Elephantopus scaber L untuk menurunkan kadar asam urat darah hewan coba. Dalam hal ini hewan percobaan yang digunakan adalah tikus putih jantan galur
Sprague-Dawley yang dibuat hiperurisemia yang diinduksi oleh kafeina sebagai metode uji asam urat praklinis yang mendekati keadaan penderita asam urat yang
sebenarnya dan pemeriksaan kadar asam urat darahnya menggunakan metode tes
strip asam urat. 1.2
Perumusan Masalah
Apakah ekstrak etanol herba tapak liman Elephantopus scaber L memiliki
kemampuan menurunkan kadar asam urat darah. 1.3
Tujuan Penelitian
Untuk membuktikan khasiat ekstrak etanol herba tapak liman Elephantopus scaber L dalam menurunkan kadar asam urat darah tikus putih jantan galur
Sprague-Dawley yang dibuat hiperurisemia dengan pemberian kafeina.
1.4 Hipotesis
Ekstrak etanol herba tapak liman Elephantopus scaber L dapat menurunkan kadar asam urat darah tikus putih jantan galur Sprague-Dawley yang diinduksi
dengan kafeina.
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam meningkatkan upaya kesehatan dengan mengembangkan obat tradisonal sehingga
dapat dimanfaatkan dengan berdasarkan landasan ilmiah.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Tapak Liman Elephantopus scaber L
2.1.1 Klasifikasi
Berdasarkan ilmu taksonomi, klasifikasi tanaman tapak liman adalah sebagai berikut Depkes RI, 1989; Depkes RI, 1990; Yuniarti, 2008:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonale
Subkelas : Asteridae
Bangsa : Asterales
Familia : Asteraceae
Genus : Elephantopus
Jenis : Elephantopus scaber L
2.1.2 Sinonim
Asterocephalus chochinchinensis, Spreng. Scabiosa cochinchinensis, Lour Depkes RI, 1989; Depkes RI, 1990; Yuniarti, 2008.
2.1.3 Nama Daerah
Di Indonesia dikenal dengan berbagai nama lokal, Sumatera: Tutup bumi Melayu, Jawa: Balagaduk, jukut, cangcang-cangcang, tapak liman Sunda,
tapak liman, tapak tangan Jawa, talpaktana Madura. Indonesia: tapak liman Depkes RI, 1989; Depkes RI, 1990; Yuniarti, 2008.
2.1.4 Morfologi
Terna, tegak dengan rimpang yang menjalar, tinggi 10 cm sampai 80 cm, batang kaku, berbulu panjang dan rapat, bercabang. Daun berkumpul dibawah,
membentuk roset, bentuk daun jorong, bundar telur sungsang, panjang 3 cm sampai 38 cm, lebar 1 cm sampai 6 cm, permukaan daun agak berbulu.
Perbungaan berupa bonggol, banyak, bentuk bulat telur dan sangat tajam, daun pelindung kaku, daun pembalut dari tiap bunga kepala berbentuk jorong, lanset,
sangat tajam dan berselaput, 4 daun pembalut dibagian luar panjang 5 mm, tidak berbulu, 4 daun pembalut dibagian dalam panjang 10 mm, berbulu rapat; panjang
mahkota bunga 7 mm sampai 9 mm, berbentuk tabung, berwarna putih, ungu kemerahan, ungu pucat. Buah merupakan buah longkah, panjang 4 mm, berbulu;
papus berbulu kasar 5, kadang-kadang melebar pada bagian pangkalnya, kaku berbulu, panjang 5 mm sampai 6 mm Depkes RI, 1989; Depkes RI, 1990;
Yuniarti, 2008.
2.1.5 Budidaya
Di Indonesia tumbuhan ini belum dibudidayakan. Tumbuhan dapat diperbanyak dengan biji atau dari sobekan tanaman yang tumbuh dari akar
Depkes RI, 1989; Depkes RI, 1990; Yuniarti, 2008.
2.1.6 Ekologi dan Penyebaran
Diduga tumbuhan ini berasal dari Amerika di daerah tropis. Tumbuhan ini telah lama dimasukkan ke pulau jawa dan sekarang meluas dari daerah rendah
sampai ketinggian tempat kurang dari 1.200 m di atas permukaan laut. Tumbuhan merupakan gulma, pada tempat-tempat tertentu sering ditemukan dalam jumlah
banyak terutama di lapangan rumput Depkes RI, 1989; Depkes RI, 1990; Yuniarti, 2008.
