Hubungan Karakteristik Dengan Perilaku Petugas Kusta Dalam Penentuan Kecacatan Pada Penderita Kusta Di Puskesmas Se-Kabupaten Samosir Tahun 2007.

(1)

HUBUNGAN KARAKTERISTIK PETUGAS KUSTA DENGAN TINDAKAN PENENTUAN KECACATAN PENDERITA KUSTA PADA SEMUA

PUSKESMAS DI KABUPATEN SAMOSIR TAHUN 2007

SKRIPSI

Oleh :

BERMAN SITUMORANG NIM.051000534

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008


(2)

PUSKESMAS DI KABUPATEN SAMOSIR TAHUN 2007

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh :

BERMAN SITUMORANG NIM.051000534

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008


(3)

LEMBAR PERSETUJUAN Skripsi Dengan Judul

HUBUNGAN KARAKTERISTIK PETUGAS KUSTA DENGAN TINDAKAN PENENTUAN KECACATAN PENDERITA KUSTA PADA SEMUA

PUSKESMAS DI KABUPATEN SAMOSIR TAHUN 2007

Yang dipersiapkan dan dipertahankan oleh :

BERMAN SITUMORANG NIM.051000534

Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui untuk dipertahankan Dihadapan peserta sidang Bagian Epidemiologi

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh :

Dosen Pembimbing Skripsi:

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

drh. Hiswani, M.Kes drh. Rasmaliah, M.Kes


(4)

Penyakit kusta merupakan penyakit menular yang menahun disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae dan penderita kusta terdapat hampir di seluruh daerah di Indonesia dengan penyebarannya yang tidak merata. Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir tahun 2007, jumlah penderita kusta sebanyak 23 orang dengan jumlah penderita kusta yang cacat (cacat tingkat 1 dan cacat tingkat 2) sebanyak 22 orang (95,65%).Dari hasil survey diatas dimana kita lihat bahwa tingginya kecacatan pada penderita kusta, maka, penulis mengambil suatu hipotesis bahwa ada hubungan prilaku petugas kusta dengan tingginya kecacatan pada penderita kusta. Penelitian ini dilakukan di seluruh puskesmas yang ada di Kabupaten Samosir

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan karakteristik dengan perilaku petugas kusta dalam penentuan kecacatan pada penderita kusta. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dan desain penelitian cross sectional yang dilanjutkan dengan analisa statistik dengan uji chi square. Pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik wawancara dengan populasinya adalah seluruh petugas kusta di 11 puskesmas yaitu sebanyak 33 orang (total sampling) dalam wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir.

Hasil penelitian diperoleh sebanyak 15 responden (45,5%) memiliki pengetahuan yang kurang baik tentang penyakit kusta dan tingkat kecacatan, 18 responden (54,5%) memiliki sikap yang baik tentang penyakit kusta dan tingkat kecacatan dan sebanyak 20 responden (60,6%) mempunyai perilaku penentuan yang kurang baik. Hasil penelitian ini juga diperoleh dari 10 orang responden yang sudah mengikuti pelatihan, 70% sudah melakukan perilaku penentuan kecacatan yang baik. Ada hubungan bermakna antara pengetahuan dengan perilaku penentuan kecacatan dengan (p=0,001)<(α=0,05) dan ada hubungan yang bermakna antara sikap dengan perilaku penentuan kecacatan dengan (p=0,004)<(α=0,05).Untuk karakteristik umur, lama bekerja dan pelatihan juga mempunyai hubungan yang bermakna dalam perilaku penentuan kecacatan.

Berdasarkan hasil penelitian, untuk meningkatkan perilaku petugas kusta di Puskesmas Kabupaten Samosir diharapkan dapat dilakukan kegiatan berupa pelatihan - pelatihan atau pendidikan dalam upaya peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku penentuan kecacatan petugas pada penderita kusta di wilayah Puskesmas se-Kabupaten Samosir

Kata kunci : Perilaku petugas, kecacatan penderita kusta


(5)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS

Nama : BERMAN SITUMORANG

Tempat/Tanggal Lahir : Kabanjahe/13 Oktober 199 Agama : Kristen Protestan Status Perkawinan : Kawin

Jumlah Keluarga : 6 orang

Alamat Rumah : Jl. Pelabuhan Simanindo Kabupaten Samosir Alamat Kantor : Jl. Dr. Hadrianus Sinaga Pangururan-Samosir

Riwayat Pendidikan :

1. Tahun 1977 – 1983 SD Negeri No.5 Kabanjahe 2. Tahun 1983 – 1986 SMP Negeri 1 Kabanjahe 3. Tahun 1986 – 1989 SMA Negri Kabanjahe 4. Tahun 1989 – 1992 APK-TS Kabanjahe 5. Tahun 2005-2008


(6)

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan ijin dan rahmatnyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Hubungan Karakteristik Dengan Perilaku Petugas Kusta Dalam Penentuan Kecacatan Pada Penderita Kusta Di Puskesmas Se-Kabupaten Samosir Tahun 2007.“

Penulis juga mendapat banyak bantuan dan bimbingan dari ibu drh. Hiswani, MKes., selaku dosen pembimbing skripsi I dan ibu drh. Rasmaliah, MKes., selaku dosen pembimbing skripsi II. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas waktu yang telah diluangkan untuk memberikan bimbingan dan masukan serta motivasi kepada penulis sehungga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan

Selanjutnya penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Ibu dr. Ria Masniari, MSi., selaku dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Tukiman, MKM., selaku Dosen Pembimbing Akademik.

3. Bapak Prof.dr. Sorimuda Sarumpaet, MPH., selaku Ketua Departemen Epidemiologi FKM-USU dan seluruh staf Peminatan Epidemiologi.

4. Bapak Dr. Achsan Harahap, MPH., selaku Dosen Penguji Skripsi II. 5. Bapak Drs.Dr. R. Kintoko Rochadi, MKM., selaku Penguji Skripsi III.

6. Bapak Manigor Simbolon, SKM., selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir dan seluruh jajaran kesehatan di Kabupaten Samosir.


(7)

Secara khusus penulis juga menyampaikan terima kasih kepada :

Isteriku tercinta Erita Purba, yang dengan penuh kasih sayang selalu memberikan dukungan baik moril maupun materil yang tiada terhingga selama penulis mengikuti perkuliahan hingga selesainya penulisan skripsi ini.

Putera-puteriku tersayang, Yodi Riski, Alifian, dan Jane, karena doa dan pengharapannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.  Bapak, ibu dan kedua mertuaku, yang selalu membawa penulis

didalam doanya, agar penulis dapat segera menyelesaikan tulisan ini.  Rekan-rekan Angkatan 2005 FKM-USU (Bhakti, Siti, Marina,

Anita, Panitian, Dahlena, Namson) dan teman-teman lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang telah memberikan dukungan dan bantuan dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, hal ini tidak terlepas dari keterbatasan pengetahuan penulis sebagai manusia dengan segala kekurangan dan kekhilafan.

Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa selalu melimpahkan rahmat dan perlindunganNya kepada kita semua dan penulis berharap semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.


(8)

Halaman Persetujuan……… . i

Abstrak……… ii

Kata Pengantar………... iii

Daftar Isi……….. vi

Daftar Tabel………. viii

BAB 1 PENDAHULUAN………... 1

1.1 Latar Belakang………. ………... 5

1.2 Perumusan Masalah………... 5

1.3 Tujuan Penelitian………... 6

1.3.1 Tujuan Umum………... 6

1.3.2 Tujuan Khusus………... 6

1.4 Manfaat Penelitian... 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 8

2.1 Penyakit Kusta... 8

2.1.1 PengertianPenyakit Kusta... 8

2.1.2 Epidemiologi Penyakit Kusta... 8

2.2 Klasifikasi Penyakit Kusta... 11

2.2.1.Hubungan Lymphocyte dengan Type Kusta... 12

2.3 Cara Penularan Penyakit Kusta... 13

2.4 Diagnosa Penyakit Kusta... 13

2.5 Pemeriksaan Penderita... 14

2.6 Pencegahan Penyakit Kusta... 19

2.7 Pencegahan Kecacatan Penderita Kusta... 21

2.8 Penemuan dan Pengobatan Penderita Kusta ... 23

2.9 Program Pemberantasan Kusta ... 25

2.10 Konsep Perilaku ... 27

2.11.Pengetahuan, Sikap dan Tindakan... 28

2.12.Perilaku Kesehatan... 30

BAB 3 KERANGKA KONSEP... 31

3.1 Model Kerangka Konsep... 31

3.2 Definisi Operasional Variabel... 31

3.3 Aspek Pengukuran... 33

3.4 Instrumen... 33

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN... 34

4.1 Jenis Penelitian... 34

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian... 34

4.3 Populasi dan Sampel... 34

4.4 Teknik Pengumpulan Data... 35

4.5 Teknik Analisa Data... 35


(9)

BAB 5 HASIL PENELITIAN... 36

5.1 Gambaran Umum Kabupaten Samosir... 36

5.2 Data Penderita Kusta... 37

5.3 Karakteristik Responden ... 38

5.4 Tindakan Penentuan Kecacatan ... 40

5.5. Analisa Statistik... 41

BAB 6 PEMBAHASAN... 46

6.1 Karakteristik Responden ... 46

6.2. Hubungan Karakteristik Dengan Tindakan Penentuan Kecacatan... 48

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN... 55

7.1 Kesimpulan... 55

7.2 Saran... 56 DAFTAR PUSTAKA


(10)

Tabel 3.1 Aspek Pengukuran Variabel Bebas ... 33 Tabel 5.1 Distribusi proporsi penderita kusta berdasarkan tempat, klasifikasi

dan tingkat cacat di Kabupaten Samosir Tahun 2007 ... 37 Tabel 5.2 Distribusi responden berdasarkan karakteristik di wilayah puskesmas

se Kabupaten Samosir tahun 2007 ... 38 Tabel 5.3 Distribusi tindakan penentuan kecacatan pada semua puskesmas di

Kabupaten Samosir tahun 2007 ... 40 Tabel 5.4 Hubungan umur dengan tindakan penentuan kecacatan penderita

kusta pada semua puskesmas di Kabupaten Samosir tahun 2007 ... 41 Tabel 5.5 Hubungan jenis kelamin dengan tindakan penentuan kecacatan

penderita kusta pada semua puskesmas di Kabupaten Samosir tahun

2007 ... 41 Tabel 5.6 Hubungan pendidikan dengan tindakan penentuan kecacatan

penderita kusta pada semua puskesmas di Kabupaten Samosir tahun

2007 ………... ... 42 Tabel 5.7 Hubungan lama bekerja dengan tindakan penentuan kecacatan

penderita kusta pada semua puskesmas di Kabupaten Samosir tahun 2007 ... 43 Tabel 5.8 Hubungan pelatihan dengan tindakan penentuan kecacatan penderita

kusta pada semua puskesmas di Kabupaten Samosir tahun 2007 ... 43 Tabel 5.9 Hubungan pengetahuan dengan tindakan penentuan kecacatan

penderita kusta pada semua puskesmas di Kabupaten Samosir tahun

2007 ... 44 Tabel 5.10 Hubungan sikap dengan tindakan penentuan kecacatan penderita


(11)

DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes R.I., 1999. Pembangunan Kesehatan, Visi Misi Indonesia Sehat 2010, Jakarta.

2. Depkes R.I., 2001. Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010, Jakarta.

3. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997. Kusta Diagnosis dan Penatalaksanaan, Jakarta.

