Struktur Ruang dan Keberlanjutan Perkotaan

kendaraan.bermotor roda dua. Fenomena ojek di berbagai lokasi nyaris mendekati fenomena mekanisme pasar yang sempurna berskala local jumlah ojek sisi supply dan penumpang sisi demand berada di dalam keseimbangan yang dinamis sesuai dengan kompetisi pasar di tingkat local, terlihat nyaris tanpa keterlibatan langsung pemerintah. Sarana angkutan umum roda empat umumnya merupakan sektor jasa transportasi yang tergolong sebagai sektor formal. Pemerintah daerah terlibat langsung di dalam penyediaan sarana angkutan ini melalui mekanisme ijin trayek, kebijakan jalur trayek yang diselenggarakan, dan penetapan tarif angkutan. Sektor swasta yang memiliki ijin trayek menyediakan sarana angkutan roda empatnya. Sektor Prasarana transportasi berupa pembangunan jalan raya, jembatan dan terminal umumnya merupakan tanggungjawab dan kewenangan pemerintah di dalam penyediaannya Rustadi, dkk, 2011.

2.3. Struktur Ruang dan Keberlanjutan Perkotaan

Pengaruh struktur ruang terhadap keberlanjutan perkotaan telah menjadi perhatian serius di kota-kota di dunia dalam beberapa dekade terakhir. Studi-studi terhadap kotakota di Amerika Utara yang banyak dikategorikan sebagai “tidak berlanjut” unsustainable telah mempersalahkan pola ruang semrawut sprawling yang dicirikan antara lain oleh pola penggunaan lahan melompat leapfrog, tata guna lahan terpencar dan tingkat kepadatan rendah Gilham, 2002. Kerugian yang diakibatkan oleh pola ruang seperti ini sangat luas, meliputi antara lain konversi lahan hijau secara signifikan menjadi permukiman, komersial atau industri, memicu Universitas Sumatera Utara tumbuhnya “lahan tidur”, ancaman pada ekosistem dan daerah yang sensitif secara lingkungan, meningkatkan penggunaan kendaraan pribadi, dan menuntut pembangunan infrastruktur yang berlebihan TCRP, 2002. Hal ini telah mendorong kota-kota di negara-negara maju untuk meneliti dampak struktur ruang dan karakteristiknya terhadap keberlanjutan perkotaan urban sustainability seperti studi oleh Marshall dan Banister 2005. Sementara itu pada sisi lain, banyak kota-kota di negaranegara berkembang yang mengalami permasalahan keberlanjutan perkotaan yang sangat serius belum melakukan identifikasi empiris yang memadai terhadap pola ruang yang dialami. Studi-studi yang mengamati karakteristik tata ruang di kota-kota berkembang justru sering salah kaprah dengan kenyataan tingginya kepadatan kota yang dalam literatur Barat diasosiasikan sebagai karakteristik kota yang berlanjut sustainable. Adanya paradoks ini terlihat seperti pada studi yang dilakukan oleh Newman dan Kenworthy 1999 terhadap kota-kota di dunia yang pada satu sisi mengkategorikan kota-kota dengan tingkat kepadatan tinggi seperti Jakarta, Bangkok, Manila sebagai kota yang kompak dan lebih berlanjut, namun pada sisi lain kota-kota ini menderita kemacetan lalu-lintas dan tingkat polusi yang jauh lebih parah dibandingkan kota-kota di negara maju yang memiliki tingkat kepadatan rendah. Studi literature juga menunjukkan bahwa kota-kota berkembang di Asia Tenggara seperti Jakarta, Manila dan Bangkok mengalami permasalahan keberlanjutan perkotaan yang sangat serius baik dari aspek ekonomi, sosial maupun lingkungan seperti konversi lahan pertanian besar-besaran Kelly, 1999, gangguan terhadap sistem ekologi dan krisis air bersih Douglass, Universitas Sumatera Utara 2005, permasalahan banjir Murakami dan Palijon, 2005, polusi udara dan kebisingan Kittiprapas, 2001, polusi air tanah Kelly, 1999, polusi tanah Kittiprapas, 2001, penurunan muka tanah Douglass, 2005, hujan asam dan kemacetan lalu-lintas Steinberg, 2007. Permasalahannya adalah bahwa penelitian empiris terhadap kota-kota di negara berkembang kurang memiliki konteks teori di mana distribusi kegiatan sosioekonomi kota dapat dijelaskan. Hal ini bertolak belakang dengan studi-studi empiris kota-kota negara maju, di mana penelitian terfokus pada