Perbandingan Efek Antiinflamasi Fraksi Etilasetat Daun Dandang Gendis (Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau) Bentuk Suspensi Dan Yang Diperangkapkan Dalam Matriks Nata De Coco

(1)

PERBANDINGAN EFEK ANTIINFLAMASI FRAKSI ETILASETAT DAUN DANDANG GENDIS (Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau)

BENTUK SUSPENSI DAN YANG DIPERANGKAPKAN DALAM MATRIKS NATA DE COCO

SKRIPSI

OLEH:

ANNA LELI NASUTION 050804017

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PERBANDINGAN EFEK ANTIINFLAMASI FRAKSI ETILASETAT DAUN DANDANG GENDIS (Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau)

BENTUK SUSPENSI DAN YANG DIPERANGKAPKAN DALAM MATRIKS NATA DE COCO

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Farmasi Pada

Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

OLEH:

ANNA LELI NASUTION 050804017

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

PERBANDINGAN EFEK ANTIINFLAMASI FRAKSI ETILASETAT DAUN DANDANG GENDIS (Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau)

BENTUK SUSPENSI DAN YANG DIPERANGKAPKAN DALAM MATRIKS NATA DE COCO

OLEH :

ANNA LELI NASUTION 050804017

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Pada tanggal : September 2010

Pembimbing I, Panitia Penguji,

(Dr. Marline Nainggolan, MS. Apt.) (Dr. Rosidah, M.S., Apt.)

NIP 195709091985112001 NIP 195201171980031002

Pembimbing II, (Dr. Marline Nainggolan, MS. Apt.) NIP 195709091985112001

(Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga, MS. Apt.) (Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt.) NIP. 195504241983031003 NIP 195107231982032001

(Drs. Panal Sitorus, M.Si., Apt.) NIP 195107231982032001

Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Dekan,

(Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt.) NIP 195311281983031002


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan karunia dan rahmat yang tidak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian serta penyusunan skripsi ini. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada ayahanda Abdul Hasan Nasution dan ibunda Hapni Siregar tercinta, abangda M.Rapi Nasir Nasution, SH dan Ridwan Zuhri Nasution, Amd serta adinda Nurhamidah Nasution terkasih yang telah memberikan dorongan moril maupun materil serta doa kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu sehingga skripsi ini dapat di selesaikan. Dengan rasa hormat dan kerendahan hati penulis ucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dekan dan para Pembantu Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dr. Marline Nainggolan, M.S., Apt. Dan Bapak Dr. Kasmirul Ramlan Sinaga, M.S., Apt sebagai dosen pembimbing atas segala arahan, ilmu serta nasehat selama proses penelitian dan penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Prof., Dr., Jansen Silalahi M.App.Sc., Apt sebagai dosen penasehat akademik dan seluruh staf pengajar atas nasehat dan bimbingannya selama proses perkuliahan.

4. Bapak dan Ibu Panitia Penguji atas arahan dan masukan yang sangat berarti dalam penyempurnaan skripsi ini.


(5)

5. Sahabat-sahabat penulis: Kak Ani, Rahma, Suci dan rekan-rekan mahasiswa farmasi stambuk 2005 serta seluruh pihak yang telah memberikan kasih sayang, bantuan, motivasi, dan inspirasi bagi penulis selama masa perkuliahan sampai penyusunan skripsi ini.

6. Kepada Kepala Laboratorium Fitokimia dan Laboratorium Farmakologi dan seluruh staf atas seluruh fasilitas yang diberikan selama proses penelitian .

Semoga Tuhan Yang maha Kuasa memberikan balasan yang berlipatganda atas jasa besar mereka.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga membutuhkan banyak masukan dan kritikan. Namun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini dapat menjadi sumbangan berarti bagi ilmu pengetahuan khususnya di bidang farmasi.

Medan, September 2010 Penulis


(6)

ABSTRAK

Telah dilakukan karakterisasi ekstrak etanol dan perbandingan uji efek antiinflamasi dari fraksi etilasetat daun dandang gendis (Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau), bentuk suspensi dan yang diperangkapkan dalam matriks nata de coco secara oral terhadap radang buatan pada telapak kaki tikus yang diinduksi dengan karagenan 1%.

Ekstraksi serbuk daun dandang gendis dilakukan dengan cara maserasi menggunakan etanol 80%, lalu difraksinasi dengan pelarut n-heksan dan etilasetat. Fraksi etilasetat yang diperoleh diuapkan dengan rotary evaporator dan dikeringkan dengan freeze dryer pada suhu -40oC. Terhadap ekstrak etanol yang diperoleh dilakukan karakterisasi dan diperangkapkan ke dalam matriks nata de coco dengan cara merendam matriks nata de coco ke dalam fraksi etilasetat selama 24 jam, kemudian dikeringkan dalam freeze dryer. Pengujian efek antiinflamasi tikus putih yang digunakan dibagi menjadi 10 kelompok, kontrol (CMC 0,5% dan nata de coco), pembanding indometasin (suspensi dan yang diperangkapkan dalam matriks nata de coco) dosis 10 mg/KgBB, fraksi etilasetat daun dandang gendis (bentuk suspensi maupun yang diperangkapkan dalam matriks nata de coco) dosis 30, 45 dan 60 mg/KgBB, sebagai penginduksi radang yaitu karagenan 1% secara intraplantar pada kaki tikus. Pengukuran volume kaki tikus diukur dengan plestimometer digital UGO Basile.

Hasil karakterisasi simplisia dan ekstrak etanol daun dandang gendis secara berturut-turut adalah untuk kadar air 7,16% dan 7,083 %, kadar sari larut dalam air 10,49% dan 10,930%, kadar sari larut dalam etanol 10,70% dan 18,579 %, kadar abu total 6,10% dan 4,582 %, kadar abu tidak larut dalam asam 0,64% dan 0,696 %. Fraksi etilasetat daun dandang gendis memiliki efek antiinflamasi baik dalam bentuk suspensi maupun diperangkapkan dalam matriks nata de coco. Perbedaan antara suspensi dengan yang diperangkapkan dalam matriks nata de coco terlihat pada pelebaran puncak persen radang dari t180 menjadi t240 berturut-turut adalah dosisi 60 mg/KgBB memberikan persentase radang tertinggi sebesar 40,53 % pada perlakuan t180 menjadi 40,78 % pada perlakuan t240, dosis 45 mg/KgBB memberikan persentase radang tertinggi sebesar 53,72 % pada perlakuan t180 menjadi 60,89 % pada perlakuan t240, dosis 30 mg/KgBB memberikan persentase radang tertinggi sebesar 60,01 % pada perlakuan t180 menjadi 68,65 % pada perlakuan t240. Dosis 60 mg/KgBB memiliki efek lebih baik dibandingkan dengan dosis 30 dan 45 mg/KgBB dan memiliki efek yang sama dengan indometasin dosis 10 mg/kg BB pada α≤ 0,05.


(7)

ABSTRACT

The characterization of ethanol extract and comparison test antiinflammatory effects of ethylacetate fraction of dandang gendis (Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau) leaves, suspension and from a matrix was trapped into nata decoco made orally on the sole of the foot inflammation induced rat carrageenan 1%.

Dandang gendis leaves powder was extracted by used 80% ethanolic, it was fractionation with n-hexane and ethylacetate. Ethylacetate fraction is obtained evaporated by rotary evaporator and dried with a freeze dryer at a temperature of -40oC. Ethanol extract obtained by the characterization and was trapped into the matrix of nata de coco by immersing the matrix nata de coco into ethylacetate fraction over 24 hours, then dried in a freeze dryer. Tests for antiinflammatory effects of white rats used were divided into 10 groups, control (CMC 0.5% and nata de coco), a comparison of indomethacin (suspension and was trapped into nata de coco matrix) dose of 10 mg/kg, ethylacetate fraction of dandang gendis leaves (suspension and was trapped into nata de coco matrix) doses of 30, 45 and 60 mg/kg, as inflammation induced is carrageenan 1% by intraplantar in the rat foot. Measurement of rat foot volume was measured with a digital plestimometer Ugo Basile.

The results of characterization of ethanol leaf extracts of crude drugs and dandang gendis successively to the water content is 7.16% and 7.083%, the concentration of water soluble extract 10.49% and 10.930%, soluble in ethanol extract concentration 10.70% and 18.579% , total ash 6.10% and 4.582%, ash insoluble in acid 0.64% and 0.696%. Ethyl acetate fraction of dandang gendis leaves have antiinflammatory effects both in the form of suspension or

diperangkapkan in the matrix of nata de coco. The difference between the

suspension with a diperangkapkan in the matrix of nata de coco looks at widening the peak percent inflammation from t180 to t240 in a row is dosisi 60 mg / KgBW give the highest percentage of 40.53%, inflammation of the treatment to 40.78% in t180 t240 treatment , the dose of 45 mg / KgBW give the highest percentage of 53.72%, inflammation in the treatment t180 into t240 60.89% in treatment, the dose of 30 mg / KgBW give the highest percentage of 60.01%, inflammation of the treatment to 68.65% in t180 t240 treatment. Dose of 60 mg / KgBW have a better effect than the doses of 30 and 45 mg / KgBW and have the same effect

with indomethacin dose of 10 mg / kg BW at α ≤ 0.05. Keywords: Dandang gendis, antiinflammatory, nata de coco


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL...i

HALAMAN PENGESAHAN...ii

ABSTRAK...iii

ABSTRACT...iv

DAFTAR ISI...v

DAFTAR TABEL...viii

DAFTAR GAMBAR...ix

DAFTAR LAMPIRAN...x

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Perumusan Masalah... 4

1.3. Hipotesis... 4

1.4. Tujuan Penelitian... 5

1.5. Manfaat Penelitian... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...6

2.1. Uraian Tumbuhan...6

2.2. Metode Ekstraksi...7

2.3. Nata De Coco...9

2.4. Bakteri Acetobacter xylinum ...10

2.5. Sediaan dengan Pelepasan terkendali...10


(9)

2.7. Obat-obat antiinflamasi...16

2.8. Indometasin...17

BAB III METODOLOGI PENELITIAN...18

3.1 Alat dan Bahan...18

3.1.1Alat-alat yang digunakan...18

3.1.2Bahan-bahan yang digunakan...18

3.2 Hewan Percobaan...19

3.3. Penyiapan Serbuk Daun Dandang Gendis (Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau)...19

3.3.1 Pengumpulan sampel...19

3.3.2 Pengolahan sampel...19

3.4. Karakterisasi Simplisia...19

3.4.1 Penetapan kadar air...20

3.4.2 Penetapan kadar sari larut dalam air...20

3.4.3 Penetapan kadar sari larut dalam etanol...21

3.4.4 Penetapan kadar abu total...21

3.4.5. Penetapan kadar abu tidak larut asam...21

3.5 Pembuatan Ekstrak...22

3.5.1 Pembuatan ekstrak etanol...22

3.5.2 Pembuatan fraksi etilasetat dari ekstrak etanol dari daun dandang gendis...22

3.6. Karakterisasi Ekstrak...23

3.6.1 Penetapan kadar air...23


(10)

3.6.3 Penetapan kadar sari larut dalam etanol...23

3.6.4 Penetapan kadar abu total...23

3.6.5 Penetapan kadar abu tidak larut asam...24

3.7 Pembuatan Nata de coco...24

3.8 Pembuatan Matriks Nata...25

3.9 Penyiapan Bahan Uji, Obat Pembanding dan Kontrol...25

3.9.1. Penyiapan suspensi CMC 0,5%...25

3.9.2. Penyiapan ekstrak dalam bentuk suspensi...25

3.9.3. Penyiapan pemerangkapan ekstrak dalam matriks nata de coco...25

3.9.4. Penyiapan karagenan 1%...26

3.10. Penyiapan Hewan Percobaan...26

3.11. Prosedur Penggunaan Alat Pletismometer...26

3.11.1. Pembuatan larutan untuk reservoir...26

3.11.2. Penyiapan alat...26

3.11.3.Kalibrasi alat...27

3.12. Prosedur Pengujian Efek Antiinflamasi...27

3.13.Perhitungan persen radang dan persen inhibisi radang...28

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN...29

4.1 Ekstraksi dan Fraksinasi...29

4.2 Hasil pemeriksaan karakterisasi ekstrak etanol daun dandang gendis...29

4.3 Hasil Pengeringan Nata de coco...31

4.4 Hasil Uji Antiinflamasi dari Ekstrak dalam Bentuk Suspensi...31

4.5 Hasil Uji Antiinflamasi Ekstrak yang Diperangkapkan dalam Matriks Nata de Coco...35


(11)

