Peran KH. Husein Muhammad dalam gerakan kesetaraan jender di Indonesia

(1)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai

Gelar Sarjana Humaniora

Dibawah Bimbingan

Dr. Amelia Fauzia 19710325 199903 2004

JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

Oleh:

NOVIYATI WIDIYANI

102022024379

JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKATA


(3)

kepada kita semua, sehingga kita diberikan nikmat yang tidak terhingga. Atas sifat pemurah-Nya pula, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang merupakan salah satu syarat untuk memnuhi gelar kesarjanaan Strata Satu (S-1) di Universitas Negri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat dan salam tidak lupa tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw, yang telah merekonstruksi umat dari zaman kegelapan menuju era pencerahan.

Selanjutnya, perkenankanlah penulis untuk dapat mencurahkan terima kasih yang terkira kepada segenap pihak, seperti penulis paparkan di bawah ini, yang telah banyak membantu dalam upaya penyelesaian skripsi ini. Sebab penulis menyadari, tanpa bimbingan dan motivasi dari semua pihak, terasa sangatlah penulis mampu melewati rintangan ini.

Dengan penuh hormat, penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA., selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dimana penulis mencoba menggapai cita-cita dari tempat yang mulia ini. Penulis sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. H. Abd. Wahid Hasyim, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora. Juga kepada Bapak Drs. H. Ma’ruf Misbah. MA., dan Bapak Usep Abdul Matin, S.Ag., MA., MA., selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Sejarah Peradaban Islam, yang selalu memberi motivasi dan semangat, juga kepada Bapak Drs. Azhar Saleh, selaku pembimbing akademik.


(4)

penulis ditengah aktifitas yang sangat padat.

Terima kasih yang setulus hati penulis ucapkan kepada ayah dan ibu, yang tidak dapat dilukiskan dengan rangkaian kata-kata. Kasih sayang, ketabahan dan kesabaran beliau selalu menyertai penulis di setiap waktu, yang tidak henti-hentinya untuk selalu mendorong dan memberi semangat agar tegar menghadapi hidup. Juga kepada Suami dan anakku Adirga Agustiar yang selalu penulis rindukan keberadaannya di sisi penulis. Dan penulis ucapkan terimakasih juga kepada kakakku Iis Supriyatna yang selama ini banyak membantu dalam berbagai hal, dan adik-adikku yang penulis cintai dan sayangi: Muti’ah, Yus dan Yudi. Keluarga adalah pemberi semangat dan inspirator bagi penulis.

Ucapan terima kasih, juga penulis haturkan kepada KH. Husein Muhammad, selaku tokoh dalam penulisan skripsi ini, dan juga kepada Bapak Marzuki, M.Ag., Ibu Alifatud Darojati Kusumaningtyas, S. Sos, MSi., Mba Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah, M. Si., yang telah memberi pencerahan kepada penulis.

Ucapan terimakasih juga penulis haturkan kepada pengasuh Pondok pesantren al- Hikmah Bumi Jaya, Para Guru MA. Al-Hikmah, Khususnya kepada KH. Syaifudin beserta keluarga, ”Matur nuwun atas do’anya.” Tak lupa untuk kawan-kawan seperjuangan di Pondok Pesantren al- Hikmah Bumi Jaya, yang kini sedang sedang menapaki karir, “Yak opo kabare?”.


(5)

bersama mereka bersatu untuk mengharumkan nama almamater.

Tidak lupa penulis berterima kasih yang teramat dalam kepada para dosen di Fakultas Adab dan Humaniora, yang telah memberikan pencerahan pikiran kepada penulis sebagai jalan untuk menatap masa depan yang lebih baik.

Demikian secercah pengantar skripsi ini penulis sampaikan, atas kerja samanya, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Penulis berharap, gerak dan langkah kita dalam “mengais” ilmu tak pernah lekang oleh zaman. Amin….

Ciputat, Agustus 2010 Penulis


(6)

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAKSI... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Survey Pustaka ... 9

E. Metodologi Penelitian ... 11

F. Sistematika Penyusunan ... 13

BAB II GERAKAN KESETARAAN JENDER DI INDONESIA ... 15

A. Gerakan Kesetaraan Jender dalam Lintasan Sejarah ... 15

B. Islam dan Wacana Gerakan Kesetaraan Jender ... 23

C. Jender, Ulama, dan KH. Husein Muhammad ... 29

BAB III BIOGRAFI KH. HUSEIN MUHAMMAD ... 37

A. Riwayat Hidup ... 37

B. Pengalaman Organisasi ... 41

C. Karya-Karyanya ... 45 iv


(7)

A. Kiprahnya dalam Organisasi ... 51

B. Kritik Wacana Terhadap Tradisi Pesantren ... 57

C. Hermeneutika Feminisme KH. Husein Muhammad ... 68

BAB V PENUTUP ... 80

A. Kesimpulan ... 80

B. Saran-saran ... 82

DAFTAR PUSTAKA ... 84

LAMPIRAN-LAMPIRAN


(8)

vi

sehari-hari menjadi salah seorang pengasuh pesantren Darut Tauhid, Arjawinangun Cirebon ini lahir dan menjadi salah seorang aktivis hak-hak perempuan yang paling menonjol, bukan hanya di kalangan pesantren tapi juga di kalangan aktivis perempuan muslim secara keseluruhan dengan kemampuannya yang sangat baik dan khazanah literatur Islam dari Kiai yang pernah belajar di Kairo, Mesir ini selalu menarik.

KH. Husein Muhammad adalah salah satu dari ulama yang sedang ikut melakukan pembaharuan ini dengan mengusung isu wacana kesetaraan dan keadilan jender dengan paradigma feminisme Islam (fiqh/ hukum Islam), karena menurut beliau, “kehidupan masyarkat Indonesia sangat dipengaruhi oleh sikap beragama masyarakatnya, pola tradisi, kebudayaan dan pola hidup masyarakat Indonesia banyak dipengaruhi oleh norma-norma keagamaan, lebih khusus dari teks-teks keagamaan, karena pengaruh agama terhadap kebudayaan sangat besar.”.

Berbagai pemikirannya yang cerdas menjadikan Kyai Husein sebagai tokoh yang berpengaruh dalam konstitusi serta pembelaannya terhadap perjuangan kesetaraan jender membawanya aktif dalam kegiatan berbagai organisasi, disamping memproduksi gagasan-gagasan pembelaan terhadap perempuan, Kyai Husein juga melakukan aktivitas atau kegiatan yang berhubungan dengan pembelaan terhadap perempuan. Sikap pembelaan Kyai Husein terhadap perempuan juga diwujudkan dengan membuat atau mendorong para perempuan untuk terlibat dalam organisasi-organisasi sosial dan politik.

Peran penting Kyai Husein dalam pemikiran keislaman adalah karena beliau membangun kembali pemikiran-pemikiraan keislaman dan menawarkan pemikiran-pemikiran baru yang lebih adil, lebih humanis dan lebih menjanjikan kesetaraan bagi laki-laki dan perempuan.

Dengan menggunakan wacana hermeunetik, Analisis yang dilakukan oleh KH. Husein Muhammad diakui sebagai prestasi intelektual yang brilian. Analisis tersebut telah membongkar wacana yang selama ini tidak tersentuh oleh akal klasik maupun modern. Meskipun pada tataran selanjutnya analisis tersebut masih menyisakan problem yang belum terjawab.


(9)

Pada bab ini akan dijelaskan tentang bagaimana latar belakang masalah, dan pada bab ini juga akan dibuat pembatasan dan rumusan masalah agar skripsi ini tidak terlalu melebar, juga akan diberi tujuan penelitian dan juga survey pustaka, karna pasti sudah ada beberapa tulisan yang menulis tentang pemikiran KH. Husein Muhammad, dan tidak lupa juga akan dibuat metodologi penelitian agar lebih mengena pada inti penulisan dan juga sistematika penyusunan.

A. Latar Belakang Masalah

Diskursus tentang jender akhir ini semakin menggelinding, menembus sekat-sekat birokrasi, perguruan tinggi, rumah tangga bahkan pondok pesantren yang selama ini dianggap sebagai “sarang konservatif” terhadap berbagai arus pemikiran kontemporer dan sekuler, seperti pemikiran tentang jender, lambat laun sudah merespon wacana tersebut. Fenomena baru memperlihatkan adanya sejumlah Kyai dan Nyai pesantren menaruh minat terhadap isu kesetaraan dan keadilan jender.

Meskipun perbincangan terhadap jender sudah semakin merebak namun ada pengamatan, masih sering terjadi kesalahfahaman tentang apa yang dimaksud dengan konsep jender. Kesalahfahaman tentang jender bukan hanya terjadi di kalangan awam, tetapi juga menimpa kalangan terpelajar. Istilah jender sering kali dirancukan dengan istilah jenis kelamin, dan terlebih lagi jender diartikan dengan “jenis kelamin perempuan” , ini jelas salah. Begitu disebut jender, yang terbayang


(10)

dalam benak mereka adalah sosok manusia dengan jenis kelamin perempuan padahal, istilah “jender” bukan hanya menyangkut jenis kelamin perempuan melainkan juga jenis kelamin laki-laki.

Karena itu, penting sekali memahami terlebih dahulu perbedaan antara jenis kelamin (sex) dan jender. Yang dimaksud dengan jenis kelamin adalah perbedaan biologis hormonal dan patologis antara perempuan dan laki-laki. Adapun yang dimaksud “jender” seperangkat sikap, peran, tanggung jawab, fungsi, hak, dan perilaku yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan akibat bentukan budaya atau lingkungan masyarakat tempat manusia itu tumbuh dan dibesarkan.1

Kesimpulannya, jender adalah suatu konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial yang dapat diubah sesuai dengan perubahan zaman.

Dekade 1930-an merupakan satu tahap penting dalam sejarah pergerakan kaum perempuan Indonesia. Pada periode ini, perubahan dan akhirnya pertentangan ideologi mulai memasuki wacana perempuan. Gagasan kemajuan yang menjadi tema sentral pada dekade pertama abad 20, mulai mengalami pergeseran, atau lebih tepatnya pengkayaan strategi dan perspektif, yang kerap menimbulkan pertentangan satu sama lain di kalangan organisasi perempuan.2

Dalam setiap masyarakat selalu ada pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki, sehingga dikenal peran jender yang berbeda antara perempuan dan

1

Dr. Siti Musdah Mulia, MA., dkk, Keadilan dan Kesetaraan Jender Perspektif Islam, (Jakarta: LKAG, 2003), hal. vii-ix. Untuk selanjutnya akan ditulis keadilan dan kesetaraan jender.

2

Amelia Fauzia, dkk, Tentang Perempuan Islam ; Wacana dan Gerakan, (Jakarta: Gramedia, 2004), hal. 42 . untuk selanjutnya akan ditulis wacana dan gerakan.


(11)

laki-laki. Konsekwensinya logis dari peran terebut adalah bahwa pekerjaan di rumah tanggga merupakan tugas dan kewajiban pokok perempuan. Pandangan yang demikian itulah yang menimbulkan berbagai masalah dan ketidakadilan bagi perempuan.

Perbedaan jender sesungguhnya merupakan hal yang biasa atau suatu kewajaran sepanjang tidak menimbulkan ketikadilan jender. Akan tetapi, realitas di masyarakat menunjukkan bahwa berbedaan jender telah melahirkan berbagai bentuk ketidakadilan, misalnya dalam pemberian beban kerja, perempuan selain dituntut untuk menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga ia juga harus menunjukkan prestasi kerja yang lebih baik di tempat kerjanya.3

Bentuk lain lagi dari ketidakadilan jender adalah marginalisasi atau pemiskinan ini disebabkan banyak pekerjaan yang digolongkan sebagai pekerjaan perempuan dinilai lebih mudah dari pada pekerjaan laki-laki dan akibatnya upahnya menjadi lebih murah.

Ketidakadilan jender dapat juga mengambil bentuk subordinasi, yakni anggapan bahwa perempuan itu tidak penting, melainkan sekedar pelengkap dari kepentingan laki-laki. Ini terjadi baik dalam rumah tangga maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Di masyarakat masih kuat anggapan bahwa perempuan itu tidak rasional dan lebih banyak menggunakan emosinya, sehingga perempuan tidak bisa tampil sebagai pemimpin, juga bisa terjadi dalam kasus pelecehan seksual, masyarakat berkecenderungan menyalahkan kaum perempuan, padahal mereka adalah korbannya.

