Jender, Ulama dan KH. Husein Muhammad

Gerakan Kesetaraan Jender di Indonesia 29 mujtahid, pada dasarnya sama-sama dapat dikaji ulang, dan mungkin menumbuhkan rumusan baru.

C. Jender, Ulama dan KH. Husein Muhammad

Apa yang dimiliki dalam kesadaran intelektual mereka adalah bahwa perbedaan-perbedaan jender antara laki-laki dan perempuan merupakan kodrat yang tidak bisa dirubah. Pandangan mereka tersebut mengacu pada teks-teks kitab klasik, baik mengenai tafsir maupun fiqh. Hampir semua kitab ini menyebutkan bahwa akal dan fisik laki-laki lebih cerdas dan lebih kuat dari pada akal dan fisik perempuan. Sedangkan istilah Jender sendiri di kalangan ulama merupakan kata yang masih sangat asing. Kesan pertama yang mereka tangkap adalah bahwa ia merupakan bahasa Inggris atau bahasa orang Barat. Ada upaya dari para aktivis perempuan untuk mencari padanan istilah ini dalam bahasa Arab dengan harapan akan lebih simpatik diterima para ulama, namun tetap saja tidak ditemukan. Sepanjang pengalaman Kyai Husein mensosialisasikan isu-isu Islam dan jender di hadapan para ulama, respon pertama yang diperlihatkan mereka adalah kecurigaan-kecurigaan. Kecurigaan pada upaya isteri untuk melawan suami dan sebagainya. 29 Atas dasar inilah teks-teks klasik menyimpulkan, Tuhan memposisikan laki-laki sebagai makhluk superior dan pemilik otoritas atas perempuan baik dalam wilayah rumah tangga maupun sosial-politik publik. Gagasan untuk 29 KH. Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan, Yogyakarta: LKiS, 2004, hal. 321. Untuk selanjutnya akan ditulis islam agama ramah. Gerakan Kesetaraan Jender di Indonesia 30 memperjuangkan kesetaraan jender ini pun mengalami perdebatan. Perdebatan ini, disamping muncul dalam seminar dan diskusi, juga nampak sengit dalam musyawarah nasional yang di selenggarakan oleh organisasi para ulama NU tahun November 1998, di Lombok. Pandangan yang sama juga terungkap dalam Konferensi Umat Islam Indonesia tahun 1999 ketika menolak presiden perempuan. 30 Terkait dengan perdebatan beberapa tokoh masyarakat tentang presiden perempuan, yang pernah dibahas dalam Kongres Umat Islam II Tahun 2004 di Jakarta, mendapat perhatian begitu besar dari berbagai kalangan. Munculnya wacana tersebut tidak lepas kepentingan suatu golongan yang mendompleng melalui gerakan sekularisme, karena gerakan ini dianggap berusaha memisahkan urusan agama dalam politik, sehingga penerapan politik tidak terikat dalam aturan agama. Menurut Luthfi Bashori, salah seorang pengurus MUI Malang dan Pengasuh Ribath Al-Murthadla Al-Islam. Pembahasan boleh tidaknya seorang wanita menjadi presiden tentunya harus ditinjau dai segi hukum Islam, baik secara global maupun terperinci. Dari segi ilmiah, bisa dirujuk dari pendapat ulama Ahlussunnah wal Jam’ah sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Dalam karangan kitab ulama salaf, umumnya tidak memperbolehkan wanita menjadi presiden. Adapun yang memperbolehkannya, kebanyakan ditulis oleh ulama kontemporer seperti Muhammad al-Gazhali. Dan itupun sudah banyak disanggah oleh para ulama yang berpegang pada ulama salaf. Jadi jelas gerakan ini menolak 30 KH. Husein, Islam Agama Ramah, hal. 322-323. Gerakan Kesetaraan Jender di Indonesia 31 formalisasi agama dalam hukum, sehingga gerakan ini bertentangan dengan hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya. 31 Bahkan secara tegas diungkapkan oleh kalangan fundamentalis, bahwa salah satu proyek liberalisasi Islam adalah menyebarluaskan paham kesetaraan gender di kalangan muslim dan proyek ini didanai oleh negara-negara barat. Menurut Adian Husaini, seorang tokoh KISDI Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia yang mengkritisi isu-isu kesetaraan jender, Mengatakan bahwa salah satu program politik luar negri AS di Indonesia adalah memberikan pendaaan kepada berbagai organisasi muslim dan pesantren untuk mengangkat persamaan jender dengan memperkuat pengertian tentang nilai-nilai diantara para pemimpin perempuan dan membantu demokratisasi serta kesadaran jender di pesentren melalui pemberdayaan pemimpin pesantren laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, proyek ini tidak jauh berbeda dengan kaum misionaris yang membagi- bagikan makanan kepada kaum muslim. 