4.6 Perbandingan Efek Antiinflamasi Bahan (Bentuk Suspensi

dengan yang Diperangkapkan dalam Matriks Nata de Coco)...39

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...42

5.1 Kesimpulan...42

5.2 Saran...42

DAFTAR PUSTAKA...42 LAMPIRAN


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak Etanol

daun dandang gendis...30 Tabel 2. Data persentase radang rata-rata tiap waktu pengamatan bahan uji

bentuk suspensi... 32 Tabel 3. Data presentasi penghambatan radang rata-rata tiap waktu

pengamatan bahan uji bentuk suspensi... 34 Tabel 4. Data persentase radang rata-rata tiap waktu pengamatan bahan uji

dalam matriks nata de coco... 35 Tabel 5. Data persentase penghambatan radang rata-rata tiap waktu


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Grafik persentase radang rata-rata tiap waktu pengamatan bahan

uji bentuk suspensi... 33 Gambar 2. Grafik persentase penghambatan radang rata-rata tiap waktu

pengamatan bahan uji bentuk suspensi... 35 Gambar 3. Grafik persentase radang rata-rata tiap waktu pengamatan bahan

uji dalam matriks nata de coco... 36 Gambar 4. Grafik persentase penghambatan radang rata-rata tiap waktu

pengamatan bahan uji dalam matriks nata de coco... 39 Gambar 5. Grafik persentase radang rata-rata tiap waktu pengamatan bahan


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Hasil determinasi tumbuhan ... 43 Lampiran 2. Gambar tumbuhan dandang gendis (Clinacanthus nutans

(Burm.f.) Lindau)... 44 Lampiran 3. Flowsheet pembuatan fraksi etilasetat daun dandang gendis... 45 Lampiran 4. Contoh perhitungan karakterisasi ekstrak etanol daun

dandang gendis...46 Lampiran 5. Flowsheet pembuatan nata de coco...48 Lampiran 6. Gambar nata de coco basah, kering dan diperangkapkan

dalam ekstrak...49 Lampiran 7. Gambar telapak kaki tikus ... 50 Lampiran 8. Gambar alat pletismometer (Ugo Basile Cat No. 7140)...51 Lampiran 9. Pengujian antiinflamasi dengan alat Pletismometer (bahan uji

dalam bentuk suspensi)... 52 Lampiran 10. Pengujian antiinflamasi dengan alat Pletismometer (bahan uji

yang telah diperangkapkan dalam matriks nata

de coco)...52 Lampiran 11. Contoh perhitungan dosis bahan uji yang diberikan dalam

bentuk suspensi dan konversi dosis dengan berat matriks... 53 Lampiran 12. Contoh perhitungan persen radang dan persen inhibisi radang... 54 Lampiran 13. Data pengukuran persen radang dan persen inhibisi radang

pada t (menit) setelah pemberian bahan uji dalam bentuk

suspensi dan penyuntikan karagenan... 56 Lampiran 14. Data pengukuran persen radang dan persen inhibisi radang

pada t (menit) setelah pemberian bahan uji yang

diperangkapkan dalam matriks nata de coco dan penyuntikan karagenan... 63 Lampiran 15. Hasil ANAVA secara SPSS (bahan uji dalam bentuk


(15)

Lampiran 16. Hasil ANAVA secara SPSS (bahan uji yang diperangkapkan dalam matriks nata de coco)... 73 Lampiran 17. Hasil uji Duncan (bahan uji dalam bentuk suspensi)...75 Lampiran 18. Hasil uji Duncan (bahan uji yang diperangkapkan dalam


(16)

ABSTRAK

Telah dilakukan karakterisasi ekstrak etanol dan perbandingan uji efek antiinflamasi dari fraksi etilasetat daun dandang gendis (Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau), bentuk suspensi dan yang diperangkapkan dalam matriks nata de coco secara oral terhadap radang buatan pada telapak kaki tikus yang diinduksi dengan karagenan 1%.

Ekstraksi serbuk daun dandang gendis dilakukan dengan cara maserasi menggunakan etanol 80%, lalu difraksinasi dengan pelarut n-heksan dan etilasetat. Fraksi etilasetat yang diperoleh diuapkan dengan rotary evaporator dan dikeringkan dengan freeze dryer pada suhu -40oC. Terhadap ekstrak etanol yang diperoleh dilakukan karakterisasi dan diperangkapkan ke dalam matriks nata de coco dengan cara merendam matriks nata de coco ke dalam fraksi etilasetat selama 24 jam, kemudian dikeringkan dalam freeze dryer. Pengujian efek antiinflamasi tikus putih yang digunakan dibagi menjadi 10 kelompok, kontrol (CMC 0,5% dan nata de coco), pembanding indometasin (suspensi dan yang diperangkapkan dalam matriks nata de coco) dosis 10 mg/KgBB, fraksi etilasetat daun dandang gendis (bentuk suspensi maupun yang diperangkapkan dalam matriks nata de coco) dosis 30, 45 dan 60 mg/KgBB, sebagai penginduksi radang yaitu karagenan 1% secara intraplantar pada kaki tikus. Pengukuran volume kaki tikus diukur dengan plestimometer digital UGO Basile.

Hasil karakterisasi simplisia dan ekstrak etanol daun dandang gendis secara berturut-turut adalah untuk kadar air 7,16% dan 7,083 %, kadar sari larut dalam air 10,49% dan 10,930%, kadar sari larut dalam etanol 10,70% dan 18,579 %, kadar abu total 6,10% dan 4,582 %, kadar abu tidak larut dalam asam 0,64% dan 0,696 %. Fraksi etilasetat daun dandang gendis memiliki efek antiinflamasi baik dalam bentuk suspensi maupun diperangkapkan dalam matriks nata de coco. Perbedaan antara suspensi dengan yang diperangkapkan dalam matriks nata de coco terlihat pada pelebaran puncak persen radang dari t180 menjadi t240 berturut-turut adalah dosisi 60 mg/KgBB memberikan persentase radang tertinggi sebesar 40,53 % pada perlakuan t180 menjadi 40,78 % pada perlakuan t240, dosis 45 mg/KgBB memberikan persentase radang tertinggi sebesar 53,72 % pada perlakuan t180 menjadi 60,89 % pada perlakuan t240, dosis 30 mg/KgBB memberikan persentase radang tertinggi sebesar 60,01 % pada perlakuan t180 menjadi 68,65 % pada perlakuan t240. Dosis 60 mg/KgBB memiliki efek lebih baik dibandingkan dengan dosis 30 dan 45 mg/KgBB dan memiliki efek yang sama dengan indometasin dosis 10 mg/kg BB pada α≤ 0,05.


(17)

ABSTRACT

The characterization of ethanol extract and comparison test antiinflammatory effects of ethylacetate fraction of dandang gendis (Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau) leaves, suspension and from a matrix was trapped into nata decoco made orally on the sole of the foot inflammation induced rat carrageenan 1%.

Dandang gendis leaves powder was extracted by used 80% ethanolic, it was fractionation with n-hexane and ethylacetate. Ethylacetate fraction is obtained evaporated by rotary evaporator and dried with a freeze dryer at a temperature of -40oC. Ethanol extract obtained by the characterization and was trapped into the matrix of nata de coco by immersing the matrix nata de coco into ethylacetate fraction over 24 hours, then dried in a freeze dryer. Tests for antiinflammatory effects of white rats used were divided into 10 groups, control (CMC 0.5% and nata de coco), a comparison of indomethacin (suspension and was trapped into nata de coco matrix) dose of 10 mg/kg, ethylacetate fraction of dandang gendis leaves (suspension and was trapped into nata de coco matrix) doses of 30, 45 and 60 mg/kg, as inflammation induced is carrageenan 1% by intraplantar in the rat foot. Measurement of rat foot volume was measured with a digital plestimometer Ugo Basile.

The results of characterization of ethanol leaf extracts of crude drugs and dandang gendis successively to the water content is 7.16% and 7.083%, the concentration of water soluble extract 10.49% and 10.930%, soluble in ethanol extract concentration 10.70% and 18.579% , total ash 6.10% and 4.582%, ash insoluble in acid 0.64% and 0.696%. Ethyl acetate fraction of dandang gendis leaves have antiinflammatory effects both in the form of suspension or

diperangkapkan in the matrix of nata de coco. The difference between the

suspension with a diperangkapkan in the matrix of nata de coco looks at widening the peak percent inflammation from t180 to t240 in a row is dosisi 60 mg / KgBW give the highest percentage of 40.53%, inflammation of the treatment to 40.78% in t180 t240 treatment , the dose of 45 mg / KgBW give the highest percentage of 53.72%, inflammation in the treatment t180 into t240 60.89% in treatment, the dose of 30 mg / KgBW give the highest percentage of 60.01%, inflammation of the treatment to 68.65% in t180 t240 treatment. Dose of 60 mg / KgBW have a better effect than the doses of 30 and 45 mg / KgBW and have the same effect

with indomethacin dose of 10 mg / kg BW at α ≤ 0.05. Keywords: Dandang gendis, antiinflammatory, nata de coco


(18)

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

Sejak zaman dahulu masyarakat Indonesia mengenal dan memakai tanaman berkhasiat obat sebagai upaya penanggulangan masalah kesehatan. Pengobatan dan pendayagunaan obat tradisional merupakan program pelayanan kesehatan dasar dan sebagai alternatif dalam memenuhi kebutuhan penduduk dibidang kesehatan. Untuk meningkatkan pelayanan kesehatan yang lebih luas dan merata sekaligus memelihara dan mengembangkan warisan budaya bangsa maka perlu terus dilakukan penelitian, penggalian, pengujian dan pengembangan obat tradisional atas dasar hasil-hasil penelitian dan pengujian ilmiah (Voigt, 1994).

Senyawa kimia alam yang terkandung di dalam tumbuhan berupa senyawa metabolit sekunder yaitu triterpen/steroid, flavonoid, tanin, saponin, kumarin, alkaloid, glikosida dan lain sebagainya. Golongan triterpenoid/ steroid merupakan senyawa yang larut dalam pelarut non polar seperti n-heksan, sedangkan golongan alkaloid termasuk senyawa semi polar yang dapat larut dalam pelarut semi polar. Sedangkan senyawa flavonoid dan tanin dapat larut dalam pelarut polar seperti metanol, etanol, etilasetat atau pelarut polar lainnya (Harbourne, 1984).

Standarisasi ekstrak tidak lain adalah serangkaian parameter yang dibutuhkan sehingga ekstrak memenuhi persyaratan produk kefarmasian sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun dalam hal ini, parameter ekstrak daun dandang gendis belum tercantum dalam Parameter Standar Umum Tumbuhan


(19)

Obat. Diharapkan dengan dilakukannya karakterisasi ekstrak etanol daun dandang gendis dapat dijadikan acuan sebagai parameter mutu ekstrak.

Salah satu tumbuhan yang sedang dikembangkan akhir-akhir ini adalah tumbuhan dandang gendis (Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau) termasuk famili Acanthaceae. Tumbuhan ini berkhasiat sebagai antiinflamasi, antitoksin binatang berbisa, obat luka bakar dan eksim. (Anonim, 2005). Hasil skrining fitokimia yang telah dilakukan oleh Wirasty (2004) dan Linda (2007), daun dandang gendis mengandung senyawa golongan alkaloid, triterpenoid/steroid bebas, glikosida, tanin, saponin, flavonoid dan minyak atsiri. Di samping itu mengandung senyawa lupeol, betulin dan sitosterol (Anonim, 2005).

Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Eunike (2008), menyebutkan bahwa ekstrak etanol daun dandang gendis memiliki efek antiinflamasi yang paling baik pada dosis 50 mg/KgBB dan memberikan pelepasan diperpanjang pada ekstrak etanol yang diperangkapkan pada matriks nata de coco. Oleh Mimi (2009), menyebutkan bahwa fraksi n-heksan daun dandang gendis memiliki efek antiinflamasi paling baik pada dosis 50 mg/KgBB dan memberikan pelepasan diperpanjang pada fraksi n-heksan yang diperangkapkan pada matriks nata de coco.

Obat-obat antiinflamasi non steroid biasanya mempunyai efek samping dengan keluhan seperti saluran cerna yaitu mual, muntah, anoreksia, diare, dan nyeri abdomen (Mycek, 2001), induksi tukak lambung atau tukak peptik yang kadang-kadang disertai anemia sekunder akibat perdarahan saluran cerna serta gangguan fungsi trombosit (Anonimb, 2008).


(20)

menjadi bahan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, meningkatkan pendapatan petani atau masyarakat, mengurangi tingkat pencemaran lingkungan (Prasasto, 2009). Pada penelitian ini air kelapa dimanfaatkan untuk pembuatan nata de coco.

Nata de coco merupakan hasil proses fermentasi air kelapa menggunakan bakteri Acetobacter xylinum yang dapat digunakan sebagai penghantar obat untuk tujuan pelepasan obat terkontrol (Piluharto, 2003). Bakteri Acetobacter xylinum dapat membentuk nata jika ditumbuhkan dalam air kelapa yang sudah diperkaya dengan karbon dan nitrogen melalui proses yang terkontrol. Bahan tambahan yang diperlukan oleh bakteri antara lain karbohidrat sederhana, sumber nitrogen, dan asam asetat (Anonima, 2008).

Perkembangan teknologi di bidang Farmasi berlangsung dengan pesat terutama mempertinggi mutu obat yang menyebabkan berbagai metode terus dikembangkan untuk mendapatkan obat yang memiliki efisiensi terapi yang tinggi dan efek samping yang kecil. Untuk meningkatkan efek farmakologi maka ketersediaan obat dalam darah harus cukup, durasi obat ditingkatkan dan efek toksiknya dikurangi. Untuk ini, telah dikembangkan bentuk-bentuk sediaan yang kerjanya diperlama dengan pelepasan obat terkontrol (Gennaro, 1990).

Berdasarkan hal di atas, pada pengujian efek antiinflamasi ini digunakan fraksi etilasetat daun dandang gendis (Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau) bentuk suspensi maupun yang diperangkapkan dalam matriks nata de coco. Kandungan flavonoid dan tanin daun dandang gendis yang terdapat pada fraksi etilasetat daun dandang gendis diharapkan dapat berfungsi sebagai antiinflamasi, ini didukung oleh Simon and Kerry (2000), yang menyebutkan bahwa senyawa flavonoid, steroid dan tanin dalam bentuk bebas dan kompleks tanin-protein


(21)

berkhasiat sebagai antiinflamasi.

Pengujian efek antiinflamasi fraksi etilasetat daun dandang gendis digunakan tikus putih yang diinduksi karagenan dengan metode pletismometri dan sebagai pembanding positif digunakan indometasin.

1.2 Perumusan Masalah

Adapun perumusan masalah penelitian ini adalah:

1. Berapa hasil karakterisasi ekstrak etanol daun dandang gendis (Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau)?

2. Apakah fraksi etilasetat daun dandang gendis bentuk suspensi dan yang diperangkapkan dalam matriks nata de coco mempunyai efek antiinflamasi terhadap radang buatan pada telapak kaki tikus putih yang diinduksi dengan karagenan?

3. Apakah terdapat perbedaan efek antiinflamasi fraksi etilasetat daun dandang gendis bentuk suspensi dengan yang diperangkapkan dalam matriks nata de coco?

1.3 Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah

1. Diperoleh hasil karakterisasi ekstrak etanol daun dandang gendis (Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau).

2. Fraksi etilasetat daun dandang gendis bentuk suspensi dan yang diperangkapkan dalam matriks nata de coco mempunyai efek antiinflamasi terhadap radang buatan pada telapak kaki tikus yang diinduksi dengan karagenan.


(22)

3. Fraksi etilasetat daun dandang gendis bentuk suspensi dan yang diperangkapkan dalam matiks nata de coco memberikan efek yang berbeda jika diberikan secara oral pada tikus.

1.4Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Memperoleh karakterisasi ekstrak etanol daun dandang gendis.

2. Mengetahui adanya efek antiinflamasi dari fraksi etilasetat daun dandang gendis (Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau) dalam bentuk suspensi maupun yang diperangkapkan dalam matriks nata de coco terhadap radang buatan pada telapak kaki tikus putih yang diinduksi dengan karagenan. 3. Mengetahui perbedaan efek fraksi etilasetat daun dandang gendis dalam

bentuk suspensi dengan yang diperangkapkan dalam matriks nata de coco yang diberikan secara oral pada tikus putih.

1.5Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini diharapkan nantinya fraksi etilasetat daun dandang gendis (Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau) yang diperangkapkan dalam matriks nata de coco dapat digunakan sebagai sumber bahan obat fitofarmaka dengan pelepasan obat diperpanjang.


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Uraian Tumbuhan Dandang Gendis 2.1.1 Sistematika Tumbuhan

Sistematika tumbuhan daun dandang gendis adalah sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Solanaceae Famili : Acanthaceae Genus : Clinacanthus

Species : Clinacanthus nutans (Burm. f.) Lindau (Anonim, 2005).

2.1.2 Sinonim

Sinonim dari tumbuhan dandang gendis (Clinacanthus nutans (Burm. f.) Lindau) adalah : Clinacanthus burmani Nees., Beloperone futgina Hassk. (Anonim, 2005).

2.1.3 Nama Daerah

Nama daerah adalah ki tajam (Sunda), gendis (Jawa Tengah) (Hariana, 2007). Di luar negeri dikenal dengan istilah pha ya yor, salet, phon (Thailand), bi phaya yow (Cina) (anonim, 2005).

2.1.4 Habitat dan Morfologi

Tumbuhan dandang gendis (Clinacanthus nutans (Burm. f.) Lindau) merupakan tanaman perdu, tahunan, tinggi 2-3 meter, tumbuh dekat air, belukar


(24)

atau ditanam sebagai pagar hidup dengan ketinggian 5-400 m di atas permukaan laut. Tumbuhan ini memiliki akar tunggang berwarna putih kotor. Batang berkayu, tegak, beruas dan berwarna hijau. Daun tunggal, berhadapan, bentuk lanset, panjang 8-12 mm, lebar 4-6 mm, bertulang daun menyirip, berwarna hijau, ujung runcing, pangkal membulat, permukaan daun tidak berbulu, permukaan atas lebih tua dan lebih mengkilap. (Anonim, 2005).

2.1.5 Kandungan Kimia dan Efek Farmakologis

Daun dandang gendis (Clinacanthus nutans (Burm. f.) Lindau) mengandung senyawa alkaloid, triterpenoid / steroid, glokosida, tanin, saponin, flavonoid dan minyak atsiri (Wirasty,2004). Efek farmakologis yang dimiliki oleh dandang gendis diantaranya mengefektifkan fungsi kelenjar tubuh, meningkatkan sirkulasi diuretik, obat demam dan diare (Hariana, 2007). Daun Clinacanthus nutans secara tradisional telah lama digunakan di Thailand sebagai antiinflamasi untuk mengobati gigitan serangga, herpes, infeksi dan alergi (Anonim, 2008).

2.2 Metode ekstraksi

Ekstraksi adalah suatu kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut cair. Ada beberapa metode ekstraksi dengan mengunakan pelarut, yaitu:

1. maserasi

Maserasi adalah proses pengekstraksian simplisia menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengadukan dengan temperatur ruangan. Sedangkan remaserasi adalah pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyarian maserat pertama dan seterusnya (Ditjen POM, 2000). Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan


(25)

peralatan yang digunakan sederhana dan mudah di gunakan (Depkes RI, 1986).

2. perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru sanpai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan (Ditjen POM, 2000). Serbuk simplisia ditempatkan dalam bejana silinder, pada bagian bawahnya diberi sekat berpori. Cairan penyari dialirkan sehingga dapat melarutkan zat aktif sampai mencapai keadaan jenuh (Depkes RI, 1986).

3. refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut pada temperatur titik didihnya selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas dan relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Ditjen POM, 2000).

4. sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru, umumnya dilakukan dengan menggunakan alat soklet sehingga terjadi ekstraksi kontinu dan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Ditjen POM, 2000).

5. digesti

Digesti adalah maserasi dengan menggunakan pemanasan lemah, yaitu pada temperatur 40-500C. Cara meserasi ini hanya dapat dilakukan untuk simplisia yang zat aktifnya tahan terhadap pemanasan (Depkes RI, 1986).


(26)

6. infus

Infus adalah ekstraksi menggunakan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-980C) selama waktu tertentu (15-20 menit) (Ditjen POM, 2000). Penyarian dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh kuman dan kapang. Oleh sebab itu sari yang diperoleh, tidak boleh disimpan lebih dari 24 jam (Depkes RI, 1986).

7. dekok

Dekok serupa seperti infus tetapi dengan waktu yang lebih lama (30 menit) dan temperatur sampai titik didih air (Ditjen POM, 2000). Perbedaannya dengan infus adalah pada rebusan yang disari panas-panas (Voigt, 1994).

2.3 Nata de coco

Air kelapa merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroba karena mengandung gula, senyawa nitrogen, mineral dan vitamin. Dengan melalui suatu proses fermentasi, maka berubah menjadi Nata De Coco. Produknya mirip seperti agar – agar yang mempunyai kekerasan seperti kolang kaling dan dapat digunakan untuk keperluan makanan maupun non makanan. Dengan dikembangkannya pemanfaatan air kelapa tersebut, maka air kelapa yang tadinya merupakan limbah bagi lingkungan, dapat diubah menjadi bahan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi.

Nata de coco adalah nama yang mula-mula dikenal di Filiphina untuk menyebut produk olahan yang dibuat dari air kelapa dengan bantuan bakteri pembentuk Nata yaitu Acetobacter xylinum. Kata Nata diduga berasal dari bahasa Spanyol, yaitu Nadar yang berarti berengan. Dugaan lain, kata ini berasal dari


(27)

bahasa Latin “nature” artinya terapung. Sedangkan menurut Rony Palungkun (2001) Nata berasal dari bahasa Spanyol yang berarti krim (cream). Jadi nata de coco adalah krim yang berasal dari air kelapa (Anonim, 2008).

Nata lebih dikenal dengan nama nata de coco karena pada umumnya substrat yang digunakan adalah air kelapa. Namun demikian dapat dibuat dari berbagai macam substrat, misalnya nata de pinna untuk substrat yang berasal dari buah nanas, nata de tomato untuk yang beasal dari buah tomat, serta nata de soya yang dibuat dari limbah tahu (Astawan, 2004).

2.4 Bakteri Acetobacter xylinum

Bakteri pembentuk Nata adalah Acetobacter xylinum yang termasuk genus Acetobacter yang mempunyai ciri antara lain berbentuk batang, gram negatif, bersifat aerobik. Factor-faktor yang mempengaruhi Acetobacter xylinum mengalami pertumbuhan adalah nutrisi, sumber karbon, sumber nitrogen, serta tingkat keasaman media, temperatur, dan oksigen. Sumber karbon dapat digunakan gula dari berbagai macam jenis seperti glukosa, sukrosa, fruktosa, ataupun maltose dan untuk mengatur pH digunakn asam asetat. Sumber nitrogen biasanya berasal dari bahan organic seperti ZA, urea. Bakteri Acetobacter Xylinum dapat tumbuh pada pH 3,5 – 7,5, namun akan tumbuh optimal bila pH nya 4,3. sedangkan suhu ideal bagi pertumbuhan bakteri Acetobacter Xylinum pada suhu 28 – 310C. Bakteri ini sangat memerlukan oksigen, sehingga dalam fermentasi tidak perlu ditutup rapat namun hanya ditutup untuk mencegah kotoran masuk ke dalam media yang dapat mengakibatkan kontaminasi (Anonim, 2008).