3


(12)

Berbagai manifestasi ketidakadilan jender tersebut saling terkait. Wujud ketidakadilan itu “tersosialisasi” dalam masyarakat. Jender adalah konstitusi sosial, maka seharusnya bisa diubah. Perubahan tersebut merubah perilaku jender, diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dan sistematis, serta didukung oleh berbagai pranata sosial yang ada.4

Gerakan perempuan di manapun memiliki keunikan sendiri, tidak terkecuali Indonesia. Salah satu keunikan itu adalah bertemunya kelompok perempuan tak berbasis agama dengan kelompok perempuan berbasis agama. Ini, seperti dikatakan Zaenah Anwar, aktivis perempuan muslim dari Malaysia, telah menempatkan gerakan perempuan Islam di Indonesia pada posisi penting bahkan menjadi ‘tolok ukur’ dalam diskursus Islam dan perempuan di dunia Islam.

Lebih jelasnya, pada saat ini wacana Islam dan pemberdayan perempuan secara intensif disosialisikan oleh institusi-institusi keislaman yang peduli pada pemberdayaan perempuan. Antara lain oleh Fatayat NU, Muslimat NU, Aisyiyah Muhammadiyah, Fahmina Institute, Yayasan Rahima, PSW-PSW Peguruan Tinggi Islam, dan lainnya. Kesemua institusi tersebut menggunakan pendekatan yang mirip; pemberdayaan perempuan dengan menggunakan argumentasi keagamaan.5

Gerakan untuk kemajuan kaum perempuan telah menjadi isu penting dalam perkembangan wacana sosial-intelektual Islam di Indonesia. Sejumlah tokoh muncul dengan gagasan untuk mendorong kaum perempuan memiliki

4

Dr. Siti Musdah, Keadilan dan Kesetaraan Jender, hal. x-xi. 5

KH. Husein Muhammad, dkk, Modul Kursus Islam dan Gender; Dawrah Fiqh

Perempuan, (Cirebon: Fahmina Institute, 2007), hal. 1. Untuk selanjutnya akan ditulis dawrah fiqh perempuan.


(13)

posisi lebih tinggi, bahkan terlibat dalam peran-peran di luar dunia tradisional mereka sebagai ibu rumah tangga. Bersamaan dengan itu, berbagai upaya dilakukan untuk mewujudkan gagasan-gagasan mereka. Pendirian lembaga pendidikan Rahma el-Yunusiah di Sumatra Barat, Penerbitan surat kabar perempuan oleh Roehana Koedoes di wilayah yang sama, pendirian organsasi-organisasi perempuan dalam organsasi-organisasi pergerakan seperti Muhammadiyah, dan sejumlah upaya lain, semua itu merupakan wujud dari gerakan kaum perempuan di Indonesia pada awal abad ke-20. Dalam konteks sejarah Indonesia gerakan-gerakan di atas barangkali disebut sebagai “gelombang pertama” kaum perempuan bergerak. Kemajuan yang menjadi dasar pergerakan Indonesia secara umum – menjadi satu isu pertama pergerakan mereka, yang diterjemahkan dalam rumusan emansipasi. Kaum perempuan menuntut hak-hak mereka bisa terlibat dalam dunia yang diakui hanya milik laki-laki.6

Perbincangan sekitar jender yang hingar bingar dewasa ini pada gilirannya harus menarik keterlibatan para tokoh agama. Ini karena mereka dengan pemahaman terhadap doktrin-doktrin agama yang dimilikinya telah memberikan warna yang cukup signifikan dalam menciptakan konsitusi sosial dalam kaitannya dengan relasi antara laki-laki dan perempuan yang memiliki dua sisi yang saling berhadapan. Wacana ini bisa membawa agama untuk kemajuan masyarakat atau justru mereduksi pesan-pesan agama. Ini semua tergantung pada persfektif-persfektif keagamaan yang diyakininya.7

6

Amelia Fauzia, dkk, Wacana dan Gerakan, hal.4. 7

KH.Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan; Pembelaan Kiai Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2004), hal. 319. untuk selanjutnya akan ditulis islam agama ramah.


(14)

Sejarah telah mencatat beberapa kasus dimana perempuan telah menempati posisi kuat, sebagaimana terjadi dalam peradaban Mesir, tetapi kasus tersebut hanya beberapa dan tidak memcerminkan kondisi umum perempuan pada waktu atau sejak saat itu. Mengenai kelembutan perempuan yang dikenal sebagai anugrah Tuhan, adalah murni hal kebetulan yang tidak menunjukan bahwa perempuan sangat dihormati atau bermartabat. Andaipun memang demikian, kasus-kasus tersebut hendaklah dipandang sebagai kekecualian-kekecualian yang jarang terjadi dan tidak mempengaruhi hukum umum yang berlaku.8

Seperti yang kita ketahui sebagian Aktivis muslim Indonesia yang dulunya juga mengembangkan karir di kelompok-kelompok LSM perempuan, yang memang sejak awal tidak ada embel-embel Islam atau agamanya, malah mengambil peran dengan mengubah paradigma melihat perempuan di Indonesia.9

Seperti telah diakui oleh Lies Marcoes Natsir, salah seorang pionir gerakan ini, justru mencoba memasukan isu perempuan kedalam diskursus Islam, dan sebaliknya. Meskipun tidak semua umat muslim Indonesia dapat menerima tapi hasilnya sangat menarik. Wacana Islam dan perempuan menjadi penting, dan berkelanjutan serta mendapatkan cukup perhatian di media massa. Pada masa inilah, yakni awal hingga pertengahan dekade tahun 1990-an, wacana feminisme di Indonesia tidak melulu didominasi oleh pandangan feminisme sekuler, dan bahkan sebagian diantaranya beralih kefeminisme Islam. Dalam konteks inilah kemunculan aktivis-aktivis Muslim Indonesia menjadi penting.10

8

Fatima Umar Nasif, Menggugat Sejarah Perempuan, (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2001). hal.18. untuk selanjutnya akan ditulis menggugat sejarah.

9

Amelia Fauzia, dkk, Wacana dan Gerakan, hal. 132. 10


(15)

Kemunculan seorang K.H. Husein Muhammad11 dalam konteks pemberdayaan fiqh perempuan di Indonesia patut dicatat secara khusus. Kyai yang sehari-hari menjadi salah seorang pengasuh pesantren Darut Tauhid, Arjawinangun Cirebon ini lahir dan menjadi salah seorang aktivis hak-hak perempuan yang paling menonjol, bukan hanya dikalangan pesantren tapi juga di kalangan aktivis perempuan muslim secara keseluruhan dengan kemampuannya yang sangat baik dan khazanah literatur Islam dari Kyai yang pernah belajar di Kairo, Mesir ini selalu menarik.12

Kalau kita bertanya mungkinkah laki-laki bisa menjadi feminis, maka pertanyaan itu menjadi secara teoritis bertentangan dengan feminisme itu sendiri. Alasannya adalah pertama, tujuan feminisme sebagai gerakan peningkatan kesadaran jender untuk menghasilkan sebuah transformasi sosial, tentunya mengandaikan bahwa laki-laki ‘tertular’ ide-ide feminisme. Kedua, feminisme untuk menjadi kekuatan moral, sosial dan politik, memerlukan dukungan masyarakat, termasuk kaum laki-laki. Ketiga, dengan menolak laki-laki dalam kategori feminis, justeru feminisme mempertahankan suatu pandangan esensial dengan menentukan bahwa hanya perempuanlah yang bisa menjadi feminis.

Kontroversi tentang feminis laki-laki disandarkan pada dua pandangan yang berbeda, yaitu, laki-laki dapat menyatakan diri feminis sepanjang mereka ikut berjuang bagi kepentingan kaum perempuan. Disisi lain, laki-laki tidak dapat

11

Untuk selajutnya ditulis Kyai Husein 12


(16)

menjadi feminis karena mereka tidak mengalami diskriminasi dan penindasan sebagaimana kaum perempuan.13

Kyai Husein sebagai laki-laki yang mengusung gagasan feminisme Islam, bisa dikategorikan sebagai feminis laki-laki atau laki-laki yang melakukan pembelaan terhadap perempuan yang berada pada pandangan yang ketiga.14

Kyai Husein adalah salah satu dari ulama yang sedang ikut melakukan pembaharuan ini dengan mengusung isu wacana kesetaraan dan keadilan jender dengan paradigma feminisme Islam (fiqh/ hukum Islam), karena menurut beliau, “kehidupan masyarkat Indonesia sangat dipengaruhi oleh sikap beragama masyarakatnya, pola tradisi, kebudayaan dan pola hidup masyarakat Indonesia banyak dipengaruhi oleh norma-norma keagamaan, lebih khusus dari teks-teks keagamaan, karena pengaruh agama terhadap kebudayaan sangat besar.15

Dari uraian yang talah dipaparkan di atas, penulis tertarik untuk membahas lebih mengenai sejarah gerakan kesetaraan jender dan peran KH. Husein Muhammad dalam gerakan kesetaraan jender di Indonesia, karenanya penulis membuat skripsi ini dengan judul:” PERAN KH. HUSEIN MUHAMMAD DALAM GERAKAN KESETARAAN JENDER DI INDONESIA”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Untuk mengantisipasi agar tulisan ini tidak terlalu melebar maka penulis hanya membatasi pada bagaimana peran KH. Husein Muhammad dalam gerakan kesetaraan jender di Indonesia sejak tahun 1993 sampai sekarang.

13

KH. Husein, Islam Agama Ramah, hal. xxii. 14

Ibid, hal. xxiv. 15


(17)

Sebagai rumusan masalah penulis merangkumnya dalam suatu pertanyaan: 1. Bagaimana kiprah KH. Husein Muhammad dalam organisasi?

2. Bagaimana pengaruh kesetaraan jender di dunia pesantren?

3. Bagaimana metodologi hermeneutika feminisme KH. Husein Muhammad?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana kiprah atau peran KH. Husein Muhammad dalam organisasi yang digelutinya.

2. Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh dari kesetaraan jender di dunia pesantren?

3. Untuk mengetahui bagaimana metodologi hermeneutika feminisme yang digunakan KH. Husein Muhammad.

D. Survey Pustaka

Penulisan ini bercorak penulisan pemikiran dan peran seorang tokoh bernama Kyai Husein, dan tentunya ada beberapa topik yang sudah dibahas oleh beberapa orang mengenai pemikiran-pemikiran Kyai Husein. Untuk itu penulis membuat survey pustaka untuk membedakan beberapa tulisan mengenai tokoh Kyai Husein yang telah ditulis oleh beberapa penulis seperti:

Buku yang berjudul tentang Kiai Husein Membela Perempuan, yang ditulis oleh Nuruzzaman. Penerbit Pustaka Pesantren, Yogyakarta, Tahun 2005. Buku ini menggambarkan kiprah dan perjuangan Kyai Husein dalam memperjuangkan


(18)

hak-hak perempuan. Nuruzzaman mengekplorasi wacana feminisme Kyai Husein di pesantren disertai dengan berbagai pro kontra dalam memahami isu jender.

Buku selanjutnya adalah ”Islam Agama Ramah Perempuan; Pembelaan Kyai Pesantren”, penerbit; LKiS Yogyakarta, Tahun 2004, dengan editor Nuruzzaman dkk, buku ini menjelaskan tentang bagaimana apresiasi terhadap gagasan feminisme Islam Kyai Husein, dan buku ini merupakan kumpulan tulisan-tulisan yang diproduksi oleh Kyai Husein dalam kurun waktu beberapa tahun.

Kemudian ada juga skripsi saudara Nanang Qosim mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga yang berjudul Hermeneutika Feminisme Muslim (Study Pemikiran KH. Husein Muhammad), dalam skripsinya penulis menjelaskan bagaimana kerangka metodologi hermeneutika feminisme Kyai Husein dan menjelaskan bagaimana aplikasi dan implikasi dari metodologi hermeneutika feminis muslim dan menjelaskan relevansi hermeneutika feminis Kyai Husein dengan konteks perempuan di Indonesia kontemporer.

Dan kemudian ada juga skripsi dari Saudari Mala Hayati mahasiswi al-Ahwal asy-Syahhsyah dengan judul ”Hak-Hak Reproduksi Perempuan dalam Fiqh (Study Terhadap Pandangan KH. Husein Muhammad Tentang Hak Aborsi)”, dalam skripsinya penulis tersebut menguraikan pandangan-pandangan Kyai Husein terhadap hukum-hukum Fikiyyah yang berkaitan dengan hak reproduksi perempuan. Dan penyusun skripsi tersebut menemukan bahwa dalam pandangan Kyai Husein perempuan mempunyai hak utuh menolak kehamilan dan


(19)

melahirkan termasuk di dalam adalah menolak untuk berhubungan jika istri dalam keadaan capek.

Dari beberapa tulisan di atas, yang membedakan dengan skripsi ini adalah peran dari tokoh Kyai Husein, dimana dalam ini dijelaskan bagaimana peran beliau dalam gerakan kesetaraan jender, baik dari aktifitas, pemikiran maupun gagasan-gagasan Kyai Husein, terutama pada gerakan kesetaraan jender di Indonesia.

E. Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan study sejarah, yang lebih menekankan pada kajian pemikiran seorang tokoh, yang mengacu pada bidang sejarah intelektual yang dibatasi pada periode kontemporer di Indonesia.

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah Kualitatif, yang memerlukan pemahaman lebih mendalam. Untuk pengumpulan data, dalam pencariaan data pada penelitian ini adalah Library Reseach, yaitu melalui riset kepustakaan untuk mengkaji sumber-sumber tertulis yang telah dipublikasikan atau belum.16

2. Sumber Data

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer adalah data otentik data langsung dari tangan pertama tentang masalah yang diungkapkan. Secara sederhana data ini

16

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, (Jakarta: Bina Aksara, 1989), hal. 10.


(20)

juga disebut data asli.17 Sumber data primer menjadi acuan pokok dari study ini, yaitu Kiai Husein Membela Perempuan, yang ditulis oleh Nuruzzaman. Selain itu juga diambil dari karya-karya ilmiah KH. Husein yang lainnya, baik berupa buku maupun artikel-artikel yang beliau tulis.

Sumber data primer juga didapat dari hasil wawancara (interview) yaitu percakapan dengan maksud tertentu. Wawancara ini dibutuhkan untuk mempertanyakan hal-hal baru ataupun yang sedang berkembang sesuai konteks kebutuhan. Kemudian hasil wawancara tesebut dikaitkan dengan hasil penelitian.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah data yang tidak bersifat otentik.18 Data sekunder ini diperoleh dari buku-buku, sebagai penunjang dari data primer. Seperti tulisan-tulisan tentang pemikiran dan biogarafi KH. Husein Muhammad. Misalnya, Fiqh Perempuan; Refleksi Kiai atas Wacana dan Jender.

3. Analisis Data

penelitian ini menggunakan analisis data Deskriptif Analitis, digunakan agar mampu memahami dan memberikan gambaran yang obyektif. Maksudnya adalah berusaha mendeskriptifkan, menginterpretasikan apa yang ada baik mengenai kondisi atas hubungan yang ada, pendapat yang sedang tumbuh, proses

17

Hadari Nawawi, Metodologi Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1995), hal. 80

18


(21)

yang sedang berlangsung, akibat atau efek yang terjadi, atau kecenderungan yang sedang berkembang.19

F. Sistematika Penyusunan

Merujuk pada apa yang dituliskan di atas dan untuk mempermudah pembahasan, skripsi ini disusun sistematis melalui bab dan sub bab dengan membagi pembahasan menjadi empat bab. Yang secara garis besar diuraikan sebagai berikut:

Bab pertama, berisikan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan, metode penelitian, dan sistematika penyusunan.

Bab kedua memaparkan tentang gerakan kesetaraan jender di Indonesia dengan sub bab membahas tentang gerakan kesetaraan jender dalam lintasan sejarah, Islam dan wacana gerakan kesetaraan jender, dan juga jender, ulama, dan KH. Husein Muhammad.

Bab ketiga mengupas tentang Biografi Kyai Husein, dengan sub bab membahas tentang riwayat hidup, pengalaman organisasi, aktifitas dan karya-karyanya.

Bab keempat membahas tentang peran Kyai Husein dalam gerakan kesetaraan jender, dengan sub bab membahas kiprah Kyai Husein dalam organisasi, kritik wacana terhadap tradisi pesantren, hermeneutika feminisme Kyai Husein.

19

John W. Best, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), hal. 119


(22)

Bab kelima, adalah penutup yang berisikan kesimpulan yang diambil berdasarkan perumusan masalah dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya dan juga membuat saran-saran serta daftar pustaka.


(23)

Pada bab ini akan dipaparkan tentang bagaimana gerakan kesetaraan jender dalam lintasan sejarah dan juga memaparkan tentang wacana gerakan kesetaraan jender dalam pandangan Islam dan juga menjelaskan tentang pelibatan ulama atau seorang KH. Husein Muhammad dalam isu-isu jender.

A. Gerakan Kesetaraan Jender dalam Lintasan Sejarah

Fakta sejarah membuktikan bahwa pada akhir abad ke-19 ditengarai sebagai awal mulanya muncul gerakan perempuan di Indonesia, walaupun situasi dan kondisinya mungkin berbeda dengan gerakan perempuan di belahan dunia lain. Isu-isu yang dimunculkan tidak keluar dari persoalan sosial dan politik yang sangat riil yang dialami oleh kaum perempuan yang ingin bangkit dari ketertindasan.1

Benih pergerakan perempuan di Indonesia dimulai dari Kartini (1879-1908), dalam sejarah pergerakan perempuan di Indonesia muncul sebagai tokoh perempuan yang tercerahkan oleh kondisi politik penjajahan yang sangat bersahabat dengan golongan priyayi. Setelah mengalami proses yang cukup panjang, beliau bangkit untuk memperjuangkan dan memperbaiki kondisi masyarakat yang sangat patriarki.

1

Fadilah Suralaga, dkk, Pengantar Kajian Gender, (Jakarta; PSW UIN Jakarta, 2003), hal. 13. Untuk selanjutnya akan ditulis pengantar kajian.


(24)

Sebenarnya di era sebelum Kartini telah muncul beberapa srikandi yang sangat peka terhadap masalah politik dan mempunyai kesadaran dan kemampuan untuk bahu membahu dengan kaum pria memanggul senjata, seperti yang dilakukan oleh Martha Cristina Tiahahu (1818), Nyi Ageng Serang (1752-1828), Cut Nya Dien (1850-1908), dan Cut Mutia (1870-1910). Mereka tampil mewakili golongan perempuan untuk berperang melawan penjajah Kolonial Belanda.2

Dalam abad ke-19 khususnya selama tahun-tahun kemelut menjelang perang Jawa terdapat cukup bukti tentang peranan penting perempuan dalam perdagangan, kemiliteran, politik dan kehidupan sosial di kalangan Istana Jawa Tengah. Bahkan jauh sebelumnya, pada masa Kalinyamat, peran perempuan dalam bidang kesejahteraan masyarakat tak terbantahkan, demikian pula pada masa Sultanat Aceh.3

Pada masa kolonial Belanda inilah organisasi-organisasi perempuan mulai bermunculan, imbasnya perempuan muslimpun ikut andil mendirikan organisasi-organisai Islam, seperti Sarekat Perempuan Indonesia, Muslimat NU, “Sopo Tresno” yang kemudian berganti nama menjadi “Aisyiyah”, dll.4 Pendiri Aisyiyah, Nyai Ahmad Dahlan berpendapat, para wanita adalah partner kaum lelaki, demikian juga dalam bidang pendidikan, sehingga Nyai Dahlan mencoba memperkenalkan pemikiran bahwa perempuan mempunyai hak yang sama untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya.5

2

Fadilah, Pengantar Kajian, hal. 12. 3

Ibid, hal. 19. 4

Fadilah, Pengantar Kajian, hal. 22. 5

Jajat Burhanuddin, (ed), Ulama Perempuan Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2002), hal. 47. Untuk selanjutnya akan ditulis ulama perempuan.


(25)

Setelah Belanda kalah pada 1942, penguasa Indonesia berpindah tangan dari Belanda ke Jepang. Keadaan rakyat tidak jauh berbeda, bahkan lebih menyedihkan, begitu juga yang dihadapi dengan Nyai Dahlan dengan Aisyiyyahnya yang tidak boleh berorganisasi sendiri sebagai pergerakan wanita.6 Semua organisasi pada masa Kolonial Jepang dibubarkan dan sebagai gantinya didirikan organisasi-organisasi yang kegiatannya diarahkan untuk membantu Jepang dalam menghadapi tentara sekutu. 7

Organisasi perempuan yang ada pada masa ini adalah Gerakan Istri Tiga A, organisasi yang menginduk pada Gerakan Tiga A (‘Pemimpin Asia’, Pelindung Asia’, Cahaya Asia”) yang dipimpin oleh Mr. Dr. Syamsudin yang berkedudukan di Jakarta; Barisan Pekerja Perempuan Putera, organisasi perempuan yang menginduk pada Putera (Pusat Tenaga Rakyat) yang dibentuk Jepang sebagai pengganti Gerakan Tiga A. Organisasi ini dipimpin oleh Ny. Sunaryo Mangunpuspito. Pada saat yang sama Jepang juga mendirikan organisasi perempuan bernama Fuzinkai (sejenis Dharma Wanita) yang didalamnya terdapat “barisan putri” yang dipimpin oleh Siti Dalima.8

Selanjutnya pada masa orde lama gerakan perempuan terlihat dalam Revolusi Fisik atau perang kemerdekaan. Pada bulan Oktober 1945 untuk pertama kalinya organisasi kelaskaran perempuan dibentuk. Organisasi yang dibentuk oleh Ny. Aruji Kartawinata di Bandung itu bernama Lasykar Wanita Indonesia (Lasywi). Dalam kurun waktu 1945-1949 kaum perempuan mengambil bagian dalam membela negara dengan membentuk organisasi-organisasi. Di kalangan

6

Jajat, Ulama Perempuan, hal. 59. 7

Ibid, hal. 25. 8


(26)

muslimat berdiri organisasi kelaskaran bernama Laskar Muslimat yang berpusat di Bukit Tinggi dan Laskar Sabil Muslimat yang ada di Padang Panjang. selain itu, dari Kalangan Angkatan Bersenjata dibentuk Korps Polisi Wanita (POLWAN), Persatuan Istri Tentara (persit) dan Persatuan Istri Angkatan Udara (Persatuan Istri Ardia Garini) yang lebih dikenal dengan nama PIA. Dalam suasana yang tegang dalam perang kemerdekaan, berdirinya banyak organisasi perempuan sangat membantu dalam melakukan berbagai kegiatan untuk meringankan kesulitan hidup di garis belakang dan membantu memperkuat semangat patriotik.9

Dalam perjalanannya, KOWANI pernah terjebak pertentangan internal. Pertentangan ini disebabkan karena tokoh-tokoh PKI yang terlibat didalamnya mendaftarkan KOWANI dalam keanggotaan organisasi dunia bernama GWDS yang berhaluan komunis. Beberapa organisasi Islam yang menyadari kenyataan tersebut menyatakan keluar dari keanggotaan KOWANI pada kongresnya yang ke-4 tahun 1948. Pertentangan memuncak pada tahun 60-an yang berakhir dengan coup d’etat gagal yang dilancarkan PKI. Akibat dari itu semua, akhirnya organisasi perempuan yang memihak komunis dikeluarkan dari federasi.10

Sebagai reaksi atas berbagai persoalan yang timbul, organisasi-organisasi perempuan merasa perlu untuk melakukan konsolidasi. Pada tahun 1950, tepatnya pada bulan November, organisasi perempuan yang pada masa Revolusi kemerdekaan mengalami perpecahan didirikan kembali. Organisasi ini bernama Kongres Wanita Indonesia. Kongres yang dilaksanakan tahun 1950 ini bertujuan untuk menciptakan kesempurnaan kemerdekaan Indonesia, terlaksananya

9

Jajat Burhanuddin (ed), Ulama Perempuan, hal. 29. 10


(27)

hak wanita sebagai manusia dan warga negara, keamanan, dan ketentraman dunia. Kongres juga mengatur agar dapat dibuat undang-undang perkawinan yang melindungi perempuan dan menetapkan jumlah anggota laki-laki dan perempuan yang seimbang dalam panitia penyidik hukum perkawinan.11

Di bawah rezim otoriter orde baru, implikasi politik terhadap peran laki-laki dan perempuan (kemudian disebut dengan peran jender) ini ternyata sangat besar. Yang terjadi tidak hanya ada upaya domestikasi perempuan sebagai instrumen untuk tujuan-tujuan ekonomi politik. Hal ini jelas diilustrasikan dalam kasus program Keluarga Berencana (KB).12

Pada tahun 1996, Gerwani dibubarkan dan ditetapkan sebagai organisasi terlarang. Ketika soeharto naik Gerwani dipaksa masuk Golkar. Di tahun yang sama kementrian urusan wanita dibentuk dalam kabinet. Dapat dikatakan pada masa ini gerakan perempuan di Indonesia dapat dibilang memasuki masa yang sangat lesu.13

Kemudian pada tahun 1997 Soeharto berhasil digulingkan dan berganti kepemimpinan oleh BJ. Habibie dan di sini dibentuk Komisi Nasional Perlindungan Kekerasan terhadap Perempuan. Lembaga ini di bentuk tahun 1999. Sementara periode kepemimpinan Gus Dur banyak aktivis perempuan mulai bergema suaranya, tabu terhadap PKI dan ideologi komunispun dihapusnya sekaligus. Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 tahun 2000 tentang pengerusutamaan

11

Ibid, hal. 37. 12

Jajat Burhanuddin (ed), Ulama Perempuan, hal. 45. 13

Prof. Dr. Zaitunah Subahan, Sejarah dan Peta Gerakan Perempuan di Indonesia, dalam Khalilah (ed), Mengurai Kepemimpinan Perempuan, (Jakarta: PB KOPRI, 2008), hal. 121. Untuk selanjutnya akan ditulis mengurai kepemimpinan.