2.1.7 Bagian Tanaman Yang Digunakan
Daun dan akar Depkes RI, 1989; Depkes RI, 1990; Yuniarti, 2008.
2.1.8 Kandungan Kimia
Flavonoid luteolin-7 glukosida, epipriedelinol, lupeol, stigmaserin, triacontan-1-ol,
dotria-contan-1-ol, lupeol
acetat, deoxyelephantopin,
isodeoxyelephantopin Depkes RI, 1989; Depkes RI, 1990; Yuniarti, 2008.
2.1.9 Penggunaan
Daun: Astringen, disentri, laktagoga, obat demam, malaria, batuk, sariawan mulut. Akar: Obat malaria, kurang darah, batuk, mencret, sariawan
mulut Depkes RI, 1989; Depkes RI, 1990; Yuniarti, 2008.
2.1.10 Keanekaragaman
Keanekaragaman kecil Depkes RI, 1989; Depkes RI, 1990; Yuniarti, 2008.
2.1.11 Simplisia
A. Pemerian
: Tidak berbau; rasa, mula-mula tidak berasa, lama-lama
agak pahit Depkes RI, 1989; Depkes RI, 1990; Yuniarti, 2008.
B. Makroskopik : Daun tunggal, warna hijau tua sampai hijau kelabu, rapuh,
bentuk jorong sampai bundar telur sungsang, ujung runcing, pangkal daun
mengecil, panjang daun 5 cm sampai 25 cm, umumnya 20 cm, lebar 2 cm sampai 7 cm, umumnya 5 cm. Tepi daun tidak berlekuk atau berlekuk
tidak beraturan, bergerigi tidak rata, permukaan daun berambut. Pada permukaan bawah, tulang daun lebih menonjol dari pada permukaan atas.
Tangkai daun, panjang kurang lebih 2 cm, berbentuk seperti pelepah, bagian pangkal membungkus batang Depkes RI, 1989; Depkes RI, 1990;
Yuniarti, 2008.
C. Mikroskopik : Epidermis atas, jernih, pada penampang tangensial
berbentuk persegi panjang sampai poligonal dengan dinding samping lurus atau tegak bergelombang. Sel epidermis bawah lebih kecil dari sel
epidermis atas. Stomata tipe anomositik Ranunculaceae terdapat lebih banyak epidermis bawah dari pada di epidermis atas. Rambut penutup
terdiri dari rambut penutup berdinding tebal dan rambut berdinding tipis; rambut penutup berdinding tebal mempunyai sel pangkal lebar dan 1 sel
ujung yang panjang, bentuk kerucut ramping dengan ujung sel tebal, runcing, rongga sel kadang-kadang berwarna kuning kecoklatan; rambut
penutup berdinding tipis terdiri dari 2 sel dengan pangkal lebih dari kecil dan lebih pendek dari sel ujung. Rambut penutup berdinding tebal pada
epidermis atas umumnya lebih panjang dari pada yang terdapat pada epidermis bawah. Panjang rambut penutup 270 μm sampai 1.650 μm,
umumnya 400 μm sampai 550 μm. Rambut kelenjar tipe Asteraceae Compositae, terdapat pada epidermis atas dan bawah. Jaringan polisade
terdiri dari 1 sampai 2 lapis sel silindrik. Jaringan bunga karang terdiri dari beberapa lapis sel bunga karang yang tersusun agak rapat. Di dalam
mesofil dan di dalam jaringan parenkim dari tulang daun terdapat hablur kalium oksalat berbentuk roset dan prisma. Berkas pembuluh tipe kolateral
Depkes RI, 1989; Depkes RI, 1990; Yuniarti, 2008. 2.2
Ekstrak, Simplisia dan Ekstraksi 2.2.1
Pengertian
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut
yang sesuai Depkes RI, 2000. Simplisia adalah bahan yang digunakan untuk obat dan belum mengalami perubahan proses apapun, dan kecuali dinyatakan lain
umumnya berupa bahan yang telah dikeringkan Gunawan, 2004. Berdasarkan hal itu maka simplisia dibagi menjadi tiga golongan, yaitu
simplisia nabati, hewani, dan pelikan mineral Gunawan, 2004. A.