2.5 Sediaan dengan Pelepasan Terkendali


(28)

tak diinginkan maka diusahakan memberikan sediaan lepas lambat dan terkendali yang bekerja dengan mengurangi kecepatan absorpsi dengan mengontrol pelepasan obat dari sediaan. Bentuk sediaan dengan pelepasan terkendali dibedakan atas waktu pelepasan, sedangkan jumlah awal zat aktif yang dilepaskan harus berkesinambungan dan tidak tergantung pada tempat dimana sediaan berada atau pada laju perjalanan dari lambung ke usus (Syukri, 2002).

Sediaan dengan aksi terkendali dikelompokkan atas tiga golongan yaitu 1) Sediaan dengan pelepasan atau aksi dipertahankan, merupakan bentuk

sediaan yang mula-mula melepaskan zat aktif dalam jumlah cukup untuk mendapatkan ketersediaan hayati yang dikehendaki atau menimbulkan efek farmakologi secepatnya dan dapat menjaga aktivitasnya dalam waktu yang lebih lama mulai dari obat diberikan dalam dosis tunggal.

2) Sediaan dengan aksi dipertahankan, merupakan sediaan dengan pelepasan dipertahankan yang harus diformula sedemikian rupa sehingga laju pelepasan zat aktif setelah pelepasan dosis awal sama dengan laju peneiadaan atau inaktivasi zat aktif. Sediaan ini juga memberikan ketersediaan hayati yang diinginkan dengan jumlah zat aktif yang cukup, atau mungkin berlebih (tidak berbahaya) dibandingkan dengan jumlah yang diperlukan untuk mendapatkan aksi terapetik. Selain itu laju pelepasan zat aktif akan meningkat dan waktu aksinya lebih lama dibandingkan dengan dosis tunggal.

3) Sediaan dengan aksi berulang, merupakan sediaan seperti penyediaan dosis tunggal, dan melepaskan dosis tunggal berikutnya dalam waktu tertentu setelah pemberian obat (Syukri, 2002).


(29)

2.6 Radang (Inflamasi)

Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat-zat mikrobiologik. Inflamasi adalah usaha tubuh untuk menginaktivasi atau merusak organisme yang menyarang, menghilangkan zat iritan dan mengatur derajat perbaikan jaringan. Inflamasi dicetuskan oleh pelepasan mediator kimiawi dari jaringan yang rusak dan migrasi sel (Mycek, 2001). Ketika proses inflamasi berlangsung, terjadi reaksi vaskular dimana cairan, elemen-elemen darah, sel darah putih dan mediator kimia berkumpul pada tempat cidera jaringan atau infeksi(Taufik, 2008).

Adapun tanda-tanda pokok peradangan:

1. Rubor (kemerahan) ini merupakan hal pertama saat mengalami peradangan, karena banyak darah mengalir ke dalam mikrosomal lokal pada tempat peradangan.

2. Kalor (panas) dikarenakan lebih banyak darah yang disalurkan pada tempat peradangan dari pada yang disalurkan ke daerah normal. Fenomena panas lokal ini tidak terlihat pada tempat peradangan jauh di dalam tubuh karena jaringan sudah mempunyai suhu 370 C.

3. Dolor (rasa sakit) dikarenakan pembengkakan jaringan mengakibatkan peningkatan tekanan lokal dan juga karena ada pengeluaran zat histamin dan zat kimia bioaktif lainnya.


(30)

5. Fungsio laesa (perubahan fungsi) adalah reaksi peradangan yang telah dikenal, tetapi tidak diketahui secara mendalam dengan cara apa fungsi jaringan yang meradang itu terganggu (Taufik, 2008).

2.7.1 Mekanisme terjadinya radang

Proses terjadinya inflamasi dapat dibagi dalam dua fase: 1. Perubahan vaskular

Respon vaskular pada tempat terjadinya cedera merupakan suatu yang mendasar untuk reaksi inflamasi akut. Perubahan ini meliputi perubahan aliran darah dan permeabilitas pembuluh darah. Perubahan aliran darah karena terjadi dilatasi arteri lokal sehingga terjadi pertambahan aliran darah (hypermia) yang disusul dengan perlambatan aliran darah. Akibatnya bagian tersebut menjadi merah dan panas. Sel darah putih akan berkumpul di sepanjang dinding pembuluh darah dengan cara menempel. Dinding pembuluh menjadi longgar susunannya sehingga memungkinkan sel darah putih keluar melalui dinding pembuluh. Sel darah putih bertindak sebagai sistem pertahanan untuk menghadapi serangan benda-benda asing. 2. Pembentukan cairan inflamasi

Peningkatan permeabilitas pembuluh darah disertai dengan keluarnya sel darah putih dan protein plasma ke dalam jaringan disebut eksudasi. Cairan inilah yang menjadi dasar terjadinya pembengkakan. Pembengkakan menyebabkan terjadinya tegangan dan tekanan pada sel syaraf sehingga menimbulkan rasa sakit (Mansjoer, 1999).

Cara kerja AINS untuk sebagian besar berdasarkan hambatan sintesis prostaglandin, dimana kedua jenis cyclooxygenase diblokir. AINS yang ideal


(31)

diharapkan hanya menghambat COX II (peradangan) dan tidak COX I (perlindungan mukosa lambung), juga menghambat lipooxygenase (pembentukan leukotrien). Tersedia tiga obat dengan kerja selektif, artinya lebih kuat menghambat COX II daripada COX I (Mansjoer, 1999).

2.7.2 Mediator Radang

Inflamasi dicetuskan oleh pelepasan mediator dari jaringan yang rusak dan migrasi sel. Mediator kimiawi spesifik bervariasi dengan tipe peradangan (inflamasi) diantaranya adalah histamin, bradikinin, prostaglandin dan interleukin (Mycek, 2001). Histamin merupakan mediator pertama yang dilepaskan dari sekian banyaknya mediator lain dan segera muncul dalam beberapa detik yang menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler.

Bradikinin dan kalidin bereaksi lokal menimbulkan rasa sakit, vasidilatasi, meningkatkan permeabilitas kapiler dan berperan meningkatkan potensi prostaglandin (Mansjoer, 1999).

Asam arakhidonat merupakan prekursor dari sejumlah besar mediator inflamasi. Senyawa ini merupakan komponen utama lipid seluler dan hanya terdapat dalam keadaan bebas dengan jumlah kecil yang sebagian besar berada dalam bentuk fosfolipid membran sel. Bila membran sel mengalami kerusakan oleh suatu rangsangan kimiawi, fisis atau mekanis, maka enzim fosfolipase A2 diaktivasi untuk mengubah fosfolipida tersebut menjadi asam arakhidonat (Mansjoer, 1999).

Sebagai penyebab inflamasi, prostaglandin (PG) bekerja lemah, berpotensi kuat setelah bergabung dengan mediator atau substansi lain yang dibebaskan secara lokal seperti histamin, serotinin, atau leukotrien. Prostaglandin mampu


(32)

menginduksi vasodilatasi pembuluh darah dalam beberapa menit dan terlibat pada terjadinya nyeri, inflamasi dan demam (Mansjoer, 1999).

Bagan terjadinya inflamasi dapat dilihat pada Gambar I berikut ini:

Gambar 1. Bagan mekanisme terjadinya inflamasi (Katzung, 2002).

Rangsangan

Gangguan membran sel

Fosfolipida Dihambat

kortikosteroid

Asam arakhidonat

Fosfolipase

Leukotrien

LTB4 LTC4/D4/E4

Prostaglandin Tromboksan Prostaksilin

Atraksi/ aktivasi fagosit

Perubahan permeabilitas vaskuler, kontriksi bronchial,

peningkatan sekresi

Modulasi leukosit

Inflamasi Bronkospasme, kongesti,

penyumbatan mukus Inflamasi


(33)

2.8Obat-obat antiinflamasi

2.8.1 Obat Antiinflamasi dari Golongan Steroid (Glukokortikoid)

Glukokortikoid mempunyai potensi efek antiinflamasi dan pertama kali dipublikasikan, dianggap jawaban terakhir dalam pengobatan peradangan. Sayangnya, toksisitas yang berat sehubungan dengan terapi kortikosteroid kronis mencegah pemakaiannya kecuali untuk mengontrol pembengkakan akut penyakit sendi (Katzung, 2002).

Glukokortikoid mempunyai efek mengurangi peradangan yang disebabkan karena efeknya terhadap konsentrasi, distribusi dan fungsi leukosit perifer serta penghambatan aktivitas fosfolipase A2. Setelah pemberian dosis tunggal glukokortikoid bekerja singkat dengan konsentrasi neutrofil meningkat yang menyebabkan pengurangan jumlah sel pada daerah peradangan (Katzung, 2002).

2.8.2 Obat Antiinflamasi Non-Steroida (AINS)

Obat-obat AINS terbagi dalam beberapa golongan berdasarkan struktur kimianya, perbedaan kimiawi ini menyebabkan luasnya batas-batas sifat farmakokinetiknya. Obat ini efektif untuk peradangan akibat trauma (pukulan, benturan, kecelakaan) juga setelah pembedahan, atau pada memar akibat olah raga. Obat ini dipakai pula untuk mencegah pembengkakan bila diminum sedini mungkin dalam dosis yang cukup tinggi (Tjay, 2002). Obat-obat anti-inflamasi nonsteroid (AINS) terutama bekerja dengan jalan menghambat enzim siklooksigenase tetapi tidak enzim lipoksigenase (Mycek, 2001).

Aktivitas antiinflamasi obat AINS mempunyai mekanisme kerja yang sama dengan aspirin terutama bekerja melalui penghambatan biosintesis prostaglandin. Tidak seperti aspirin, obat-obat ini adalah penghambat


(34)

siklooksigenase yang reversibel. Selektivitas terhadap COX I dan COX II, bervariasi dan tak lengkap. Misalnya aspirin, indometasin, piroksikam dan sulindak dianggap lebih efektif menghambat COX I, metabolit aktif nabumeton sedikit lebih selektif terhadap COX II. Dari obat AINS yang tersedia, indometasin dan diklofenak dapat mengurangi sintesis baik prostaglandin maupun leukotrin (Katzung, 2002).

2.9 Indometasin

Indometasin yang diperkenalkan pada tahun 1963 adalah turunan indol. Obat ini lebih toksik, tetapi dalam lingkungan tertentu obat ini lebih efektif daripada aspirin atau AINS lainnya. Obat ini merupakan peghambat sintesis prostaglandin terkuat dan diabsorpsi dengan baik setelah pemberian oral dan sebagian besar terikat dengan protein plasma (Katzung, 2002).

Walaupun potensinya sebagai obat anti-inflamasi, toksisitas indometasin membatasi pemakaiannya. Efek samping indometasin terjadi sampai 50% penderita yang diobati. Kebanyakan efek samping ini berhubungan dengan dosis. Keluhan saluran cerna seperti mual, muntah, anoreksia, diare dan nyeri abdomen. Dapat terjadi ulserasi saluran cerna bagian atas kadang-kadang dengan pendarahan (Mycek, 2001). Indometasin tidak diajurkan diberikan kepada anak, wanita hamil, penderita penyakit lambung. Penggunaannya kini dianjurkan hanya bila AINS lain kurang berhasil (Ganiswarna, 1995).


(35)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metodologi penelitian meliputi penyiapan sampel, pengumpulan sampel, dan pengolahan sampel, pembuatan ekstrak etanol dengan cara maserasi dan pembuatan fraksi etilasetat dari ekstrak etanol, karakterisasai ekstrak etanol, pembuatan nata de coco dan matriks nata de coco, pemerangkapan ekstrak oleh matriks nata de coco serta pengujian efek antiinflamasi menggunakan metode eksperimental. Hasil yang diperoleh dianalisis dengan ANAVA dan DUNCAN menggunakan program SPSS versi 16.

