Perspektif Hukum Perjanjian Internasional terhadap MLA di Indonesia

yang diperjanjikan dalam perjanjian Internasional yang disahkan oleh undang- undang tersebut. Pasal lanjutannya yang menyatakan bahwa undang-undang ini ditempatkan dalam lembaran berita Negara agar setiap orang mengetahui, tidak serta merta menjadikan pengaturan ini berlaku menjadi hukum nasional, masih diperlukan undang-undang lebih lanjut.

D. Perspektif Hukum Perjanjian Internasional terhadap MLA di Indonesia

Dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi Convention Against Transnational Organized Crime, diantaranya dikenal 2 mekanisme kerjasama yang diakui yaitu ekstradisi dan bantuan timbal balikMutual Legal Assistance MLA. Kerjasama dalam bidang ekstradisi dan MLA di Indonesia secara umum telah memiliki Undang- Undang yang menjadi dasar hukum dalam pelaksanaannya, yaitu: 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1979 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3130. 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah PidanaMLA Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4607 110 Selain dasar hukum peraturan perundang-undangan diatas, dapat menjadi dasar kerjasama Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain dalam bidang . 110 “Kerjasama Internasional dalam Masalah Pidana”, stredoall.blogspot.com, terakhir kali diakses pada 14 Oktober 2010. Universitas Sumatera Utara ekstradisi dan MLA adalah perjanjian-perjanjian yang telah ditandatangani Pemerintah Republik Indonesia secara bilateral maupun multilateral dengan negara lain. Perjanjian yang telah ditandandatangani Pemerintah Republik Indonesia tersebut adalah: 1. Perjanjian Bilateral dengan Pemerintah Malaysia, ditandatangani di Jakarta 7 Januari 1974, telah diratifikasi dengan UU Nomor 9 Tahun 1974 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3044 Perjanjian Ekstradisi 2. Perjanjian Bilateral dengan Republik Philipina, ditandatangani di Jakarta 10 Pebruari 1976, telah diratifikasi dengan UU Nomor 10 Tahun 1976 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3087; 3. Perjanjian Bilateral dengan Pemerintah Kerajaan Thailand, ditandatangani di Bangkok 29 Juni 1976, telah diratifikasi dengan UU Nomor 2 Tahun 1978 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1978 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3117; 4. Perjanjian Bilateral dengan Australia, ditandatangani di Jakarta tanggal 22 April 1992, telah diratifikasi dengan UU Nomor 8 Tahun 1994 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3565; 5. Perjanjian Bilateral dengan Hong Kong SAR, ditandatangani pada tanggal 5 Mei 1997, telah diratifikasi dengan UU Nomor 1 Tahun 2001; Universitas Sumatera Utara 6. Perjanjian Bilateral dengan Republik Korea Selatan, ditandatangani di Jakarta tanggal 28 Nopember 2000, telah diratifikasi dengan UU Nomor 42 Tahun 2007; 7. Perjanjian Bilateral dengan Singapura, ditandatangani di Bali, Indonesia tanggal 27 April 2007, belum diratifikasi. 1. Perjanjian Bilateral dengan Australia, ditandatangani di Jakarta tanggal 27 Oktober 1995, diratifikasi dengan UU Nomor 1 Tahun 1999 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3807; Perjanjian MLA 2. Perjanjian Bilateral dengan Republik Rakyat China, ditandatangani di Jakarta tanggal 24 Juli 2000, diratifikasi dengan UU Nomor 8 Tahun 2006 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4621; 3. Perjanjian Multilateral dengan Pemerintah Brunei Darussalam, Kerajaan Kamboja, Republik Indonesia, Republik Demokratik Rakyat Laos, Malaysia, Uni Myanmar, Republik Philipina, Republik Singapura, Kerajaan Thailand dan Republik Sosialis Vietnam, ditandatangani