Struktur dan Komposisi Hutan Tempat dan Waktu Penelitian Deskripsi Area Penelitian

2.5.2 Parameter Kuantitatif dalam Analisis Komunitas Tumbuhan

Kusmana, C 1997 mengemukakan bahwa untuk keperluan deskripsi vegetasi tersebut ada tiga macam parameter kuantitatif yang penting, antara lain densitas, frekuensi, dan kelindungan. Kelindungan adalah daerah yang ditempati oleh tetumbuhan dan dapat dinyatakan dengan salah satu atau kedua-duanya dari penutupan dasar basal cover dan penutupan tajuk canopy cover. Adapun parameter umum dari dominansi yang dikemukakan oleh Indriyanto 2006 meliputi kelindungan, biomassa, dan produktivitas. Kusmana, C 1997 mengemukakan bahwa dalam penelitian ekologi hutan pada umumnya para peneliti ingin mengetahui spesies tetumbuhan yang dominan yang memberi ciri utama terhadap fisiognomi suatu komunitas hutan. Spesies tetumbuhan yang dominan dalam komunitas dapat diketahui dengan mengukur dominansi tersebut. Ukuran dominansi dapat dinyatakan dengan beberapa parameter, antara lain biomassa, penutupan tajuk, luas basal area, indeks nilai penting, dan perbandingan nilai penting summed dominance ratio. Meskipun demikian, masih banyak parameter kuantitatif yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan komunitas tumbuhan, baik dari segi struktur komunitas maupun tingkat kesamaannya dengan komunitas lainnya. Parameter yang dimaksud untuk kepentingan tersebut adalah indeks keanekaragaman spesies dan indeks kesamaan komunitas Soegianto, 1994.

2.6. Struktur dan Komposisi Hutan

Struktur merupakan lapisan vertikal dari suatu komunitas hutan. Dalam komunitas selalu terjadi kehidupan bersama saling menguntungkan sehingga dikenal adanya lapisan-lapisan bentuk kehidupan Syahbudin, 1987. Selanjutnya Daniel at al.1992, menyatakan struktur tegakan atau hutan menunjukkan sebaran umur dan atau kelas diameter dan kelas Universitas Sumatera Utara tajuk.Sementara itu dinyatakan struktur hutan menunjukkan stratifikasi yang tegas antara stratum A, stratum B dan stratum C yang tingginya secara berurutan sekitar 40, 20 dan 10 meter Wirakusuma, 1980. Komposisi hutan merupakan penyusun suatu tegakan atau hutan yang meliputi jumlah jenis spesies ataupun banyaknya individu dari suatu jenis tumbuhan Wirakusuma, 1980. Komposisi hutan sangat ditentukan oleh faktor-faktor kebetulan , terutama waktu-waktu pemencaran buah dan perkembangan biji. Pada daerah tertentu komposisi hutan berkaitan erat dengan ciri habitat dan topografi Damanik et al; 1992