Simplisia nabati : simplisia yang dapat berupa tanaman utuh
bagian tanaman, eksudat tanaman, atau gabungan antara ketiganya. B.
Simplisia hewani : simpisia berupa hewan utuh atau zat-zat
berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa bahan kimia murni. C.
Simplisia pelikan mineral : simplisia berupa bahan pelikan atau mineral yang belum diolah atau telah diolah dengan cara sederhana dan
belum berupa bahan kimia murni Ekstrak dikelompokkan atas dasar sifatnya, yaitu Voight, 2005 :
A. Ekstrak encer : sediaan yang memiliki konsistensi semacam madu dan
dapat dituang.
B. Ekstrak kental : sediaan yang liat dalam keadaan dingin dan tidak dapat
dituang. Kandungan airnya berjumlah sampai 30 . Tingginya kandungan air menyebabkan ketidakstabilan sediaan obat karena cemaran bakteri.
C. Ekstrak kering : sediaan yang memiliki konsistensi kering dan mudah
dituang, sebaiknya memiliki kandungan lembab tidak lebih dari 5. D.
Ekstrak cair : ekstrak yang dibuat sedemikiannya sehingga 1 bagian simplisia sesuai dengan 2 bagian ekstrak cair.
Ragam ekstraksi yang tepat sudah tentu bergantung pada tekstur dan kandungan air bahan tumbuhan yang diekstraksi dan pada jenis senyawa yang
diisolasi. Umumnya kita perlu membunuh jaringan tumbuhan untuk mencegah terjadinya oksidasi enzim atau hidrolisis Harbone, 1996. Ekstraksi merupakan
kegiatan penarikan kandungan kimia yang terdapat pada simplisia. Karena didalam simplisia mengandung senyawa aktif yang berbeda-beda dan mempunyai
struktur kimia yang berbeda-beda, sehingga metode didalam penarikan senyawa aktif didalam simplisia harus memperhatikan faktor seperti : udara, suhu, cahaya,
logam berat. Proses ekstraksi dapat melalui tahap menjadi : Pembuatan serbuk, pembasahan, penyarian, dan pemekatan Depkes RI, 2000.
2.2.2 Metode Ekstraksi
Macam-macam metode penyarian dalam ekstraksi yang dapat dilakukan diantaranya Depkes RI, 2000 :
A. Ekstraksi dengan menggunakan penyari
1. Cara dingin
a. Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakkan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada
temperatur ruangan kamar secara teknologi termasuk ekstraksi dengan metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik
berarti dilakukan pengadukan yang kontinu, sedangkan remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan
maserat pertama dan seterusnya. b.
Perkolasi Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai
sempurna exhaustive extraction yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Prinsip perkolasi adalah dengan menempatkan serbuk
simplisia pada suatu bejana silinder, yang bagian bawahnya diberi sekat berpori. Cairan penyari akan menarik zat aktif dalam sel-sel yang terdapat
dalam simplisia. 2.
Cara panas a.
Refluks Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut sampai pada temperatur titik
didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif
konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan
pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna.
b. Sokhletasi
Sokhlet adalah ekstraksi menggunakan penyari yang berbeda. Umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi berlanjut sampai
jumlah penyari relatif konstan dengan adanya pendingin balik. c.
Digesti Digesti adalah maserasi kinetik dengan pengadukan kontinyu pada
temperatur yang lebih tinggi dari temperature ruangan, secara umum dilakukan pada temperature 40
o
C-50
o
C. d.
Infus Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air
mendidih, temperatur terukur 96
o
C - 98
o
C selama waktu tertentu 15-20 menit. Infus pada umumnya digunakan untuk menarik atau mengekstraksi
zat aktif yang larut dalam air dari bahan-bahan nabati. Hasil dari ekstrak ini akan menghasilkan zat aktif yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh
kuman dan kapang, sehingga ekstrak yang diperoleh dengan infus tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam.
e. Dekok
Dekok adalah infus yang waktunya lebih lama lebih dari 30 menit dan temperatur sampai titik didih air.
f. Destilasi uap
Destilasi uap adalah ekstraksi kandungan senyawa mudah menguap minyak atsiri dari bahan segar atau simplisisa dengan uap air. Cara ini
didasarkan peristiwa tekanan parsial senyawa kandungan menguap dengan fase uap air dari ketel secara berlanjut sampai sempurna dan diakhiri
dengan kondensasi fase uap campuran menjadi destilat air bersama senyawa kandungan yang memisah sempurna sebagian.