di Kuala Lumpur tanggal 29 Nopember 2004, telah diratifikasi dengan UU Nomor 15 Tahun 2008; 4. Perjanjian Bilateral dengan Republik Korea Selatan, ditandatangani di Seoul tanggal 30 Maret 2002, belum diratifikasi; Universitas Sumatera Utara 5. Perjanjian Bilateral dengan Hong Kong SAR, ditandatangani di Hong Kong pada tanggal 3 April 2008, belum diratifikasi 111 MLA pada intinya dapat dibuat secara bilateral atau multilateral. MLA bilateral ini dapat didasarkan pada perjanjian MLA atau atas dasar hubungan baik timbal balik resiprositas dua negara. Sejauh ini, Indonesia sudah memiliki beberapa perjanjian kerja sama MLA Bilateral dengan Australia, China, Korea Selatan, dan Hong Kong SAR. Sementara itu, MLA Multilateral terangkum pada MLA regional Asia Tenggara yang sudah ditandatangani hampir semua negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia. Perjanjian Bilateral adalah perjanjian yang diadakan oleh dua buah negara untuk mengatur kepentingan kedua belah pihak. Perjanjian Multilateral adalah perjanjian yang diadakan oleh banyak negara dan sebagian dibawah pengawasan organisasi internasional seperti PBB, ILO, WHO, dan lain-lain. . Perjanjian-perjanjian multilateral yang memuat hukum kebiasaan internasional akan berlaku juga bagi negara-negara yang bukan peserta, tidak diikat oleh perjanjian melainkan oleh hukum kebiasaan, walaupun formulasi akhir dari hukum tersebut dalam perjanjian mungkin penting. Perjanjian yang bersifat bilateral juga dapat mengikat pihak ketiga berdasarkan alasan yang sama dengan menentukan unsur-unsur penting dalam pembentukan hukum kebiasaan internasional 112 111 Ibid. 112 Teuku May Rudy, Hukum Internasional 2, Bandung: Refika Aditama, 2002, hal. 127. . Universitas Sumatera Utara Perjanjian MLA yang dibuat ada yang berbentuk ‘perjanjian’, dan ada juga yang berbentuk ‘persetujuan’. Istilah ini secara umum diartikan sama, namun dalam hukum perjanjian internasional, terdapat perbedaan antar dua istilah ini. a. Perjanjian 113 Perjanjian internasional atau dalam bahasa Inggris disebut “treaties” dan dalam bahasa Perancis “traiter” yang berarti “berunding” dimaksudkan sebagai instrumen internasional yang mempunyai sifat mengikat. Instrumen hukum semacam itu mencerminkan suatu sifat kontraktual antara negara atau antara negara dengan organisasi internasional yang menciptakan hak dan kewajiban secara hukum di antara para pihak yang mengadakan persetujuan mengenai masalah-masalah yang dimaksudkan di dalam perjanjian tersebut. Pada mulanya perjanjian semacam itu dibuat dan ditandatangani oleh kepala-kepala negara saja, namun sekarang dapat dilakukan dalam bentuk antar pemerintahan maupun antar negara 114 113 Menurut pasal 2 angka 1 huruf a Konvensi Wina tahun 1969 tentang hukum Perjanjian, “Perjanjian” diartikan sebagai suatu persetujuan internasional yang dibuat antara negara di dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah itu tersusun di dalam satu instrumen tunggal, dua atau lebih instrumen yang terkait dan apapun bentuknya yang dibuat secara khusus. 114 Sumaryo Suryokusumo, Op. Cit., hal. 18. . Pada umumnya bentuk perjanjian itu ditujukan untuk persetujuan- persetujuan internasional khususnya yang bersifat penting seperti perjanjian mengenai perdamaian atau persekutuan. Bentuk instrumen internasional yang dituangkan dalam suatu perjanjian itu pada hakekatnya melihat adanya persetujuan internasional tertentu yang mempunyai arti politik, misalnya Perjanjian mengenai Pembentukan Masyarakat Ekonomi Eropa. Universitas Sumatera Utara Menurut Myers, perjanjian adalah jenis instrumen yang paling resmi yang digunakan untuk mencatat persetujuan