pengujian pola ruang monosentris dan polisentris Anas et al., 1998 serta dampaknya terhadap keberlanjutan kota, terutama dari sisi keberlanjutan transportasi transport sustainability. Beberapa studi, seperti yang dilakukan oleh Alpkokin et al. 2008 dan Vichiensan 2007, justru berspekulasi bahwa kota-kota di negara berkembang tengah mengalami dinamika yang mirip dengan kota-kota di negara maju, di antaranya adalah terjadinya desentralisasi fungsi pusat-pusat bisnis di luar pusat kegiatan bisnis di tengah kota, yaitu berupa peralihan dari struktur kota monosentris menuju polisentris. Hal ini bertolak belakang dengan studi yang dilakukan oleh Kelly 1999 dan McGee 2008 yang menyarankan bahwa latar belakang historis dan karakteristik sosioekonomi yang unik telah memberi pengaruh yang kuat terhadap pola pertumbuhan kota-kota di Negara berkembang sehingga menghasilkan struktur ruang yang sangat berbeda dengan yang dialami oleh kota-kota di negara maju. Model alternatif terhadap struktur ruang di kota-kota di negara berkembang diajukan oleh McGee 2008 yang mengidentifikasi fenomena mega-urbanisasi atau Universitas Sumatera Utara extended metropolitan region EMR di mana terbentuk urbanisasi pada skala wilayah region-based urbanisation yang menghasilkan suatu wilayah luas yang terintegrasi secara ekonomi, yang terdiri dari sebuah kota inti yang pada banyak kasus merupakan ibukota negara atau propinsi, wilayah pinggir kota peri-urban di sekeliling kota inti di mana terdapat kota-kota yang lebih kecil, kawasan industri maupun kota-kota satelit, dan zona paling luar outer zones di mana terdapat pertemuan kegiatan perkotaan dan perdesaan. Pada zona paling luar inilah terdapat kawasan “desakota” yang dicirikan oleh berbaurnya kegiatan kota dan desa. Paradoks pada studi Newman dan Kenworthy 1999 seperti disebutkan di atas timbul karena adanya asumsi bahwa pola urbanisasi kota-kota di Negara maju juga dialami oleh kota-kota negara berkembang di Asia Tenggara tersebut. Bila sudut pandang mega- urbanisasi yang digunakan, sulit untuk mengkategorikan Jabodetabek, misalnya, sebagai unit perkotaan yang kompak. Hanya saja, teori mega-urbanisasi ini belum diteliti secara empiris dalam skala yang detail Hakim dan Parolin, 2008. Dalam dua dekade terakhir, kajian-kajian empiris terhadap struktur ruang kota didominasi oleh usaha untuk mengidentifikasi struktur ruang pekerjaan spatial structure of employment, karakteristik fisik serta dampaknya terhadap pola transportasi, khususnya perjalanan ke tempat kerja commuting trip. Metode yang sering digunakan untuk mengidentifikasi struktur ruang pekerjaan di wilayah perkotaan adalah pendekatan cut-off Giuliano dan Small, 1991 yang menerapkan batasan kepadatan pekerjaan employment density tertentu untuk menentukan apakah suatu kumpulan zona dikategorikan sebagai pusat pekerjaan employment center. Universitas Sumatera Utara Walaupun metode ini cukup populer digunakan, kelemahan utama terletak pada subyektifitas dalam menentukan nilai batasan cut-off yang digunakan, sehingga mengakibatkan inkonsistensi hasil. Sejumlah metode yang bersifat non-parametric telah diusulkan untuk mengatasi kelemahan tersebut. Di antara metode-metode yang diusulkan, metode analisa eksplorasi data spasial Exploratory Spatial Data Analysis atau ESDA memiliki kelebihan berupa pengikutsertaan aspek kebergantungan spasial spatial dependence atau dikenal dengan autokorelasi spasial spatial autocorrelation. Metode ESDA memperoleh momentum dalam beberapa tahun terakhir dengan dirumuskannya statistik autokorelasi spasial lokal local spatial autocorrelation oleh Anselin 1995 dan Ord dan Getis 1995. Kedua statistik, yaitu lokal banyak digunakan untuk mengidentifikasi struktur ruang kota-kota di dunia seperti studi yang dilakukan Carrol et al. 2008, Riguelle et al. 2007, Guillain dan Gallo 2006, Sohn et al. 2005, dan Baumont et al. 2004.

2.4. Kota dan Daerah di Belakangnya