2.7. Mengapa C Tersimpan Perlu Diukur

Perubahan iklim global yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan karena terganggunya keseimbangan energi antara bumi dan atmosfir. Keseimbangan tersebut dipengaruhi antara lain oleh peningkatan gas-gas asam arang atau karbondioksida CO 2 , metana CH 4 dan nitrogen oksida N 2 O yang lebih dikenal dengan gas rumah kaca GRK. Saat ini konsentrasi GRK sudah mencapai tingkat yang membahayakan iklim bumi dan keseimbangan ekosistem Hairiah dan Rahayu, 2007. Konsentrasi GRK di atmosfir meningkat sebagai akibat adanya pengelolaan lahan yang kurang tepat, antara lain adanya pembakaran vegetasi hutan dalam skala luas pada waktu yang bersamaan dan adanya pengeringan lahan gambut. Kegiatan-kegiatan tersebut umumnya dilakukan pada awal alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian. Kebakaran hutan dan lahan serta gangguan lahan lainnya telah menempatkan Indonesia dalam urutan ketiga negara penghasil emisi CO 2 terbesar di dunia. Indonesia berada di bawah Amerika Serikat dan China, Universitas Sumatera Utara dengan jumlah emisi yang dihasilkan mencapai dua miliar ton CO 2 pertahunnya atau menyumbang 10 dari emisi CO 2 di dunia Hairiah dan Rahayu, 2007. Tumbuhan memerlukan sinar matahari, gas asam arang CO 2 yang diserap dari udara serta air dan hara yang diserap dari dalam tanah untuk kelangsungan hidupnya. Melalui proses fotosintasis, CO 2 di udara diserap oleh tanaman dan diubah menjadi karbohidrat, kemudian disebarkan ke seluruh tubah tanaman dan akhirnya ditimbun dalam tubuh tanaman berupa daun, batang, ranting, bunga dan buah. Proses penimbunan C dalam tubuh tanaman hidup dinamakan proses sekuestrasi C- sequestration. Dengan demikian mengukur jumlah C yang disimpan dalam tubuh tanaman hidup biomassa pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO 2 di atmosfir yang diserap oleh tanaman Hairiah dan Rahayu, 2007. Selanjutnya Hairiah dan Rahayu 2007 mengatakan tanaman atau pohon berumur panjang yang tumbuh di hutan maupun di kebun campuran agroforestri merupakan tempat penimbunan atau penyimpanan C rosot C =C sink yang jauh lebih besar daripada tanaman semusim. Oleh karena itu, hutan alami dengan keragaman jenis pepohonan berumur panjang dan seresah yang banyak merupakan gudang penyimpanan C tertinggi baik di atas maupun di dalam tanah. Hutan juga melepaskan CO 2 ke udara lewat respirasi dan dekomposisi pelapukan seresah, namun pelepasannya terjadi secara bertahap, tidak sebesar bila ada pembakaran yang melepaskan CO 2 sekaligus dalam jumlah yang besar. Bila hutan diubah fungsinya menjadi lahan- lahan pertanian atau perkebunan atau ladang pengembalaan maka C tersimpan akan merosot. Berkenaan dengan upaya pengembangan lingkungan bersih, maka jumlah CO 2 di udara harus dikendalikan dengan jalan meningkatkan jumlah serapan CO 2 oleh tanaman sebanyak mungkin dan menekan pelepasan emisi CO 2 ke udara serendah mungkin. Jadi, mempertahankan keutuhan hutan alami, menanam pepohonan pada lahan-lahan pertanian dan melindungi lahan Universitas Sumatera Utara gambut sangat penting untuk mengurangi jumlah CO 2 yang berlebihan di udara. Jumlah “C tersimpan” dalam setiap penggunaan lahan tanaman, seresah dan tanah, biasanya disebut juga sebagai “cadangan C” Hairiah dan Rahayu, 2007 Jumlah C tersimpan antar lahan berbeda-beda, tergantung pada keragaman dan kerapatan tumbuhan yang ada, jenis tanahnya serta cara pengelolaannya. Penyimpanan C suatu lahan menjadi lebih besar bila kondisi kesuburan tanahnya baik, atau dengan kata lain jumlah C tersimpan di atas tanah biomasa tanaman ditentukan oleh besarnya jumlah C tersimpan di dalam tanah bahan organik tanah, BOT Hairiah dan Rahayu, 2007. Penebangan hutan akan menyebabkan terbukanya permukaan tanah terhadap radiasi dan cahaya matahari. Dampak langsungnya adalah meningkatnya suhu tanah dan turunnya kadar air tanah. Dampak langsung lainnya dari kegiatan penebangan hutan adalah menurunnya cadangan karbon atas-permukaan above-ground carbon stocks dan selanjutnya akan mempengaruhi penyusutan cadangan karbon bawah-permukaan below-ground carbon stocks Murdiyarso et al., 2004. Aliran karbon dari atmosfir ke vegetasi merupakan aliran yang bersifat dua arah, yaitu pengikatan CO 2 ke dalam biomasa melalui fotosintesis dan pelepasan CO 2 ke atmosfir melalui proses dekomposisi dan pembakaran. Diperkirakan sekitar 60 Pg 60 juta ton karbon mengalir antara ekosistem daratan dan atmosfir setiap tahunnya, dan sebesar 0,7 ± 1,0 Pg karbon diserap oleh ekosistem daratan. Alih guna lahan dan konversi hutan merupakan sumber utama emisi CO 2 dengan jumlah sebesar 1,7 ± 0,6 Pg karbon pertahun. Apabila laju konsumsi bahan bakar dan pertumbuhan ekonomi global terus berlanjut seperti yang terjadi pada saat ini, maka dalam jangka waktu 100 tahun yang akan datang suhu global rata-rata akan meningkat sekitar 1,7 – 4,5 C Rahayu et al., 2007. Universitas Sumatera Utara Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertanian melepaskan cadangan karbon ke atmosfir dalam jumlah yang cukup berarti. Namun jumlah tersebut tidak memberikan dampak yang berarti terhadap jumlah CO 2 yang mampu diserap oleh hutan dan daratan secara keseluruhan. Dampak konversi hutan ini baru terasa apabila diikuti dengan degradasi tanah dan hilangnya vegetasi, serta berkurangnya proses fotosintesis akibat munculnya hutan beton serta lahan yang dipenuhi bangunan-bangunan dari aspal sebagai pengganti tanah atau rumput. Meskipun laju fotosintesis pada lahan pertanian dapat menyamai laju fotosintesis pada hutan, namun jumlah cadangan karbon yang terserap lahan pertanian jauh lebih kecil. Selain itu, karbon yang terikat oleh vegetasi hutan akan segara dilepaskan kembali ke atmosfir melalui pembakaran, dekomposisi sisa panen maupun pengangkutan hasil panen Rahayu et al., 2007. Masalah utama yang terkait dengan alih guna lahan adalah perubahan jumlah cadangan karbon. Pelepasan karbon ke atmosfir akibat konversi hutan berjumlah sekitar 250 Mg ha -1 C yang terjadi selama penebangan dan pembakaran, sedangkan penyerapan kembali karbon menjadi vegetasi pohon relatif lambat, hanya sekitar 5 Mg ha -1 C. Penurunan emisi karbon dapat dilakukan dengan: a mempertahankan cadangan karbon yang telah ada dengan: mengelola hutan lindung, mengendalikan deforestasi, menerapkan praktek silvikultur yang baik, mencegah degradasi lahan gambut dan memperbaiki pengelolaan cadangan bahan organik tanah, b meningkatkan cadangan karbon melalui penanaman tanaman berkayu dan c mengganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar yang dapat diperbarui secara langsung maupun tidak langsung angin, biomasa, aliran air, radiasi matahari, atau aktivitas panas bumi Rahayu et al.,2007. Peningkatan penyerapan cadangan karbon dapat dilakukan dengan: a meningkatkan pertumbuhan biomasa hutan secara alami, b menambah cadangan kayu pada hutan yang ada dengan penanaman pohon atau mengurangi pemanenan kayu, dan c Universitas Sumatera Utara mengembangkan hutan dengan jenis pohon yang cepat tumbuh. Karbon yang diserap oleh tanaman disimpan dalam bentuk biomasa kayu, sehingga cara yang paling mudah untuk meningkatkan cadangan karbon adalah dengan menanam dan memelihara pohon Hairiah dan Rahayu, 2007. Untuk memperoleh potensial penyerapan karbon yang maksimum perlu ditekankan pada kegiatan peningkatan biomasa di atas permukaan tanah bukan karbon yang ada dalam tanah, karena jumlah bahan organik tanah yang relatif lebih kecil dan masa keberadaannya singkat. Hal ini tidak berlaku pada tanah gambut Rahayu et al., 2007. Cadangan karbon pada suatu sistem penggunaan lahan dipengaruhi oleh jenis vegetasinya. Suatu sistem penggunaan lahan yang terdiri dari pohon dengan spesies yang mempunyai nilai kerapatan kayu tinggi, biomasanya akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan lahan yang mempunyai spesies dengan nilai kerapatan kayu rendah. Biomasa pohon dalam berat kering dihitung menggunakan “allometric equation” berdasarkan pada diameter batang setinggi 1,3 m di atas permukaan tanah Rahayu et al., 2007. Universitas Sumatera Utara