3. Cara ekstraksi lainnya
a. Ekstraksi ultrasonik
Ekstraksi dengan menggunakan gelombang ultrasonik lebih dari 20.000 Hz memberikan efek pada proses ekstraksi dengan prinsip
meningkatkan permeabilitas dinding sel, menimbulkan gelombang spontan serta menimbulkan fraksi interfase.
b. Ekstraksi energi lisrik
Energi listrik digunakan dalam bentuk medan listrik, medan magnet serta elektrik discharges yang dapat mempercepat proses ekstraksi dan
meningkatkan hasil dengan prinsip menimbulkan gelombang spontan dan menyebarkan gelombang tekanan berkecepatan ultrasonik.
2.3 Asam Urat
Gambar 1. Struktur asam urat
2.3.1 Sifat Fisika dan Kimia Asam Urat
Asam urat dikenal dengan nama kimia sebagai 2,6,8-trioksipurin merupakan asam lemah organik dengan berat molekul 169. Asam urat merupakan
senyawa yang termasuk dalam golongan senyawa purin yang paling mudah dioksidasi. Oksidasi asam urat dalam bentuk larutan netral dan alkalis
menghasilkan karbondioksida serta terbentuknya alantoin dan produksi degredasi
lainnya pada suasana asam, asam urat teroksidasi menjadi aloksan Kasper et al,
2004. Asam urat yang bersifat asam lemah disebabkan dari mudah terionisasinya
atom hidrogen pada posisi 9 pK
1
= 5,71 dan posisi 3 pK
2
= 10 dari molekul tersebut. Hanya disosiasi proton pertama yang perlu dipertimbangkan, karena pK
2
yang bernilai 10,3 berada diatas nilai pada cairan fisiologik yang memilki pH 14. Jadi hanya asam urat dan garam natrium urat yang terdapat dalam cairan tubuh.
Garam natrium urat jauh lebih larut dalam air bila dibandingkan dengan asam urat. Namun kelarutan garam tersebut memiliki batas tertentu pada cairan plasma.
Serum darah akan jenuh dengan garam natrium urat pada konsentrasi 6,4 mg100 ml. Pada konsentrasi tersebut, larutan akan menjadi tidak stabil dan garam natrium
urat akan mengendap dengan cepat membentuk kristal natrium urat yang
tertimbun pada persendian Kasper et al, 2004.
2.3.2 Metabolisme Asam Urat
Gambar 2. Metabolisme purin menjadi asam urat
Manusia mengubah nukleosida purin yang utama, adenosin dan guanosin menjadi asam urat yang dieksresikan keluar setelah mengalami beberapa kali
reaksi. Adenosin pertama-tama mengalami deaminasi menjadi ionosin oleh enzim adenosin deaminase. Fosforisasi ikatan N-glikosidat, akan melepas senyawa
ribosa-1-fosfat dan basa purin. Hipoxantin dan guanosin selanjutnya membentuk xantin dalam reaksi yang dikatalisasi masing-masing oleh enzim xantin oksidase
dan guanase. Kemudian xantin teroksidasi menjadi asam urat dalam reaksi kedua yang dikatalisasi oleh enzim xantin oksidase. Dengan demikian, xantin oksidase
merupakan lokasi yang esensial untuk intervensi farmakologis pada penderita
hiperurisemia dan penyakit gout Rodwell et al, 1998.
Eksresi keseluruhan asam urat pada manusia yang normal berkisar rata- rata 400-600 mg24 jam. Duapertiga asam urat yang terbentuk dieliminasi melalui
ginjal, sedangkan sepertiganya melalui saluran pencernaan.