(28)

jender di tandatangani Gus Dur. Kementrian pemberdayaan perempuan mulai gencar mengkampanyekan kesetaraan jender.14

Pada tulisan ini akan difokuskan pada gerakan perempuan di Indonesia pada tahun 1990-an. Karena pada dekade ini gerakan perempuan mulai berada dalam kerangka ideologi feminisme yang menekankan kesetaraan jender.15

Pemerintahan orde baru telah menempatkan kaum perempuan sebagai ‘partner yang manis” bagi pembangunan. Isu gerakan perempuan yang berkembang berkisar dalam satu pemikiran yang menempatkan mereka sebagai sumber daya pembangunan, dengan ungkapan lain, politik jender pemerintahan orde baru telah memakai pendekatan Women In Development (WID), dimana perempuan terintegrasi sepenuhnya dalam derap pembangunan .16

Dalam sebuah konferensi Internasional tentang kependudukan dan pembangunan di Kairo pada tahun 1994, muncul kritikan-kritikan yang sangat pedas terhadap perkembangan isu dan praktek kesetaraan perempuan, khususnya di negara-negara maju. Upaya pengembangan wacana dan gerakan perempuan ini mulai digalakkan oleh lembaga donor program Women in Development (WID) dengan mengajak peran serta perempuan didalam upaya pembangunan bangsa, dimana istilah “pembangunan” menjadi sebuah jargon sosial-ekonomi, dan bahkan politik.17

14

Ibid, hal. 123-124. 15

Amelia Fauzia, dkk, Tentang Perempuan Islam; Wacana dan Gerakan, (Jakarta: Gramedia, 2004), hal. 79. Untuk selanjutnya akan ditulis wacana dan gerakan.

16

Ibid, hal. 83. 17

Siti Ruhaini, dkk, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender Dalam Islam, (Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, 2002), hal. 115-119. Untuk selanjutnya akan ditulis rekonstruksi metodologis.


(29)

Kemudian pada tahun 1995 di Beijing, konferensi serupa mulai membicarakan isu perempuan dengan lebih tajam lagi pada saat inilah berbagai upaya yang bisa mengisi kekosongan, menjembatani dan mensosialisasikan gagasan kesetaraan perempuan mendapatkan dukungan. Di Indonesia, gagasan dari Beijing ini terus mulai digulirkan. Kearifan lokal yang menjadi suatu kata kuncinya lalu dikaitkan dengan permasalahan perempuan di Indonesia. Permasalahan perempuan lalu dikaji, siapa yang tertindas dan siapa yang menindas dan bagaimana pencarian jalan keluarnya.

Dengan demikian, tumbuhnya pemikiran Islam yang berpihak pada perempuan, atau biasa juga disebut pemikiran Islam feminis, pada saat yang sama tidak bisa difahami terpisah dari lembaga donor internasional.18

Sejauh menyangkut perkembangan pemikiran Islam dan jender di Indonesia kontemporer, jurnal Ulumul Qur’an (UQ) jurnal untuk diseminasi pemikiran Islam modern memiliki posisi sangat penting. Pada tahun 1989, UQ memuat satu tulisan tentang Islam dan masalah kesetaraan jender, berupa terjemahan dari karya Jane I. Smith dan Yvonne Haddad, “Hawwa: Citra Perempuan Dalam Al-Qur’an.” Dalam artikel ini, kedua penulis perempuan berusaha menggugah kesadaran masyarakat Muslim tentang posisi subordinatif perempuan, yang selama ini dianggap memperoleh legitimasi ajaran Islam. Oleh karena itu, artikel tersebut menunjukan bahwa pembenaran atas praktik-praktik “anti kesetaraan jender” merupakan konstruksi budaya muslim yang bersifat patriarkis, yang sangat memperoleh pendasarannya dalam al-Qur’an.

18


(30)

Setahun kemudian, dalam edisi tahun 1990, UQ kembali memuat artikel dengan corak pembahasan serupa. Artikel tersebut berupa terjemahan dari karya Riffat Hassan, seorang feminis Muslim terkemuka asal Pakistan, “Teologi Perempuan dalam Tradisi Islam”. Sebagaimana halnya artikel pertama yang disebut diatas, karya Riffat Hassan juga berusaha membongkar pemikiran keagamaan Muslim, yang bukan hanya tidak berpihak pada perempuan, tapi lebih dari itu telah memberi sumbangan penting bagi lahirnya praktik-praktik sosial keagamaan yang menempatkan perempuan berada dibawah dominasi kaum laki-laki. Dan corak penafsiran demikian itulah yang telah diterima oleh kalangan Muslim, dan mewarnai secara dominan perkembangan pemikiran dan gerakan Islam.19

Jurnal UQ, khususnya dalam tulisan-tulian tentang jender telah menjadi sumber inspirasi bagi gerakan dan pemikiran Islam tentang perempuan di Indonesia. Dalam memperkuat politik jendernya, Orde Baru mengelompokkan organisasi perempuan untuk membantu pemerintah dan menyebarluaskan ideologi jender, diantaranya: Dharma Wanita untuk isteri PNS; Dharma Pertiwi untuk para isteri yang suaminya bekerja di militer dan kepolisian; Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) untuk perempuan yang tidak masuk dalam kelompok pertama dan kedua, khususnya untuk yang di pedesaan. Melalui ketiga organisasi ini rezim orba mengontrol perempuan Indonesia.

Pada era 1990-an, perspektif feminisme berkembang sangat pesat dikalangan aktivis perempuan yang berbasis LSM. Jika pada masa sebelumnya

19


(31)

gerakan perempuan masih berada pada koridor emansipasi, pada dekade 1990-an mulai berada dalam kerangka ideologi feminisme yamg menekankan kesetaraan jender.20

Pada masa Reformasi atau pada era 2000-an, terjadi perubahan fundamental, yaitu dari wacana ke gerakan, dari gerakan sosial kegerakan politik, dari jalan ke parlemen. Koalisi dan aliansi gerakan perempuan berkembang dimana-mana dengan agenda bersama. Gerakan perempuan menjadi bagian tidak terpisahkan dari gerakan reformasi untuk demokrasi.21

Hingga perkembangan selanjutnya dari masa Megawati Soekarno Putri sampai pada masa pemerintahan SBY-JK, tak melemahkan gerakan Jender di Indonesia. Selain kabinet Indonesia Bersatu ini memenuhi janjinya dengan mengangkat 4 kader perempuan untuk menduduki posisi menteri, juga selalu mendorong kebijakan di berbagai bidang yang responsif jender serta memberi ruang kreatif terhadap inisiatif Civil Sociey untuk selalu berkarya demi pemberdayaan perempuan.22

B. Islam dan Wacana Gerakan Kesetaraan Jender

Pembahasan tentang gerakan kesetaraan jender bukanlah barang baru dalam pemikiran Islam, karena hampir setiap pemikir Islam di masa lalu selalu memiliki bahasan eksklusif tentang perempuan. Tetapi anehnya wacana keperempuanan atau yang kini dikenal dengan wacana feminisme menjadi

20

Dr. Umi Sumbulah, M.Ag, Spektrum Gender, Kilasan Inklusi Gender di Perguruan Tinggi, (Malang: UIN Malang Press, 2008), hal. 51-52. Untuk selanjutnya akan ditulis spektrum jender.

21

Umi, Spektrum Gender, hal. 52. 22


(32)

kontroversial. Kesadaran akan ketertindasan perempuanlah yang menjadikan feminisme memiliki karakter “memihak” dan tidak jarang “menggugat”. Bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa keberpihakan feminisme terhadap nasib kaum perempuan ini “diterjemahkan” sebagai ancaman bagi laki-laki.

Dewasa ini sudah sudah banyak feminis-feminis muslim di dunia Islam, Seperti: Riffat Hassan, Fatima Mernissi, Nawal Sadawi, Amina Wadud Muhsin, dan sebagainya. Sedangkan dalam kancah keindonesiaan diantaranya: Wardah Hafidz, Lies Marcoes Natsir, Siti Ruhaini, Nurul Agustina.23

Kecendrungan menarik terjadi di Indonesia dimana wacana agama dan perempuan ramai dibicarakan. Tidak saja dikembangkan oleh kaum perempuan tetapi juga oleh kaum laki-laki termasuk kalangan rohaniawan, tetapi istilah teologi feminis tidak secara eksplisit digunakan. Mereka lebih cenderung menggunakan istilah persepektif perempuan dalam agama atau menggunakan analisis jender dalam agama ketimbang teologi feminis. Bukan berarti istilah jender tidak mendapat respon yang keras dari kalangan umat beragama di Indonesia tetapi reaksi terhadap feminisme nampaknya lebih keras dibandingkan dengan istilah jender.24

Aktivitas gerakan perempuan memberikan banyak manfaat yang banyak di petiknya melalui keterlibatan dalam aktivitas pergerakan perempuan Islam. Beberap manfaat itu seperti berikut di bawah ini:

1. Menyadarkan perempuan akan nilai dan kedudukannya ditengah masyarakat.

23

Dra. Siti Ruhaini Dzuhayatin, dkk, Rekonstruksi Metodologis, hal. 34. 24


(33)

2. Perempuan tidak akan dapat memperoleh wawasan yang cukup memadai dan terpilih secara ideal kecuali melalui pergerakan.

3. Aktivitas ditengah jamaah akan menggerakan kaum perempuan yang biasa malas, pasif dan bergantung pada orang lain dalam mewujudkan tujuan-tujuan umum.

4. Membersihkan kabut kebusukan yang menutupi pemikiran akibat kemandekan berfikir karena sikap individualis, egois materialis, apatisme sosial, politik dan agama.

5. Aktivitas dalam pergerakan dapat menghindarkan kejenuhan pada perempuan.

6. Pada umumnya perempuan tidak melakukan shalat jamaah di Mesjid, bahkan beberapa hari dalam setiap bulan tidak melakukan shalat, hal itu dapat melemahkan rohani dalam dirinya.

7. Aktivitas dalam jamaah perempuan akan mendidik perempuan untuk suka bekerja sama dalan hal-hal yang bermanfaat.

8. Aktivitas perempuan didalam pergerakan akan menjauhkannya dari hal-hal yang kurang berarti.

9. Gerakan perempuan Islam menumbuhkan keberanian dalam diri perempuan untuk memerangi adat dan tradisi usang yang bertentangan dengan tujuan pergerakan.

10.Ketika memasuki medan aktivitas pergerakan perempuan Islam, ia akan berkenalan dengan saudara-saudaranya seiman yang terdidik dengan pendidikan yang islami dan berfokus.


(34)

11.Sejauhmana muslimah aktivitas belajar dan terdidik untuk bersikap malu di jalan, pasar, dan di tempat-tempat umum, sejauh itu pula ia belajar berani melawan kemungkaran dan kezaliman yang menimpanya atau masyarakatnya.

12.Aktivitas haraki mengajarkan agar perempuan teratur dalam segala urusan hidupnya.

13.Tanzhim haraki akan menyingkap kemampuan kreativitas berfikir, intelektual.

14.Aktivitas pergerakan akan mempertajam sikap kemandirian dalam diri perempuan dalam koridor umum Islam tanpa intervensi dari siapapun kecuali dalam rangka penyampaian pandangan dan musyawarah.25

Tentang berbagai manfaat aktivitas pergerakan perempuan di atas, dapat di simpulkan bahwa aktivitas pergerakan bagi perempuan merupakan suatu keharusan demi terwujudnya sasaran-sasaran utama Islam, demi mencapai tujuan berubahnya kepribadian perempuan, dan merupakan kemestian untuk merealisasikan kehadiran perempuan dipentas masyarakat agar ia berpartisipasi dalam proses reformasi total.

Untuk memahami posisi perempuan dalam Islam harus tetap mengacu kapada sumber-sumber Islam yang utama, yakni al-Qur’an dan Sunnah. Hanya saja pemahaman terhadap dua sumber tadi tidak semata didasarkan kepada pemaknaan tekstual, melainkan memperhatikan juga segi kontekstualnya.26

25

Shalah Qazan, Membangun Gerakan Menuju Pembebasan Perempuan, (Solo:

Intermedia, 2001), hal. 104-108. Untuk Selanjutnya akan ditulis membangun gerakan. 26

Siti Musdah Mulia, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, (Yogyakarta: Kibar Press, 2006), hal. 6. Untuk selanjutnya akan ditulis islam dan inspirasi.