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat-alat yang digunakan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas laboratorium, blender (Miyako), cawan porselen, freeze dryer (Modulyo, Edward, serial No. 3985), inkubator (Gallenkamp), jangka sorong, laminar air flow, lemari pendingin (Sanyo), mortir dan stamfer, neraca analitik (Sartorius), neraca hewan (GW-1500), neraca kasar (Ohaus), oral sonde, oven listrik (Fisher Scientific), penangas air (Yenaco), pletismometer (Ugo Basile Cat. No. 7140), rotary evaporator (Heidolph vv-2000), seperangkat alat destilasi penetapan kadar air, spuit, tanur, termometer.

3.1.2 Bahan-bahan yang Digunakan

Bahan tumbuhan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun dandang gendis (Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau) dan bahan kimia berupa air kelapa, akuades, asam asetat 25%, CMC, etanol (hasil destilasi), etilasetat


(36)

(hasil destilasi), gula pasir, indometasin, karagenan, NaOH, n-heksan, stater Acetobacter xylinum, urea.

3.2 Hewan Percobaan

Hewan pecobaan yang digunakan adalah tikus putih galur Wistar dengan berat badan 150-200 g, dibagi dalam 10 kelompok dimana setiap kelompok terdiri dari 6 ekor tikus.

3.3 Pembuatan Serbuk Daun dandang gendis (Clinacanthus nutans (Burm.f.)Lindau)

Penyiapan serbuk daun dandang gendis (Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau) meliputi pengumpulan sampel dan pengolahan sampel.

3.3.1 Pengumpulan sampel

Sampel yang digunakan adalah daun dandang gendis (Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau) yang sudah tua dan masih segar, diambil dari kebun tanaman obat Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara. Pengumpulan sampel dilakukan secara purposif yaitu tanpa membandingkan dengan tumbuhan yang sama dari daerah lain.

3.3.2 Pengolahan sampel

Daun dandang gendis (Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau) dicuci bersih dengan air mengalir, ditiriskan, kemudian dikeringkan di udara terbuka dan terlindung dari cahaya matahari. Setelah kering daun diserbuk dan disimpan di dalam wadah kering terlindung dari cahaya matahari.

3.4 Karakterisasi Simplisia

Karakterisasi simplisia meliputi penetapan kadar air, penetapan kadar sari larut dalam air, penetapan kadar sari larut dalam etanol, penetapan kadar abu total dan penetapan kadar abu tidak larut dalam asam.(Ditjen POM, 1989).


(37)

3.4.1 Penetapan Kadar Air

Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Azeotropi (destilasi toluen). Alat tediri dari labu alas bulat 500 ml, alat penampung, pendingin, tabung penyambung dan tabung penerima 5 ml.

Cara kerja :

Sebanyak 200 ml toluen dan 2 ml air suling dimasukkan kedalam labu alas bulat. Kemudian didestilasi selama 2 jam, setelah itu didinginkan selam 30 menit dan dibaca volume air dengan ketelitian 0,05 ml (volume l). Ke dalam labu alas bulat tersebut dimasukkan 5 g serbuk simplisia yang telah ditimbang dengan seksama, lalu dipanaskan selama 15 menit. Setelah toluen mulai mendidih, destilasi dengan kecepatan 2 tetes tiap detik hingga sebagian besar air terdestilasi, kemudian kecepatan destilasi ditingkatkan hingga 4 tetes tiap detik. Setelah semua air terdestilasi, bilas bagian dalam pendingin dengan toluen yang telah dijenuhkan. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian labu penerima dibiarkan mendingin pada suhu kamar dan dibersihkan tetesan air yang mungkin masih terdapat pada dinding tabung penerima. Setelah air dan toluene memisah sempurna, baca volume air (volume II). Kadar air dihitung dalam persen (WHO, 1992). Perhitungan kadar air dapat dilihat pada lampiran 4, halaman 34.

3.4.2 Penetapan Kadar Sari Larut Dalam Air

Sebanyak 5 g serbuk simplisia, dimaserasi selama 24 jam dengan 100 ml air kloroform (2,5 ml kloroform dalam air suling sampai 1 liter) menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selam 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selam 18 jam. Disaring, diuapkan 20 ml filtrat hingga kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara, dipanaskan sisa pada suhu 1050 C


(38)

hingga bobot tetap. Hitung kadar dalam persen sari yang arut dalam air (Ditjen POM, 1989). Perhitungan kadar sari larut dalam air dapat dilihat pada lampiran 4, halaman 34.

3.4.3 Penetapan Kadar Sari Larut Dalam Etanol

Sebanyak 5 g serbuk simplisia, dimaserasi selama 24 jam degan 100 ml etanol (95 %), menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan dibiarkan selama 18 jam. Disaring dengan menghindarkan penguapan etanol, diuapkan 20 ml filtrat hingga kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara, dipanaskan pada suhu 1050 C hingga bobot tetap. Hitung kadar dalam persen sari yang larut dalam etanol 95 % (Ditjen POM, 1989). Perhitungan kadar sari larut dalam air dapat dilihat pada lampiran 4, halaman 34.

3.4.4 Penetapan Kadar Abu Total

Sebanyak 2 g serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama dimasukkan dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, pemijaran dilkukan pada suhu 5000c selama 2 jam kemudian didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap (Ditjen POM, 1989). Perhitungan kadar abu total dapat dilihat pada lampiran 4, halaman 35.

3.4.5 Penetapan Kadar Abu yang Tidak Larut dalam Asam

Abu yang diperoleh dalam penetapan kadar abu dididihkan dalam 25 ml asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring cuci dengan air panas, dipijarkan sampai bobot tetap, kemudian didinginkan dan ditimbang. Hitung kadar abu yang


(39)

tidak larut dalam asam (Ditjen POM, 1989). Perhitungan kadar abu yang tidak larut dalam asam dapat dilihat pada lampiran 4, halaman 3.

3.5 Pembuatan Ekstrak

Pembuatan ekstrak etanol dilakukan dengan cara maserasi dengan pelarut etanol 80%. Selanjutnya difraksinasi dengan etilasetat yang sebelumnya telah diekstraksi dengan n-heksan.

3.5.1 Pembuatan ekstrak etanol

Sebanyak 500 g serbuk simplisia dimasukkan ke dalam wadah gelas berwarna gelap dan ditambahkan pelarut etanol 80% sampai serbuk terendam sempurna. Ditutup dan dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya matahari sambil sering diaduk, kemudian diperas dan disaring. Ampas ditambahkan cairan penyari sampai terendam, ditutup dan disimpan di tempat yang terlindung dari cahaya matahari. Dibiarkan selama 2 hari sambil sering diaduk, kemudian diperas dan disaring. Dilakukan perlakuan yang sama sampai pelarut tidak berwarna. Seluruh filtrat digabungkan dan diuapkan menggunakan rotary evaporator pada temperatur ± 40 oC sampai diperoleh ekstrak kental, kemudian difreeze dryer pada suhu -40oC selama ± 24 jam.

3.5.2 Pembuatan fraksi etilasetat dari ekstrak etanol daun dandang gendis (Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau.

Ekstrak etanol kering daun dandang gendis ditambah air (akuades) sedikit demi sedikit sambil diaduk, kemudian ditambahkan pelarut n-heksan, dikocok perlahalahan, dipisahkan. Pekerjaan ini diulangi beberapa kali hingga fraksi n-heksan jernih. Sisanya disari dengan pelarut etilasetat yang dilakukan dengan cara sama. Fraksi etilasetat yang diperoleh digabungkan dan diuapkan


(40)

menggunakan alat rotary evaporator pada temperatur ± 40oC sampai diperoleh fraksi kental, kemudian di freeze dryer pada suhu -40oC selama ± 24 jam.

3.6 Karakterisasi Ekstrak Etanol

Karakterisasi ekstrak etanol meliputi penetapan kadar air, penetapan kadar sari larut dalam air, penetapan kadar sari larut dalam etanol, penetapan kadar abu total dan penetapan kadar abu tidak larut dalam asam

3.6.1 Penetapan Kadar Air

Prosedur kerja sesuai dengan penetapan kadar air pada simplisia (lihat 3.4.1). Perhitungan kadar air dapat dilihat pada lampiran, halaman .

3.6.2 Penetapan Kadar Sari Larut dalam Air

Prosedur kerja sesuai dengan penetapan kadar sari larut dalam air pada simplisia (lihat 3.4.2). Perhitungan kadar sari larut dalam air dapat dilihat pada lampiran, halaman.

3.6.3 Penetapan Kadar Sari Larut dalam Etanol

Prosedur kerja sesuai dengan penetapan kadar sari larut dalam etanol pada simplisia (lihat 3.4.3). Perhitungan kadar sari larut dalam etanol dapat dilihat pada lampiran, halaman.

3.6.4 Penetapan Kadar Abu Total

Prosedur kerja sesuai dengan penetapan kadar abu total pada simplisia (lihat 3.4.4). Perhitungan kadar abu total dapat dilihat pada lampiran 6, halaman 55.


(41)

3.6.5 Penetapan Kadar Abu yang Tidak Larut dalam Asam

Prosedur kerja sesuai dengan penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam pada simplisia (lihat 2.4.5). Perhitungan kadar yang tidak larut asam dapat dilihat pada lampiran 6, halaman 56.

3.7 Pembuatan Nata De Coco 3.7.1 Pembuatan Bibit atau Stater

Sebanyak 1000 ml air kelapa dibiarkan hingga kotorannya mengendap dan disaring menggunakan kain kasa. Air kelapa direbus hingga mendidih, selama perebusan, air kelapa diaduk. Setelah mendidih selama ± 15 menit, ditambahkan urea sebanyak 5 g, gula pasir sebanyak 100 g, dan asam cuka 25% hingga larutan mencapai pH 4. Diaduk hingga larutan tercampur merata, dalam keadaan masih panas, dituang larutan tersebut ke dalam wadah yang steril. Setelah dingin, ditambahkan biakan murni sebanyak 200 ml. Ditutup wadah dengan aluminium foil yang steril. Disimpan di ruang inkubasi dan dibiarkan selama 2 minggu. Setelah 2 minggu, di permukaan media akan terbentuk lapisan berwarna putih. Berarti, starter sudah jadi dan siap digunakan (Warisno, 2004).

3.7.2 Pembuatan nata de coco

Sebanyak 1000 ml air kelapa dibiarkan hingga kotorannya mengendap dan disaring menggunakan kain kasa. Air kelapa direbus di atas api yang besar hingga mendidih (selama perebusan, air kelapa diaduk), setelah mendidih selama ± 15 menit, ditambahkan urea sebanyak 5 g, gula pasir sebanyak 100 g, dan asam cuka 25% hingga larutan mencapai pH 4. Diaduk hingga larutan tercampur merata dan dalam keadaan masih panas, larutan tersebut dituang ke dalam wadah yang steril. Setelah dingin, ditambahkan biakan murni sebanyak 100 ml. Kemudian ditutup


(42)

dengan aluminium foil yang steril. Disimpan di ruang inkubasi selama 2 minggu (Warisno, 2004).

3.8 Pembuatan Matriks Nata de coco

Nata de coco dicuci dengan NaOH 0,1 N kemudian dibilas dengan akuades hingga bersih dan ditiriskan. Masing-masing nata dipotong dadu dengan ukuran 1 cm x 1 cm. Dikeringkan dengan freeze dryer selama ± 24 jam.

3.9Pembuatan Bahan Uji, Obat Pembanding dan Kontrol 3.9.1 Pembuatan suspensi CMC 0,5%

Sebanyak 0,5 g ditaburkan ke dalam lumpang berisi akuades panas sebanyak 20 ml, dibiarkan selama 30 menit hingga diperoleh massa yang transparan (Anief, 1995), digerus lalu diencerkan dengan akuades hingga 100 ml (Gohel, 2009).