Banyak senyawa yang terdapat secara alami dan digunakan dalam farmakologi mempengaruhi absorpsi dan sekresi natrium urat pada ginjal. Sebagai
contoh, pemberian aspirin dengan dosis tinggi secara kompetitif akan menghambat reabsorpsi asam urat sehingga berdampak pada peningkatan eksresi
zat tersebut Rodwell et al, 1998; Weatheral DJ et al, 1987. Pada mamalia yang tingkatannya lebih rendah, enzim urikase akan
memecah asam urat dengan membentuk produk akhir alantoin yang bersifat sangat larut air. Namun demikan, karena manusia tidak mengandung enzim
urikase, maka produk katabolisme senyawa purin pada manusia adalah asam urat. amfibi, burung, dan reptil juga tidak memiliki enzim urikase dan mengeksresikan
asam urat serta guanin sebagai produk akhir katabolisme senyawa purin.
2.3.3 Patologis Asam Urat
Pada manusia, asam urat merupakan produk buangan akhir dari degradasi senyawa purin. Zat tersebut tidak memiliki kegunaan fisiologis sehingga dapat
dianggap bahan buangan. Karena ketidakberadaan enzim urikase pada manusia, maka terdapat kemungkinan adanya timbunan asam urat yang apabila melewati
batas tertentu akan menimbulkan gangguan patologis. Pada kondisi normal kadar asam urat pada laki-laki 3,4-7,0 mgdl
sedangkan pada perempuan antara 2,4-5,7 mgdl. Jika kelebihan produksi ataupun penurunan eksresi asam urat dalam tubuh akan meningkat yang disebut
hiperurisemia. Keadaan hiperurisemia tersebut dapat menimbulkan penyakit gout sebagai akibat adanya penimbunan kristal natrium urat pada persendian yang
disertai rasa nyeri Howkin et al, 1997. A.
Hiperurisemia Hiperurisemia adalah suatu keadaan dimana kadar asam urat dalam darah
meningkat dan mengalami kejenuhan. Berdasarkan definisi tersebut konsentrasi asam urat yang melebihi dari 7,0 mgdl sudah dianggap
hiperurisemia dan beresiko terkena gout Howkin et al, 1997. Hiperurisemia juga dapat dibedakan berdasarkan kenyataan apakah pasien
mengeksresikan asam urat dengan jumlah total atau berlebihan lebih dari 600 mg24 jam. Hiperurisemia dapat disebabkan oleh adanya kelainan
ginjal yang menyebabkan kenaikan asam urat serum. Selain itu peningkatan produksi asam urat akibat suatu penyakit seperti kanker dan
adanya kelainan enzim yang berperan dalam metabolisme senyawa purin.
Beberapa sistem enzim berperan dalam pengaturan metabolisme senyawa purin. Ketidaknormalan pada sistem tersebut dapat meningkatkan
kenaikan produksi asam urat. Terdapat dua enzim yang berperan dalam pengaturan
metabolisme asam urat yang berhubungan dengan
hiperurisemia. Yang pertama yaitu peningkatan aktifitas enzim fosforibosil pirofosfat PRPP. Fosforibosil pirofosfat PRPP adalah salah satu zat
kunci dalam pembentukan nukleotida purin dan juga pembentukan asam urat. Semakin tingginya konsentrasi fosforibosil pirofosfat PRPP yang
terbentuk maka asam urat yang diproduksi semakin meningkat. Yang kedua yaitu defisiensi dari hipoxantin guanin fosforibosi transferasi
HGRPT. Hipoxantin
guanin fosforibosi
transferasi HGRPT
bertanggung jawab dalam pengubahan guanin menjadi guanosin monofosfat GMP dan hipoxantin menjadi inosin monofosfat IMP.
Pengubahan tersebut memerlukan PRPP sebagai kosubstrat. Defisiensi enzim HGRPT dapat meningkatkan metabolisme guanin dan hipoxantin
menjadi asam urat dan juga lebih banyak PRPP yang berinteraksi dengan glutamin pada langkah pertama metabolisme senyawa purin Howkin et al.