(35)

Prinsip-prinsip kesetaraan jender dalam al-Qur’an antara lain mempersamakan kedudukan laki-laki dan perempuan sebagai hamba. Tuhan dan sebagai wakil tuhan di bumi, laki-laki dan perempuan di ciptakan dari unsur yang sama, lalu keduanya terlibat dalam drama kosmis, ketika Adam dan Hawa sama-sama bersalah yang menyebabkannya jatuh ke bumi. Dan sama-sama-sama-sama berpotensi untuk mencapai ridha Tuhan, di dunia dan di akhirat.

Meskipun ditemukan sejumlah ayat yang kelihatannya lebih memihak kepada laki-laki, seperti dalam soal kewarisan, persaksian, poligami, dan hak-haknya sebagai suami atau sebagai ayah, ayat-ayat yang berbicara tentang hal tersebut semuanya turun untuk menanggapi suatu sebab khusus, meskipun redaksinya menggunakan lafadz umum. Jumhur ulama dan kebanyakan mufasir berpegang kepada konsep lafadz umum, yakni menerapkan petunjuk ayat bedasarkan bunyi lafadz. Adapun segolongan kecil ulama berpegang kepada konsep sebab khusus, yakni mempertimbangkan kualitas peristiwa, pelaku, dan kondisi khusus yang menyebabkan ayat itu turun. Akibat penerapan metodologi yang berbeda maka pendapat jumhur ulama terhadap ayat-ayat jender cenderung lebih tekstual, sementara ulama minoritas cenderung lebih kontekstual.27

Dalam kenyataan sejarah, kondisi obyektif sosial-budaya tempat kitab suci tersebut diturunkan menjadi referensi penting di dalam memahami teks-teks tersebut. Untuk memperoleh pemahaman yang lebih, maka nuansa budaya yang melingkupi kitab suci itu perlu diidentifikasi nilai-nilai universal dan tujuan umum yang terkandung di dalam kitab suci itu.

27

DR. Nadaruddin Umar, MA. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al- Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 2001), hal. 306-307. Untuk selanjutnya akan ditulis argumen kesetaraan.


(36)

Jika dibaca dan direnungkan, ternyata banyak ajaran al-Qur’an yang secara langsung ataupun tidak langsung, menuju kepada terwujudnya akan kesetaraan jender. Pesan-pesan kesetaraan tersebut mencakup berbagai jenis peran dan kegiatan, baik yang berkaitan dengan eksistensi maupun prestasi dan kualitasnya dihadapan tuhan, juga di dalam masyarakatnya.

Agak berbeda dengan al-Qur’an, yang nampak dalam hadits selama ini, posisi perempuan terpinggirkan, sekalipun ada juga ditemui hadits-hadits yang memandang respek terhadap perempuan. Banyak sekali teks hadits yang memojokkan perempuan, seperti: penghuni neraka kebanyakan perempuan, perempuan kurang akalnya, perempuan kurang agamanya, setiap bepergian wajib izin suaminya, jika menolak ajakan suami di tempat tidur akan dilaknat sampai pagi.

Dalam fiqh, asumsi dan opini terhadap perempuan nampaknya mendominasi, sehingga rumusan fiqh seringkali memposisikan perempuan dalam the second class. Ironisnya, fiqh yang sebenarnya merupakan hasil pemahaman para ulama, yang melibatkan penalaran, dipengaruhi oleh subjektivitas mujtahidnya, sarat dengan pertimbangan kultural, dan bertujuan untuk kemaslahatan umat tersebut, seringkali diyakini sebagai agama itu sendiri. Sehingga ia dianggap sebagai barang paten, dan tidak boleh dirubah sesuai dengan tuntutan zaman. Keyakinan semacam ini yang harus direvisi atau bahkan dibongkar.28 Sehingga, rumusan-rumusan fiqh, baik yang secara langsung mengacu pada bunyi teks al-Qur’an dan hadits maupun hasil istinbat para

28

Fadilah Suralaga, dkk, Pengantar Kajian Gender, (Jakarta: PSW UIN Jakarta, 2003), hal. 222.


(37)

mujtahid, pada dasarnya sama-sama dapat dikaji ulang, dan mungkin menumbuhkan rumusan baru.

C. Jender, Ulama dan KH. Husein Muhammad

Apa yang dimiliki dalam kesadaran intelektual mereka adalah bahwa perbedaan-perbedaan jender antara laki-laki dan perempuan merupakan kodrat yang tidak bisa dirubah. Pandangan mereka tersebut mengacu pada teks-teks kitab klasik, baik mengenai tafsir maupun fiqh. Hampir semua kitab ini menyebutkan bahwa akal dan fisik laki-laki lebih cerdas dan lebih kuat dari pada akal dan fisik perempuan.

Sedangkan istilah Jender sendiri di kalangan ulama merupakan kata yang masih sangat asing. Kesan pertama yang mereka tangkap adalah bahwa ia merupakan bahasa Inggris atau bahasa orang Barat. Ada upaya dari para aktivis perempuan untuk mencari padanan istilah ini dalam bahasa Arab dengan harapan akan lebih simpatik diterima para ulama, namun tetap saja tidak ditemukan. Sepanjang pengalaman Kyai Husein mensosialisasikan isu-isu Islam dan jender di hadapan para ulama, respon pertama yang diperlihatkan mereka adalah kecurigaan-kecurigaan. Kecurigaan pada upaya isteri untuk melawan suami dan sebagainya.29

Atas dasar inilah teks-teks klasik menyimpulkan, Tuhan memposisikan laki-laki sebagai makhluk superior dan pemilik otoritas atas perempuan baik dalam wilayah rumah tangga maupun sosial-politik (publik). Gagasan untuk

29

KH. Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan, (Yogyakarta: LKiS, 2004), hal. 321. Untuk selanjutnya akan ditulis islam agama ramah.


(38)

memperjuangkan kesetaraan jender ini pun mengalami perdebatan. Perdebatan ini, disamping muncul dalam seminar dan diskusi, juga nampak sengit dalam musyawarah nasional yang di selenggarakan oleh organisasi para ulama NU tahun November 1998, di Lombok. Pandangan yang sama juga terungkap dalam Konferensi Umat Islam Indonesia tahun 1999 ketika menolak presiden perempuan.30

Terkait dengan perdebatan beberapa tokoh masyarakat tentang presiden perempuan, yang pernah dibahas dalam Kongres Umat Islam II Tahun 2004 di Jakarta, mendapat perhatian begitu besar dari berbagai kalangan. Munculnya wacana tersebut tidak lepas kepentingan suatu golongan yang mendompleng melalui gerakan sekularisme, karena gerakan ini dianggap berusaha memisahkan urusan agama dalam politik, sehingga penerapan politik tidak terikat dalam aturan agama.

Menurut Luthfi Bashori, salah seorang pengurus MUI Malang dan Pengasuh Ribath Al-Murthadla Al-Islam. Pembahasan boleh tidaknya seorang wanita menjadi presiden tentunya harus ditinjau dai segi hukum Islam, baik secara global maupun terperinci. Dari segi ilmiah, bisa dirujuk dari pendapat ulama Ahlussunnah wal Jam’ah sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Dalam karangan kitab ulama salaf, umumnya tidak memperbolehkan wanita menjadi presiden. Adapun yang memperbolehkannya, kebanyakan ditulis oleh ulama kontemporer seperti Muhammad al-Gazhali. Dan itupun sudah banyak disanggah oleh para ulama yang berpegang pada ulama salaf. Jadi jelas gerakan ini menolak

30


(39)

formalisasi agama dalam hukum, sehingga gerakan ini bertentangan dengan hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya.31

Bahkan secara tegas diungkapkan oleh kalangan fundamentalis, bahwa salah satu proyek liberalisasi Islam adalah menyebarluaskan paham kesetaraan gender di kalangan muslim dan proyek ini didanai oleh negara-negara barat. Menurut Adian Husaini, seorang tokoh KISDI (Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia) yang mengkritisi isu-isu kesetaraan jender, Mengatakan bahwa salah satu program politik luar negri AS di Indonesia adalah memberikan pendaaan kepada berbagai organisasi muslim dan pesantren untuk mengangkat persamaan jender dengan memperkuat pengertian tentang nilai-nilai diantara para pemimpin perempuan dan membantu demokratisasi serta kesadaran jender di pesentren melalui pemberdayaan pemimpin pesantren laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, proyek ini tidak jauh berbeda dengan kaum misionaris yang membagi-bagikan makanan kepada kaum muslim.32

Lebih lanjut, Adian memaparkan adanya ungkapan rezim laki-laki menindas kaum wanita adalah fantasi berlebihan kaum jender yang terasuki perasaan kebencian. Jika ada sejumlah kasus, dimana laki-laki menindas wanita, itu dilakukan karena kebejatan akhlaknya.

Kini atas nama paham kesetaraan jender, wanita muslimah diprovokasi bahwa wanita tidak harus menyusui, sebab itu bukan kodrati; wanita diminta menuntut hak talak, menuntut persamaan status dalam rumah tangga, dengan menolak kepemimpinan suami; wanita diajak memberontak kepada laki-laki. Atas nama jender pula, wanita menolak kewajibannya untuk mengurus rumah tangga, sebab laki-laki punya

31

Luthfi Bashori, Presiden Wanita dalam Wacana Hukum Islam, Makalah seminar dalam mengahadapi pemilu 2004, http://www.pejuangislam.com/, 27 April 2009.

32

Adian Husaini, Merombak Kurikulum Demi Kesetaraan Gender,


(40)

kewajiban sama... Pada akhirnya, paham kesetaraan jender yang kini disebarkan secara masif oleh agen-agen feminis di lingkungan Perguruan Tinggi tampak lebih merupakan bentuk cultural shock (gegar budaya) orang-orang kampung yang silau dengan peradaban Barat. Mereka tidak berpikir panjang akan akibatnya bagi keluarga dan masyarakat Muslim. Pada buku-buku mereka, terlihat jelas, mereka begitu rakus menelan konsep-konsep pemikir Barat tanpa sikap kritis. Lebih ironis, jika paham ini disebarkan hanya untuk menjalankan proyek-proyek Barat untuk merusak masyarakat Muslim, melalui kaum wanitanya.33

Problem ini sebenarnya dipicu oleh ketidaksiapan kalangan feminis sekuler ketika mereka pertamakali menggagas isu jender di Indonesia. Pada tahun 80-an ketika isu jender diangkat, mereka secara pukul rata menyalahkan agama sebagai salah satu penyebab ketertindasan perempuan. Perubahan mulai terlihat ketika kalangan feminis muslim yang dipelopori oleh Wardah Hafiz mengundang nara sumber dari luar seperti Rifat Hassan (tahun 90) dan Ashgar Ali Engineer (1992).34

Berbagai upaya tersebut, khusunya di kalangan masyarakat berbasis pesantren ini bukannya tanpa hambatan. Hambatan ini tidak lain adalah mapannya stereotip-stereotip negatif tentang perempuan. Apalagi stereotip itu didukung teks-teks klasik yang bersumber dari Kitab Kuning. Walau beragam stereotip itu selama puluhan tahun telah lebih dulu mengakar dalam pemahaman masyarakat dan komunitas pesantren akibat penafsiran yang bias gender dan patriarki, namun telah mulai bisa “diadvokasi” oleh komunitas pesantren sendiri. Hal ini bisa dilihat dari mulai munculnya pesantren penggerak pemberdayaan masyarakat untuk hak-hak perempuan. Seperti, PP. Al-Hamidiyah, Depok-Jabar; PP. An-Nizhomiyyah, Pandeglang-Banten; PP. Aqidah Usymuni, Sumenep-Madura; PP.

33

Ibid. 34


(41)

Nurul Huda, Garut- Jabar; PP. Al-Ittihad, Rawabango-Cianjur-Jabar; atau PP. Nurul Islam, Jember-Jatim; dan sebagainya. Pesantren-pesantren ini telah melakukan upaya penyadaran terhadap masyarakat tentang nilai-nilai kesetaraan antara lelaki dan perempuan.35

Upaya yang terus menerus untuk mensosialisasikan gagasan kesetaraan jender oleh para aktivis LSM perempuan Islam berbasis pesantren pada akhirnya menuai hasil yang memberikan harapan baru yang lebih optimistik. Terlihat dari semakin banyaknya ulama, terutama ulama muda dari pondok pesantren yang kemudian memahami dengan baik wacana ini pada satu sisi, dan terlibat secara aktif mengembangkan wacana-wacana tersebut pada sisi yang lain. Hal ini tidak terlepas dari peran sejumlah ulama Indonesia yang concern pada upaya pemberdayaan berbasis pesantren, seperti Nyai Hj. Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid; KH. Husein Muhammad; Badriyah Fayumi; Faqihuddin Abdul Kodir; dan lainnya. Tampak dari sini, pengorganisasian berbasis komunitas pesantren ini, juga bukan hal yang tidak mungkin untuk dilaksanakan. Keberhasilan ini dalam banyak pengalaman lebih disebabkan oleh paling tidak tiga hal:

Pertama, karena penyampaian fakta-fakta dan realitas sosial yang tidak mungkin dibantah yang berkaitan dengan ketidakadilan yang ada di dalam komunitas Muslim. Kedua, karena kemampuan aktivis menganalisa secara kritis wacana-wacana agama menyangkut isu-isu jender yang terdapat dalam literatur acuan para ulama malalui pendekatan budaya mereka; klasik vs klasik. Ketiga, karena berkembangnya kesadaran baru dalam masyarakat muslim akan keharusan penegakan hak-hak asasi manusia dan demokrasi yang juga menjadi pesan utama agama.36

35

Hafidzoh Almawaliy, Pengorganisasian Umat; Upaya Sadar Membela Hak-Hak Perempuan, Swara Rahima, No. 29 Th. IX, Desember 2009, hal. 9-10.

