Keluarga Dan Permasalahannya PERANAN KELUARGA TERHADAP PENDIDIKAN SEKS ANAK

BAB IV PERANAN KELUARGA TERHADAP PENDIDIKAN SEKS ANAK

MENURUT ABDULLAH NASHIH ULWAN

A. Keluarga Dan Permasalahannya

Pembentukan sebuah keluarga bermula dengan pinangan seorang laki-laki kepada seorang wanita untuk mendirikan rumah tangga. Peristiwa itu disusuli dengan berbagai peristiwa lain seperti menentukan mas kawin, akad nikah, hari pesta, walimah, dan lain-lain lagi. Tetapi hari peminangan itulah hari yang paling bersejarah bagi seorang laki-laki, karena pada hari itu ia membuat suatu keputusan decision untuk memikul tanggungjawab sebagai kepala rumah tangga. Bagi seorang wanita pinangan itu juga sangat bersejarah, sebab pada hari itu, kalau setuju menerima pinangan , ia telah setuju pula untuk bersama-sama dengan calon suaminya untuk mendirikan suatu keluarga yang menjadi sendi asas bagi berdirinya suatu masyarakat. Penerimaan tanggungjawab itu bukan secara kebetulan dan bukan hanya dengan memikul tanggungjawab itulah kebahagiaan diri dan masyarakatnya akan terwujud. 1 Akan tetapi pembentukan identitas anak menurut Islam, dimulai jauh sebelum anak itu diciptakan. Islam memberikan berbagai syarat dan ketentuan pembentukan keluarga sebagai wadah yang akan mendidik anak sampai umur tertentu yang disebut baligh berakal. Karena itu perlu kita singgung sedikit syarat-syarat pembentukan keluarga yang terdapat didalam al-Qur’an sebagai berikut: 1 Prof. Dr. Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam, Jakarta: Penerbit Pustaka Al-Husna, 1985, Cet ke-3, h. 46 34 a. Larangan menikah dengan wanita yang dalam hubungan darah dan kerabat tertentu, sepert tersebut dalam surat an-Nisa ayat 22 dan 23 ⌧ ⌧ ☺ ⌧ ☺ ⌧ ⌧ ☺ Artinya: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang Telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang Telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan yang ditempuh.” Q.S. an-Nisa: 22 “Diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan[281]; saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara- saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki- laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu mertua; anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu dan sudah kamu ceraikan, Maka tidak berdosa kamu mengawininya; dan diharamkan bagimu isteri-isteri anak kandungmu menantu; dan menghimpunkan dalam perkawinan dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Q.S. an-Nisa: 23 b. Larangan menikah dengan orang yang berbeda agama disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 221: ⌧ ☺ ⌧ ☺ ☺ ⌧ Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik dengan wanita- wanita mukmin sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya perintah-perintah-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” Q.S. al- Baqarah:221 c. Larangan menikah dengan orang yang berzina diutarakan dalam surat an-Nur ayat 3: ⌧ ⌧ ☺ Artinya: “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki- laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin.” Q.S. an-Nur: 3 2 Dalam membentuk sebuah keluarga dalam ajaran agama Islam yang di jelaskan oleh Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya “Tarbiyatul Aulad fiil Islam” terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, salah satunya adalah mengenai pemilihan jodoh, yaitu: a. Memilih Berdasarkan Agama Yang dimaksud agama disini adalah pemahaman yang hakiki terhadap Islam dan penerapan setiap keutamaan dan adabnya yang tinggi dalam perbuatan dan tingkah laku, melaksanakan syariat dan prinsip-prinsipnya secara sempurna selamanya. Ketika pelamar dan yang dilamar telah mencapai taraf pemahaman dan pelaksanaan seperti ini, maka kita akan menyebut masing-masing diantara mereka sebagai orang yang memiliki agama dan akhlak. b. Memilih Berdasarkan Keturunan dan Kemuliaan Diantara kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh Islam dalam memilihkan pasangan hidup adalah memilih jodoh dari keturunan atau keluarga mulia yang dikenal mempunyai kebaikan, akhlak dan keturunan 2 Prof. Dr. Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam Dalam Keluarga dan Sekolah, Jakarta: Ruhama, 1995, Cet. 2, h. 41-43 terhormat. Sebab manusia itu bagaikan logam. Mereka masing-masing tidak sama didalam kehinaan dan kemuliaan, kerusakan dan kebaikan. Nabi SAW telah menyebutkan bahwa manusia adalah laksana logam. Mereka saling berbeda dalam kehinaan dan kemuliaan, kebaikan dan keburukan. Beliau bersabda di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Thayalisi, Ibnu Mani’ dan Al-Askari dari Abu Hurairah: ﺮ او ﺮ ا ﻰ ندﺎ سﺎ ا , م ﻹا ﻰ هرﺎ ﺔ هﺎ ا ﻰ هرﺎ , اذإ اﻮﻬﻘ Artinya: “Manusia itu laksana logam dalam kebaikan dan keburukan. Orang-orang yang baik dari mereka dalam jahiliyyah adalah yang sebaik mereka dalam Islam, apabila mereka memahami” Untuk itu, maka kepada setiap orang yang ingin kawin, Nabi SAW menganjurkan untuk memilih pasangan atas dasar kebaikan, kemuliaan dan kemaslahatan. c. Mengutamakan Orang Jauh Dari Kekerabatan Dalam Perkawinan Diantara pengarahan Islam yang bijaksana di dalam memilih istri adalah mengutamakan wanita yang jauh atas wanita yang seketurunan atau kaum kerabat. Hal ini dimaksudkan demi keselamatan fisik anak dari penyakit yang menular atau cacat secara heriditas, disamping untuk memperluas lingkungan kekeluargaan dan memperat ikatan-ikatan sosial. Di dalam hal ini, fisik mereka akan bertambah kuat, kesatuan mereka semakin kokoh dan terjalin, dan perkenalan mereka bertambah luas. Tidak aneh bila Nabi SAW memberikan peringatan sebaiknya tidak mengawini wanita-wanita yang seketurunan atau sekerabat, agar anak tidak tumbuh besar dalam keadaan lemah atau mewarisi cacat kedua orang tuanya dan penyakit- penyakit nenek moyangnya. Diantara peringatan Nabi SAW tersebut adalah sabda beliau: ﻪ ﻮ و ﺎ وﺎ ﻖ ﺪ ﻮ ا ّنﺈ ﺔ اﺮ ا اﻮ ﻜ : اوﻮﻀ و اﻮ ﺮ ﻏا Artinya: “Janganlah kalian menikahi kaum kerabat, sebab akan dapat menurunkan anak yang lemah jasmani dan bodoh” dan sabdanya: “Carilah untuk kalian wanita –wanita yang jauh, dan janganlah mencari wanita-wanita dekat yang lemah badannya dan lemah otaknya” d. Lebih Mengutamakan Gadis-gadis Diantara ajaran Islam yang sangat tepat dalam memilih istri adalah mengutamakan gadis dibandingkan janda. Yang demikian itu dimasudkan untuk mencapai hikmah secara sempurna dan manfaat yang agung. Diantara manfaat tersebut adalah, melindubngi keluarga dari hal-hal yang menyusahkan kehidupan, yang menjerumuskan kedalam berbagai perselisihan dan menyebarkan kesulitan dan permusuhan. Pada waktu yang sama akan mengeratkan tali cinta kasih suami istri. Sebab, gadis itu akan memberikan sepenuhnya kehalusan dan kelembutannya kepada lelaki pertama yang melindunginya, menemui dan mengenalinya. Lain halnya dengan janda. Kadangkala dari suaminya yang kedua, ia tidak mendapatkan kelembutan yang sempurna, kecintaan yang menggantikan kecintaan dari suami yang pertama dan pertautan hati yang sesungguhnya, karena adanya perbedaan yang besar antara akhlak suami yang pertama dan suami yang kedua. Tidak aneh jika kita melihat Aisyah ra telah memberikan kepada Nabi SAW makna semua ini, ketika ia berkata kepada Rasul SAW: ﺎﻬ آا ﺪ ةﺮ ﻪ و ﺎ داو ﺰ ﻮ أرأ ﷲا لﻮ ر ﺎ , آﺆ ةﺮ و ﺎﻬ , م او ة ا ﻪ لﺎ ؟كﺮ ﺮ آ ﺎﻬ ّىأ ﻰ : ﻰ ا ﻰ ﺎﻬ ﺮ , ﺎﻬ ﷲا ﻰ ر ﺎ : ﻰه ﺎ ﺄ . Artinya: “Wahai Rasulullah SAW, bagaimana pendapatmu jika engkau turun pada suatu lembah yang di dalamnya terdapat sebatang pohon yang telah dimakan sebagian daripadanya dan sebatang yang lain belum dimakan daripadanya. Dimana engkau akan menggembalakan untamu?” Rasulullah SAW menjawab, “Pada pohon yang belum pernah digembalakan daripadanya” Aisyah berkata, “Maka aku ini adalah pohon yang masih utuh dan belum digembalakan daripadanya itu” HR. Bukhari Aisyah bermaksud menjelaskan keutamaannya dibandingkan istri-istri yang lainnya. Sebab Rasulullah SAW tidak pernah mengawini gadis kecuali Aisyah. Rasulullah SAW telah menjelaskan sebagai hikmah mengawini gadis. Beliau bersabda أ بﺬ أ ّ ﻬ ﺈ رﺎﻜ ﻹﺎ ﻜ ﺎهاﻮ , ﺎ ّ او ﺎ ﺎ را ﻖ او , ﺮ ﺎ ﻰ راو . Artinya: “Kawinlah oleh kamu sekalian gadis-gadis. Sebab, mereka itu lebih manis pembicaraannya, lebih banyak melahirkan anak, lebih sedikit tuntutan dan tipuan, serta lebih menyukai kemudahan.” HR. Ibnu Majah dan Al-Baihaqi e. Mengutamakan perkawinan dengan wanita subur Diantara ajaran Islam di dalam memilih istri adalah memilih wanita subur yang banyak melahirkan anak. Dan hal ini dapat diketahui dengan dua cara: Pertama, kesehatan fisiknya dari penyakit-penyakit yang mencegahnya dari kehamilan. Untuk mengetahui hal itu dapat meminta bantuan kepada spesialis kandungan. Kedua, melihat keadaan ibunya dan saudara-saudara perempuannya yang telah kawin. Sekiranya mereka itu termasuk wanita-wanita yang banyak melahirkan anak, maka wanita itupun akan seperti mereka. Sebagaimana yang dapat diketahui secara medis, bahwa wanita yang termasuk banyak melahirkan anak, biasanya mempunyai kesehatan yang baik dan fisik yang kuat. Wanita yang mempunyai tanda-tanda seperti ini dapat memmikul beban rumah tangganya, kewajiban-kewajiban mendidik anak dan memikul hak-hak sebagai istri secara sempurna. 3 ⌧ ☯ ⌧ Artinya: “Dan Sesungguhnya kami Telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat mukjizat melainkan dengan izin Allah. bagi tiap-tiap masa ada Kitab yang tertentu.” 27 3 Abdullah Nashih Ulwan, Pendiikan Anak Dalam Islam, Jakarta: Pustaka Amani, 1995, Cet. I, h., 11-22

B. Kedudukan dan Kewajiban Orang tua Terhadap Anak Dalam Keluarga