berat sehingga mereka harus meninggalkan pekerjaan maupun sekolah 1-3 hari selama sebulan. Dan menurut Morgan dan Hamilton 2009 dismenore primer lebih
sering terjadi pada usia remaja persentasenya 40-50, biasanya dismenore primer terjadi 1-3 tahun setelah menarche Sartika, 2011.
Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Dawood juga bahwa di USA, diperkirakan hampir 90 wanita mengalami dismenore, dan 10-15 diantaranya
mengalami dismenore berat, yang menyebabkan mereka tidak mampu melakukan kegiatan apapun Jurnal Occupation And Environmental Medicine, 2008. Telah
diperkirakan bahwa lebih dari 140 juta jam kerja yang hilang setiap tahunnya di Amerika Serikat karena dismenore primer. Di Indonesia, angka kejadian dismenore
64,25 , terdiri dari 54,89 dismenore primer dan 9,36 dismenore sekunder Novie, 2011. Di Canada didapatkan 60 wanita mengalami dismenore primer
dengan kualitas nyeri sedang sampai berat, diantaranya 15 aktivitas mereka menjadi terbatas, dan 17 dari mereka tidak hadir di sekolah atau tempat kerja
Dawood, 2006. Hal ini didukung oleh penelitian Chia 2012 bahwa prevalensi dismenore dari
semua siswi SMA Santo Thomas 1 Medan adalah sebanyak 53,9 dari 89 responden. Penelitian yang dilakukan oleh Tinah dan Diyah 2009 bahwa dari hasil
penelitian sebagian besar responden mengalami nyeri haid yaitu sebanyak 39 responden 97,5.
5.2.3 Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Dismenore Primer
Dari hasil uji chi square didapatkan hubungan yang bermakna antara status gizi dengan dismenore primer pada remaja putri di SMA Swasta Istiqlal Deli Tua. Pada
dismenore primer derajat ringan, sedang dan berat dengan status gizi normal dan
Universitas Sumatera Utara
tidak normal didapatkan yang mengalami dismenore ringan mayoritas status gizi normal sebanyak 31 orang 63,3, sedangkan responden yang mempunyai status
gizi tidak normal mayoritas mengalami dismenore sedang sebanyak 15 orang 51,7 dan 12 orang 41,4 bahkan mengalami dismenore berat. Hal ini mungkin
karena remaja yang tidak menjaga pola hidup sehat sehingga dengan keadaan kurus dan kegemukan mengakibatkan terlalu peka terhadap rasa sakit pada saat menstruasi.
Secara langsung adanya keterkaitan IMT tidak normal yaitu IMT kurang yaitu terjadinya ketidakcukupan zat gizi dalam tubuh maka simpanan zat gizi akan
berkurang karena cadangan jaringan akan digunakan untuk memenuhi ketidak cukupan itu. Keadaan seperti ini menyebabkan kondisi fisik lemah sehingga
ketahanan terhadap nyeri akan berkurang Supariasa, 2008. Sedangkan pada keadaan IMT lebih kaitannya dengan status gizi yaitu semakin banyak lemak
semakin banyak pula prostaglandin yang dibentuk, sedangkan peningkatan kadar prostaglandin dalam sirkulasi darah diduga sebagai penyebab dismenore. Menurut
Okparasta 2003 prostaglandin menyebabkan penigkatan aktivitas uterus dan serabut-serabut syaraf terminal rangsang nyeri. Kombinasi antara peningkatan kadar
prostaglandin dan peningkatan kepekaan miometrium menimbulkan tekanan intrauterus hingga 400 mmHg dan menyebabkan kontraksi miometrium yang hebat.
Selanjutnya, kontraksi miometrium yang disebabkan oleh prostaglandin akan mengurangi aliran darah sehingga terjadi iskemia sel-sel miometrium yang
mengakibatkan timbulnya nyeri spasmodik. Jika prostaglandin dilepaskan dalam jumlah berlebihan ke dalam peredaran darah, maka selain dismenore timbul pula
diare, mual, dan muntah Agustianingsih, 2010. Hal ini sesuai dengan penelitian terdahulu telah dilakukan oleh Susanto,
Nasaruddin, dan Abdullah pada tahun 2008 yang menemukan adanya hubungan
Universitas Sumatera Utara
antara status gizi terhadap dismenore primer pada remaja putri di Kotamadya Makassar dengan uji Chi-Square p-value 0,002. Selain itu penelitian lainnya pernah
dilakukan Yustiana pada tahun 2009, menemukan ada hubungan status gizi dengan keluhan dismenore pada siswi SLTP Surakarta, yaitu semakin tinggi status gizi maka
semakin rendah keluhan dismenore.
5.3 Keterbatasan Penelitian