4. Depkes R.I., 2005. Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, Cetakan XVII, Jakarta.

5. Depkes R.I., 1996. Pedoman Eliminasi Kusta tahun 2002, Jakarta

6. Laporan Program Penanggulangan Penyakit Kusta Propinsi Sumatera Utara Tahun 2004-2006

7. Dharma, S., 2005. Manajemen Kinerja (Falsafah Teori dan Penerapannya). Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

8. Fransesco, S., 2003. Pengembangan Sumber Daya Manusia. Erlangga University Press. Surabaya.

9. Amalia, K.,2005. Motivasi Sebagai Landasan Kompetensi Sumber Daya Manusia Menuju Kinerja Yang Lebih Baik, Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara, Medan.

10. Notoatmodjo, S., 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, PT Rineka Cipta, Jakarta

11. Sianturi, A.H.D., 1998. Gambaran Perilaku Kader Posyandu Dalam Kegiatan Gizi di Kecamatan Medan Area Kotamadya Medan Tahun 1998. Skripsi FKM-USU, Medan.

12. Felton Ross, Halim Paulus., 1989. Penyakit Kusta (Untuk Petugas Kesehatan), Penerbit PT Gramedia, Jakarta.

13. Dirjen PPM dan PLP., 2006. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta, Cetakan XVIII, Jakarta


(12)

15. Dirjen PPM dan PLP., 2000. Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta, Cetakan XIV, Jakarta.

16. Santoso.E.B., dkk., 1994. Penyakit Kusta Pada Anak-anak di RSUD Dr. Sutomo Surabaya Indonesia, FK UNAIR, Surabaya.

17. .Depkes R.I., 2001. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2000, Jakarta. 18. Dirjen PPM dan PLP., 2000. Buku Pedoman Eliminasi Kusta, Jakarta.

19. Budiarto E., Anggraeni Dewi., 2001. Pengantar Epidemiologi Edisi 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Bandung

20. Sastroasmoro S., Ismael S., 2002. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis, Edisi 2. Penerbit CV Sagung Seto, Jakarta


(13)

ABSTRAK

Penyakit kusta merupakan penyakit menular yang menahun disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae dan penderita kusta terdapat hampir di seluruh daerah di Indonesia dengan penyebarannya yang tidak merata. Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir tahun 2007, jumlah penderita kusta sebanyak 23 orang dengan jumlah penderita kusta yang cacat (cacat tingkat 1 dan cacat tingkat 2) sebanyak 22 orang (95,65%).Dari hasil survey diatas dimana kita lihat bahwa tingginya kecacatan pada penderita kusta, maka, penulis mengambil suatu hipotesis bahwa ada hubungan prilaku petugas kusta dengan tingginya kecacatan pada penderita kusta. Penelitian ini dilakukan di seluruh puskesmas yang ada di Kabupaten Samosir

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan karakteristik dengan perilaku petugas kusta dalam penentuan kecacatan pada penderita kusta. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dan desain penelitian cross sectional yang dilanjutkan dengan analisa statistik dengan uji chi square. Pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik wawancara dengan populasinya adalah seluruh petugas kusta di 11 puskesmas yaitu sebanyak 33 orang (total sampling) dalam wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir.

Hasil penelitian diperoleh sebanyak 15 responden (45,5%) memiliki pengetahuan yang kurang baik tentang penyakit kusta dan tingkat kecacatan, 18 responden (54,5%) memiliki sikap yang baik tentang penyakit kusta dan tingkat kecacatan dan sebanyak 20 responden (60,6%) mempunyai perilaku penentuan yang kurang baik. Hasil penelitian ini juga diperoleh dari 10 orang responden yang sudah mengikuti pelatihan, 70% sudah melakukan perilaku penentuan kecacatan yang baik. Ada hubungan bermakna antara pengetahuan dengan perilaku penentuan kecacatan dengan (p=0,001)<(α=0,05) dan ada hubungan yang bermakna antara sikap dengan perilaku penentuan kecacatan dengan (p=0,004)<(α=0,05).Untuk karakteristik umur, lama bekerja dan pelatihan juga mempunyai hubungan yang bermakna dalam perilaku penentuan kecacatan.

Berdasarkan hasil penelitian, untuk meningkatkan perilaku petugas kusta di Puskesmas Kabupaten Samosir diharapkan dapat dilakukan kegiatan berupa pelatihan - pelatihan atau pendidikan dalam upaya peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku penentuan kecacatan petugas pada penderita kusta di wilayah Puskesmas se-Kabupaten Samosir

Kata kunci : Perilaku petugas, kecacatan penderita kusta


(14)

1.1 Latar Belakang

Pembangunan kesehatan yang berkualitas merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, dimana masyarakat, bangsa dan negara dapat hidup dalam lingkungan dan perilaku hidup yang sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Usaha peningkatan derajat kesehatan diupayakan melalui upaya peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan (kuratif), serta upaya-upaya pemulihan kesehatan (rehabilitatif). Usaha-usaha tersebut dilakukan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan serta peningkatan sistem pengamatan penyakit, pengkajian, cara penanggulangan secara terpadu dan penyelidikan terhadap penularan penyakit.1

Dalam mewujudkan pelaksanaan upaya-upaya di atas tentunya harus didukung oleh sarana dan prasarana serta sumber daya manusia yang berkualitas yang mampu memenuhi tuntutan dan kebutuhan pembangunan di bidang kesehatan, baik masa kini maupun masa datang. Salah satu program yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan dan sasaran pembangunan di bidang kesehatan adalah pencegahan dan pemberantasan penyakit menular. Program tersebut dilaksanakan untuk mencegah berjangkitnya penyakit atau mengurangi angka kematian dan kesakitan, dan sedapat mungkin menghilangkan atau mengurangi akibat buruk dari penyakit menular tersebut.2


(15)

2

Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae (M.leprae) yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran pernafasan bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang, dan testis. Penyakit kusta dapat ditularkan secara langsung oleh penderita kepada orang lain. Pada kebanyakan orang yang terinfeksi dapat asimtomatik, namun pada sebagian kecil memperlihatkan gejala-gejala dan mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat, sehingga akan menjadi halangan bagi penderita kusta dalam kehidupan bermasyarakat untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonomi mereka, juga tidak dapat berperan dalam pembangunan bangsa dan negara.3

Di Indonesia pemberantasan penyakit kusta mulai diintegrasikan di puskesmas pada tahun 1969 dan mulai menggunakan obat kombinasi Multi Drug Therapy (MDT) sesuai rekomendasi World Health Organization (WHO) pada tahun 1982.4

Departemen Kesehatan Republik Indonesia bertekad untuk melakukan pemberantasan secara intensif dengan angka prevalensi lebih kecil dari 1 per 10.000 penduduk pada tahun 2000, sesuai dengan target global dari WHO. Program ini dikenal dengan program Eliminasi Kusta Tahun 2000 (EKT 2000) dengan strategi dan langkah-langkah sebagai berikut : (1) Dukungan kebijaksanaan nasional, (2) Intensifikasidan ekstensifikasiprogram MDT, (3) Meningkatkan sistem informasi program Eliminasi Kusta Tahun 2000 (EKT 2000), (4) Meningkatkan kerjasama dengan organisasi swasta, (5) Peningkatan kerjasama lintas sektoral dan peran serta masyarakat, (6) Meningkatkan kinerja petugas, dan (7) Mengurangi sampai menghilangkan leprophobia pada petugas.5


(16)

Di Indonesia penderita kusta terdapat hampir di seluruh daerah dengan penyebaran yang tidak merata. Penderita kusta terdaftar di Indonesia sampai tahun 2003 sebanyak 18.312 penderita. Penderita kusta 90 % tinggal di antara keluarga mereka dan hanya beberapa penderita saja yang tinggal di Rumah Sakit kusta, koloni penampungan atau perkampungan kusta.4

Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, jumlah penderita penyakit kusta yang terdaftar di Propinsi Sumatera Utara pada tahun 2006 adalah sebagai berikut : Jumlah kasus baru PB = 38, MB = 165 dengan cacat tingkat 0 untuk klasifikasi PB = 19, MB = 60, cacat tingkat 1 klasifikasi PB = 11, MB = 70, sedangkan cacat tingkat 2 klasifikasi PB = 3, MB = 30

Jumlah penderita kusta yang terdapat di Kabupaten Samosir adalah sebanyak 23 orang, dimana penderita dengan klasifikasi MB ada sebanyak 21 orang, klasifikasi PB 2 orang dan dari 23 orang penderita kusta yang sudah cacat (cacat tingkat 1 dan 2) yaitu 22 orang (95,65%)6

Angka penemuan penderita kusta secara aktif masih relatif kecil .Pada tahun 2002 dari 18 penderita kusta yang ditemukan hanya 3 orang yang ditemukan secara aktif (16%), tahun 2003, dari 39 penderita, ditemukan secara aktif 3 penderita (7,7%), tahun 2004, dari 36 penderita, ditemukan secara aktif dari 2 penderita (5,5%), dan tahun 2005, dari 58 penderita ditemukan, secara aktif dari 3 penderita (5,2%). Dari angka penemuan kusta di atas, diketahui bahwa kinerja petugas masih rendah jika dibandingkan dengan standart petugas puskesmas dalam menemukan penderita kusta minimal 75% dari angka penemuan kasus baru.4


(17)

4

Menurut Depkes RI (2005), dalam program pemberantasan penyakit kusta petugas puskesmas mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut : (1) penemuan kasus (case finding), (2) menentukan diagnosis dan klasifikasi penderita, (3) melaksanakan pengobatan, (4) pencegahan cacat, (5) penanganan penderita reaksi, (6) penyuluhan tentang perawatan diri.4

Dalam upaya peningkatan kinerja yang baik pada suatu organisasi diperlukan kompetensi yang tinggi yang harus dimiliki oleh setiap anggotanya. Kinerja adalah hasil karya personal pada tingkat prestasi yang dicapai seseorang dalam pekerjaannya.7

Suatu kompetensi terdiri atas pengetahuan, keterampilan namun dalam penerapannya secara konsisten pengetahuan, keterampilan tersebut harus sesuai dengan standar kinerja yang telah dipersyaratkan dalam pekerjaan. Manajemen sumber daya manusia merupakan suatu sarana yang ampuh untuk meningkatkan kompetensi petugas dan tentunya akan memperbaiki dan akan meningkatkan kinerja (performance) dan daya hasil organisasi.8

Menurut Nugraheni yang dikutip oleh Amalia (2005), suatu kinerja dari petugas yang baik merupakan suatu langkah untuk menuju tercapainya tujuan suatu organisasi sehingga kinerja merupakan suatu penentu dalam mencapai tujuan organisasi. Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kompetensi yang dimiliki oleh seseorang petugas kesehatan ditunjukkan dengan kesanggupan sesuai dengan tingkat pengetahuan, keterampilan untuk mencapai hasil kerja yang maksimal.9

Dari hasil survai pendahuluan di Kabupaten Samosir pada bulan Desember 2006 diketahui bahwa petugas kurang aktif dalam menemukan penderita kusta dan


(18)

tidak mampu untuk menentukan diagnosa dan klasifikasi penderita kusta. Setiap ada suspek penderita kusta yang membuat diagnosa dan klasifikasi penyakit adalah petugas dari kabupaten. Kondisi tersebut diduga terkait dengan pengetahuan petugas yang masih kurang tentang penyakit kusta, keterampilan petugas yang masih kurang dalam menemukan penderita kusta dan petugas kurang mampu dalam menentukan diagnosa penyakit kusta.

Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian tentang hubungan karakteristik petugas kusta dengan tindakan penentuan kecacatan penderita kusta di pada semua puskesmas di Kabupaten Samosir tahun 2007

1.2 Perumusan Masalah.

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah penelitian ini adalah : Belum diketahui hubungan karakteristik dengan prilaku petugas kusta dalam penentuan kecacatan pada penderita kusta di Kabupaten Samosir tahun 2007. Bagaimana tindakan petugas kusta dalam penentuan kecacatan pada penderita kusta di wilayah Puskesmas se-Kabupaten Samosir tahun 2007.


(19)

6

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan karakteristik dengan perilaku petugas kusta dalam penentuan kecacatan pada penderita kusta di wilayah puskesmas se-Kabupaten Samosir tahun 2007

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui karakteristik petugas kusta (umur, jenis kelamin, pendidikan, lama bekerja, pelatihan) di wilayah puskesmas se-Kabupaten Samosir tahun 2007

2. Untuk mengetahui pengetahuan petugas kusta se-Kabupaten Samosir tahun 2007

3. Untuk mengetahui sikap petugas kusta di wilayah puskesmas se-Kabupaten Samosir tahun 2007

4. Untuk mengetahui hubungan karakteristik petugas kusta (umur, jenis kelamin, pendidikan, lamanya bekerja dan pelatihan) dengan prilaku penentuan kecacatan pada penderita kusta di wilayah puskesmas se-Kabupaten Samosir tahun 2007

5. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dengan prilaku penentuan kecacatan pada penderita kusta di wilayah puskesmas se-Kabupaten Samosir tahun 2007.

6. Untuk mengetahui hubungan sikap dengan perilaku penentuan kecacatan pada penderita kusta di wilayah puskesmas se- Kabupaten Samosir tahun 2007


(20)

1.4. Manfaat Penelitian

1. Memberikan gambaran tentang hubungan karakteristik dengan perilaku petugas kusta dalam penentuan kecacatan pada penderita kusta di wilayah Puskesmas se-Kabupaten Samosir tahun 2007

2. Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir dan jajarannya dalam program pemberantasan penyakit kusta.

3. Sebagai bahan refrensibagi peneliti lain yang berhubungan dengan masalah yang sama.

1.5. Hipotesa

Ada hubungan karakteristik dengan prilaku petugas kusta dalam penentuan kecacatan pada penderita kusta di Puskesmas se-Kabupaten Samosir


(21)

8

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Kusta

2.1.1 Pengertian

Penyakit kusta adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae (M.leprae). Kuman golongan myco ini berbentuk batang yang yang tahan terhadap asam terutama asam alkohol dan oleh sebab itu disebut juga Basil Tahan Asam (BTA). Penyakit ini bersifat kronis pada manusia, yang bisa menyerang saraf-saraf dan kulit.. Bila dibiarkan begitu saja tanpa diobati, maka akan menyebabkan cacat –cacat jasmani yang berat. Namun, penularan penyakit kusta ke orang lain memerlukan waktu yang cukup lama tidak seperti penyakit menular lainnya. Masa inkubasinya adalah 2-5 tahun. Penyakit ini sering menyebabkan tekanan batin pada penderita dan keluarganya, bahkan sampai menggangu kehidupan sosial mereka.10

2.1.2 Epidemiologi Penyakit Kusta a. Distribusi Menurut Orang

Kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan distribusi dapat dilihat karena faktor geografi. Namun, jika diamati dalam satu Negara atau wilayah yang sama kondisi lingkungannya ternyata perbedaan distribusi dapat terjadi karena faktor etnik. Di Myanmar kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi pada etnik Burma dibandingkan dengan etnik India. Situasi di Malaysia juga mengindikasikan hal yang sama, yaitu kejadian kusta lebih banyak pada etnik China dibandingkan etnik Melayu


(22)

atau India. Demikian pula kejadian di Indonesia, etnik Madura dan Bugis lebih banyak menderita kusta dibandingkan etnik Jawa atau Melayu.11

Penyakit kusta jarang ditemukan pada bayi. Insiden rate penyakit ini meningkat sesuai umur dengan puncak pada umur 10-20 tahun dan kemudian menurun. Prevalensinya juga meningkat sesuai dengan umur dengan puncak antara umur 30-50 tahun dan kemudian secara perlahan-lahan menurun.

Insiden maupun prevalensi pada laki-laki lebih banyak dari pada wanita kecuali di Afrika dimana wanita lebih banyak daripada laki-laki. Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan, serta faktor infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta.12

b. Distribusi Menurut Tempat dan Waktu

Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia dengan endemisitas yang berbeda-beda. Diantara 122 negara yang endemis pada tahun 1985 dengan prevalensi >1/10.000 penduduk, hanya tinggal 6 negara yang masih belum mencapai eliminasi di tahun 2005 yaitu : India, Brazil, Indonesia, Bangladesh, Congo, dan Nepal Antara tahun 1985 hingga 2005 lebih dari 15 juta penderita telah sembuh. Dan 222.367 kasus masih dalam pengobatan pada awal tahun 2006.

Dari 10 negara dengan jumlah kasus baru terbesar di dunia, Indonesia menempati posisi ke-3 setelah India dan Brazil. Berdasarkan data kusta awal 2005 Indonesia menempati posisi ke-2 dengan angka prevalensi 0,9 per 10.000 penduduk. Di Indonesia, kasus terbanyak terdapat di Jawa Timur dengan prevalensi rate 1,76 per 10.000 penduduk, dan paling sedikit terdapat di daerah Bengkulu dengan prevalensi rate 0,17 per 10.000 jumlah penduduk. Sementara untuk Sumatera Utara


(23)

10

prevalensinya adalah sebesar 0,23 per 10.000 jumlah penduduk. Penemuan kasus baru selama bulan Januari-Desember 2005 paling banyak ditemukan di Jawa Timur.12

c. Determinan

Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah, dan tidak perlu di takuti. Adapun beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya kusta dipengaruhi oleh host, agent, dan environment antara lain :

a. Faktor Daya Tahan Tubuh (host)

Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%). Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 100 orang yang terpapar, 95 orang tidak menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa obat, dan 2 orang menjadi sakit. Hal ini belum memperhitungkan pengaruh pengobatan.

b. Faktor Kuman (agent)

Kuman dapat hidup di luar tubuh manusia antara 1-9 hari tergantung pada suhu atau cuaca, dan hanya kuman kusta yang utuh (solid) saja yang dapat menimbulkan penularan.

c. Faktor Sumber Penularan (environment)

Sumber penularan adalah penderita kusta tipe Multi Baciler (MB). Penderita MB ini pun tidak akan menularkan kusta apabila berobat teratur. Penyakit ini dapat ditulrkan melalui pernafasan (droplet) dan kulit.13


(24)

2.2 Klasifikasi Penyakit Kusta

Tujuan klasifikasi ini untuk menentukan regimen pengobatan dan perencanaan operasional. Untuk keperluan pengobatan kombinasi atau Multidrug Therapy (MDT) yaitu menggunakan gabungan Rifampicin, Lamprene dan DDS, maka penyakit kusta di Indonesia diklasifikasikan menjadi 2 tipe seperti klasifikasi menurut WHO (1998) yaitu:

a. Tipe PB (Pausibasiler)

Yang dimaksud dengan kusta tipe PB adalah penderita kusta dengan Basil Tahan Asam (BTA) pada sediaan apus, yakni tipe I (Indeterminate) TT (Tuberculoid) dan BT (Boderline Tuberculoid) menurut kriteria Ridley dan Joplin dan hanya mempunyai jumlah lesi 1-5 pada kulit.

b. Tipe MB (Multi Basiler)

Kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB (Mid Boderline), BL (Boderline lepromatous) dan LL (lepromatosa) menurut kriteria Ridley dan Joplin dengan jumlah lesi 6 atau lebih dan skin smer positif.

Menurut Madrid klasifikasi kusta dibagi menjadi 4 yaitu : indeterminate, tuberculoid, borderline, dan lepromatosa. 13


(25)

12

2.2.1. Hubungan Lymphocyte dengan Type Kusta.(Ridley dan Joplin, 1996)

LL

BL BB BT T I

1. Indetermi nate ( I ) 2. Tubercul oi d ( T )

Ly

m

p

h

o

cy

te

Type

3. Borderl i ne Tubercul oi d ( BT ) 4. Borderl i ne Borderl i ne ( BB ) 5. Borderl i ne Lepromatous ( BL ) 6. Lepromatous ( LL )

Penentuan klasifikasi berdasarkan pemeriksaan laboratorium (Bacteriological Index/BI).

Lapangan Pandang dengan pembesaran 100X 1+ 1 Bacil dalam 100 lapangan pandang 2+ 1 Bacil dalam 10 lapangan pandang 3+ 1 Bacil dalam tiap lapangan pandang 4+ 10 Bacil dalam tiap lapangan pandang 5+ 100 Bacil dlam tiap lapangan pandang 6+ 1000 Bacil dalam tiap lapangan pandang

Dari hasil pemeriksaan bakteri dengan mikroskop diatas maka kusta dapat di klasifikasikan menjadi :

Tuberculoid Noneseen

Boderline Tuberculoid 0 – 3+ Boderline Boderline 3 – 5+ Boderline Lepromatosa 5 – 6+ Lepromatosa Lepromatosa >6+


(26)

2.3 Cara Penularan Penyakit Kusta

Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe MB kepada orang lain secara langsung. Cara penularan penyakit ini masih belum diketahui secara pasti, tetapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran pernafasan dan kulit. Kusta mempunyai masa inkubasi 2-5 tahun, akan tetapi dapat juga berlangsung sampai bertahun-tahun.

Meskipun cara masuk kuman M.leprae ke dalam tubuh belum diketahui secara pasti, namun beberapa penelitian telah menunujukkan bahwa yang paling sering adalah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan pada mukosa nasal. Selain itu penularan juga dapat terjadi apabila kontak dengan penderita dalam waktu yang sangat lama.3,15

2.4 Diagnosa Penyakit Kusta

Penyakit kusta dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan banyak penyakit lain. Sebaliknya penyakit lain dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan penyakit kusta. Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan untuk mendiagnosis penyakit kusta secara tepat dan membedakannya dengan berbagai penyakit lain agar tidak membuat kesalahan yang merugikan penderita.

Diagnosa penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal (gejala utama), yaitu :


(27)

14

a. Bercak kulit yang mati rasa

Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi (plakat). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa sentuh, rasa suhu, dan rasa nyeri

b. Penebalan saraf tepi

Dapat disertai rasa nyeri dan juga dapat disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf yang terkena, yaitu gangguan fungsi sensoris (mati rasa), gangguan fungsi motoris (paresis atau paralysis), dan gangguan fungsi otonom (kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut yang terganggu).

c. Ditemukan basil tahan asam

Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsy kulit atau saraf.

Untuk menegakkan penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita hanya dapat mengatakan tersangka kusta dan penderita perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.16

2.5 Pemeriksaan Penderita 1. Anamnesis

a. Keluhan penderita

b. Riwayat kontak dengan penderita


(28)

2. Inspeksi

Dengan penerangan yang baik, lesi kulit harus diperhatikan dan juga kerusakan kulit.

3. Palpasi

a. Kelainan kulit, nodus infiltrate, jaringan perut, ulkus, khususnya paa tangan dan kaki

b. Kelainana saraf : pemeriksaan saraf, termasuk meraba dengan teliti : N.aurikularis magnus, N.ulnaris, dan N.peroneus. Petugas harus mencatat, adanya nyeri tekan dan penebalan saraf. Harus diperhatikan raut wajah si penderita, apakah kesakitan atau tidak pada waktu saraf diraba. Pemeriksaan saraf harus sistematis, meraba atau palpasi sedemikian rupa jangan sampai menyakiti atau penderita mendapat kesan kurang baik.

