Pengalaman Hidup Rasulullah SAW

B. Pengalaman Hidup Rasulullah SAW

Rasulullah SAW umur enam tahun oleh ibunya dibawa keluar ke pamannya dari arah ibunya di Madinah, kemudian ibunya Aminah binti Wahab meninggal di desa Abwa, suatu tempat yang terletak antara Makkah dan Medinah dan dimakamkan disana pula. Ketika itu ibunya berusia tiga puluh tahun. Dua tahun sesudah itu meninggal pula neneknya Abdul Muthalib yang mengasuhnya itu. Setelah Muhammad SAW berusia 8 tahun neneknya meninggal, kemudian beliau diasuh oleh pamannya, Abu Thalib, saudara ayahnya. Ketika Rasulullah SAW di tangan Abu Thalib, beliau sering dibawa bepergian oleh Abu Thalib ke negeri Syam, untuk berdagang. Sebelum sampai di negeri Syam di suatu tempat yaitu Bushra, bertemu dengan Rahib pendeta Nasrani; Buhairo. Ia melihat tanda- tanda kenabian pada diri Rasulullah SAW dan menasehati untuk segera kembali ke Makkah, karena kalau kaum Yahudi mengenalinya tentu akan mencelakakannya, Abu Thalib kemudian segera menyelesaikan dagangannya dan segera kembali ke Mekah Amali, 1986: 36. Setelah usia Rasulullah SAW, menginjak empat belas tahun, terjadi “Perang Fijr” antara suku Quraisy dan suku Kinanah pada suatu pihak dan suku Qis Ilan di lain pihak. Peristiwa ini terjadi di “Nakhlah”, suatu tempat suci yang tidak boleh dicemari dengan peperangan dan pertumpahan darah. Rasulullah membantu pemannya dengan kaum Quraisy kalaulah tidak ada perdamaian. Setelah Abdul Muthalib wafat, kota Makkah mengalami kemunduran, kehancuran terjadi diseluruh pelosok kota. Untuk menanggulangi hal tersebut para pemuka Bani Hasyim, Bani Muthalib, Bani Asad bin Uzza, Bani Zuhroh bin Kilab dan Bani Tamim bin Murrah mengadakan musyawarah di rumah Abdullah bin Juda’an. Hasil musyawarah tersebut adalah suatu kesepakatan berupa sumpah yang ada dalam sejarah fudhul, yang isinya adalah “Tidak seorangpun yang akan teraniaya di kota Makkah baik oleh penduduk Makkah sendiri ataupun oleh orang lain. Barang siapa teraniaya harus dibela bersama-sama”. Amaly, 1986: 37. Setelah dewasa, Rasulullah SAW berusaha hidup mandiri untuk mencukupi kebutuhannya sendiri. Karena beliau dikenal sebagai pemuda yang rajin dan jujur maka seorang janda bernama Khadijah binti Khuwalid, seorang bangsawan dan pedagang kaya memberi kepercayaan untuk membawa barang dagangannya ke negeri Syam. Perjalanan niaganya disertai oleh seorang pembantu Khadijah yaitu Maisaroh. Beliau dipilih sebagai komisioner, lantaran sifat-sifat Rasulullah SAW, kepercayaan, kejujuran dan sifat dan pembawaannya baik, akhlak yang terpuji maka, oleh kaumnya beliau dikenal sebagai “Al Amin” orang yang terpercaya. Jual belinya sangat maju dan mendapat keuntungan yang besar. Beberapa waktu setelah Rasulullah SAW pulang dari perjalanan ke negeri Syam itu, datanglah lamaran dari Khadijah untuk menjadi suaminya. Kemudian hal itu disampaikan kepada pamannya, Abbas bin Abu Thalib setelah dicapai kesepakatan pernikahanpun dilangsungkan. Ketika itu Rasulullah Saw berusia 25 tahun sedangkan Khadijah berusia 40 tahun. Khadijah adalah istri pertamanya. Khadijah mendampingi Rasulullah Saw dengan setia dan menyertainya. Dari perkawinan yang diberkati Allah SWT tersebut, beliau dikaruniai empat orang putri dan dua orang putra, yaitu: 1. Qasim, 2. Zaenab, 3. Ruqayyah, 4. Ummu Kulsum, 5. Fatimah, 6. Thayib. Kedua putranya meninggal ketika masih kanak-kanak di masa Jahiliyah. Ketika Rasulullah berusia 35 tahun, beliau diambil oleh orang Quraisy untuk memperbaharui pembinaan Ka’bah. Ka’bah itu pernah terbakar dan rusak pondasinya lantaran banjir. Ketika akan meletakkan “Hajrul Aswad” ditempatnya semula, terjadi perselisihan. Orang-orang yang mulia yang boleh meletakkan Hajrul Aswad itu di tempatnya semula. Perselisihan itu hampir menimbulkan peperangan, dan dapat dihentikan oleh orang yang mula-mula masuk dari pintu Bani Syaibah. Kiranya Muhammad orang yang mula-mula masuk melalui pintu itu. Oleh karena itu Muhammad dipilih sebagai hakim untuk menyelesaikan perselisihan mereka itu. Oleh Muhammad dibentangkannya ridaknya yakni kain kudung penutup kepalanya dan diletakkan Hajrul Aswad itu di atasnya, dan menyuruh tiap-tiap kabilah itu mengambil ujung ridak itu, sehingga Hajrul Aswad itu terangkat sama tinggi dengan tangan masing- masing kabilah itu dan meletakkan pada tempatnya semula Amali, 1986: 38-39. Karim 1990: 55 berpendapat bahwa pengagungan Ka’bah sebagaimana yang ditradisikan dikalangan muslim merupakan warisan dari suku-suku Arab, masyarakat Arab yang pluralistik sepakat untuk menyucikan Ka’bah yang ada di Mekah karena pada masa pras Islam terdapat 21 Ka’bah di semenanjung Arab.

C. Pribadi Rasulullah SAW