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di kawasan hutan Taman Wisata Alam TWA Deleng Lancuk Kabupaten Karo Propinsi Sumatera Utara pada bulan Januari sampai bulan April tahun 2010

3.2. Deskripsi Area Penelitian

Kawasan hutan TWA Deleng Lancuk terletak di Desa Kuta Gugung, Kecamatan Naman Teran, Kabupaten Karo. Lokasi Taman Wisata Alam Deleng Lancuk terletak pada garis median 98 20” – 98 30” BT dan 03 10” – 03 15” LU. Kelompok hutan Deleng Lancuk adalah nama sebuah bukit yang berada di kawasan hutan Sibayak II. Di kaki selatan bukit ini terdapat danau seluas lebih kurang 100 Ha, yang dikenal dengan Danau Lau Kawar. Jarak dari Kota Medan ke TWA Deleng Lancuk sekitar 110 km. TWA Deleng Lancuk luasnya 435 Ha termasuk Danau Lau kawar telah ditunjuk menjadi Taman Wisata Alam sesuai dengan keputusan Menteri Kehutanan No.08KptsII1989 tanggal 6 Februari 1989. Secara administratif terletak di Kabupaten Daerah Tingkat II Tanah Karo, Kecamatan Naman Teran Desa Kuta Gugung.

3.3. Topografi dan Iklim