1997. B.
Gout Kata gout berasal dari bahasa latin “Gutta” yang berarti “tetes”. Kata
tersebut mulai digunakan sekitar tahun 1270 dan dipercaya bahwa gout di
sebabkan oleh tetesan cairan yang beracun “noxa” pada persendian Weatheral DJ et al, 1987, Garreth et al, 1995. Penyakit gout merupakan
suatu proses inflamasi yang terjadi karena penumpukan kristal asam urat
pada sekitar jaringan sendi akibat kadar asam urat serum yang melebihi kelarutannya. Kristalisasi natrium urat dalam jaringan lunak dan
persendian akan membentuk endapan yang dinamakan tofus. Proses ini menyebabkan suatu reaksi inflamasi akut, yaitu artritis akut gout, yang
dapat berlanjut menjadi artritis kronis gout. Pemeriksaan dengan mikroskop cahaya terpolarisasi memperlihatkan kristal natrium urat yang
terbentuk jarum dan bersifat berefringen negatif tampak berwarna kuning jika sumbu memanjangnya sejajar dengan bidang cahaya terpolarisasi
dalam cairan sendi merupakan tanda diagnostik penyakit gout. Keadaan klinis yang khas dengan artritis gout adalah serangan yang
mendadak dari sendi, terutama pada sendi metatarsophalangeal jari pertama ibu jari. Serangan pertama kali sangat sakit dan sering dimulai
pada tengah malam. Sendi tersebut cepat membengkak, panas, pembesaran vena-vena superfisial. Meskipun serangan pertama terjadi pada
metatarsophalangeal ibu jari, tetapi sendi-sendi perifer yang besar seperti lutut, tumit, pergelangan kaki dan tangan, sering juga terkena.
2.3.4 Obat-Obat Anti Hiperurisemia Ganiswarna, 1995; Tjay et al, 2002
A. Obat urikosurik
Obat-obat urikosurik meningkatkan klirens ginjal dari asam urat dengan menghambat reabsorpsi tubular asam urat, memperbesar eksresi dan
mengurangi konsentrasi asam urat di serum. Terapi dengan obat-obat urikosurik sebaiknya dimulai dengan dosis rendah untuk menghindari efek
urikosuria dan terbentuknya endapan asam urat. Aliran urin yang teratur dan cukup serta pembasaan urin dengan natrium bikarbonat pada beberapa
hari pertama terapi dengan obat urikosurik dapat menghilangkan kemungkinan adanya kristalisasi asam urat. Efek samping yang sering
terjadi pada pengobatan dengan terapi urikosurik adalah iritasi saluran pencernaan, ruam kulit, hipersensitivitas, dan kristalisasi asam urat di urin.
Obat-obat urikosurik memiliki kontraindikasi terhadap pasien yang alergi pada masing-masing obat dan pada penderita yang mengalami
ketidaknormalan fungsi ginjal. Obat-obat urikosurik diantaranya adalah 1.
Probenesid Obat ini biasanya diberikan pada dosis 250 mg dua kali sehari selama 1-2
minggu kemudian dilanjutkan 500 mg selama 2 minggu. Setelah itu dosis dilanjutkan 500 mg setiap 1-2 minggu hingga keadaan menjadi normal
atau sampai dosis maksimum 3 g. 2.
Sufinpirazon Suatu urikosurik yang poten yang memiliki efek paradoksal antara eksresi
asam urat untuk menurunkan asam urat dalam plasma dengan hemodilusi. Diberikan dengan dosis mulai dari 50 mg dua kali sehari dan meningkat
secara bertahap setiap 10 hari sekali hingga mencapai dosis pemeliharaan sebesar 100 mg 3-4 kali sehari.
3. Salisilat
Obat ini memiliki efek paradoksikal dari dosis tinggi dan dosis rendah. Dosis kecil 1 g atau 2 g sehari meghambat eksresi asam urat, sehingga
kadar asam urat dalam darah meningkat. Dosis 2 atau 3 g sehari biasanya tidak mengubah eksresi asam urat. Tetapi pada dosis lebih dari 5 g perhari
terjadi peningkatan eksresi asam urat melalui urin, sehingga kadar asam
urat dalam darah menurun. Hal ini terjadi karena pada dosis rendah salisilat menghambat sekresi tubuli sedangkan pada dosis tinggi salisilat
juga menghambat reabsorpsinya dengan hasil akhir peningkatan eksresi asam urat. Efek urikosurik ini bertambah bila urin bersifat basa. Dengan
alkalinasi urin, kelarutan asam urat dalam urin meningkat sehingga tidak terbentuk kristal asam urat dalam tubuli ginjal.