3.9.2 Pembuatan ekstrak dalam bentuk suspensi

Fraksi etilasetat daun dandang gendis dibuat dengan konsentrasi 30 mg/ml dalam bentuk suspensi menggunakan CMC 0,5% dengan dosis pemberian 30, 45 dan 60 mg/Kg BB. Obat pembanding indometasin dibuat dalam bentuk suspensi CMC 0,5% dengan dosis pemberian 10 mg/Kg BB.

3.9.3 Pemerangkapan ekstrak dan indometasin dalam matriks nata de coco

Matriks nata de coco ditimbang, kemudian direndam dalam ekstrak yang telah dilarutkan dalam etilasetat selama 24 jam untuk hasil perendaman yang optimal. Nata dicuci, ditiriskan dan dikeringkan dengan bantuan freeze dryer pada temperatur -40oC selama ± 24 jam. Kemudian dilakukan prosedur yang sama untuk pemerangkapan indometasin sebagai pembanding.


(43)

3.9.4 Pembuatan Karagenan

Sebanyak 50 mg karagenan ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu tentukur 5 ml, dicukupkan dengan larutan fisiologis NaCl 0.9% kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam (Gupta, 2006).

3.10 Penyiapan Hewan Percobaan

Dua minggu sebelum pengujian dilakukan hewan percobaan harus dipelihara dan dirawat dengan sebaik-baiknya pada kandang yang mempunyai ventilasi baik dan selalu dijaga kebersihannya. Hewan yang sehat ditandai dengan pertumbuhan normal dan suhu badan normal (Ditjen POM, 1979).

3.11 Prosedur Penggunaan Alat Plestimometer (Ugo Basile Cat No. 7140) 3.11.1 Pembuatan larutan untuk reservoir

Dua sampai 3 ml campuran senyawa pembasah (ornano imbibente BBC. 97) yang telah tersedia dalam kemasan standar dimasukkan dalam labu tentukur 1 liter, ditambahkan 0,4-0,5 g NaCl, dicukupkan dengan akuades hingga 1 liter.

3.11.2 Penyiapan alat

Larutan yang telah disiapkan sebelumnya dimasukkan ke dalam reservoir yang telah dirangkai pada alat kemudian diisi sel dengan memutar kepala katup kira-kira 45 oC ke sebelah kiri atau kanan sesuai dengan posisi reservoir itu dihubungkan, dialirkan beberapa kali dengan memutar kepala katup untuk menghindari gelembung udara. Batas larutan diatur sampai mendekati garis merah bagian atas sel. Alat dihidupkan maka tampilan grafik akan menyala dan menunjukkan logo Basile. Alat dihangatkan ± 2-3 menit.


(44)

3.11.3 Kalibrasi alat

Pada menu utama ditekan F1 maka akan ditampilkan angka 0 secara otomatis kemudian ditekan kembali F1 yang akan menunjukan angka 0,5 ml, ditekan kembali tombol F1 yang akan menunjukkan angka 1,0; 2,0; 4,0; 8,0 ml. setelah itu dipilih probe kalibrasi (1 ml) dan tekan F2 untuk konfirmasinya. Probe volum dimasukkan ke dalam sel, ditunggu hingga beberapa detik hingga nilai yang ditunjukkan stabil. Alat siap digunakan untuk pengukuran kaki tikus.

3.12 Prosedur Pengujian Efek Antiinflamasi

Sebelum pengujian, tikus dipuasakan selama 18 jam dengan tetap diberi air minum. Tikus dikelompokkan menjadi 10 kelompok dimana dalam masing-masing kelompok terdiri dari 6 ekor tikus, yaitu kontrol (CMC 0,5%, matriks nata de coco), pembanding indometasin (dalam bentuk suspensi dan yang diperangkapkan pada matriks nata de coco dosis 10 mg/KgBB), dan bahan uji fraksi etilasetat (dalam bentuk suspensi dan yang diperangkapkan pada matriks nata de coco dosis 30, 45, 60 mg/KgBB).

Caranya:

• Ditimbang berat masing-masing tikus dan pada sendi kaki kiri diberi tanda sebagai batas pengukuran.

• Volume kaki kiri tikus diukur dengan cara mencelupkannya ke dalam sel pletismometer yang berisi larutan reservoir.

• Pedal ditahan dan dicatat angka pada monitor sebagai volume awal (Vo).

• Diberikan suspensi bahan uji secara oral ataupun nata yang mengandung bahan uji pada setiap tikus sesuai dengan kelompoknya.


(45)

• Masing-masing telapak kaki kiri tikus disuntik secara intraplantar dengan larutan karagenan 1% setelah 1 jam.

• Diukur volume kaki tikus setiap ½ jam selama 6 jam. Setiap kali pengukuran larutan sel tetap diadkan sampai garis tanda atau garis merah bagian atas sel dan pada menu utama ditekan tombol 0 (zero) serta kaki tikus dikeringkan sebelumnya. Perubahan volume cairan yang terjadi di catat sebagai volume telapak kaki tikus (Vt).

Volume radang adalah selisih volume telapak kaki tikus setelah dan sebelum disuntik karagenan. Pada waktu pengukuran, volume cairan harus sama setiap kali pengukuran, tanda batas kaki tikus harus jelas, kaki tikus harus tercelup sampai batas yang dibuat.

3.13 Perhitungan Persen Radang dan Persen Inhibisi Radang

Dimana : Vt = Volume radang setelah waktu t Vo = Volume awal kaki tikus

Dimana : a = Persen radang rata-rata kelompok kontrol

b = Persen radang rata-rata kelompok bahan uji dan pembanding

Persen Radang x100%

V V V

o o t − =

Persen Penghambatan Radang x100%

a b a− =


(46)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi tumbuhan dilakukan oleh Junius (2007) di pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) adalah tumbuhan dandang gendis (Clinacanthus nutans (Burm.f.) Lindau) suku Achantaceae yang dapat dilihat pada lampiran 1 (halaman 31). Gambar tumbuhan dapat dilihat pada lampiran 2 halaman 32.

4.1 Ekstraksi dan Fraksinasi

Ekstraksi dilakukan dengan cara maserasi menggunakan pelarut etanol 80%, dimana diharapkan senyawa kimia yang terkandung didalamnya dapat tersari sempurna. Hasil dari 1000 g serbuk diperoleh ekstrak etanol 118,5 g, selanjutnya difraksinasi dengan n-heksan hasilnya diperoleh fraksi n-heksan 41 g, sisanya difraksinasi dengan pelarut etilasetat, diperoleh hasilnya 20,86 g.

4.2 Hasil karakterisasi simplisia dan ekstrak etanol daun dandang gendis

Dilakukan karakterisasi terhadap simplisia dan ekstrak etanol daun dandang gendis, hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah simplisia dan ekstrak memenuhi syarat sehingga dapat dipakai sebagai bahan obat. Simplisia yang akan digunakan untuk obat sebagai bahan baku harus memenuhi persyaratan yang tercantum dalam monografi yang telah ditetapkan oleh Departemen Kesehatan (Materia Medika Indonesia). Namun dalam hal ini untuk tumbuhan dandang gendis (Clinacanthus nutans (Burm.f) Lindau) belum ada ditetapkan sebelumnya. Hasil karakterisasi simplisia dan ekstrak etanol daun dandang gendis dapat dilihat


(47)

pada Tabel 1, contoh perhitungan karakterisasi dapat dilihat pada lampiran 4 halaman 34.

Tabel 1. Hasil Karakterisasi Simplisia dan Ekstrak Etanol daun dandang gendis

No. Parameter Hasil

Simplisia Ekstrak

1 Penetapan kadar air 7,16% 7,083 %

2 Penetapan kadar sari yang larut dalam air 10,49% 10,930 % 3 Penetapan kadar sari yang larut etanol 10,70% 18,579 %

4 Penetapan kadar abu total 6,10% 4,582 %

5 Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam 0,62% 0,696 %

Penetapan kadar air bertujuan untuk memberikan batasan minimal atau rentang besarnya kandungan air di dalam bahan (Depkes, 2000), bila kadar air terlalu tinggi dikhawatirkan menyebabkan pertumbuhan bakteri, sehingga bahan mudah mengalami kerusakan.

Penetapan kadar sari bertujuan untuk memberikan gambaran jumlah kandungan senyawa awal (Depkes, 2000). Kadar sari yang larut dalam etanol lebih tinggi dibandingkan dengan kadar sari larut air. Berdasarkan sifat etanol yang mampu melarurkan senyawa-senyawa yang bersifat polar, non polar dan semi polar, maka kandungan sari yang larut dalam etanol lebih tinggi dibandingkan dengan air yang hanya dapat melarutkan senyawa polar.

Penetapan kadar abu bertujuan untuk memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai terbentuknya ekstrak (Depkes, 2000). Kadar abu yang terlalu tinggi menunjukkan banyaknya senyawa-senyawa anorganik seperti logam-logam Pb, Mg, Ca dan Fe yang dapat membahayakan kesehatan.


(48)

4.3 Hasil Pengeringan Nata de coco

Pembuatan nata de coco menggunakan bakteri Acetobacter xylinum dari 1000 ml air kelapa menghasilkan nata de coco basah dengan berat rata-rata 600 gram dengan ketebalan 13 mm.

Hasil pengeringan nata de coco basah yang telah dipotong bentuk dadu dengan berat rata-rata 1,3 g diperoleh 14 mg nata de coco kering. Suspensi fraksi etilasetat daun dandang gendis dijerapkan ke dalam nata de coco kering, didiamkan selama 24 jam, kemudian dikeringkan di freeze dryer, diperoleh 154 mg nata de coco kering.

4.4 Hasil Uji Antiinflamasi dari Fraksi Etilasetat (FEA) dalam Bentuk Suspensi

Uji efek antiinflamasi dilakukan dengan menggunakan alat Pletismometer (Ugo Basile Cat No. 7140), dengan pengukuran berdasarkan hukum Archimedes yaitu bila suatu benda yang dimasukkan ke dalam zat cair akan memberikan gaya atau tekanan ke atas sebesar volume yang didesak atau dipindahkan. Pemilihan metode ini karena pelaksanaannya sederhana, cepat, dapat diamati dengan jelas dan radang yang terjadi dapat diukur secara kuantitatif juga dapat dihitung secara statistik.

Induksi radang dilakukan secara kimia menggunakan larutan karagenan 1% sebanyak 0,1 ml yang disuntikkan pada telapak kaki tikus secara intraplantar. Pembentukan radang oleh karagenan menghasilkan radang yang akut dan tidak menyebabkan kerusakan jaringan, meskipun radang dapat bertahan selama 6 jam dan berangsur berkurang setelah 24 jam. Responnya terhadap obat antiinflamasi lebih peka dibandingkan iritan lainnya (Juheini, 1990). Aktivitas antiinflamasi


(49)

obat ditunjukkan oleh kemampuannya mengurangi udema yang diinduksi pada telapak kaki tikus tersebut.

Persentase radang rata-rata merupakan selisih volume telapak kaki tikus setelah waktu tertentu dikurangi volume telapak kaki tikus awal dan dinyatakan dalam bentuk persen. Hasil pengukuran persentase radang yang terjadi dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 1. Contoh perhitungan persen radang dan persen inhibisi radang dapat dilihat pada lampiran 12, halaman 42.