Cara pemeriksaan saraf :

3 Bandingkan saraf bagian kiri dan kanan. 4 Membesar atau tidak

5 Bentuk bulat atau oval

6 Pembesaran regular (smooth) atau irregular, lumps, kerots 7 Perabaan keras atau kenyal

8 Nyeri atau tidak

Untuk mendapat kesan saraf mana yang masih normal, diperlukan pengalaman yang banyak.

Cara pemeriksaan saraf tepi : 1. N. aurikularis magnus :


(29)

16

Pasien disuruh menoleh ke samping semaksimal mungkin, maka saraf yang terlihat akan terdorong oleh otot dibawahnya sehingga sudah dapat terlihat bila membesar. Dua jari pemeriksaan diletakkan di atas persilangan jalannya saraf tersebut dengan arah otot, perabaan secara seksama akan menentukan jaringan seperti kabel atau kawat, bila ada penebalan. Jangan lupa membandingkan yang kiri dan kanan.

2. N. ulnaris :

Tangan yang diperiksa harus santai, sedikit fleksi dan sebaiknya diletakkan diatas satu tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa yang lain meraba lekukan di bawah siku (sulkus nervi ulnaris) dan merasakan, apakah ada penebalan atau tidak. Perlu dibandingkan N. ulnaris kanan dan kiri untuk melihat adanya perbedaan atau tidak.

3. N. peroneus lateralis :

Pasien disuruh duduk dengan kedua kaki menggantung kemudian diraba di sebelah lateral dari capitulum fibulae biasanya sedikit ada ke posterior. Bila saraf yang dicari tersentuh oleh jari pemeriksa, sering pasien merasakan seperti terkena setrum pada daerah yang dipersarafi oleh saraf tersebut. Pada keadaan neuritis akut, sedikit sentuhan sudah memberikan rasa nyeri yang hebat.

4. Tes fungsi saraf a. Tes sensoris

 Rasa raba : dengan kapas atau sepotong kapas yang dilancipkan dipakai untuk memeriksa perasaan dengan menyinggung kulit. Yang diperiksa


(30)

harus duduk pada waktu pemeriksaan. Terlebih dahulu petugas menerangkan bahwa bila mana merasa disinggung bagian tubuhnya dengan kapas, ia harus menunjukkan kulit yang disinggung dengan jari telunjuknya dan dikerjakan dengan mata terbuka. Tanda-tanda di kulit dan bagian-bagian kulit lain yang dicurigai, diperiksa sensibilitasnya. Harus diperiksa sensibilitas kulit yang tersangka diserang kusta. Bercak-bercak di kulit harus diperiksa ditengahnya dan jangan dipinggirnya.

 Rasa nyeri : diperiksa degan memakai jarum. Petugas menusuk kulit dengan ujung jarum yang tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan penderita harus mengatakan tusukan mana yang tumpul.

 Rasa suhu : dilakukan dengan mempergunakan 2 tabung reaksi, yang satu berisi air panas(sebaiknya 40C) yang lainnya air dingin (sebaiknya sekitar 20C). kenudian mata penderita ditutup atau menoleh ke tempat lain, lalu bergantian kedua tabung tersebut ditempelkan pada daerah kulit yang dicurigai. Bila penderita salah menyebutkan rasa pada tabung yang ditempelkan, maka dapat disimpulkan bahwa sensasi suhu di daerah tersebut terganggu.

Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada

penyakit kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan test anhidrosis.


(31)

18

5. Komplikasi : dicari komplikasi

a. Pada mata, hidung, laring dan testis

b. Reaksi : nyeri saraf, eritema nodosum leprosum, iridosiklitis, tenosinovitis. c. Kerusakan saraf sensoris

d. Kerusakan saraf motoris e. Kerusakan saraf otonom 6. Pemeriksaan bakterioskopik

Pemeriksaan hapusan sayatan kulit (bakterioskopik) berguna untuk : a. Membantu menentukan diagnosis penyakit

b. Membantu menentukan klasifikasi (tipe) penyakit kusta. c. Membantu menilai hasil pengobatan.

Ketentuan untuk lokasi sediaan :

a. Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling akut.

b. Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak ditemukan kelainan kulit di tempat lain.

c. Pada pemeriksaan ulangan dilakukan di tempat kelainan kulit yang sama dan bila perlu ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.

d. Sebaiknya petugas yang mengambil dan memeriksa sediaan hapus dilakukan oleh orang yang berlainan. Hal ini untuk menjaga pengaruh gambaran klinis terhadap hasil pemeriksaan bakterioskopik.

e. Tempat yang sering diambil untuk sediaan hapus jaringan bagi pemeriksaan M.leprae adalah : cuping telinga, lengan, punggung, bokong, dan paha.


(32)

f. Jumlah pengambilan sediaan apus jaringan kulit harus minimum dilaksanakan di tiga tempat, yaitu : cuping telinga kiri, cuping telinga kanan, dan bercak yang paling aktif.

g. Sediaan dari selaput lender hidung sebaiknya dihindarkan karena : tidak menyenangkan bagi penderita, positif palsu karena mikrobakterium lain, tidak pernah ditemukan M.leprae pada selaput lender hidung apabila sediaan hapus kulit negatif, pada pengobatan pemeriksaan bakterioskopis selaput lender hidung negatif lebih dahulu daripada di kulit.

h. Beberapa ketentuan yang harus diambil sediaan hapus kulit : semua orang yang dicurigai menderita kusta, semua penderita baru yang didiagnosis secara klinis sebagai penderita kusta, semua penderita kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka kuman (resisten) kebal terhadap obat, dan semua penderita MB setahun sekali.3

2.6 Pencegahan Penyakit Kusta

Mengingat di masyarakat masih banyak yang belum memahami tentang penyakit kusta yang bisa menjadi hambatan bagi pelaksanaan program pemberantasan kusta termasuk dalam mengikutsertakan peran serta masyarakat, maka diperlukan upaya-upaya pencegahan untuk dapat mengurangi prevalensi, insidens dan kecacatan penderita kusta. Upaya-upaya pencegahan diatas dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan perjalanan penyakit yaitu : pencegahan primer, sekunder, dan pencegahan tersier


(33)

20

2.6.1 Pencegahan Primer

Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Secara garis besar, upaya pencegahan ini dapat berupa pencegahan umum dan pencegahan khusus. Pencegahan umum dimaksudkan untuk mengadakan pencegahan pada masyarakat umum, misalnya personal hygiene, pendidikan kesehatan masyarakat dengan penyuluhan dan kebersihan lingkungan. Pencegahan khusus ditujukan pada orang-orang yang mempunyai resiko untuk terkena suatu penyakit, misalnya pemberian immunisasi.11

2.6.2 Pencegahan Sekunder

Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk mencegah orang yang telah sakit agar sembuh dengan pengobatan, menghindarkan komplikasi kecacatan secara fisik. Pencegahan sekunder mencakup kegiatan-kegiatan seperti dengan tes penyaringan yang ditujukan untuk pendeteksian dini serta penanganan pengobatan yang cepat dan tepat. Tujuan utama kegiatan pencegahan sekunder adalah untuk mengidentifikasikan orang-orang tanpa gejala yang telah sakit atau yang jelas berisiko tinggi untuk mengembangkan penyakit.

2.6.3 Pencegahan Tersier

Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidak mampuan dan mengadakan rehabilitasi. Upaya pencegahan tingkat tiga ini dapat dilakukan dengan memaksimalkan fungsi organ tubuh, membuat protesa ekstremitas akibat amputasi dan mendirikan pusat-pusat rehabilitasi medik.


(34)

2.7. Pencegahan Kecacatan

M.leprae menyerang saraf tepi pada tubuh manusia. Tergantung dari kerusakan urat saraf tepi, maka akan terjadi gangguan fungsi saraf tepi : sensorik, motorik, dan otonom.

Menurut WHO tahun 1996 batasan istilah dalam cacat kusta adalah :

a) Impairment : segala kehilangan atau abnormalitas struktur fungsi yang bersifat psikologik, fisiologik, atau anatomik.

b) Disability : segala keterbatasan atau kekurangmampuan (akibat impairment) untuk melakukan kegiatan dalam batas-batas kehidupan yang normal bagi manusia.

c) Handicap : kemunduran pada seorang individu (akibat impairment dan disability) yang membatasi atau menghalangi penyelesaian tugas normal yang bergantung pada umur, seks, dan faktor sosial budaya.

Jenis cacat kusta dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu :

a) Kelompok cacat primer, adalah kelompok cacat yang disebabkan langsung oleh aktifitas penyakit, terutama kerusakan akibat respons jaringan terhadap M.leprae. yang termasuk cacat primer adalah cacat pada fungsi saraf sensorik, fungsi saraf motorik, dan cacat pada fungsi otonom serta gangguan refleks vasodilatasi.

b) Kelompok cacat sekunder, yaitu cacat yang terjadi akibat cacat primer, terutama akibat adanya kerusakan saraf. Anastesi akan memudahkan terjadinya luka akibat trauma mekanis atau termis yang dapat mengalami infeksi sekunder dengan segala akibatnya.


(35)

22

Derajat cacat kusta menurut WHO (1988), di bagi menjadi tiga tingkatan, yaitu :

a) Cacat pada tangan dan kaki :

Tingkat 0 : tidak ada anestesi dan kelainan anatomis Tingkat 1 : ada anestesi, tetapi tidak ada kelainan anatomis Tingkat 2 : terdapat kelainan anatomis

b) Cacat pada mata :

Tingkat 0 : tidak ada kelainan pada mata (termasuk visus)

Tingkat 1 : ada kelainan mata, tetapi tidak terlihat, visus sedikit berkurang Tingkat 2 : ada lagoftalmos dan visus sangat terganggu

Upaya pencegahan cacat terdiri atas :

a) Upaya pencegahan cacat primer, yang meliputi : - Pengobatan secara teratur dan adekuat - Diagnosa dini dan penatalaksanaan neuritis - Diagnosa dini dan penatalaksanaan reaksi b) Upaya pencegahan cacat sekunder, yang meliputi :

- Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka

- Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah terjadinya kontraktur

- Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan


(36)

Perawatan mata, tangan, dan atau kaki yang anestesi atau mengalami kelumpuhan otot.3,17

2.8. Penemuan dan Pengobatan Penderita Kusta 2.8.1. Penemuan Penderita

Dalam program pemberantasan penyakit kusta, penemuan penderita secara dini sangat penting untuk mencegah penularan dan timbulnya cacat pada penderita. Cara penemuan penderita kusta ada 2 (dua) yaitu :

a. Penemuan penderita secara pasif (sukarela)

Penemuan ini dilakukan oleh penderita baru atau tersangka yang belum pernah berobat kusta, datang sendiri atau saran dari orang lain ke sarana kesehatan. Hal ini tergantung dari pengertian dan kesadaran penderita itu sendiri untuk mendapatkan pengobatan. Faktor-faktor yang menyebabkan penderita terlambat datang berobat ke Puskesmas/sarana kesehatan lainnya, yaitu :

a) Tidak mengerti tanda dini kusta b) Malu datang ke Puskesmas

c) Tidak tahu bahwa ada obat yang tersedia cuma-cuma di Puskesmas d) Jarak penderita ke Puskesmas/sarana kesehatan lainnya terlalu jauh. b. Penemuan secara aktif

Kegiatan yang dilakukan dalam penemuan penderita secara aktif adalah : a) Pemeriksaan kontak serumah (Survei Kontak)

Dengan melakukan pemeriksaan kepada semua anggota keluarga yang tinggal serumah dengan penderita. Pemeriksaan dilakukan minimal 1 tahun sekali, terutama ditujukan pada kontak tipe MB.