36


(42)

Di sini Kyai Husein terlibat dalam gerakan kesetaraan jender dengan mengusung isu utama yaitu gagasan Islam dan jender beliau juga disebut sebagai pewaris semangat intelektualisme dan aktivisme ulama-ulama salaf. Beliau tampil dengan berbagai pemikirannya yang kritis dan tajam untuk mengais, mengumpulkan dan mempropagandakan kebenaran-kebenaran yang ‘termarjinalkan’ itu atau juga kebenaran-kebenaran yang sengaja ‘dimarjinalkan’ oleh kelompok-kelompok atau kepentingan-kepentingan tertentu yang sesaat dan bahkan menyesatkan.

Misalnya, penolakan secara tegas yang dilakukannya terhadap pemahaman inferior dan subordinasi perempuan, ia kemudian tampil dengan mempropagandakan secara konsisten tentang kesetaraan antara laki-laki dan perempuan; tindakan kekerasan atas nama agama oleh kelompok-kelompok tertentu dalam beragam bentuknya; dan penindasan/eksploitasi manusia atas manusia yang lain. Disini Kyai Husein tampil dengan wacana humanisme Islamnya.37

Kyai Husein sebagai laki-laki yang mengusung gagasan feminisme Islam, bisa dikategorikan sebagai feminis laki-laki atau laki-laki yang melakukan pembelaan terhadap perempuan. Kesadaran Kyai Husein akan penindasan perempuan muncul ketika beliau pada tahun 1993 diundang dalam seminar tentang perempuan dalam pandangan agama-agama. Sejak itu Kyai Husein mengetahui ada masalah besar yang dihadapi dan dialami perempuan. Dalam kurun waktu yang panjang, kaum perempuan mengalami penindasan dan

37

KH. Husein Muhammad, Spiritualitas Kemanusiaan Perspektif Islam Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Rihlah, 2006), hal. xi. Untuk selanjutnya akan ditulis spiritualitas kemanusiaan.


(43)

eksploitasi. Dari situ Kyai Husein diperkenalkan dengan gerakan feminisme, yang berusaha dan memperjuangkan martabat manusia dan kesetaraan sosial (jender). Kyai Husein merasa disadarkan akan adanya peran para ahli agama (agamawan), bukan saja Islam tapi dari seluruh agama, yang turut memperkuat posisi subordinasi perempuan dari laki-laki.38

Dengan mengusung gagasan feminisme Islamnya, Kyai Husein melakukan pembelaan terhadap perempuan, menurut beliau pembelaan terhadap perempuan dapat membawa dampak sangat strategis bagi pembangunan manusia. Sebagaimana yang diungkapkannya:

Banyak orang beranggapan bahwa masalah penindasan terhadap perempuan adalah masalah yang tidak besar, padahal masalah yang dialami dan dihadapi perempuan adalah masalah besar, karena perempuan adalah bagian dari manusia dan bagian dari jenis manusia, dan ketika perempuan dijadikan nomor dua maka ini sebenarnya adalah masalah besar bagi kemanusiaan.39

Perbedaan KH. Husein Muhammad dengan feminis lain adalah dalam hal wilayah yang digarap. Wilayah perjuangan Kyai Husein adalah wilayah agama, khususnya pesantren; yaitu budaya yang melegitimasi agama sebagai bagian dari kehidupan sosialnya, hampir semua prilaku yang dilakukan merujuk pada agama. Wilayah inilah yang sangat dominan di tengah-tengah masyarakat Indonesia. 40

Untuk itu pada bab dua ini penulis menyimpulkan bahwa Perjuangan Kyai Husein dalam gerakan kesetaraan jender meskipun mendapat tantangan, namun beliau tidak mudah untuk menyerah, melalui pemikiran-pemikiran cerdasnya

38

KH. Husein, Islam Agama Ramah, hal. xxiv. 39

Ibid, hal. xxi. 40


(44)

akhirnya tidak sedikit ulama yang sepakat dengan beliau dan ikut serta dalam memperjuangkan kesetaraan gender.


(45)

Pada bab ini akan dipaparkan tentang riwayat hidup Kyai Husein dan berbagai pengalaman organisasi yang digelutinya, juga berbagai karya-karya Kyai Husein yang begitu banyak dan concern dalam isu-isu jender khususnya di Indonesia.

A. Riwayat Hidup

KH. Husein Muhammad, lahir di Cirebon, pada tanggal 9 Mei 1953 dari pasangan KH. Muhammad Asyrofuddin (alm) dan Nyai Hj. Ummu Salma Syathori (almh). Ayahanda Kyai Husein merupakan seorang ulama kharismatik dari kota udang tersebut. Diambil menantu oleh KH. Syahtori ketika beliau nyantri dipondok tersebut. Selain mengajar mengaji dan menjadi guru agama di pesantren itu, ayahanda Kyai Husein juga seorang penyair dan pandai menulis puisi. Dari hasil pernikahannya dengan Hj. Nihayah Fuadi Amin ini telah dikaruniai 5 orang anak: Hilya Auliya (lahir 1991), Layali Hilwa (lahir 1992), Muhammad Fayyaz Mumtaz (lahir 1994), Najla Hammaddah (lahir 2002) dan Fazla Muhammad (lahir 2003).1

Karier pendidikannya dimulai dari lingkungan keluarga yang sangat religius, kemudian menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur, tahun 1873. Selain itu, ia melanjutkan study ke Perguruan Tinggi

1

KH. Husein, dkk, Modul Kursus Islam dan Gender; Dawrah Fiqh Perempuan, (Cirebon: Fahmina Institute, 2007), hal. 325. Untuk selanjutnya akan ditulis dawrah fiqh perempuan.


(46)

Ilmu al-Qur’an (PTIQ) Jakarta, tamat tahun 1980. Lalu meneruskan Dirasah Khasshah di al-Azhar Kairo, Mesir hingga Tahun 1983. Sepulang dari Mesir, ia memimpin Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon Jawa Barat hingga sekarang. Kyai ‘nyentrik’ dan ‘idola anak muda’ ini cukup produktif dalam hal tulis menulis.2

Nasab Kyai diperoleh dari Ibunya yang merupakan putri pendiri Pesantren Dar al-Tauhid yaitu KH. A. Syathori. Sedangkan ayahnya hanyalah orang biasa yang diambil menantu oleh Kyai di pesantren tersebut. Akan tetapi, walaupun orang biasa, Kyai Muhammad juga merupakan keturunan keluarga yang biasa mengenyam pendidikan pesantren, sehingga secara kultural Kyai Husein lahir dan tumbuh dari keluarga pesantren.3

Saudara Kyai Husein berjumlah delapan orang, yaitu:

1. Hasan Thuba Muhammad, Pengasuh Pondok Pesantren Raudlah at- Thalibin, Bojonegoro, Jawa Timur

2. Husein Muhammad, Pengasuh Pondok Pesantren Dar at Tauhid, Cirebon 3. Dr. Ahsin Sakho Muhammad, Pengasuh Pondok Pesantren Dar at Tauhid,

Cirebon

4. Ubaidah Muhammad, Pengasuh Pondok Pesantren Lasem, Jawa Tengah 5. Mahsum Muhammad, Pengasuh Pondok Pesantren Dar at Tauhid, Cirebon 6. Azza Nur Laila, Pengasuh Pondok Pesantren HMQ Lirboyo, Kediri

7. Salman Muhammad, Pengasuh Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang, Jawa Timur

2

KH. Husein, Spiritualitas Kemanusiaan; Perspektif Islam Pesantren, (Yogyakarta: Pustaka Rihlah, 2006), hal 315. Untuk selanjutnya akan ditulis spiritualitas kemanusiaan.

3


(47)

8. Faiqoh, Pengasuh Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur

Semua saudara KH Kyai Husein yang menjadi pengasuh di banyak pesantren menunjukkan bahwa mereka merupakan keturunan keluarga yang peduli terhadap pendidikan. Hal ini bisa dilihat dari figur kakek mereka KH. A.. Syathori yang giat memperjuangkan pendidikan dengan menggunakan sistem pendidikan Madrasah, padahal pada waktu itu sistem pendidikan Madrasah belum banyak digunakan oleh pesantren.4

Kyai Husein mengenyam pendidikan baik pendidikan agama, yang merupakan kultur keluarganya dan juga pendidikan umum. Pendidikan agama mula-mula diperoleh dari kakeknya dan juga Madrasah Diniyah (agama). Disamping itu Kyai Husein juga bersekolah di Sekolah Dasar, selesai tahun 1966, kemudian melanjutkan di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 1 Arjawinangun, selesai tahun 1969. Ketika menjalani pendidikan di SMP, banyak hal dilakukan oleh Husein kecil, dia aktif dalam organisasi sekolah bersama rekan-rekannya dan juga menghafal al-Qur’an sampai memperoleh tiga juz. Hal ini menunjukkan bahwa Kyai Husein merupakan sosok orang yang haus akan pengetahuan dan pengalaman sejak masih belia. Ketika anak seusianya lebih senang bermain, Kyai Husein justru giat belajar dan menambah pengetahuan.

Setelah lulus dari SMP, Buya Husein –Sapaan akrab beliau dikalangan anggota Fahmina Institue –, merantau ke Jawa Timur, belajar di Pesantren Lirboyo Kediri. Sebuah Pesantren besar di Jawa Timur yang terkenal melahirkan banyak Kyai, banyak hal yang dilakukan beliau mondok. Ketika santri lain keluar

4


(48)

untuk mencari hiburan di kota pada waktu-waktu tertentu, hal itu justru dimanfaatkan oleh beliau untuk mencari surat kabar untuk dibaca, ”Biasanya santri Lirboyo sepengetahuannya keluar atau jalan-jalan pada hari Kamis sore sampai Jum’at sore”, bahkan beliau sempat mengirimkan tulisannya kepada koran setempat.5

Setelah tamat dari Lirboyo tahun 1973, Husein muda melanjutkan pengembaraannya dalam mencari ilmu di Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an (PTIQ) Jakarta, sebuah perguruan tinggi yang mengkhususkan kajian tentang al-Qur’an dan mewajibkan mahasiswanya hafal al-al-Qur’an ketika belajar di PTIQ, Kyai Husein melanjutkan hafalan al-Qur’annya hingga selesai.

Selama kuliah di PTIQ, darah aktivisnya tidak terbendung. Kyai Husein bersama teman-temannya mendirikan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Kebayoran Lama. Bahkan pada tahun 1979 beliau menjadi Ketua Umum Dewan PTIQ. Selain itu dengan berbekal pengetahuan jurnalistik yang dia peroleh dari pendidikan jurnalistik bersama Mustofa Hilmy, seorang yang pernah menjadi redaktur Tempo, Kyai Husein juga aktif menulis dan mempelopori majalah dinding kampus. Dari jiwa menulis inilah yang mengantarkan beliau dalam kancah internasional dan diakui sebagai tokoh feminis muslim sekaligus dikenal dengan ”kyai gender”.

Semua aktivitas semasa kuliah menunjukkan bahwa Kyai Husein merupakan orang yang tidak mau membuang waktunya dengan sia-sia. Beliau selalu ingin mengisi waktunya dengan mengkaji berbagai pengetahuan. Kyai

5

Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), hal. 111-112. Untuk selanjutnya akan ditulis kiai husein membela,


(49)

Husein memperoleh gelar sarjana tahun 1980, pada tahun yang sama beliau berangkat ke Kairo, Mesir atas saran gurunya Prof. Ibrahim Husein untuk mempelajari Ilmu Tafsir al-Qur’an. Selama di Kairo, beliau benar-benar memanfaatkan waktunya dengan baik. Di al-Azhar inilah beliau mulai berkenalan dengan buku-buku yang dikarang oleh pemikir besar seperti Qasim Amin, Ahmad Amin maupun buku filsafat dari Barat yang ditulis dalam Bahasa Arab seperti Nietzsche, Sartre, Albert Camus, dan lain-lain.6

Pendidikan di al-Azhar sampai tahun 1983, dan pada tahun itu pula beliau kembali ke tanah air untuk melanjutkan perjuangan kakeknya mengembangkan Pesantren Dar at Tauhid walaupun ada tawaran menjadi dosen di PTIQ.