Tabel 2. Persentase radang rata-rata tiap waktu pengamatan fraksi etilasetat daun

dandang gendis bentuk suspensi Waktu

(menit)

Perlakuan

K ± SD I ± SD FEA30 ± SD FEA45 ± SD FEA60 ± SD 30 20.37 ± 8.314 10.81 ± 1.018 19.56 ± 5.046 17.43 ±6.333 11.38 ± 2.110 60 30.40 ± 10.681 19.55 ± 4.610 23.17 ± 1.963 26.50 ± 7.706 16.83 ± 7.404 90 42.88 ± 14.371 25.53 ± 6.746 38.13 ± 7.472 34.36 ± 7.819 26.96 ± 10.325 120 54.96 ± 6.209 29.84 ±5.605 40.54 ± 3.118 39.65 ± 0.342 31.40 ± 8.194 150 66.94 ± 8.941 35.04 ± 4.345 48.97 ± 5.971 42.50 ± 1.187 33.52 ±8.149 180 70.76 ± 1.927 40,69 ± 9.730 60.01 ± 7.216 53.72 ± 0.296 40.53 ±6.634 210 74.07 ± 2.597 32.07 ± 7.943 59.38 ± 1.344 39.65 ± 0.654 36.23 ± 9.381 240 79.19 ± 2.965 22.75 ± 4.482 38.62 ± 14.098 27.63 ±0.987 26.66 ± 9.892 270 74.89 ± 3.341 15.73 ± 3.345 31.17 ± 6.260 24.19 ± 5.128 21.17 ± 0.739 300 70.05 ± 3.097 11.07 ± 1.432 28.77 ± 5.858 22.63 ±5.708 17.6 ± 2.950 330 64.82 ± 6.532 6.98 ± 2.913 25.75 ± 5.820 19.58 ±6.203 16.96 ± 5.229 360 56.30 ± 5.298 6.73 ± 2.327 21.60 ± 4.156 19.28 ± 6.052 16.00 ± 5.279 Keterangan : K = Kontrol, I = Indometasin, FEA= Fraksi Etilasetat, FEA30 =

FEA dosis 30 mg/KgBB, FEA45 = FEA dosis 45 mg/KgBB,

FEA60 = FEA dosis 60 mg/KgBB

Tabel 2 memperlihatkan bahwa persentase radang rata-rata tertinggi pada kelompok kontrol adalah 79,19 % pada perlakuan 240 menit (t240) dan menjadi 56,30 % setelah perlakuan t360. Persen radang rata-rata tertinggi suspensi indometasin adalah 40,69 % pada perlakuan t180 dan menjadi 6,73 % setelah perlakuan t360. FEA dosis 30 mg/Kg BB adalah 60,01 % pada perlakuan t180 dan menjadi 21,60 % setelah perlakuan t360. FEA dosis 45 mg/Kg BB adalah 53,72 % pada perlakuan t180 dan menjadi 19,28 % setelah perlakuan t360. FEA dosis 60


(50)

mg/Kg BB adalah 40,53 % pada perlakuan t180 dan menjadi 16,00 % setelah perlakuan t360. Ini menunjukkan bahwa suspensi FEA dosis 30 mg/KgBB, 45 mg/KgBB dan 60 mg/KgBB memberikan efek penurunan radang pada telapak kaki tikus, namun efek yang diberikan lebih kecil dari suspensi indometasin. Jika dilihat perbandingan ketiga dosis, maka FEA dengan dosis 60 mg/KgBB memiliki efek antiinflamasi yang lebih besar bila dibandingkan dengan FEA dosis 30 mg/KgBB dan 45 mg/Kg BB.

Gambar1. Grafik persentase radang rata-rata tiap waktu pengamatan bahan uji

bentuk suspensi

Keterangan : FEA = Fraksi etilasetat daun dandang gendis

Persentase radang kaki tikus yang lebih kecil menunjukkan bahwa suspensi indometasin dan suspensi FEA mampu menekan peradangan pada tikus yang disebabkan karagenan. Hal ini menunjukkan bahwa fraksi etilasetat daun dandang gendis memiliki efek antiinflamasi. Sesuai dengan hasil skrining fitokimia yang menyatakan tumbuhan ini mengandung senyawa flavonoid, dan tanin.

Ada tidaknya perbedaan dari setiap perlakuan pada tiap kelompok hewan

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360

Waktu (menit)

%

R

a

d

a

n

g


(51)

coba, dilakukan analisis variansi (ANAVA) terhadap persen radang. Hasil analisis variansi diperoleh harga F hitung lebih besar dari F tabel yang menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antar kelompok perlakuan pada menit ke-30 sampai menit ke-360. Ini menunjukkan semua jenis perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap radang telapak kaki tikus yang disebabkan oleh karagenan.

Selanjutnya untuk mengetahui kelompok perlakuan mana yang memiliki pengaruh sama atau berbeda antara satu dengan lainnya dilakukan uji Duncan (lampiran 17, halaman 62). Uji ini dilakukan karena percobaan memerlukan penilaian terhadap seluruh pasangan rataan perlakuan.

Persentase penghambatan radang rata-rata dapat dihitung dari persentase radang rata-rata telapak kaki tikus. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 3 dan grafiknya dapat dilihat pada Gambar 2.

Table 3. Persentase penghambatan radang rata-rata tiap waktu pengamatan fraksi

etilasetat bentuk suspensi.

Waktu (menit)

Perlakuan

I FEA30 FEA45 FEA60

30 46.92 3.98 14.4 44.11

60 35.68 23.76 12.82 44.63

90 40.47 11.08 19.85 37.13

120 45.71 26.24 27.85 42.86

150 47.66 26.84 36.52 49.93

180 36.36 15.20 24.09 39.45

210 56.7 19.83 46.47 51.09

240 71.27 51.24 65.12 66.34

270 78.99 58.37 67.69 71.74

300 84.19 58.94 67.70 74.87

330 89.23 60.28 69.80 73.84

360 87.96 61.64 65.75 71.58

Keterangan : I = Indometasin, FEA= Fraksi Etilasetat, FEA30 = FEA dosis 30mg/KgBB, FEA45 = FEA dosis 45 mg/KgBB, FEA60 = FEA dosis 60 mg/KgBB


(52)

Gambar 2. Grafik presentase penghambatan Radang rata-rata tiap waktu

pengamatan bahan uji bentuk suspensi. Keterangan : FEA = Fraksi etilasetat daun dandang gendis

4.5 Hasil Uji Antiinflamasi Fraksi Etilasetat yang Diperangkapkan dalam Matriks Nata de Coco

Hasil pengukuran persentase radang dari fraksi etilasetat daun dandang gendis dan indometasin yang diperangkapkan dalam matriks nata de coco dapat dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 3.

Tabel 4. Persentase radang rata-rata tiap waktu pengamatan bahan uji yang

diperangkapkan dalam matriks nata de coco

Waktu (menit)

Perlakuan

K ± SD I ± SD FEA30 ± SD FEA45 ± SD FEA60 ± SD

30 19.32 ± 1.839 9.82 ±0.370 18.19± 3.534 15.80 ±4.466 10.00 ± 5.231 60 29.58±1.471 12.85 ± 1.355 24.81 ± 1.771 23.35± 5.247 18.91± 6.826 90 37.84 ± 0.591 16.97 ± 3.179 36.49 ± 0.717 30.92 ± 7.473 19.81 ±6.260 120 53.87 ± 0.397 18.64 ± 2.032 49.95 ± 8.302 39.31 ± 5.426 22.15 ± 4.901 150 68.80 ± 0.724 20.82 ± 1.445 53.10 ± 11.329 41.44 ± 8.892 28.52 ± 10.805 180 71.69 ± 2.172 23.09 ± 2.386 61.99 ±3.026 46.32± 3.804 33.07 ±8.985 210 76.67 ± 0.877 27.43 ± 1.439 63.29 ± 7.703 50.72± 2.568 36.95 ± 10.207 240 79.75 ± 0.624 29.66 ± 0.707 68.65 ± 5.133 60.89± 1.136 40.78 ± 5.633 270 70.63 ± 0.647 26.63 ± 4.270 58.51 ± 6.086 50.89± 6.494 35.98 ± 12.442 300 65.27 ± 0.492 20.02±2.161 39.58 ± 5.716 39.37±8.407 30.53 ± 7.816 330 59.04 ± 0.497 10.97 ± 1.632 34.98±2.693 25.58 ± 9.675 27.27±5.705 360 53.78 ± 0.450 8.91 ±1.464 28.70 ± 4.571 20.29 ± 6.368 13.12± 3.632

Keterangan : K = Kontrol, I = Indometasin, FE = Fraksi etilasetat, FE30 = FEA NDC dosis 30 mg/KgBB, FEA45 = FEA NDC dosis 45 mg/KgBB,

FEA60 = FEA NDC dosis 60 mg/KgBB

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360

Waktu (me nit)

% R a d a n g


(53)

Gambar 3. Grafik persentase radang rata-rata tiap waktu pengamatan bahan uji

yang diperangkapkan dalam matriks nata decoco

Keterangan : FEA NDC = Fraksi etilasetat yang diperangkapkan dalam matriks nata de coco

Tabel 4 memperlihatkan bahwa persentase radang rata-rata tertinggi pada kelompok kontrol (CMC + NDC) adalah 79,75 % pada perlakuan t240 dan menjadi 53,78 % setelah t360. Persen radang rata-rata tertinggi indometasin NDC adalah 29,66 % pada perlakuan t240 dan menjadi 8,91 % setelah perlakuan t360. FEA NDC dosis 30 mg/Kg BB adalah 68,65 % pada perlakuan t240 dan menjadi 28,70 % setelah perlakuan t360. FEA NDC dosis 45 mg/Kg BB adalah 60,89 % pada perlakuan t240 dan menjadi 20,29 % setelah perlakuan t360 menit. FEA NDC dosis 60 mg/Kg BB adalah 40,78 % pada perlakuan t240 menit dan menjadi 13,12 % setelah perlakuan t360. Ini menunjukkan bahwa ketiga dosis FEA NDC memberikan efek antiinflamasi. Dosis 60 mg/KgBB memberikan efek yang jauh berbeda dengan dosis 30 dan 45 mg/KgBB dalam menurunkan peradangan, namun memberikan efek antiinflamasi yang lebih baik dibandingkan dosis 30 dan 45 mg/KgBB.

Ada tidaknya perbedaan dari setiap perlakuan pada tiap kelompok hewan 0

10 20 30 40 50 60 70 80 90

30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360

Waktu (menit)

%

R

a

d

a

n

g


(54)

variansi diperoleh harga F hitung lebih besar dari F tabel (lampiran 16, halaman 60) yang menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antar kelompok perlakuan pada menit ke-30 sampai menit ke-360. Ini menunjukkan semua jenis perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap radang telapak kaki tikus yang disebabkan oleh karagenan.

Selanjutnya untuk mengetahui kelompok perlakuan mana yang memiliki pengaruh sama atau berbeda dan efek terkecil sampai dengan efek terbesar antara satu perlakuan dengan perlakuan lainnya dilakukan uji Duncan (lampiran 18, halaman 70) untuk semua perlakuan dari menit ke-30 sampai menit ke-360. Diperoleh bahwa pada menit ke-30 sampai menit ke-120 pada perlakuan FEA NDC dosis 30 dan 45 mg/KgBB menghasilkan efek yang sama dengan kontrol (CMC 0.5%).ini menunjukkan bahwa penghambatan radang belum terlihat nyata.

Antara perlakuan indometasin dan FEA NDC 60 mg/KgBB menunjukkan tidak adanya perbedaan yang bermakna secara statistik pada menit ke-30 sampai menit ke-150 dan berbeda nyata pada menit ke-180 sampai ke-330. Namun pada menit ke-360 menunjukkan tidak adanya perbedaan yang bermakna, tetapi hal ini bukanlah menunjukkan peningkatan efek dari FEA NDC tetapi sebaliknya% radang yang dihasilkan dari indometasin semakin besar yang mungkin disebabkan karena mulai berkurangnya efek dari indometasin, sehingga antara perlakuan tidak menunjukkan adanya perbadaan pada waktu tersebut.

Profil grafik diperpanjang dapat dilihat pada Gambar 3, dengan waktu tercapainya puncak yang lebih lama. Nata de coco dapat digunakan sebagai penghantar obat untuk tujuan pelepasan obat terkontrol (Piluharto, 2003).