antar negara yang bersifat menyeluruh mengenai status dan hubungan yang mendasar. Sebelumnya perjanjian dalam arti terbatas selalu dibuat antara kepala- kepala negara, tetapi dalam praktek sesudah itu menunjukkan bahwa perjanjian dapat dibuat bukan saja dalam bentuk antar kepala negara, tetapi juga dalam bentuk antar negara atau antar pemerintah. Perjanjian yang dibuat antar negara agak sedikit resmi dibandingkan dengan perjanjian yang dibuat antar kepala negara. Dalam hal ini yang digunakan bukan istilah “High Contracting Parties” tetapi “Contracting Parties” atau “Contracting States 115 ” atau kadang- kadang juga dipakai secara sederhana seperti “the Parties 116 Perjanjian yang dibuat oleh pemerintah negara juga kurang resmi. Para pihak biasanya menyebutnya sebagai “Contracting Governments” atau ” atau “State Parties”. Di dalam perjanjian yang dibuat antara negara-negara isi mukaddimahnya agak dikurangi dengan tidak memasukkan satu unsur resmi atau lainnya yang biasanya digunakan dalam perjanjian yang dibuat antara kepala-kepala negara. Namun hal itu sudah merupakan kebiasaan bahkan dalam hal suatu perjanjian antar negara, untuk tetap memakai satu pernyataan di dalam mukaddimahnya mengenai maksud dan tujuan dari perjanjian tersebut. 115 Menurut pasal 2 angka 1 huruf f Konvensi Wina tahun 1969 tentang hukum Perjanjian, “Negara Peserta” adalah suatu negara yang telah menyatakan kesepakatannya untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian baik yang belum diberlakukan maupun yang sudah diberlakukan. 116 Menurut pasal 2 angka 1 huruf g Konvensi Wina tahun 1969 tentang hukum Perjanjian, “Pihak” adalah sesuatu negara yang telah menyatakan kesepakatannya untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian, dimana perjanjian itu sudah berlaku. Universitas Sumatera Utara “Contracting Parties”, meskipun kadang-kadang bisa dijumpai penggunaan istilah “Signatory Governments” atau “Participating Governments”. Dalam hal ini mukaddimah perjanjian itu biasanya akan memuat suatu pernyataan tentang maksud dan tujuan dari perjanjian tersebut 117 Dalam arti yang umum persetujuan itu meliputi suatu penyesuaian pendapat, dalam hal ini, pendapat dari dua atau lebih persona internasional international persons. Tetapi harus selalu dibedakan antara persetujuan yang ditujukan untuk mendapatkan kewajiban dan yang tidak. Dalam arti yang terbatas, istilah persetujuan dimaksudkan untuk mempunyai kewajiban, tetapi biasanya agak sedikit resmi atau bersifat penting dibandingkan dengan perjanjian atau konvensi. Seperti juga perjanjian dan konvensi, persetujuan . b. Persetujuan Persetujuan ini merupakan instrumen yang sedikit formal dibandingkan dengan satu perjanjian atau konvensi dan pada umumnya tidak dalam kerangka kepala negara. Ini biasanya diterapkan pada persetujuan yang mempunyai lingkup lebih terbatas dan mempunyai pihak yang tidak banyak dibandingkan dengan konvensi yang biasa. Instrumen semacam ini juga digunakan untuk persetujuan yang menyangkut hal-hal yang bersifat teknis dan administratif yang ditandatangani oleh wakil-wakil dari departemen pemerintah tetapi tidak memerlukan ratifikasi. Istilah “persetujuan” seperti juga istilah “perjanjian” itu sendiri, digunakan dalam banyak pengertian. 