolok terhadap perawatan lansia . Dengan kata lain, pada tahun 1920 hanya dibutuhkan waktu 5,3 tahun untuk merawat lansia, sedangkan pada tahun 1991 masa sekarang seiring dengan bertambah panjangnya usia harapan hidup dibutuhkan waktu 20,3 tahun untuk merawat lansia Putri Elsy:2012.

BAB III DAMPAK PERUBAHAN MASYARAKAT AGRARIS KE MASYARAKAT