(55)

Persentase penghambatan radang rata-rata dari ekstrak etilasetat daun dandang gendis dan indometasin yang diperangkapkan pada matriks nata de coco dapat dihitung dari persentase radang rata-rata telapak kaki tikus (lampiran 14, halaman 51). Hasil perhitungan dapat dilihat pada Tabel 5 dan grafiknya dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 memperlihat bahwa ketiga dosis dari fraksi etilasetat daun dandang gendis yang diperangkapkan dalam matriks nata decoco memberikan efek penghambatan peradangan pada kaki tikus dari perlakuan t30 sampai perlakuan t360, namun persentase penghambatan dari indometasin yang diperangkapkan dalam matriks nata de coco lebih besar dari ketiga dosis.

Tabel 5. Persentase penghambatan radang rata-rata tiap waktu pengamatan

bahan uji yang diperangkapkan dalam matriks nata de coco.

Waktu (menit)

Perlakuan

I FE30 FE45 FE60

30 49.18 5.86 18.23 48.26

60 56.56 16.13 21.07 36.07

90 55.15 3.55 18.29 47.66

120 65.4 7.29 27.03 58.59

150 67.78 22.81 39.76 58.54

180 69.74 13.53 32.67 51.94

210 63.8 17.45 33.85 51.81

240 62.81 13.92 23.65 48.87

270 62.29 17.16 27.95 49.05

300 69.33 39.36 39.68 58.22

330 81.41 40.76 56.67 70.31

360 83.44 46.63 62.28 75.6

Keterangan : I = Indometasin, FEA = Fraksi Etilaetat, FEA30 = FEA NDC dosis 30 mg/KgBB, FEA45 = FEA NDC dosis 45 mg/KgBB, FEA60 = FEA NDCdosis 60 mg/KgBB


(56)

Gambar 4. Grafik persentase penghambatan radang rata-rata tiap waktu

pengamatan bahan uji yang diperangkapkan dalam matriks nata de coco.

Keterangan : FEA NDC = Fraksi etilasetat yang diperangkapkan dalam matriks nata de coco

4.6 Perbandingan Efek Antiinflamasi Bahan (Bentuk Suspensi dengan yang Diperangkapkan dalam Matriks Nata de Coco)

Persentase radang rata-rata fraksi etilasetat dalam bentuk suspensi FEA dosis 30 mg/Kg BB mencapai persentase radang rata-rata tertinggi sebesar 60,01% pada perlakuan t180 dan menjadi 21,60% setelah perlakuan t360, sedangkan FEA NDC dosis 30 mg/Kg BB mencapai persentase radang rata-rata tertinggi sebesar 68,65% pada perlakuan t240 dan menjadi 28,70% setelah perlakuan t360. Ini menunjukkan bahwa waktu tercapainya puncak lebih lama pada FEA NDC dosis 30 mg/Kg BB yang diperangkapkan dalam matriks nata de coco bila dibandingkan dengan fraksi etilasetat dalam bentuk suspensi FEA dosis 30 mg/Kg BB.

Fraksi etilasetat dalam bentuk suspensi FEA dosis 45 mg/Kg BB mencapai persentase radang rata-rata tertinggi sebesar 53,72% pada perlakuan t180 dan

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360

Waktu (menit)

%

R

a

d

a

n

g


(57)

menjadi 19,28% setelah perlakuan t360, sedangkan FEA NDC dosis 45 mg/Kg BB bentuk matriks nata de coco mencapai persentase radang rata-rata tertinggi sebesar 60,89% pada perlakuan t240 dan menjadi 20,29% setelah perlakuan t360. Ini menunjukkan bahwa waktu tercapainya puncak lebih lama pada FEA NDC dosis 45 mg/Kg BB yang diperangkapkan dalam matriks nata de coco bila dibandingkan dengan fraksi etilasetat dalam bentuk suspensi FEA dosis 45 mg/Kg BB.

Fraksi etilasetat dalam bentuk suspensi FEA dosis 60 mg/Kg BB mencapai persentase radang rata-rata tertinggi sebesar 40,53% pada perlakuan t180 dan menjadi 16,00% setelah perlakuan t360, sedangkan FEA NDC dosis 60 mg/Kg BB mencapai persentase radang rata-rata tertinggi sebesar 40.78% pada perlakuan t240 dan menjadi 13,12% setelah perlakuan t360. Ini menunjukkan bahwa waktu tercapainya puncak lebih lama pada FEA NDC dosis 60 mg/Kg BB yang diperangkapkan dalam matriks nata de coco bila dibandingkan dengan fraksi etilasetat dalam bentuk suspensi FEA dosis 60 mg/Kg BB.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

30 60 90 120 150 180 210 240 270 300 330 360

Waktu (menit)

%

R

a

d

a

n

g

CMC 0.5% Indometasin FEA 30 mg/KgBB FEA 45 mg/KgBB

FEA 60 mg/KgBB CMC 0.5% + NDC Indometasin NDC FEA NDC 30 mg/KgBB


(58)

Gambar 5. Grafik persentase radang rata-rata tiap waktu pengamatan bahan uji

dalam bentuk suspensi dan matriks nata de coco (FEA NDC)

Keterangan : FEA = Fraksi Etilasetat daun dandang gendis, FEA NDC = Fraksi Etilasetat daun dandang gendis yang diperangkap dalam matriks nata de coco

Gambar 5 memperlihatkan bahwa terjadi pergeseran waktu tercapainya puncak pada fraksi etilasetat yang diperangkpkan dalam matriks nata de coco, dimana dalam bentuk suspensi rata-rata waktu tercapainya puncak pada menit ke-180 bergeser menjadi menit ke-240 pada fraksi etilasetat yang diperangkpkan dalam matriks nata de coco. Sediaan dengan aksi diperpanjang, merupakan sediaan yang memberikan ketersediaan hayati yang diinginkan dengan jumlah zat aktif yang cukup. Selain itu laju pelepasan zat aktif akan meningkat (yang dapat diperkirakan) dan waktu aksinya menjadi lebih lama.


(59)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

Hasil karakterisasi simplisia dan ekstrak etanol daun dandang gendis secara berturut-turut adalah untuk kadar air 7,16% dan 7,083 %, kadar sari larut dalam air 10,49% dan 10,930%, kadar sari larut dalam etanol 10,70% dan 18,579 %, kadar abu total 6,10% dan 4,582 %, kadar abu tidak larut dalam asam 0,64% dan 0,696 %.

Fraksi etilasetat daun dandang gendis memiliki efek antiinflamasi baik dalam bentuk suspensi maupun diperangkapkan dalam matriks nata de coco dengan penurunan radang pada t30-t360 dengan dosis 60 mg/Kg BB dan memiliki efek sama dengan indometasin dosis 10 mg/kg BB.

Fraksi etilaetat daun dandang gendis yang diperangkapkan dalam matriks nata de coco lebih baik dari pada bentuk suspensi dan menghasilkan kerja diperpanjang, sehingga mempunyai durasi aktivitas antiinflamasi lebih panjang.

4.2. Saran

Disarankan kepada peniliti selanjutnya untuk mengisolasi senyawa aktif yang berkhasiat sebagai antiinflamasi dan menguji pemerangkapannya dalam matriks nata de coco.


(60)

DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. (1995). Ilmu Meracik Obat. Cetakan 5. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Halaman 107.

Anonim. Online (2005). Clinacanthus nutans.

Astawan, M. Online (2007). Nangka Sehatkan Mata. http://www.cybermed.cbn.net.id

Anonima. Online (2008). Bakteri Nata de Coco. http://www.Indonesian Nata de Coco.htm

Anonimb. Online (2008). Obat Anti-Inflamasi Nonsteroid. http://www.wordpress.com

Anonimc, Online (2008), Thai Journal of Phytopharmacy Vol 13(2) Desember 2006-15(1) Juni 2008

Prasasto. Online (2009). Aspek Produksi Nata de Coco. http://www.blogspot.com

Depkes, R.I. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 14,17, 31.

Ditjen POM. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 33, 902.

Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 7.

Eunike. (2009). Penggunaan Nata Pati Singkong Sebagai Matriks Terhadap Ekstrak Etanol Daun Dandang Gendis(Clinacanthus Nutans (Burm.F.) Lindau) Pada Uji Antiinflamasi. Medan: Fakultas Farmasi. Hal. 35.

Gennaro, R. A. (1990). Remington’s Pharmaceutincal Sciences. Edisi 18. Pennsylvania : Mack Publishing Company. Hal. 1125.

Gohel, M. Online (2009). Pharmaceutical Suspensions: A Review. India http://www.pharmainfo.net.

Gupta, M. Online. (2006). Antiinflammatory Evaluation of Leaves of Plumeria Acuminate BMC Complementary and Alternative Medicine.


(1)

Lampiran 7. Gambar nata de coco basah, kering dan diperangkapkan dalam ekstrak

d. nata de coco basah


(2)

Lampiran 8. Gambar telapak kaki tikus

a. telapak kaki tikus sebelum penyuntikan larutan karagenan 1%


(3)

Lampiran 9. Gambar alat Pletismometer (Ugo Basile Cat No. 7140)

Keterangan :

1. Statif 6. Saluran air masuk 2. Reservoir 7. Saluran air keluar

3. Katoda 8. Layar

4. Sel 9. Recorder

5. Kepala katup

1

2

3 4 5 6 7 8


(4)

Lampiran 10. Pengujian antiinflamasi dengan Pletismometer (Bahan Uji dalam bentuk suspensi)

Dipuasakan selama 18 jam

Ditandai sendi kaki kiri sebagai batas pengukuran volume kaki Ditimbang berat badan tikus

Diukur volume kaki kiri sebagai volume awal (Vo) Diberikan suspensi bahan uji, pembanding dan kontrol Dibiarkan selama 1 jam

Disuntikkan secara intraplantar larutan karagenan sebanyak 0,1 ml

Diukur volume kaki tikus setiap ½ jam selama 6 jam

Lampiran 11. Pengujian antiinflamasi dengan Pletismometer (Bahan Uji yang telah diperangkapkan dalam matriks nata de coco

Dipuasakan selama 18 jam

Ditandai sendi kaki kiri sebagai batas pengukuran volume kaki Ditimbang berat badan tikus

Diukur volume kaki kiri sebagai volume awal (Vo) Diberikan bahan uji bentuk matriks

Dibiarkan selama 1 jam

Disuntikkan secara intraplantar larutan karagenan sebanyak 0,1 ml

Diukur volume kaki tikus setiap ½ jam selama 6 jam Tikus

Volume akhir (Vt) Tikus


(5)

Lampiran 12. Contoh perhitungan dosis bahan uji yang diberikan dalam bentuk suspensi dan konversi dosis dengan berat matriks 1. Perhitungan dosis bahan uji yang diberikan dalam bentuk suspensi Diketahui : Berat tikus = 180 g

Dosis pemberian = 30 mg/Kg BB

Maka : Dosis yang dibutuhkan = 30 mg/Kg x 0,180 Kg = 5,4 mg

Suspensi yang diberikan =

ml mg mg / 30 4 , 5

= 0,18 ml

2. Perhitungan konversi dosis dengan berat matriks Diketahui : Berat tikus = 180 g

Dosis pemberian = 30 mg/Kg BB

Maka : Ekstrak yang diperlukan = 30 mg/Kg x 0,180 Kg = 5,4 mg

Dari hasil orientasi diperoleh bahwa 14 mg matriks mampu memerangkapkan 140 mg ekstrak, sehingga diperoleh berat matriks (x) :

140 14 4 , 5 = x 140 14 4 , 5 x x= 54 , 0 =


(6)

1. Persen Radang

Dimana : Vt = Volume radang setelah waktu t Vo = Volume awal kaki tikus Misalnya diketahui : Vt = 0,050

Vo = 0,045

Persen radang 100%

045 , 0 045 , 0 050 , 0 x − = = 11,111% 2. Persen Inhibisi Radang

Dimana : a = Persen radang rata-rata kelompok kontrol

b = Persen radang rata-rata kelompok bahan uji dan kontrol positif Misalnya diketahui : a = 9,89

b = 9,01

Persen inhibisi radang 100% 89 , 9 01 , 9 89 , 9 x − = = 8,95% Persen radang x100%

V V V o o t − =

Persen inhibisi radang x100% a

b a