Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

bergaul dengan sebaik baiknya dan masing-masing pihak menunaikan hak dan kewajibannya dengan ikhlas, jujur, dan pengabdian. Adapun pemenuhan kewajiban suami terhadap istri ini mulai berlaku sejak terjadi transaksi akad nikah. Seorang laki-laki yang menjadi suami memperoleh hak sebagai suami dalam keluarga. Begitu pula seseorang perempuan yang menjadi istri memperoleh hak sebagai istri dalam keluarga. Di samping keduanya mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus diperhatikan satu sama lain. Suami istri harus memahami hak dan kewajibannya sebagai upaya membangun sebuah keluarga. Kewajiban tersebut harus dimaknai secara timbal-balik, yang berarti bahwa yang menjadi kewajiban suami merupakan hak istri dan yang menjadi kewajiban istri adalah menjadi hak suami. 3 Keseimbangan hak dan kewajiban antara suami istri tersebut tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa keduanya mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang dalam lingkup rumah tangga, pergaulan dalam masyarakat, dan hukum. 4 Suami istri harus bertanggung jawab untuk saling memenuhi kebutuhan pasangannya untuk membangun keluarga yang harmonis dan tenteram. Demi keberhasilan dalam mewujudkan membangun sebuah keluarga yang harmonis dan tenteram sangat diperlukan adanya kebersamaan dan sikap berbagi tanggung jawab antara suami dan istri. Al-Qur’an menganjurkan kerja sama diantara mereka. Di 3 Mashuri Kurtubi, Baiti Jannati, Jakarta: Yayasan Fajar Islam Indonesia, 2007, h. 91 4 Lihat Pasal 31 ayat 1 dan 2, Kompilasi Hukum Islam. dalam nash Al-Qur’an menyebutkan, bahwa seorang suami dan istri itu agar bergaul dengan secara baik, atau dalam istilah dikenal dengan ma’ruf. 5 Hajat biologis adalah pembawa hidup. Oleh karena itu, suami wajib memperhatikan hak istri dalam hal ini. Ketenteraman dan keserasian hidup perkawinan antara lain ditentukan oleh faktor hajat biologis ini. Kekecewaan yang dialami dalam masalah ini dapat menimbulkan keretakan dalam perkawinan, bahkan tidak jarang terjadi ketika pemenuhan hajat biologis ini sang suami tidak menghiraukan kondisi fisik istri istri sehingga sang istri merasa tersakiti dan menderita. Dalam hubungan seks, biasanya suami lebih berperan sedangkan istri melayani prakarsa suaminya. Akan tetapi dalam pandangan Islam, hubungan seksual lebih didasarkan pada saling menghormati dan saling pengertian, hingga kewajiban suami untuk mempergauli istrinya dengan baik telah ditunjukan oleh Al-Qur’an, antara lain dalam surat Al-Baqarah ayat 223. Ayat ini menunjukan kebiasaan bahwa suami laki-laki lebih berperan dalam masalah hubungan seks baik untuk melakukan aktivitas seks maupun dalam cara ketika melakukan hubungan seksual. Namun, kebolehan tersebut diiringi oleh kewajiban yang harus dilakukan oleh suami karena Al-Qur’an memberikan batasan- batasan yang tidak boleh dilanggar oleh suami. 5 Satria Efendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2004, h. 142 Islam mengajarkan untuk menggauli istri dengan lembut, dan tidak menyakiti istri ketika melakukan hubungan intim, apalagi sampai melakukan kekerasan di dalam berhubungan intim, hal ini diterangkan dalam Al-Quran surat An-Nisa ayat 19. Secara teoritis ajaran Islam melihat seksualitas perempuan dan laki-laki secara seimbang, yaitu sama-sama dihargai sebagai dorongan kebutuhan yang manusiawi. Namun pada praktiknya ajaran ini justru asing dan tidak terbukti. Malah praktik yang ada memperlihatkan ajaran agama meligitimasi perlakuan kekerasan seksual yang dilakukan suami terhadap istri. Hal ini dikarenakan bias gender dalam pemahaman ajaran yang menempatkan perempuan sebagai objek seksual. Pemahaman ajaran yang bias tersebut, diindoktrinasikan, diajarkan, dan disampaikan kepada masyarakat sehingga kemudian terpatri kuat dalam benak individu baik laki-laki maupun perempuan. Di sinilah kemudian ada proses sosialisasi, di mana para tokoh masyarakat dan agama menggunakan doktrin-doktrin agama untuk ditransformasikan secara turun temurun dari generasi ke generasi yang akhirnya doktrin tersebut menjadi stereotype dalam masyarakat. 6 Dalam kasus cerai gugat yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Timur antara Muhaya binti H. Muji 54 tahun dengan H. Rameli bin H. Husin 69 tahun, sang istri sebagai penggugat merasa sudah tidak mampu lagi melayani kebutuhan biologis suaminya yang berlebihan, hal ini di dasari dari keadaan jasmani penggugat yang sudah manoupose. 6 Dwiyanto, dkk, Seksualitas, Kesehatan Reproduksi dan Ketimpangan Jender Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996, h. 260. Penggugat yang menikah dengan tergugat pada 17 Oktober 2008 dan merupakan pernikahan ke-2 bagi penggugat dan tergugat yang memang sama-sama janda dan duda. Selama menikah kehidupan rumah tangga antara penggugat dan tergugat dalam keadaan rukun. Akan tetapi, dalam hal pemenuhan kebutuhan biologis, diakui istri sebagai penggugat bahwa suaminya terlalu berlebihan dalam melakukan hubungan badan tersebut, suami tidak menghiraukan keadaan istri yang memang dari segi fisik sudah tidak mampu memenuhinya secara berlebihan. Prilaku hiperseksual dari pasangan dalam rumah tangga ketika menimbulkan rasa tidak nyaman dari pasangan lainnya, tentunya dapat mengganggu keharmonisan bahtera rumah tangga. Dari permasalahan inilah kemudian penulis ingin mengadakan penelitian tentang “HIPERSEKSUAL SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN Analisis Yurisprudensi No: 630 Pdt. G2009PA.JT di PA Jakarta Timur