Dapat dikatakan, sejak muda Kyai Husein memang seorang yang akrab dengan dunia pengetahuan, mulai dari beliau belajar al-Qur’an bahkan menghafalnya sejak usia dini, belajar di Pesantren yang merupakan kultur keluarganya, sampai ketika beliau belajar Ilmu Tafsir di Kairo.7

B. Pengalaman Organisasi

Begitu banyak pengalaman organisasi yang digeluti oleh Kyai Husein diantaranya sebagai pendiri, pengasuh, ketua, kepala madrasah aliyah, wakil ketua, penanggung jawab, dewan redaksi, konsultan, dan tim pakar. Untuk lebih jelasnya antara lain:

1. Pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun, Cirebon.

6

Nuruzzaman, Kiai Husein Membela, hal. 6. 7


(50)

2. Ketua Badan Koordinasi TKA-TPA Wilayah III Cirebon, (1992-Sekarang).

3. Ketua KOPONTREN Darut al-Tauhid Arjawinangun, Cirebon (1994-Sekarang).

4. Ketua Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Arjawinangun, Cirebon (1996-sekarang).

5. Kepala Madrasah Aliyah Nusantara Arjawinangun, Cirebon (1998-Sekarang).

6. Ketua Umum DKM Masjid Jami’ Fadhlullah Arjawinangun, Cirebon (1998).

7. Wakil Ketua DPRD Kabupaten Cirebon (1999).

8. Pendiri/Wakil Ketua Puan Amal Hayati Jakarta, (1999-Sekarang). 9. Ketua Umum Yayasan Wali Sanga, (1996-Sekarang).

10.Pendiri dan Ketua Dewan Kebijakan Fahmina Institute, Cirebon. (1999-Sekarang)

11.Pendiri dan Pengurus Yayasan Rahima Jakarta, (2000-Sekarang).

12.Pendiri Puan Amal Hayati Cirebon (Women Crisis Center/WCC Balqis), (2001-Sekarang)

13.Anggota Pengurus Associate The Wahid Institute Jakarta (2004-Sekarang).

14.Pemimpin Umum atau Penanggung Jawab Majalah Dwi Bulanan Swara Rahima, (Jakarta, 2001-Sekarang).


(51)

15.Dewan Redaksi Jurnal Dwi Bulanan Puan Amal Hayati, Jakarta, (2001-Sekarang).

16.Penanggung Jawab Buletin Mingguan Warkah al-Basyar, Fahmina Institute, Cirebon, (2003-Sekarang).

17.Penanggung Jawab Newsletter Dwi Bulanan Masalih al-Ra’iyyah, Fahmina Institute, (Cirebon, 2003).

18.Konsultan Yayasan Balqis untuk Hak-hak Perempuan, Cirebon (2001-Sekarang).

19.Konsultan The Asia Foundation (TAF) untuk Islam dan Civil Society 20.Anggota pengurus Associate Yayasan Desantara Jakarta (2002-sekarang) 21.Anggota National Board of International Center for Islam and Pluralisme

(ICIP), Jakarta (2003-Sekarang).

22.Tim pakar Indonesian Forum of Parliamentarians on Population and Development (2003).

23.Anggota Dewan Syuro DPP PKB (2001-2005). 24.Komisioner pada Komnas Perempuan (2007-2009)

Selain aktif dalam dunia keorganisasian, Kyai Husein juga aktif dalam kegiatan seminar maupun konferensi, baik di dalam negri maupun di luar negri, sebagai peserta, fellowship, narasumber, lectur, dan juga sebagai pembicara. Dan untuk lebih jelasnya adalah seperti berikut ini:

1. Konferensi Internasional tentang Al-Qur’an dan Iptek, yang diselenggarakan oleh Rabithah Alam Islami, Makkah, di Bandung, (1996).


(52)

2. Peserta Konferensi Internasional Tentang Kependudukan dan Kesehatan Reproduksi, di Kairo, Mesir, (1998).

3. Peserta Seminar Internasional Tentang AIDS di Kuala Lumpur, Malaysia, tahun 1999.

4. Mengikuti Study Banding Tentang Aborsi Aman di Turkey, (6-13 Juli 2002).

5. Fellowship pada Institute Study Islam Modern (ISIM) Universitas Leiden Belanda, (November 2002).

6. Narasumber pada Seminar dan Lokakarya Internasional: Islam dan Jender, di Colombo, Srilanka, (29 Mei s/d 2 Juni 2003).

7. Lecture pada International Scholar Visiting di Malaysia, (07-13 Oktober 2004)

8. Peserta Seminar Internasional Conference of Islam Schoolars di Jakarta, (23-25 Februari 2004).

9. Pembicara pada Seminar International : “Social Justice and Gender Equity within Islam”, di Dhaka, Bangladesh, (8 - 9 Pebruari 2006).

10.Pembicara pada Seminar International “Trends in Family Law Reform in Muslim Countries” di Malaysia, (18 - 20 Maret 2006)

11.Narasumber Pemakalah dalam berbagai Seminar/Diskusi/Lokakarya Tentang Keislaman, dan Jender & Hak-Hak Reproduksi Perempuan Tingkat Nasional, Regional dan Internasional.8

8


(53)

Selain aktifitas beliau di organisasi dan berbagai kegiatan seminar maupun konferensi, beliau juga aktif menulis di berbagai media, seperti:

1. Kontributor/Tim Penyusun Counter Legal Drafting Kompilasi Hukum Islam.

2. Penulis tetap Buletin Mingguan Warkah al-Basyar, Fahmina Institute 3. Penulis tetap dalam Majalah Dwi Mingguan Swara Rahima.

4. Kontributor di berbagai media massa, baik lokal, nasional maupun internasional.

Keterlibatan beliau dalam berbagai aktifitas, secara tidak langsung memberikan warna tersendiri dalam khasanah keilmuan. Karenanya, tak heran jika berbagai penghargaan diraihnya atas apresiasi dan jerih payah beliau dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Beberapa penghargaan yang diraihnya misalnya:

1. Penghargaan Bupati Cirebon sebagai Tokoh Penggerak, Pembina dan Pelaku Pembangunan Pemberdayaan Perempuan.

2. Penerima Penghargaan dari Pemerintah AS untuk “Heroes Acting To End Modern-Day Slavery”. (Trafficking in Person). “Award for Heroisme”.9

C. Karya-Karyanya

Tulisan-tulisan Kyai Husein terbagi menjadi tiga bagian, diantaranya: Pertama tulisannya tentang jender. Kedua, tulisannya tentang Fiqh perempuan.

9


(54)

Ketiga, tulisannya tentang Islam, dan beberapa karya terjemahannya yang tersebar di berbagai media, baik nasional maupun internasional.

1. Tulisan tentang Jender

a. Refleksi Teologis tentang Kekerasan terhadap Perempuan, dalam Syafiq Hasyim (ed), Menakar Harga Perempuan: Eksplorasi Lanjut atas Hak-Hak Reproduksi Perempuan Dalam Islam, (Bandung: Mizan, 1999).

b. Gender di Pesantren; Pesantren and The Issue of Jender Relation), dalam Majalah Cultur, The Indonesian Journal of Muslim Cultures, (Center of Languages and Cultures, UIN Syarif Hidayatullah: Jakarta, 2002).

c. Kelemahan dan Fitnah Perempuan, dalam Moqsith Ghazali, et. all, Tubuh, Seksualitas dan Kedaulatan Perempuan; Bunga Rampai Pemikiran Ulama Muda, (Yogyakarta: Rahima-FF-LKiS, 2002).

d. Kebudayaan yang Timpang, dalam K. M Ikhsanudin, dkk. Panduan Pengajaran Fiqh Perempuan di Pesantren, (Yogyakarta: YKF-FF, 2002).

e. Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kyai Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2004).

2. Tulisan tentang Fiqh

a. Fiqh Perempuan; Refleksi Kyai Atas Wacana Agama dan Gender, (Yogyakarta: LKiS, 2001).


(55)

b. Taqliq wa Takhrij Syarh ‘Uqud al-Lujain, (Yogyakarta: Forum Kajian Kitab Kuning-LKiS, 2001).

c. Panduan Pengajaran Fiqh Perempuan di Pesantren, (Yogyakarta: YKF-FF, 2002);

d. Tradisi Istinbath Hukum NU: Sebuah Kritik. dalam M. Imaduddin Rahmat (ed), Kritik Nalar NU: Tranformasi Paradigma Bahtsul Masa’il, (Jakarta: LAKPESDAM, 2002).

e. Fiqh Wanita: Pandangan Ulama Terhadap Wacana Agama dan Gender, (Malaysia: Sisters in Islam, 2004).

f. Pemikir Fiqh yang Arif, dalam KH. MA. Sahal Mahfudh, Wajah Baru Fiqh Pesantren, (Jakarta: Citra Pustaka, 2004).

g. Kembang Setaman Perkawinan: Analisis Kritis Kitab ‘Uqud al-Lujain, (Jakarta: FK-3-Kompas, 2005).

h. Dawrah Fiqh Perempuan; Modul Kursus Islam dan Gender, (Cirebon: Fahmina Institute, 2006).

3. Tulisan tentang Islam

a. Metodologi Kajian Kitab Kuning, dalam Marzuki Wahid, dkk. (ed.), Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999).

b. Kontekstualisasi Kitab Kuning: Tradisi Kajian dan Metode Pengajaran, dalam Marzuki Wahid, dkk. (ed.), Pesantren Masa


(56)

Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999).

c. Potret Penindasan Atas Nama Hasrat, dalam Soffa Ihsan, In The Name of Sex: Santri, Dunia Kelamin, dan Kitab Kuning, (Surabaya: JP Books, 2004).

d. Counter Lgal Draft; Merespon Realitas Sosial Baru, dalam Ridwan, M.Ag, Kontroversi Counter Legal Draft: Ikhtiar Pembaharuan Hukum Keluraga Islam, (Yogyakarta: PSW Purwokerto-Unggun Religi, 2005) e. Sebaiknya Memang Tidak Poligami, dalam Faqihuddin Abdul Kodir,

Memilih Monogami: Pembacaan Atas al-Qur’an dan Hadits Nabi, (Yogayakarta: LKiS-Fahmina Institute, 2005).

f. Spiritualitas Kemanusiaan, Persektif Islam Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2006).

g. Cintailah Tuhan, Niscaya Segalanya Jadi Indah, dalam Masriyah Amva, Cara Mudah menggapai Impian, (Bandung: Nuansa, 2008)10

4. Karya Terjemahan

a. Khuthab al-Jumu’ah waal-‘Idain, lajnah Min Kibar Ulama al-Azhar (Wasiat Taqwa Ulama-Ulama Besar al-Azhar), Jakarta: Bulan Bintang, 1985.

10


(57)

b. DR. Faruq Abu Zaid, Al-Syari’ah al-Islamiyah Bain al-Mujaddidin wa-al Muhadditsin, (Hukum Islam antara Modernis dan Tradisionalis), Jakarta: P3M, 1986.

c. Syeikh Muhammad Madani, Mawathin Ijtihad Fi Syari’ah Islamiyah; Sayid Mu’in Din, Taqlid wa Talfiq fi Fiqh Islamy, Sayid Mu’in Din, Al-Taqlid wa al Talfiq fi al Fiqh Islamy, Dr. Yusuf al Qardhawi, Al-Ijtihad wa al Taqlid baina al-Dhawabith al Syari’iyah wa al Hayah al Mu’ashirah, (Dasar-Dasar Pemikiran Hukum Islam), Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987

d. Kasyifah al Saja, Bandung: Mizan, 1992

e. Syeikh Mushthafa al-Maraghi, Al-Fath al-Mubin fi Thabaqat al-Ushuliyin (Pakar-pakar Fiqh sepanjang sejarah), Yogyakarta: Penerbit LKPSM, 2001.

f. Wajah Baru Relasi Suami Istri Telaah Kitab Syarh ‘Uqud al-Lujain, Yogyakarta: Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) bekerjasama dengan LKiS, Yogyakarta, 2001.

g. Shinta Nuriah, et.al, Kembang Setaman Perkawinan, Jakarta: Kompas, 2004.11

Karya-karya yang diuraikan di atas mungkin hanya sebagian dari tulisan beliau, karena tidak sedikit tulisan beliau yang tersebar dimana-mana, misalnya dalam bentuk makalah maupun tulisan di media massa. Berikut ini kumpulan beberapa makalah, jurnal, media massa yang sempat penulis rangkum.