117 Sumaryo Suryokusumo, Op. Cit., hal. 19. Universitas Sumatera Utara dalam arti terbatas bisa dibuat antara kepala-kepala negara, antara negara atau antar pemerintah. Instrumen perjanjian dalam bentuk persetujuan merupakan penarik dari para pembuat perjanjian. Selama hal itu dapat digunakan untuk perjanjian multilateral, contohnya Persetujuan tentang Status Pasukan dari Para Pihak Perjanjian Atlantik Utara tahun 1951, maka persetujuan itu lebih bersifat umum, digunakan untuk perjanjian bilateral yang sifatnya cukup baik dan umum. Dalam praktek persetujuan semacam itu, dapat juga dilihat pada persetujuan yang dibuat antara Indonesia dan Hong Kong SAR mengenai Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana tahun 2008. Bentuk persetujuan ini diberikan untuk satu perjanjian yang dalam bentuk instrumen tunggal dan yang pada umumnya berbeda dengan satu konvensi yang berhubungan dengan masalah pokok yang bersifat lebih sempit dan kurang permanen. Kadang-kadang persetujuan dibuat antara kementrian pemerintah di satu negara dengan kementrian pemerintah negara lainnya. Hal itu tergantung dari suasana apakah persetujuan antara kementrian semacam itu mengikat secara hukum internasional ataukah hanya merupakan bentuk hukum tersendiri. 118 Perjanjian MLA di Indonesia umumnya disahkan dengan UU tentang Pengesahan Perjanjian MLA tersebut. Hal ini dibuat berdasarkan UU RI No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, dimana di dalam pasal 10 disebutkan bahwa perjanjian internasional yang berkenaan dengan masalah 118 Sumaryo Suryokusumo, Op. Cit., hal. 22-23. Universitas Sumatera Utara keamanan dalam hal ini bantuan timbal balik dalam masalah pidana disahkan dengan undang-undang. Pengesahan atau ratifikasi 119 a. Ratifikasi semata-mata dilakukan oleh badan eksekutif; adalah hal yang diperlukan guna penguatan terhadap perjanjian yang telah ditandatangani. Ada 3 sistem menurut mana ratifikasi diadakan, yaitu: b. Ratifikasi dilakukan oleh badan perwakilan legislatif; c. Sistem dimana ratifikasi perjanjian dilakukan bersama-sama oleh badan legislatif dan eksekutif 120 Ratifikasi dianggap perlu dan penting karena: . a. Perjanjian-perjanjian itu umumnya menyangkut kepentingan dan mengikat masa depan negara dalam hal-hal tertentu, karena itu harus disahkan oleh kekuasaan negara tertinggi. b. Untuk menghindarkan kontroversi antara utusan-utusan yang berunding dengan pemerintah yang mengutus mereka. c. Perlu adanya waktu agar instansi-instansi yang bersangkutan dapat mempelajari naskah yang diterima. d. Pengaruh rezim parlementer yang mempunyai wewenang untuk mengawasi kegiatan-kegiatan eksekutif 121 119 Menurut pasal 2 angka 1 huruf f Konvensi Wina tahun 1969 tentang hukum Perjanjian, “Ratifikasi”, “penerimaan”, “pengesahan”, dan “aksesi”, dalam setiap kasus diartikan sebagai tindakan internasional apapun namanya dimana suatu negara dalam taraf internasional membuat kesepakatannya untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian. 120 Teuku May Rudy, Op. Cit., hal. 128. 121 Boer Mauna, Op. Cit., hal. 118. . Universitas Sumatera Utara Pasal 14 Konvensi Wina 1969 menyatakan bahwa persetujuan suatu negara untuk diikat suatu perjanjian dinyatakan dalam bentuk ratifikasi bila: a. Perjanjian itu sendiri mengharuskan supaya persetujuan diberikan dalam bentuk ratifikasi; b. Bila terbukti bahwa negara-negara yang ikut berunding setuju untuk mengadakan ratifikasi; c. Bila utusan-utusan negara menandatangani perjanjian tersebut dengan syarat untuk meratifikasinya kemudian; atau d. Full powers delegasi itu sendiri menyatakan bahwa ratifikasi diharuskan kemudian. Bentuk perjanjian kerjasama antara Republik Indonesia dengan negara lain mengenai MLA juga berpedoman pada UN Model Treaty of MLA tahun 1990, yang akan dibahas pada bab selanjutnya. Universitas Sumatera Utara BAB IV PERJANJIAN MLA ANTARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN HONG KONG SPECIAL ADMINISTRATIVE REGION MENURUT UU RI NO. 1 TAHUN 2006 DAN UN MODEL TREATY OF MLA

A. Sejarah Pembentukan MLA RI-Hong Kong SAR