(37)

24

b) Pemeriksaan anak sekolah

Penderita pada usia dibawah 14 tahun atau anak Sekolah Dasar dan Taman Kanak-kanak cukup banyak. Ini untuk mengantisipasi kemungkinan adanya penderita kusta pada anak dan mencegah terjadinya penularan di lingkungan sekolah.

c) Chase Survey

Mencari penderita baru sambil membina partisipasi masyarakat untuk mengetahui tanda-tanda kusta dini secara benar.

d) Survei Khusus

Survei ini dilakukan apabila suatu daerah dimana proporsi penderita MB minimal 60% dan dijumpai penderita pada usia muda cukup tinggi sesuai dengan perencanaan dan petunjuk dari Depkes yang sudah diadakan “Set Up” secara statistik oleh ahli statistik dari WHO.tahun 200013

2.8.2. Pengobatan Penyakit Kusta 2.8.2.1. Program MDT

Program MDT dimulai pada tahun 1981, yaitu ketika Kelompok Studi Kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta dengan rejimen kombinasi yang selanjutnya dikenal dengan rejimen MDT-WHO.(2001) Rejimen ini terdiri atas kombinasi obat-obat dapson, rifamfisin, dan klofasimin. Selain untuk mengatasi resistensi adapson yang semakin meningkat, penggunaan MDT dimaksudkan juga untuk mengurangi ketidaktaatan penderita dan menurunkan angka putus obat (drop-out rate) yang cukup tinggi pada masa


(38)

monoterapi dapson. Di samping itu juga diharapkan juga dengan MDT dapat mengeliminasi persistensi kuman dalam jaringan.3,17

2.8.2.2. Obat Kusta Baru

Dalam pelaksanaan program MDT-WHO (2001) ada beberapa masalah yang timbul, yaitu : adanya persister, resistensi rifampisin, dan lamanya pengobatan terutama untuk kusta MB. Untuk penderita kusta PB, rejimen MDT-PB juga masih menimbulkan beberapa masalah, antara lain : masih menetapnya lesi kulit setelah 6 bulan pengobatan. Jika seorang penderita mempunyai resistensi ganda terhadap dapson dan rifampisin bersama-sama, tentunya hal ini akan membahayakan.3

Oleh karena itu diperlukan obat-obat baru dengan mekanisme bakterisidal yang berbeda dengan obat-obat dalam rejimen MDT-WHO saat ini. Idealnya, obat-obat kusta baru harus memenuhi syarat antara lain : bersifat bakterisidal kuat terhadap M.leprae, tidak antagonis dengan obat yang sudah ada, aman dan akseptabilitas penderita baik, dapat diberikan per oral, dan sebaiknya diberikan tidak lebih dari sekali sehari. Di antara yang sudah terbukti efektif adalah ofloksasin, minosiklin, dan klaritromisin.17

2.9. Program Pemberantasan Kusta

Untuk mencapai tujuan nasional eliminasi kusta pada tahun 2005, Pemerintah Indonesia dalam melaksanakan program pemberantasan kusta adalah dengan memutuskan rantai penularan untuk menurunkan insidens penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita dan mencegah timbulnya cacat.


(39)

26

2.9.1. Tujuan Program Jangka Panjang

a) Penemuan penderita sedini mungkin sehingga proporsi cacat tingkat 2 (dua) di antara penderita baru dapat ditekan serendah mungkin.

b) Meningkatkan pengobatan MDT sebagai obat standar bagi penderita terdaftar dan penderita baru.

c) Tercapainya 100% selesai pengobatan untuk PB dalam jangka waktu 9 bulan dan untuk MB 18 bulan dengan melakukan case holding yang ketat dan cermat.

d) Pembinaan pengobatan, agar penderita yang di MDT akan selesai pengobatannya dalam batas waktu 9 bulan. Dan semua penderita MB yang di MDT akan selesai pengobatannya dalam batas waktu 18 bulan sesuai Surat Edaran Direktorat Pemberantasan Penyakit Menular langsung Departemen Kesehatan RI Nomor : KS.00.02.4.171

e) Mencegah cacat pada penderita yang telah terdaftar sehingga tidak akan terjadi cacat baru.

f) Melakukan penyuluhan kesehatan masyarakat tentang penyakit kusta, agar masyarakat memahami kusta yang sebenarnya dan mengurangi leprophobia. g) Pengawasan sesudah RFT (Release From Treatment) dengan memberikan

motivasi kepada semua penderita agar datang memeriksakan dirinya setiap tahun setelah selesai masa pengobatan selama 2 tahun untuk tipe PB dan 5 tahun untuk tipe MB.

h) Melaksanakan pencatatan dan pelaporan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam memenuhi kebutuhan program.13


(40)

2.9.2. Tujuan Program Jangka Pendek

Tujuan program kusta adalah menurunkan angka kesakitan penyakit kusta menjadi kurang dari 1/10.000 penduduk secara nasional pada tahun 2005, sehingga tidak lagi jadi masalah kesehatan masyarakat.13

2.9.3. Kebijaksanaan

a) Pelaksanaan program kusta diintegrasikan dalam kegiatan puskesmas b) Penderita kusta tidak boleh diisolasi

c) Pengobatan kusta dengan MDT sesuai dengan rekomendasi WHO diberikan secara gratis.13

2.10. Konsep Perilaku

Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu dari sudut pandang biologis semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing. Dan yang dimaksud dengan perilaku pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berbicara, berjalan, menangis, tertawa, bekerja, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar.18


(41)

28

2.11.. Pengetahuan, Sikap dan Tindakan 2.11.1. Pengetahuan

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.

Pengetahuan manusia banyak digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, terutama pengetahuan umum yang sangat bermanfaat untuk keperluan manusia sehari-hari. Setiap orang akan mempergunakan pengetahuan namun tidak tahu benar akan seluk beluk pengetahuan itu. Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang.18

2.11.2 Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap belu merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.18


(42)

2.11.3. Tindakan

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan. Untuk terwujudnya sikap agar menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Di samping faktor fasilitas juga diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak-pihak lain.

Selanjutnya tingkat-tingkat tindakan secara teoritis adalah :

1. Persepsi (perception), mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama.

2. Respon terpimpin (guided respons), dalam melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar, sesuai dengan contoh adalah merupakan praktik indikator tingkat dua.

3. Mekanisme (mechanism), apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat ketiga.

4. Adaptasi (adaptation), merupakan suatu tindakan yang sudah berkembang baik, artinya tindakan ini sudah dimodifikasinya tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau beberapa bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden.18


(43)

30

2.12. Perilaku Kesehatan

Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah respon seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Respon atau reaksi manusia baik bersifat pasif (pengetahuan, persepsi dan sikap) maupun bersifat aktif/tindakan yang nyata (practice). Dengan demikian secara lebih terperinci perilaku kesehatan itu meliputi : 1. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit, yaitu bagaimana manusia

merespon, baik secara pasif maupun aktif yang dilakukan sehubungan dengan penyakit, dengan sendirinya sesuai dengan tingkat-tingkat pencegahan penyakit.  Perilaku sehubungan de peningkatan dan pemeliharaan kesehatan (health

promotion behavior)

 Perilaku pencegahan penyakit (health prevention behavior)

 Perilaku sehubungan dengan pencarian pengobatan (health seeling behavior)  Perilaku pemulihan kesehatan (health rehabilitation behavior)

2. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan 3. Perilaku terhadap makanan

4. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan (environmental health behavior)

Seorang petugas kesehatan berperilaku tertentu dalam mewujudkan keaktifannya disebabkan karena adanya dorongan yang menggerakkan hatinya agar berbuat sesuatu. Dorongan tersebut juga sebagai motif. Pada setiap petugas kesehatan motif dapat berbeda tergantung dengan latar belakang pendidikan, pengalaman, kebutuhan dan senganbagainya.1


(44)

BAB 3

KERANGKA KONSEP 3.1 Model Kerangka Konsep

Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

3.2 Definisi Operasional Variabel

Sesuai kerangka penelitian maka definisi operasional dari variabel penelitian adalah sebagai berikut :

3.2.1 Variabel Terikat

Tindakan penentuan kecacatan penderita kusta adalah bentuk nyata perlakuan petugas kesehatan dalam mencegah kecacatan pada penderita kusta

3.2.2 Variabel Bebas

Kecacatan adalah cacat yang dialami oleh penderita kusta baik cacat tingkat 0, tingkat 1 dan tingkat 2.

Tindakan Penentuan Kecacatan pada

penderita kusta Karakteristik Petugas Kusta

- Umur

- Jenis Kelamin - Pendidikan - Lama bekerja - Pelatihan - Pengetahuan - Sikap


(45)

32

3.2.3 Jenis Kelamin adalah cirri khas tertentu yang dimiliki oleh petugas kusta yang dibedakan atas :

1. Laki-laki 2. Perempuan

3.2.4 Umur Petugas adalah usia petugas kusta yang dihitung sejak dilahirkan sampai pada saat penelitian, yang dikategorikan :

1. < 30 tahun 2. 30-40 tahun 3. > 40 tahun

3.2.5 Pendidikan adalah latar belakang pendidikan petugas kusta yang di kategorikan :

1. SLTP/Sederajat 2. SLTA/Sederajat 3. Akademi

3.2.6 Lama Bekerja adalah lamanya kerja seseorang dalam suatu jabatan atau tugas dengan kategori :

1.< 3 tahun 2.3-5 tahun 3.> 5 tahun

3.2.7 Pelatihan adalah suatu kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan terhadap suatu bidang tertentu dengan kategori :

1. Sudah Pernah Mengikuti Pelatihan 2. Belum Pernah Mengikuti Pelatihan

3.2.8 Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui oleh petugas kusta tentang pekerjaannya dalam menetapkan seseorang penderita kusta atau tidak

3.2.9 Sikap adalah pendapat atau pandangan petugas kusta terhadap kecacatan pada penderita kusta


(46)

3.3 .Aspek Pengukuran

Pengukuran pengetahuan, sikap dan tindakan berdasarkan jawaban pertanyaan yang diberikan pada responden, yang menggunakan skala interval 3 (tiga) tingkatan, dengan nilai/skor mulai dari 1 (satu) sampai dengan 3 (tiga). Total skor/nilai dari masing-masing sub variabel dikelompokkan atas 3 (tiga) kategori yaitu: Baik, Kurang baik, Tidak baik.

a. Kategori baik adalah apabila jawaban responden > 75%

b. Kategori kurang baik adalah apabila jawaban responden 40-75 % c. Kategori tidak baik apabila jawaban responden <40%

Tabel 3.1 Aspek Pengukuran Variabel

Variabel

bebas Kategori

Bobot nilai 1 variabel =

1 indikator

Bobot nilai Skala

pengukuran Skor nilai

Pengetahuan

Sikap

Tindakan

a. Tidak baik b. Kurang baik c. Baik a. Tidak baik b. Kurang baik c. Baik a. Tidak baik b. Kurang baik c. Baik

1 2 3 1 2 3 1 2 3 10 20 30 10 20 30 10 20 30 Interval Interval Interval < 12 12 – 21 22 – 30 < 12 12 – 21 22 – 30 < 12 12 – 21

3.4 Instrumen


(47)

34

BAB 4

METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat analitik menggunakan desain cross sectional.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di seluruh Puskesmas yang ada di Kabupaten Samosir. Alasan pemilihan lokasi penelitian adalah karena masih banyaknya jumlah penderita kusta yang cacat di Kabupaten Samosir.