B. Pembatasan Masalah

Agar dalam pembahasan skripsi ini lebih terarah dan spesifik, maka penulis memberikan batasan sesuai dengan judul yang diangkat pada penelitian ini sebagai berikut: 1. Hiperseksual dalam skripsi ini dibatasi pada faktor prilaku hiperseksual terhadap pasangan, motif, jenis-jenis, dan dampaknya terhadap kelangsungan rumah tangga. 2. Analisis yurisprudensi pada skripsi ini dibatasi pada dasar pertimbangan yurisprudensi yang digunakan oleh hakim dalam memutus perkara perceraian yang disebabkan prilaku hiperseksual dengan putusan No: 630 Pdt. G2009PA.JT di Pengadilan Agama Jakarta Timur.

C. Perumusan Masalah

Masalah dalam skripsi ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus perkara perceraian yang disebabkan prilaku hiperseksual? 2. Apa landasan hukum yang digunakan oleh hakim dalam memutus perceraian berdasarkan putusan No: 630 Pdt. G2009PA.JT? 3. Apa indikasi hiperseksual suami yang terdapat pada pelaku dalam perkara ini?

D. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah: a. Mengetahui pertimbangan yang digunakan oleh hakim dalam memutus perkara perceraian yang disebabkan prilaku hiperseksual dengan putusan No: 630 Pdt. G2009PA.JT. b. Mengetahui landasan hukum yang digunakan oleh hakim dalam memutus perceraian yang disebabkan prilaku hiperseksual dengan putusan No: 630 Pdt. G2009PA.JT. c. Mengetahui indikasi hiperseksual suami yang terdapat pada pelaku.