11


(58)

Dari paparan pada bab ini bisa disimpulkan bahwa pendidikan Kyai Husein berlatar belakang pendidikan agama dan itu sangat mendukung perjuangannya dalam membela gerakan kesetaraan jender. Keterlibatan Kyai Husein dalam memperjuangkan kesetaraan jender tidak hanya dalam tataran teoritis, akan tetapi juga melalui wacana. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya tulisan-tulisan beliau yang berbicara tentang isu-isu jender maupun wacana lainnya.


(1)

menjadi ”good father” juga beliau menjadi simbol kewibawaan Fahmina karena dimasyarakat Cirebon Kiyai menjadi sangat penting di Fahamia. Karena setiap kali diskusi selalu ada saja pemikiran pemikiran beliau yang cerdas dan inofatif dan itu membuat teman-teman sangat senang. Posisi KH. Husein sejak Fahmina berdiri sampai sekarang beliau menjadi Ketua Dewan Kebijakan Fahmina dan menjadi Ketua Pembina Yayasan yang itu menjadi sangat strategis di Fahmina. Dulu selalu menemani teman-teman di Famina unuk berdiskusi untuk meningkatakan kapasitasnya dan menjadi nara sumber diberbagai kegiatan yang berhubungan dengan isu-isu perempuan dan juga dengan isu-isu keislaman baik di Pesantren maupun di masyarakat. Dan sejak Komnas Perempuan berdiri dan KH. Husein masuk didalamnya memang intensitas beliau di Fahmina relatif berkurang tetapi beliau masih punya perhatian yang tinggi di Fahmina, setiap beliau pulang ke Cirebon mapir ke Fahmina untuk bertemu, berdiskusi dan juga terus menerus melakukan pendampingan terhadap aktifis Fahmina yang masih junior itu

Pertaanyaan : Bagaimana strategi KH. Husein Muhammad dalam menghadapi ulama yang tidak sepaham?

Marzuki : Wacana keadilan dan kesetaraan jender ini dikalangan ulama memang sebuah wacana yang sangat sensitif, karena mereka sudah terlanjur mapan dengan ketimpangan jendernya itu dan kemudian dengan kuasa laki-lakinya itu mayoritas fiqh yang dibentuk itu fiqh-fqh patriarkis sebagaimana yang tertulis diberbagai kitab kuning. kerena itu ketika wacana keadilan dan kesetaraan jender ini digunakan atau menjadi perspektif atau menjadi pendekatan dan bahkan masuk kedalam wacana keislaman maka tentu ssaja banyak pihak yang merasa terancam kemapanannya, diantaranya adalah para kiyai, dari sini maka


(2)

timbulah reaksi, ada dua reaksi yaitu ada reaksi yang mendukung dan menolak dan tentunya saja kiyai-kiyai yang mendukung tidak ada masalah karena mereka menjadi bagian dari gerakan itu, tapi kiyai-kiyai yang menolak dengan isu-isu ini dan pertanyaan anda, bagaimana kita mendekatinya? sejauh ini pendekatan kita adalah melalui fiqh, dialog, baik secara formal maupun informal, secara formal itu misalnya di forum-forum resmi ada forum mujallasatul ulama, juga ada forum munazarah, muzakarrah, kemudian ada hallaqah, ada diskusi. Dan forum-forum yang tidak resmi kita datang ke kiyai itu untuk melakukan diskusi secara informal dengan cara silturrahim, ngobrol itu sebetulnya kita sudah mempengaruhi cara berfikir mereka dan itu pendekatan kultural yang kita gunakan untuk mempengaruhi kerangka berfikir terutama kiyai-kiyai yang tidak sepaham. Mereka terancam terutama isu poligami karena kita memahami bahwa poligami adalah bagian dari kekerassan terhadap perempuan dan karena itu polgami dalam berbagai prakteknya dan juga kerangka berfikirnya itu sudah bagian dari kekerasan terhadap perempuan karena itu kita menolak poligami dan menghukuminya haram lighairihi, dengan cara-cara seperti ini maka kiyai itu terancam terutama kiyai-kiyai yang poligami atau yang sudah terlanjur.

Pertanyaan : Apa yang menjadi landasan dasar KH. Husein Muhammad dalam mengeluarkan gagasan-gagasannya?

Marzuki : Menurut saya tidak ada bedanya dengan kerangka berfikir orang-orang Pesantren, KH. Husein itu menurut aku meskipun menjadi aktivis perempuan atau pejuang perempuan kerangka berfikirnya itu sama dengan orang Pesantren, saya kira beliau tetap mengakui alqur’an dan assunaah sebagai sumber utama ajaran Islam dan itu selalu manjadi rujukannya, kemudian menggunakan Ijma dan


(3)

Kiyas dan juga dengan dali-dalil yang lain seperti Ihtisan, Istihlah al Aruf kemudian Aafina Qoblana dan banyak lagi yang itu digunakan oleh KH. HuseIn. Kemudian yang paling spesifik dibanding dengan kiyai-kiyai yang lain adalah penguasaan beliau terhadap kitab kuning, terhadap khazanah keislaman klasik yang menurut saya nyaris dalam konteks pembaharuan pemikiran keislaman berspektif jender. Menurut saya KH. Husein adalah yang terdepan dalam konteks ini karena beliau menguasai betul khazanah keislaman klasik terutama kitab-kitab kuning, mulai dari ktab kuning yang fiqh, filsafat, teologi sampai kitab-kitab yang saklak. Kerena memang beliau berangkat dari tradisi Pesantren.

Pertanyaan : Bagaimana pengaruh dari aktivits yang dilakukan KH Husein Muhammad terhadap kesetaraan jender?

Marzuki : Menurut saya banyak, terutama dari beberapa kiyai yang tadinya antipati dengan isu-isu keadilan dan kesetaraan jender lalu dengan penjelsan KH. Husein yang menurut saya cukup bagus. Dan pengaruh yang kuat adalah dikalangan Pesantren. Untuk sebagian kiai-kiai yang antipati terhadap isu-isu keadilan dan kesetaraan jender lalu kemudian belum mengaku kesetaraan lakilaki dan perempuan dengan hadirnya KH. Husein yang cukup fasih menjelaskan argemen-argemen keagamaannya dengan berbasis kitab kuning ini maka tentu saja jadi banyak kiai yang mengakui dan bersama dengan KH. Husein misalnya ada Kiai Muhidin Abdu Somad di Jember lalu ada juga kiai Hanafi di Solo lalu ada kiai Muhaimin di Jogja, juga ada beberapa Ibu Nyai yang sering diskusi dengan KH. Husein kemudian ada Hindun Annisa di Krapyak yang sekarang di Jepara dan seterusnya itu, saya kira itu bagian dari hasil yang diperoleh. itu dari kalangan Pesantren dan juga dari kalangan santri juga banyak yang


(4)

kemudian mereka yakin dengan penjelasan-penjelasan itu karena sebagian mereka itu tidak bisa didekati dengan penjelasan-penjelasan yang semata-mata sosiologis, antropologis atau sosial, mereka itu harus didekati dengan pendekatan agama pendekatan teologis dan itu melalui pendekatan kitab kuning. Dalam konteks itu KH. Husein jadi sangat penting karena beliau adalah sosok yang bisa meyakinkan mereka-mereka yang tidak bisa didekati dengan pendekatan sosiologis, antropologis maupun politik. Kemudian dari kalangan aktivis muslim atau aktivis perempuan yang muslim yang kurang mendalami agama lalu selama ini merasa ada kontradiksi antara perjuangan mereka yang mendorong keadilan dan kesetaran jender, ajaran agama yang umumnya difahami. dengan hadirnya KH. Husein itu semua menjadi selesai, teratasi. Misalnya satu contoh Fahmina ini mempunyai pelatihan kursus Islam dan jender yang sekarang sudah delapan angkatan bahkan sekarang masih dibuka dan kursus Islam dan jender ini diminati oleh aktivis perempuan yang berlatar belakang non agama dan mereka selau mencitrakan bahwa terjadi kontradiksi diantara perjuangan mereka untuk menegakkan keadilan dan kesetaraan jender dengan beberapa ajaran Islam yang mereka fahami, lalu kemudian ketika dilapangan mereka disoal oleh agama dan mereka tidak dapat menjawabnya dan dengan kehadiran KH. Husein dan juga Fahmina dalam konteks ini adalah kelembagaan fahmina mereka merasa terbantu. Fengan perspektif Fahmina untuk menjelaskan kepada mereka bahwa sesungguhnya Islam itu adil dan setara jender, juga Islam itu humanis lalu kemudian kita jelaskan bagaimana dengan ajaran-ajaran yang terkesan kontradisi ini kita katakan bahwa itu adalah konstruksi dimasa lalu dan itu adalah bias jender, patriarkis dan seterusnya. Karena itu perlu dibaca ulang, di tafsirkan ulang menjadi ajaran yang adil jender. Karena


(5)

kalau kita menelusuri al-Qur’an dan as-Sunnah itu maka intinya adalah keadilan, kesetaraan, kemaslahatan, kerohmatan dan kebijaksanaan, itu saya kira beberapa hasil yang diperoleh.

Pertanyaan : Apa saja yang dilakukan KH. Husein Muhammad dalam membongkar tradisi Pesantren?

Marzuki : Sebetulnya kalau menurut aku beliau tidak terlalu membongkar, karena saya tau persis KH. Husein itu sebenarnya kalau bahasa muqsid itu memulung, memulung serpihan-serpihan Aqwalul ulama yang ada di kitab kuning, jadi sebetulnya kitab kuning itu adalah arena yang cukup luas didalam kitab kuning itu ada mulai dari kenservaifme sampai ke liberal ada orang yang sangat anti terhadap kesetaraan juga ada orang yang sangat pro dengan kesetaraan. Misalnya kita baca pemikiran Ibnu Rusy atau pemikirannya Imam Fakhrudin ar-Razi itu mereka menurut aku sudah luar biasa dan KH. Husein mengambil pemikiran-pemikiran ulama yang mendukdung keadilan dan kesetaraan jender yang mendukung penegakan kemanusiaan yang mendukung kerangka berfikir yang lebih terbuka. Itu beliau memulung dari khazanah-khazanah klasik sebetulnya tidak terlalu deskontruktif karena saya pikir KH. Husein masih menggunakan kerangka berfikir yang sama dengan orang Pesantren, mulai dari al-Qur’an, sunnah, ijma, kiyas, dalil-dalil fiqh kemudian juga dengan basis kitab kuning. KH. Husein melakukan kajian ulang, tafsir ulang terhadap beberapa isu-isu sosial yang menyangkut relasi laki-laki dan perempuan.

Pertanyaan : Apa harapan anda kepada KH. Husein Muhammad?

Marzuki : Harapan saya sangat besar, sebetulnyaa KH. Husein sudah menulis beberapa buku misalnya buku Fiqh perempuan yang


(6)

saya juga terlibat dalam proses editing , dan masih banyak yang lainya, dan menurut saya itu belum cukup. Saya berharap KH. Husein menulis satu tafsir yang utuh yang itu berspektif keadilan dan kesetaraan jender misalnya seperti: Quraisy Sihab dan saya berharap KH. Husein menulis tafsir keadilan. misalnya mulai dari ayat pertama surat al-Fatihah sampai Minaljinnati wannas, ayat terakhir dari surat an-Nas dan saya berharap KH. Husein bisa menulis dimasa senjanya ini. Beliau punya waktu yang cukup untuk menuliskan ini, karena menurut aku tafsir keadilan tafsir adil dan setara ini menjadi sangat penting. Inilah dasar-dasar atau ”soko guru” dari perjuangan perempuan untuk menegakkan keadilan dan kesetaraan jender. Saya berharap KH. Husein dapat membuat tafsir ini dengan baik dan memiliki waktu yang cukup, kemudian yang kedua harapan saya juga KH. Husein menulis Fiqh yang terutama isu-isu yang setara laki-laki dan perempuan dalam perspektif keadilan dan kesetaraan jender, itu juga secara utuh. Fahmina memang memiliki dua program itu yaitu, satu menulis tafsir keadilan dan berharap KH. Husein yang menulis dibantu oleh teman-teman Fahmina, lalu yang kedua, menulis Ensiklopedi Islam dan perempuan dengan menggunakan perspektif keadilan dan kesetaraan jender. Jika buku ini ditulis maka menurut saya akan menjadi dasar yang kuat secara teologis bagi gerakan permpuan dimanapun baik di Inonesia maupun dibelahan dunia yang lain. Karena ini belum ada dan ini wilayah yang kosong dan harus diisi oleh orang semacam KH. Husein. Dan harapan saya berikutnya semestinya KH. Husein harus melakukan kaderisasi untuk meneruskan perjuangan beliau, sehingga nanti yang aktif di Komnas Perempuan, di Fahmina yang aktif di gerakan-gerakan dan aksi-aksi itu bukan lagi KH. Husein tapi generasi-generasi berikutnya.