4.2.2 Waktu Penelitia

Waktu penelitian dilaksanakan mulai Desember 2006- Maret 2008 4.3.Populasi dan Sampel

4.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petugas kusta di 11 puskesmas yang ada dalam wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir yaitu sebanyak 33 orang yang bertugas melaksanakan program kusta.

4.3.2 Sampel

Sampel adalah seluruh petugas kusta (total populasi) yang ada di puskesmas se-Kabupaten Samosir sebanyak 33 orang ( Arikunto, 1996)


(48)

3.4 Teknik Pengumpulan Data.

Dalam teknik pengumpulan data, dilakukan dengan wawancara dengan responden menggunakan kuesioner yang terstruktur untuk data primer, dan data sekunder diperoleh dari profil Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir

4.5 Teknik Analisa Data

Teknik analisis yang digunakan untuk melakukan pengolahan data menggunakan komputer dengan sistim SPSS (Statistical Package for Social Sciene) dan untuk analisa data dengan uji chi square,


(49)

36

BAB 5

HASIL PENELITIAN

5.1. Gambaran Umum Kabupaten Samosir

Kabupaten Samosir adalah kabupaten yang baru dimekarkan dari kabupaten Toba Samosir sesuai UU RI No.36 tahun 2003 pada tanggal 18 Desember 2003 tentang pembentukan kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Berdagai. Luas wilayah Kabupaten Samosir secara keseluruhan mencapai 254.715 Ha, yang terdiri dari daratan seluas 144.455 Ha dan perairan danau seluas 110.260 Ha.

Secara administratif wilayah Kabupaten Samosir berbatasan dengan : 1. Sebelah Utara Kabupaten Karo dan Kabupaten Simalungun.

2. Sebelah Timur Kabupaten Toba Samosir.

3. Sebelah Selatan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Humbahas. 4. Sebelah Barat Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Barat

Kabupaten Samosir terdiri dari 9 (sembilan) kecamatan, 117 desa/kelurahan, 817 dusun/kampung dan juga 11 Puskesmas.


(50)

5.2. Data Penderita Kusta.

Tabel 5.1 Distribusi Proporsi Penderita Kusta Berdasarkan Tempat, Klasifikasi dan Tingkat Cacat Di Kabupaten Samosir Tahun 2007

No

Nama Puskesmas

Jlh Penderita Berdasarkan

Klasifikasi

Tingkat Cacat

PB % MB % 0 % 1 % 2 %

1 Tukutuk Siadong 1 4,35 1 4,4

2 Ambarita 1 4,35 1 4,33

Simarmata 2 8,7 2 8,67

4 Buhit 1 4,35 3 13,05 1 4,33 3 13

5 Ronggur Nihuta 1 4,35 2 8,7 1 4,33 2 8,67

6 Harian 2 8,7 2 8,67

7 Limbong 2 8,7 2 8,67

8 Mogang 1 4,35 1 4,33

9 Sirait 3 13,05 3 13

10 Onan Runggu 3 13,05 1 4,33 2 8,67

11 Sitio-tio 1 4,35 1 4,33

Jumlah 2 8,7 21 91,3 1 4,4 3 13 19 82,6

Sumber : Dinas Kesehatan dan Sosial Kabupaten Samosir Bidang P2P-PL thn 2007 Dari tabel di atas dapat diketahui jumlah penderita kusta di kabupaten Samosir adalah 23 orang, dengan klasifikasi terbanyak yaitu MB sebanyak 21 orang (91,3%) dan paling sedikit yaitu PB 2 orang (8,7%). Jika dilihat menurut tingkat cacatnya dapat diketahui bahwa jumlah terbanyak adalah pada cacat tingkat 2 yaitu 19 orang (82,6%), kemudian tingkat 1 yaitu 3 orang (13%) dan tingkat 0 yaitu 1 orang (4,4%).


(51)

38

5.3. Karakteristik Responden

Pada penelitian ini, karakteristik responden yang dinilai yaitu umur, jenis kelamin, pendidikan, lama bekerja, pernah atau belum pernah mengikuti pelatihan, pengetahuan dan sikap yang dapat dilihat dari tabel dibawah.

Tabel 5.2 Distribusi responden berdasarkan Karakteristik di Wilayah Puskesmas se-Kabupaten Samosir tahun 2007

No Karakteristik f %

1 Umur (thn)

< 30 10 30.3

30 ‐ 40 12 36.4

> 40 11 33.3

Jumlah 33 100.0

2 Jenis Kelamin

Laki‐laki 18 54.5

Perempuan 15 45.5

Jumlah 33 100.0

3 Pendidikan

SLTP 5 15.2

SLTA 18 54.5

D III 10 30.3

Jumlah 33 100

4 Lama Bekerja (thn)

< 3 14 42.4

3 ‐ 5 17 51.5

> 5 2 6.1

Jumlah 33 100

5 Pelatihan

Sudah 10 30.3

Belum 23 69.7

Jumlah 33 100

6 Pengahuan

Baik 12 36.4

Kurang Baik 15 45.5

Tidak Baik 6 18.1

Jumlah 33 100

7 Sikap

Baik 18 54.5

Kurang Baik 13 39.4

Tidak Baik 2 6.1

Jumlah 33 100

Jika kita lihat tabel diatas dapat diketahui bahwa kelompok umur responden yang terbanyak yaitu kelompok umur 30-40 tahun yaitu 12 orang (36,4%) dan paling sedikit pada kelompok umur >30 tahun sebanyak 10 orang (30,3%). a <3 tahun Responden laki-laki dan perempuan jumlahnya hampir sama dimana laki-laki sebanyak 18 orang(54,5%) dan perempuan sebanyak 15 orang (45,5%). Tingkat


(52)

pendidikan responden yang paling banyak adalah SLTA sederajat sebanyak 18 orang (54,5%), kemudian DIII sebanyak 10 orang (30,3%) dan SLTP sederajat sebanyak 5 orang (15,2%). Responden berdasarkan lama bekerja, yang paling banyak pada 3-5 tahun sebanyak 17 orang (51,5%), kemudian yang bekerja <3 tahun sebanyak 14 orang (42,4%) dan paling sedikit adalah > 5 tahun sebanyak 2 orang (6,1%).. Dan responden yang sudah pernah mengikuti pelatihan sebanyak 10 orang (30,3%), yang belum pernah sebanyak 23 orang (69,7%).

Untuk pengetahuan, responden yang berpengetahuan baik sebanyak 12 orang (36,4%), kurang baik sebanyak 15 orang (45,5%) dan tidak baik sebanyak 6 orang (18,1%). Responden yang bersikap baik sebanyak 18 orang (54,5%), kurang baik sebanyak 13 orang (39,4%), tidak baik sebanyak 2 orang (6,1%).

Dari hasil wawancara yang dilakukan dapat diketahui bahwa latar belakang pendidikan responden pendidikan responden secara umum tidak sesuai dengan tugasnya sebagai pengelola program kusta di puskesmas, dimana responden dengan tingkat pendidikan SLTP yaitu berasal dari LCPK 1 orang, SLTP 1 orang, Juru Kesehatan 2 orang dan PKJK 1 orang, sedangkan dengan tingkat pendidikan SLTA yaitu dari SPK 7 orang, PKC 7 orang, SLTA 1 orang dan Bidan 3 orang. Responden tingkat pendidikan DIII yaitu dari Akademi Kesehatan Lingkungan ada 2 orang, Akademi Perawat 3 orang, Akademi Analis 2 orang, Akademi Kebidanan 2 orang, Akademi Gizi 1 orang. Responden yang sudah pernah mengikuti pelatihan berdasarkan tingkat pendidikan, dari SLTP ada sebanyak 4 orang, SLTA ada sebanyak 5 orang dan DIII ada sebanyak 1 orang.


(53)

40

5.4. Tindakan Penentuan Kecacatan

Tabel 5.3 Distribusi Tindakan Penentuan Kecacatan pada semua Puskesmas di Kabupaten Samosir tahun 2007

No Tindakan Penentuan Kecacatan f %

1 Baik 11 33.3

2 Kurang Baik 20 60.6

3 Tidak Baik 2 6.1

Jumlah 33 100

Dengan melihat tabel datas, dapat diketahui bahwa responden yang mempunyai tindakan penentuan kecacatan yang baik ada 11 orang (33,3%), kurang baik 20 orang (60,6%), dan tidak baik 2 orang (6,1%).

5.5. Analisa Statistik

Dari data yang diperoleh, maka dilakukan suatu analisa, adapun data yang dianalisa adalah sebagai berikut umur, jenis kelamin, pendidikan, lama bekerja, pelatihan, pengetahuan dan sikap untuk dapat melihat hubungannya dengan tindakan penentuan kecacatan.

5.5.1. Umur

Tabel 5.4. Hubungan Umur Dengan Tindakan Penentuan Kecacatan Penderita Kusta Pada Semua Puskesmas di Kabupaten Samosir Tahun 2007

Umur %

(tahun) f % f % f %

1 < 30 0 0.00 10 100.00 0 0.00 10 100.00 2 30 ‐ 40 5 41.67 5 41.67 2 16.67 12 100.00 3 > 40 6 54.55 5 45.45 0 0.00 11 100.00 No

Tindakan Penentuan Kecacatan

Jumlah Baik Kurang Baik Tidak Baik

x² = 12.256 df = 4 p = 0,016

Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa pada umur <30, tindakan penentuan kecacatan kurang 10 orang(100%). Untuk umur 30-40 tahun, tindakan penentuan


(54)

kecacatan baik sebanyak 5 orang(41,67%), tindakan penentuan kecacatan kurang 5 orang(41,67%), tindakan penentuan kecacatan tidak baik 2 orang(16,67%), sedangkan pada umur >40, tindakan penentuan kecacatan baik sebanyak 6 orang(54,55%), tindakan penentuan kecacatan kurang 5 orang(45,45%). Hasil uji statistik menunjukkan (p < (0,05) ,Ho ditolak. Hal ini menunjukan bahwa umur responden ada hubungan yang bermakna dengan tindakan penentuan kecacatan pada penderita kusta.

5.5.2. Jenis Kelamin

Tabel 5.5. Hubungan Jenis Kelamin Dengan Tindakan Penentuan Kecacatan Penderita Kusta Pada Semua Puskesmas di Kabupaten Samosir Tahun 2007

Jenis %

Kelamin f % f % f %

1 Laki‐laki 6 33.33 11 61.11 1 5.56 18 100.00

2 Perempuan 5 33.33 9 60.00 1 6.67 15 100.00

No

Tindakan Penentuan Kecacatan

Jumlah

Baik Kurang Baik Tidak Baik

x² = 0.018 df = 2 p = 0,991

Pada tabel 5.5. dapat dilihat bahwa pada laki-laki, tindakan penentuan kecacatan baik sebanyak 6 orang(33,33%), tindakan penentuan kecacatan kurang 11 orang(61,11%), tindakan penentuan kecacatan tidak baik 1 orang(5,56%). Untuk perempuan tindakan penentuan kecacatan baik sebanyak 5 orang(33,33%), tindakan penentuan kecacatan kurang 4 orang(33,33%), tindakan penentuan kecacatan tidak baik 1 orang(8,33%), Hasil uji statistik dengan (p>0,05) ,Ho diterima. Hal ini menunjukan bahwa jenis kelamin responden tidak ada hubungan dengan tindakan penentuan kecacatan pada penderita kusta.