B. Penghambatan sintesis asam urat Alopurinol
Gambar 3. Struktur alopurinol Alopurinol adalah obat yang diakui poten sebagai penghambat sintesis
asam urat. Baik alopurinol maupun metabolit terbesarnya yaitu oksipurinol, keduanya bekerja sebagai penghambat enzim xantin oksidase.
Xantin oksidase merupakan enzim yang berperan dalam pengubahan hipoxantin menjadi xantin dan xantin menjadi asam urat. Alopurinol juga
menurunkan konsentrasi intraseluler dari PRPP. Alopurinol mengalami biotransformasi oleh enzim xantin oksidase menjadi aloxantin yang masa
paruhnya lebih panjang daripada alopurinol. Karena itu alopurinol cukup diberikan satu kali sehari. Untuk mencegah timbulnya gout akut,
alopurinol dianjurkan diberikan tiap hari sekali sebesar 100 mg peroral. Dosis untuk penyakit gout ringan 200-400 mg sehari, 400-600 mg sehari
untuk penyakit yang lebih berat. Untuk penderita gangguan fungsi ginjal
dosis cukup 100-200 mg sehari. Dosis untuk hiperurisemia sekunder 100- 200 mg sehari. Efek samping yang sering terjadi adalah reaksi kulit. Bila
timbul kemerahan kulit, obat harus dihentikan karena gangguan mungkin menjadi lebih berat. Reaksi alergi berupa demam, menggigil, dan pruritas
juga pernah dilaporkan. Gangguan saluran cerna juga kadang-kadang terjadi.
2.4 Kafeina Wade A, 1982; Ganiswarna, 1995
Gambar 4. Struktur kafeina
Kafeina adalah komponen alkaloid derivat xantin yang mengandung gugus metil yang akan di oksidasi oleh xantin oksidase membentuk asam urat sehingga
dapat meningkatkan kadar asam urat dalam tubuh. Maka, dalam penelitian ini digunakan sebagai penginduksi asam urat yang poten yang dapat menyebabkan
hewan coba menjadi hiperurisemia. Azizahwati et al, 2005
Kafeina ialah alkaloid yang tergolong dalam keluarga methylxantine bersama- sama senyawa teofilin dan teobromin. Pada keadaan asal, kafeina ialah serbuk
putih yang pahit. Rumus kimianya ialah C
6
H
10
N
4
O
2
dan nama sistematik kafeina ialah 1,3,7-trimetilxantine.
Metilxantin cepat diabsorbsi setelah pemberian oral, parenteral, atau rektal. Sedian bentuk cair atau tablet tidak bersalut akan diabsorpsi secara cepat dan
lengkap. Kadar puncak plasma dapat dihasilkan dalam waktu 1 jam, sedangkan eleminasi metilxantin terutama melalui metabolisme hati sebagian besar
dieksresikan bersama urin dalam bentuk asam urat. Kurang dari 15 kafeinaa akan ditemukan di urin dalam bentuk utuh, waktu paruh plasma kafeina antara 3-7
jam.
Dosis letal pada orang dewasa 5-10 g. Terlalu banyak kafeina dapat menyebabkan intoksikasi kafeina yaitu mabuk akibat kafeina. Antara gejala
penyakit ini ialah keresahan, kerisauan, insomnia, keriangan, muka merah, kerap kencing diuresis, dan masalah gastrointestinal. Gejala-gejala ini bisa terjadi
walaupun hanya 250 mg kafeina yang diambil. Jika lebih 1 g 15 mgkg BB yang menyebabkan kadar plasma diatas 30 µgml. gejala seperti kejangan otot muscle
twitching, kekusutan pikiran dan perkataan, aritmia kardium gangguan pada denyutan jantung dan bergejolaknya psikomotor psychomotor agitation bisa
terjadi. Intoksikasi kafeina juga bisa mengakibatkan kepanikan dan penyakit
kerisauan.
2.5 Na-CMC Wade A et al, 1994