32 Lebih lanjut, Adian memaparkan adanya ungkapan rezim laki-laki menindas kaum wanita adalah fantasi berlebihan kaum jender yang terasuki perasaan kebencian. Jika ada sejumlah kasus, dimana laki-laki menindas wanita, itu dilakukan karena kebejatan akhlaknya. Kini atas nama paham kesetaraan jender, wanita muslimah diprovokasi bahwa wanita tidak harus menyusui, sebab itu bukan kodrati; wanita diminta menuntut hak talak, menuntut persamaan status dalam rumah tangga, dengan menolak kepemimpinan suami; wanita diajak memberontak kepada laki-laki. Atas nama jender pula, wanita menolak kewajibannya untuk mengurus rumah tangga, sebab laki-laki punya 31 Luthfi Bashori, Presiden Wanita dalam Wacana Hukum Islam, Makalah seminar dalam mengahadapi pemilu 2004, http:www.pejuangislam.com, 27 April 2009. 32 Adian Husaini, Merombak Kurikulum Demi Kesetaraan Gender, http:idrusali85.wordpress.com, 12 Desember 2008. Gerakan Kesetaraan Jender di Indonesia 32 kewajiban sama...... Pada akhirnya, paham kesetaraan jender yang kini disebarkan secara masif oleh agen-agen feminis di lingkungan Perguruan Tinggi tampak lebih merupakan bentuk cultural shock gegar budaya orang-orang kampung yang silau dengan peradaban Barat. Mereka tidak berpikir panjang akan akibatnya bagi keluarga dan masyarakat Muslim. Pada buku-buku mereka, terlihat jelas, mereka begitu rakus menelan konsep-konsep pemikir Barat tanpa sikap kritis. Lebih ironis, jika paham ini disebarkan hanya untuk menjalankan proyek-proyek Barat untuk merusak masyarakat Muslim, melalui kaum wanitanya. 33 Problem ini sebenarnya dipicu oleh ketidaksiapan kalangan feminis sekuler ketika mereka pertamakali menggagas isu jender di Indonesia. Pada tahun 80-an ketika isu jender diangkat, mereka secara pukul rata menyalahkan agama sebagai salah satu penyebab ketertindasan perempuan. Perubahan mulai terlihat ketika kalangan feminis muslim yang dipelopori oleh Wardah Hafiz mengundang nara sumber dari luar seperti Rifat Hassan tahun 90 dan Ashgar Ali Engineer 1992. 34 Berbagai upaya tersebut, khusunya di kalangan masyarakat berbasis pesantren ini bukannya tanpa hambatan. Hambatan ini tidak lain adalah mapannya stereotip-stereotip negatif tentang perempuan. Apalagi stereotip itu didukung teks- teks klasik yang bersumber dari Kitab Kuning. Walau beragam stereotip itu selama puluhan tahun telah lebih dulu mengakar dalam pemahaman masyarakat dan komunitas pesantren akibat penafsiran yang bias gender dan patriarki, namun telah mulai bisa “diadvokasi” oleh komunitas pesantren sendiri. Hal ini bisa dilihat dari mulai munculnya pesantren penggerak pemberdayaan masyarakat untuk hak-hak perempuan. Seperti, PP. Al-Hamidiyah, Depok-Jabar; PP. An- Nizhomiyyah, Pandeglang-Banten; PP. Aqidah Usymuni, Sumenep-Madura; PP. 33 Ibid. 34 KH. Husein, Islam Agama Ramah, hal. 323. Gerakan Kesetaraan Jender di Indonesia 33 Nurul Huda, Garut- Jabar; PP. Al-Ittihad, Rawabango-Cianjur-Jabar; atau PP. Nurul Islam, Jember-Jatim; dan sebagainya. Pesantren-pesantren ini telah melakukan upaya penyadaran terhadap masyarakat tentang nilai-nilai kesetaraan antara lelaki dan perempuan. 35 Upaya yang terus menerus untuk mensosialisasikan gagasan kesetaraan jender oleh para aktivis LSM perempuan Islam berbasis pesantren pada akhirnya menuai hasil yang memberikan harapan baru yang lebih optimistik. Terlihat dari semakin banyaknya ulama, terutama ulama muda dari pondok pesantren yang kemudian memahami dengan baik wacana ini pada satu sisi, dan terlibat secara aktif mengembangkan wacana-wacana tersebut pada sisi yang lain. Hal ini tidak terlepas dari peran sejumlah ulama Indonesia yang concern pada upaya pemberdayaan berbasis pesantren, seperti Nyai Hj. Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid; KH. Husein Muhammad; Badriyah Fayumi; Faqihuddin Abdul Kodir; dan lainnya. Tampak dari sini, pengorganisasian berbasis komunitas pesantren ini, juga bukan hal yang tidak mungkin untuk dilaksanakan. Keberhasilan ini dalam banyak pengalaman lebih disebabkan oleh paling tidak tiga hal: Pertama, karena penyampaian fakta-fakta dan realitas sosial yang tidak mungkin dibantah yang berkaitan dengan ketidakadilan yang ada di dalam komunitas Muslim. Kedua, karena kemampuan aktivis menganalisa secara kritis wacana-wacana agama menyangkut isu-isu jender yang terdapat dalam literatur acuan para ulama malalui pendekatan budaya mereka; klasik vs klasik. Ketiga, karena berkembangnya kesadaran baru dalam masyarakat muslim akan keharusan penegakan hak-hak asasi manusia dan demokrasi yang juga menjadi pesan utama agama. 36 35 Hafidzoh Almawaliy, Pengorganisasian Umat; Upaya Sadar Membela Hak-Hak Perempuan, Swara Rahima, No. 29 Th. IX, Desember 2009, hal. 9-10. 36 Ibid, hal. 325. Gerakan Kesetaraan Jender di Indonesia 34 Di sini Kyai Husein terlibat dalam gerakan kesetaraan jender dengan mengusung isu utama yaitu gagasan Islam dan jender beliau juga disebut sebagai pewaris semangat intelektualisme dan aktivisme ulama-ulama salaf. Beliau tampil dengan berbagai pemikirannya yang kritis dan tajam untuk mengais, mengumpulkan dan mempropagandakan kebenaran-kebenaran yang ‘termarjinalkan’ itu atau juga kebenaran-kebenaran yang sengaja ‘dimarjinalkan’ oleh kelompok-kelompok atau kepentingan-kepentingan tertentu yang sesaat dan bahkan menyesatkan. Misalnya, penolakan secara tegas yang dilakukannya terhadap pemahaman inferior dan subordinasi perempuan, ia kemudian tampil dengan mempropagandakan secara konsisten tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan; tindakan kekerasan atas nama agama oleh kelompok-kelompok tertentu dalam beragam bentuknya; dan penindasaneksploitasi manusia atas manusia yang lain. Disini Kyai Husein tampil dengan wacana humanisme Islamnya. 37 Kyai Husein sebagai laki-laki yang mengusung gagasan feminisme Islam, bisa dikategorikan sebagai feminis laki-laki atau laki-laki yang melakukan pembelaan terhadap perempuan. Kesadaran Kyai Husein akan penindasan perempuan muncul ketika beliau pada tahun 1993 diundang dalam seminar tentang perempuan dalam pandangan agama-agama. Sejak itu Kyai Husein mengetahui ada masalah besar yang dihadapi dan dialami perempuan. Dalam kurun waktu yang panjang, kaum perempuan mengalami penindasan dan 37 KH. Husein Muhammad, Spiritualitas Kemanusiaan Perspektif Islam Pesantren, Yogyakarta: Pustaka Rihlah, 2006, hal. xi. Untuk selanjutnya akan ditulis spiritualitas kemanusiaan. Gerakan Kesetaraan Jender di Indonesia 35 eksploitasi. Dari situ Kyai Husein diperkenalkan dengan gerakan feminisme, yang berusaha dan memperjuangkan martabat manusia dan kesetaraan sosial jender. Kyai Husein merasa disadarkan akan adanya peran para ahli agama agamawan, bukan saja Islam tapi dari seluruh agama, yang turut memperkuat posisi subordinasi perempuan dari laki-laki. 38 Dengan mengusung gagasan feminisme Islamnya, Kyai Husein melakukan pembelaan terhadap perempuan, menurut beliau pembelaan terhadap perempuan dapat membawa dampak sangat strategis bagi pembangunan manusia. Sebagaimana yang diungkapkannya: Banyak orang beranggapan bahwa masalah penindasan terhadap perempuan adalah masalah yang tidak besar, padahal masalah yang dialami dan dihadapi perempuan adalah masalah besar, karena perempuan adalah bagian dari manusia dan bagian dari jenis manusia, dan ketika perempuan dijadikan nomor dua maka ini sebenarnya adalah masalah besar bagi kemanusiaan. 39 Perbedaan KH. Husein Muhammad dengan feminis lain adalah dalam hal wilayah yang digarap. Wilayah perjuangan Kyai Husein adalah wilayah agama, khususnya pesantren; yaitu budaya yang melegitimasi agama sebagai bagian dari kehidupan sosialnya, hampir semua prilaku yang dilakukan merujuk pada agama. Wilayah inilah yang sangat dominan di tengah-tengah masyarakat Indonesia. 40 Untuk itu pada bab dua ini penulis menyimpulkan bahwa Perjuangan Kyai Husein dalam gerakan kesetaraan jender meskipun mendapat tantangan, namun beliau tidak mudah untuk menyerah, melalui pemikiran-pemikiran cerdasnya 38 KH. Husein, Islam Agama Ramah, hal. xxiv. 39 Ibid, hal. xxi. 40 Ibid, hal. xxvii. Gerakan Kesetaraan Jender di Indonesia 36 akhirnya tidak sedikit ulama yang sepakat dengan beliau dan ikut serta dalam memperjuangkan kesetaraan gender.

BAB III BIOGRAFI KH. HUSEIN MUHAMMAD