(55)

42

5.5.3. Pendidikan

Tabel 5.6. Hubungan Pendidikan Dengan Tindakan Penentuan Kecacatan Penderita Kusta Pada Semua Puskesmas di Kabupaten Samosir Tahun 2007

%

f % f % f %

1 SLTP 2 40.00 3 60.00 0 0.00 5 100.00 2 SLTA 8 44.44 9 50.00 1 5.56 18 100.00 3 D III 1 10.00 8 80.00 1 10.00 10 100.00 No Pendidikan Baik Kurang Baik Tidak Baik Jumlah

Tindakan Penentuan Kecacatan

x² = 3.888 df = 4 p = 0,421

Merujuk pada tabel 5.6. dapat dilihat bahwa responden dengan pendidikan SLTP, tindakan penentuan kecacatan baik sebanyak 2 orang(40%), tindakan penentuan kecacatan kurang 3 orang(60%). Untuk SLTA, tindakan penentuan kecacatan baik sebanyak 8 orang(44,44%), tindakan penentuan kecacatan kurang 9 orang(50%), tindakan penentuan kecacatan tidak baik 1 orang(5,56%), sedangkan DIII, tindakan penentuan kecacatan baik sebanyak 1 orang(10%), tindakan penentuan kecacatan kurang 8 orang(80%), tidak baik 1 orang(10%). Hasil uji statistik menunjukkan (p>0,05), Ho diterima. Hal ini menunjukan bahwa pendidikan responden tidak ada hubungan yang bermakna dengan tindakan penentuan kecacatan.


(56)

5.5.4. Lama Bekerja

Tabel 5.7. Hubungan Lama Bekerja Dengan Tindakan Penentuan Kecacatan Penderita Kusta Pada Semua Puskesmas di Kabupaten Samosir Tahun 2007

Lama

Bekerja %

(tahun) f % f % f %

1 < 3 0 0 12 85.71 2 14.29 14 100.00 2 3 ‐ 5 9 52.94 8 47.06 0 0.00 17 100.00 3 > 5 2 100.00 0 0.00 0 0.00 2 100.00 No Baik Kurang Baik Tidak Baik Jumlah

Tindakan Penentuan Kecacatan

x² = 19.179 df = 10 p = 0,038

Sesuai dengan tabel 5.7. dapat dilihat bahwa responden yang bekerja <3 tahun, penentuan kecacatan kurang 12 orang(85,71%), penentuan kecacatan tidak baik 2 orang(14,29%). Untuk 3-4 tahun, penentuan kecacatan baik sebanyak 9 orang(52,94%), penentuan kecacatan kurang 8 orang(47,06%). Hasil uji statistik dengan (p<0,05). Ho diterima. Hal ini menunjukan bahwa lama bekerja responden mempunyai hubungan dengan penentuan kecacatan.

5.5.5. Pelatihan

Tabel 5.8. Hubungan Pelatihan Dengan Tindakan Penentuan Kecacatan Penderita Kusta Pada Semua Puskesmas di Kabupaten Samosir Tahun 2007

%

f % f % f %

1 Sudah 7 70.00 3 30.00 0 0.00 10 100.00

2 Belum 4 17.39 17 73.91 2 8.70 23 100.00

No Pelatihan Baik Kurang Baik Tidak Baik Jumlah

Tindakan Penentuan Kecacatan

x² = 8.874 df = 2 p = 0,012

Tabel 5.8. menunjukkan bahwa responden yang sudah pelatihan, tindakan penentuan kecacatan baik sebanyak 7 orang(70%), tindakan penentuan kecacatan kurang 3 orang(30%). Untuk yang belum, tindakan penentuan kecacatan baik sebanyak 4 orang(17,39%), tindakan penentuan kecacatan kurang ada sebanyak 17 orang(73,91%), tindakan penentuan kecacatan tidak baik 2 orang(8,70%).


(57)

44

Hasil uji statistik dengan (p<0,05), Ho ditolak. Hal ini dapat dikatakan bahwa pelatihan responden mempunyai hubungan dengan tindakan penentuan kecacatan. 5.5.6. Pengetahuan

Tabel 5.9. Hubungan Pengetahuan dan Tindakan Penentuan Kecacatan Penderita Kusta Pada Puskesmas di Kabupaten Samosir Tahun 2007

%

f % f % f %

1 Baik 9 64.29 3 21.43 2 14.29 14 100.00 2 Kurang Baik 2 10.53 13 68.42 4 21.05 19 100.00 No Pengetahuan

Tindakan Penentuan Kecacatan

Jumlah Baik Kurang Baik Tidak Baik

x² = 23,277 df = 4 p = 0,001

Pada tabel 5.9, dapat dilihat bahwa responden yang mempunyai pengetahuan baik dan perilaku penentuan kecacatan baik sebanyak 9 orang (64,29%), penentuan kecacatan penderita kurang baik sebanyak 3 orang (21,43%), perilaku penentuan kecacatan tidak baik sebanyak 2 orang (14,29%). Sedangkan responden yang berpengetahuan kurang baik yang perilaku penentuan kecacatan baik sebanyak 2 orang (10,53%), kurang baik sebanyak 13 orang (68,42%), tidak baik sebanyak 4 orang (21,05%). Dari hasil analisa statistik (p<0,05), yang berarti Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan ada hubungan yang bermakna dengan perilaku penentuan kecacatan pada penderita kusta.


(58)

5.5.7. Sikap

Tabel 5.10. Hubungan Sikap Responden Dengan Tindakan Penentuan Kecacatan Penderita Kusta Pada Puskesmas di Kabupaten Samosir Tahun 2007

%

f % f % f %

1 Baik 1 50.00 1 50.00 0 0.00 2 100.00

2 Kurang Baik 1 7.69 11 84.62 1 7.69 13 100.00

3 Tidak Baik 0 0.00 8 44.44 10 55.56 18 100.00

No Sikap

Tindakan Penentuan Kecacatan

Jumlah

Baik Kurang Baik Tidak Baik

x² = 15,466 df = 4 p = 0,004

Merujuk tabel 5.10, dapat dilihat bahwa responden yang mempunyai sikap baik dengan tindakan penentuan kecacatan baik ada sebanyak 1 orang (50%), kurang baik sebanyak 1 orang (50%), sedangkan responden yang sikap kurang baik dengan penentuan kecacatan baik sebanyak 1 orang (7,69%), kurang baik sebanyak 11 orang (84,62%), tidak baik sebanyak 1 orang (7,69%). Untuk responden yang bersikap tidak baik dengan penentuan kecacatan kurang baik sebanyak 8 orang (44,44%) dan tidak baik sebanyak 10 orang (55,56%). Hasil uji statistik (p<0,05), yang berarti Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa sikap responden ada hubungan yang bermakna dengan tindakan penentuan kecacatan pada penderita kusta.


(59)

46

BAB 6 PEMBAHASAN

6.1. Karakteristik Responden

Secara umum dapat digambarkan bahwa petugas kusta yang menjadi respoden dalam penelitian ini, bahwa kelompok umur responden yang terbanyak yaitu kelompok umur 30-40 tahun yaitu 12 orang (36,4%), dengan lama bekerja di program kusta <3 tahun sebanyak 5 orang, 3-5 tahun sebanyak 7 orang. Kemudian umur >40 tahun sebanyak 11 orang (33,3%) dengan lama bekerja <3 tahun sebanyak 5 orang, 3-5 tahun sebanyak 4 orang, > 3-5 tahun 2 orang. Dan <30 tahun sebanyak 10 orang (30,3%), dengan lama bekerja <3 tahun sebanyak 4 orang, 3-5 tahun sebanyak 6 orang .

Untuk jenis kelamin, laki-laki sebanyak 18 (54,5%), dan perempuan 15 (45,5%), sedangkan responden berdasarkan pendidikan, SLTP sebanyak 5 orang(15,2%), SLTA 18 orang (54,5%), dan DIII sebanyak 10 orang (30,3%). Dari hasil wawancara yang dilakukan dapat diketahui bahwa latar belakang pendidikan responden pendidikan responden secara umum tidak sesuai dengan tugasnya sebagai pengelola program kusta di puskesmas, dimana responden dengan tingkat pendidikan SLTP yaitu berasal dari LCPK 1 orang, SLTP 1 orang, Juru Kesehatan 2 orang dan PKJK 1 orang, sedangkan dengan tingkat pendidikan SLTA yaitu dari SPK 7 orang, PKC 7 orang, SLTA 1 orang dan Bidan 3 orang. Responden tingkat pendidikan DIII yaitu dari Akademi Kesehatan Lingkungan ada 2 orang, Akademi Perawat 3 orang, Akademi Analis 2 orang, Akademi Kebidanan 2 orang, Akademi Gizi 1 orang


(60)

Responden yang sudah bekerja di program kusta selama <3 tahun sebanyak 14 (42,4%), 3-5 tahun sebanyak 17 (51,5%), dan >5 tahun sebanyak 2 orang (6,1%). Responden yang sudah pernah mengikuti pelatihan program kusta ada 10 orang (30,3%), dan yang belum pernah sebanyak 23 orang (69,7%). Responden yang sudah pernah mengikuti pelatihan berdasarkan tingkat pendidikan, dari SLTP ada sebanyak 4 orang, SLTA ada sebanyak 5 orang dan DIII ada sebanyak 1 orang. Responden yang berpengetahuan baik ada sebanyak 9 orang (64,29%), dimana dilihat dari tingkat pendidikannya ada sebanyak 7 orang yang sudah bekerja selama 3-5 tahun dan sebanyak 5 orang sudah mengikuti pelatihan, 1 orang dengan latar pendidikan SLTP yang sudah mengikuti pelatihan dan 1 orang berlatar pendidikan DIII Keperawatan. Walaupun responden yang berpengetahuan baik ada 9 orang tetapi dalam hal bersikap untuk melakukan tindakan masih sangat rendah, dimana kita lihat bahwa responden yang bersikap baik dalam penentuan kecacatan ada 1 orang.


(61)

48

6.2. Hubungan Karakteristik Dengan Tindakan Penentuan Kecacatan. 6.2.1. Hubungan Umur Dengan Tindakan Penentuan Kecacatan

Gambar 6.1. Hubungan Umur Dengan Tindakan Penentuan Kecacatan

Dari gambar diatas tindakan penentuan kecacatan pada penderita kusta yang baik paling banyak pada responden dengan umur > 40 tahun sebanyak 6 orang kemudian umur 30-40 tahun sebanyak 5 orang. Hal ini kemungkinan karena semakin lama melakukan sesuatu pekerjaan akan semakin banyak pengalaman dan informasi yang diperoleh terutama informasi tentang kusta yang sejalan dengan bertambahnya umur dari responden serta semakin tinggi pula rasa tanggung jawabnya terhadap pekerjaannya. Ini sesuai dengan hasil uji statistik dimana (p= 0.016) yang berarti ada hubungan yang bermakna antara umur dengan tindakan penentuan kecacatan pada penderita kusta responden.


(62)

6.2.2. Hubungan Jenis Kelamin Dengan Tindakan Penentuan Kecacatan

Gambar 6.2. Hubungan Jenis Kelamin Dengan Tindakan Penentuan Kecacatan

Dari gambar diatas tindakan baik paling banyak pada responden adalah laki-laki sebanyak 6 orang kemudian tindakan kurang baik sebanyak 11 orang. Hasil uji statistik dimana (p= 0.991) yang berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan tindakan responden. Pada tabel 5.5. juga dapat dilihat bahwa tindakan penentuan kecacatan pada penderita kusta anatara laki-laki hampir tidak ada perbedaan dimana tindakan penentuan kecacatan oleh responden perempuan sebanyak 5 orang dan kurang baik sebanyak 9 orang.


(63)

50

6.2.3. Hubungan Pendidikan Dengan Tindakan Penentuan Kecacatan

Gambar 6.3. Hubungan Pendidikan Dengan Tindakan Penentuan Kecacatan Pada gambar diatas dapat dilihat tindakan baik paling banyak pada responden dengan pendidikan SLTA yaitu sebanyak 8 orang, kemudian SLTP sebanyak 2 orang dan DIII sebanyak 1 orang. Tindakan kurang baik paling banyak pada respoden dengan pendidikan SLTA sebanyak 9 orang, kemudian DIII sebanyak 8 orang dan SLTP sebanyak 3 orang. Untuk tindakan tidak baik, DIII sebanyak 1 orang, SLTA sebanyak 1 orang. Hal ini kemungkinan responden dengan latar belakang pendidikan D III banyak yang bukan berpendidikan yang tidak sesuai dengan tugasnya sebagai pengelola program kusta di puskesmas, ini disebabkan karena masih kurangnya sumber daya manusia terutama yang dapat mengelola program kusta serta masih kurangnya sarana dan prasarana program pemberantasan kusta.Hasil uji statistik menunjukkan (p=0,421), yang berarti tidak ada hubungan antara pendidikan dengan tindakan penentuan kecacatan penderita kusta.


(64)

6.2.4. Hubungan Lama Bekerja Dengan Tindakan Penentuan Kecacatan

Gambar 6.4. Hubungan Lama Bekerja Dengan Tindakan Penentuan Kecacatan

Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa tindakan baik paling banyak terdapat pada responden dengan lama bekerja 3-5 tahun sebanyak 9 orang, > 5 tahun sebanyak 2 orang. Dari sini dapat dikatakan bahwa semakin lama bekerja akan membuat petugas semakin menyadari pentingnya tugas yang dibebankan kepadanya dan semakin bertambahnya pengetahuannya karena semakin banyaknya informasi yang di dapat (Kamaliah, 2003). Hasil uji statistik dimana (p= 0.038) yang berarti ada hubungan yang bermakna antara lama bekerja dengan tindakan responden yang sesuai dengan yang dilakukan Kamaliah.


(65)

52

6.2.5.Hubungan Pelatihan Dengan Tindakan Penentuan Kecacatan Responden

Gambar 6.5. Hubungan Pelatihan Dengan Tindakan Penentuan Kecacatan Responden yang pernah mendapat pelatihan tentang penyakit kusta mempunyai tindakan baik sebanyak 7 orang, sedangkan responden yang belum pernah mendapat pelatihan mempunyai tindakan baik sebanyak 4 orang. Dari sini dapat dikatakan bahwa responden pernah mendapat pelatihan mempunyai tindakan yang lebih baik dibandingkan dengan responden yang tidak pernah mendapat pelatihan. Untuk tindakan kurang baik kita lihat bahwa lebih banyak terdapat pada responden yang belum pernah mengikuti pelatihan ada sebanyak 17 orang dan yang sudah sebanyak 3 orang. Hal ini mungkin disebabkan responden yang belum pernah mendapat pelatihan belum tahu melakukan tindakan apa yang baik terhadap penderita cacat, kemudian didukung lagi dasar pendidikan yang tidak sesuai dengan bidang tugasnya akan tetapi responden yang sudah perah mengikuti pelatihan akan lebih termotivasi untuk melakukan tindakan yang lebih baik karena sudah semakin tahu


(66)

tentang penyakit kusta. Hasil uji statistik terdapat (p= 0.012) yang berarti ada hubungan bermakna antara pelatihan dengan tindakan responden.

6.2.6. Hubungan Pengetahuan Dengan Tindakan Penentuan Kecacatan

Gambar 6.6. Hubungan Pengetahuan Dengan Tindakan Penentuan Kecacatan Dari gambar diatas dapat kita lihat bahwa responden yang berpengetahuan baik, dalam penentuan kecacatan pada penderita kusta juga sudah baik, dimana kita lihat dari 14 orang responden yang berpengetahuan baik, responden yang bertindak penentuan baik ada sebanyak 9 orang (64,29%), penentuan kecacatan kurang baik sebanyak 3 orang (21,43%), tindakan penentuan tidak baik sebanyak 2 orang (14,29%). Untuk responden yang pengetahuannya kurang baik, penentuan kecacatan baik sebanyak 2 orang (10,53%), penentuan kecacatan kurang baik sebanyak 13 orang (68,42%) dan penentuan kecacatan tidak baik sebanyak 4 orang (21,05%). Dari hasil analisa statistik (p=0,001) yang berarti Ho ditolak. Hal ini juga menunjukkan bahwa pengetahuan responden mempunyai hubungan yang bermakna dengan


(1)

6.2.5.Hubungan Pelatihan Dengan Tindakan Penentuan Kecacatan Responden

Gambar 6.5. Hubungan Pelatihan Dengan Tindakan Penentuan Kecacatan Responden yang pernah mendapat pelatihan tentang penyakit kusta mempunyai tindakan baik sebanyak 7 orang, sedangkan responden yang belum pernah mendapat pelatihan mempunyai tindakan baik sebanyak 4 orang. Dari sini dapat dikatakan bahwa responden pernah mendapat pelatihan mempunyai tindakan yang lebih baik dibandingkan dengan responden yang tidak pernah mendapat pelatihan. Untuk tindakan kurang baik kita lihat bahwa lebih banyak terdapat pada responden yang belum pernah mengikuti pelatihan ada sebanyak 17 orang dan yang sudah sebanyak 3 orang. Hal ini mungkin disebabkan responden yang belum pernah mendapat pelatihan belum tahu melakukan tindakan apa yang baik terhadap penderita cacat, kemudian didukung lagi dasar pendidikan yang tidak sesuai dengan bidang tugasnya akan tetapi responden yang sudah perah mengikuti pelatihan akan lebih termotivasi untuk melakukan tindakan yang lebih baik karena sudah semakin tahu


(2)

tentang penyakit kusta. Hasil uji statistik terdapat (p= 0.012) yang berarti ada hubungan bermakna antara pelatihan dengan tindakan responden.

6.2.6. Hubungan Pengetahuan Dengan Tindakan Penentuan Kecacatan

Gambar 6.6. Hubungan Pengetahuan Dengan Tindakan Penentuan Kecacatan Dari gambar diatas dapat kita lihat bahwa responden yang berpengetahuan baik, dalam penentuan kecacatan pada penderita kusta juga sudah baik, dimana kita lihat dari 14 orang responden yang berpengetahuan baik, responden yang bertindak penentuan baik ada sebanyak 9 orang (64,29%), penentuan kecacatan kurang baik sebanyak 3 orang (21,43%), tindakan penentuan tidak baik sebanyak 2 orang (14,29%). Untuk responden yang pengetahuannya kurang baik, penentuan kecacatan baik sebanyak 2 orang (10,53%), penentuan kecacatan kurang baik sebanyak 13 orang (68,42%) dan penentuan kecacatan tidak baik sebanyak 4 orang (21,05%). Dari hasil analisa statistik (p=0,001) yang berarti Ho ditolak. Hal ini juga menunjukkan bahwa pengetahuan responden mempunyai hubungan yang bermakna dengan


(3)

tindakan penentuan kecacatan pada penderita kusta.Ini sesuai dengan pendapat Notoatmodjo, 2003 bahwa setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek (pengetahuan), kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia melaksanakan atau memperaktekkan apa yang diketahui atau yang dinilai baik. Inilah yang disebut praktek/tindakan, dimana dalam penelitian ini praktek/tindakan ini adalah penentuan kecacatan pada penderita kusta.

6.2.7. Hubungan Sikap Dengan Tindakan Penentuan Kecacatan Responden

Gambar 6.7. Hubungan Sikap Dengan Tindakan Penentuan Kecacatan

Dari gambar 6.7. dapat dilihat bahwa responden yang mempunyai sikap baik dengan tindakan penentuan kecacatan baik ada sebanyak 1 orang (50%), kurang baik sebanyak 1 orang (50%), sedangkan responden yang sikap kurang baik dengan penentuan kecacatan baik sebanyak 1 orang (7,69%), kurang baik sebanyak 11 orang (84,62%), tidak baik sebanyak 1 orang (7,69%). Untuk responden yang bersikap tidak


(4)

baik dengan penentuan kecacatan kurang baik sebanyak 8 orang (44,44%) dan tidak baik sebanyak 10 orang (55,56%). Hasil uji statistik (p=0,004) yang berarti Ho ditolak. Hal ini menunjukkan bahwa sikap responden mempunyai hubungan dengan tindakan penentuan kecacatan pada penderita kusta. Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek, proses selanjutnya akan menilai atau bersikap terhadap stimulus atau objek tersebut. Oleh karena itu indikator untuk sikap kesehatan juga sejalan dengan pengetahuan kesehatan (Notoatmodjo, 2003), dimana responden yang berpengetahuan baik akan lebih bersikap lebih baik dan akan bertindak dalam penentuan kecacatan pada penderita kusta yang lebih baik pula.


(5)

BAB 7

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan Dari hasil penelitian dan pembahasan diatas maka dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu :

7.1.1. Karakteristik responden berdasarkan umur paling banyak pada kelompok umur 30-40 tahun sebanyak 12 orang(36,4%), berdasarkan jenis kelamin laki-laki sebanyak 18 orang (54,5%), tingkat pendidikan responden yang paling banyak SLTA sederajat sebanyak 18 orang (54,5%), berdasarkan lama bekerja yaitu 3-5 tahun sebanyak 17 orang (51,5%) dan responden yang belum pernah mengikuti pelatihan sebanyak 23 orang (69,7%).

7.1.2. Responden yang berpengetahuan baik sebanyak 12 orang (36,4%), berpengetahuan kurang baik sebanyak 15 orang (45,5%) dan berpengetahuan tidak baik sebanyak 6 orang (18,1%).

7.1.3. Responden yang bersikap baik ada sebanyak 18 orang (54,5%), kurang baik sebanyak 13 orang (39,4%) dan tidak baik sebanyak 2 orang (6,1%).

7.1.4. Ada hubungan yang bermakna antara umur (p=0,016<α=0,05), lama bekerja (p=0,038<α=0,05) dan pelatihan (p=0,012<α=0,05) dengan tindakan penentuan kecacatan pada penderita kusta, tetapi tidak ada hubungan dengan jenis kelamin dan tingkat pendidikan.


(6)

7.1.5. Ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan tindakan penentuan kecacatan dengan p=0,001<α=0,05.

7.1.6. Ada hubungan yang bermakna antara sikap dengan tindakan penentuan kecacatan dengan p=0,004<α=0,05.

7.2. Saran

7.2.1. Kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir untuk dapat membuat pelatihan kusta secara berkala yang diikuti seluruh petugas kusta sehingga dapat meningkatkan perilaku petugas terutama untuk peningkatan pengetahuan dan sikap petugas tentang kusta dalam penentuan kecacatan, dimana kita lihat tindakan petugas sudah baik, tetapi belum didasari pengetahuan dan sikap yang baik pula.

7.2.2. Kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir sebaiknya lebih memperhatikan mengenai pemberantasan penyakit kusta agar program Eliminasi Kusta di kabupaten Samosir dapat terwujud, dan mengupayakan agar petugas yang sudah dilatih jangan terlalu sering berpindah program, karena kalau kita lihat dari hasil penelitian bahwa semakin lama bekerja di program tersebut akan semakin baik pula perilakunya.