Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini akan dijelaskan tentang bagaimana latar belakang masalah, dan pada bab ini juga akan dibuat pembatasan dan rumusan masalah agar skripsi ini tidak terlalu melebar, juga akan diberi tujuan penelitian dan juga survey pustaka, karna pasti sudah ada beberapa tulisan yang menulis tentang pemikiran KH. Husein Muhammad, dan tidak lupa juga akan dibuat metodologi penelitian agar lebih mengena pada inti penulisan dan juga sistematika penyusunan.

A. Latar Belakang Masalah

Diskursus tentang jender akhir ini semakin menggelinding, menembus sekat-sekat birokrasi, perguruan tinggi, rumah tangga bahkan pondok pesantren yang selama ini dianggap sebagai “sarang konservatif” terhadap berbagai arus pemikiran kontemporer dan sekuler, seperti pemikiran tentang jender, lambat laun sudah merespon wacana tersebut. Fenomena baru memperlihatkan adanya sejumlah Kyai dan Nyai pesantren menaruh minat terhadap isu kesetaraan dan keadilan jender. Meskipun perbincangan terhadap jender sudah semakin merebak namun ada pengamatan, masih sering terjadi kesalahfahaman tentang apa yang dimaksud dengan konsep jender. Kesalahfahaman tentang jender bukan hanya terjadi di kalangan awam, tetapi juga menimpa kalangan terpelajar. Istilah jender sering kali dirancukan dengan istilah jenis kelamin, dan terlebih lagi jender diartikan dengan “jenis kelamin perempuan” , ini jelas salah. Begitu disebut jender, yang terbayang 1 Pendahuluan 2 dalam benak mereka adalah sosok manusia dengan jenis kelamin perempuan padahal, istilah “jender” bukan hanya menyangkut jenis kelamin perempuan melainkan juga jenis kelamin laki-laki. Karena itu, penting sekali memahami terlebih dahulu perbedaan antara jenis kelamin sex dan jender. Yang dimaksud dengan jenis kelamin adalah perbedaan biologis hormonal dan patologis antara perempuan dan laki-laki. Adapun yang dimaksud “jender” seperangkat sikap, peran, tanggung jawab, fungsi, hak, dan perilaku yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan akibat bentukan budaya atau lingkungan masyarakat tempat manusia itu tumbuh dan dibesarkan. 1 Kesimpulannya, jender adalah suatu konsep yang mengacu pada peran- peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial yang dapat diubah sesuai dengan perubahan zaman. Dekade 1930-an merupakan satu tahap penting dalam sejarah pergerakan kaum perempuan Indonesia. Pada periode ini, perubahan dan akhirnya pertentangan ideologi mulai memasuki wacana perempuan. Gagasan kemajuan yang menjadi tema sentral pada dekade pertama abad 20, mulai mengalami pergeseran, atau lebih tepatnya pengkayaan strategi dan perspektif, yang kerap menimbulkan pertentangan satu sama lain di kalangan organisasi perempuan. 2 Dalam setiap masyarakat selalu ada pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki, sehingga dikenal peran jender yang berbeda antara perempuan dan 1 Dr. Siti Musdah Mulia, MA., dkk, Keadilan dan Kesetaraan Jender Perspektif Islam, Jakarta: LKAG, 2003, hal. vii-ix. Untuk selanjutnya akan ditulis keadilan dan kesetaraan jender. 2 Amelia Fauzia, dkk, Tentang Perempuan Islam ; Wacana dan Gerakan, Jakarta: Gramedia, 2004, hal. 42 . untuk selanjutnya akan ditulis wacana dan gerakan. Pendahuluan 3 laki-laki. Konsekwensinya logis dari peran terebut adalah bahwa pekerjaan di rumah tanggga merupakan tugas dan kewajiban pokok perempuan. Pandangan yang demikian itulah yang menimbulkan berbagai masalah dan ketidakadilan bagi perempuan. Perbedaan jender sesungguhnya merupakan hal yang biasa atau suatu kewajaran sepanjang tidak menimbulkan ketikadilan jender. Akan tetapi, realitas di masyarakat menunjukkan bahwa berbedaan jender telah melahirkan berbagai bentuk ketidakadilan, misalnya dalam pemberian beban kerja, perempuan selain dituntut untuk menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga ia juga harus menunjukkan prestasi kerja yang lebih baik di tempat kerjanya. 3 Bentuk lain lagi dari ketidakadilan jender adalah marginalisasi atau pemiskinan ini disebabkan banyak pekerjaan yang digolongkan sebagai pekerjaan perempuan dinilai lebih mudah dari pada pekerjaan laki-laki dan akibatnya upahnya menjadi lebih murah. Ketidakadilan jender dapat juga mengambil bentuk subordinasi, yakni anggapan bahwa perempuan itu tidak penting, melainkan sekedar pelengkap dari kepentingan laki-laki. Ini terjadi baik dalam rumah tangga maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Di masyarakat masih kuat anggapan bahwa perempuan itu tidak rasional dan lebih banyak menggunakan emosinya, sehingga perempuan tidak bisa tampil sebagai pemimpin, juga bisa terjadi dalam kasus pelecehan seksual, masyarakat berkecenderungan menyalahkan kaum perempuan, padahal mereka adalah korbannya. 3 Dr. Siti Musdah, Keadilan dan Kesetaraan Jender, hal. ix. Pendahuluan 4 Berbagai manifestasi ketidakadilan jender tersebut saling terkait. Wujud ketidakadilan itu “tersosialisasi” dalam masyarakat. Jender adalah konstitusi sosial, maka seharusnya bisa diubah. Perubahan tersebut merubah perilaku jender, diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dan sistematis, serta didukung oleh berbagai pranata sosial yang ada. 4 Gerakan perempuan di manapun memiliki keunikan sendiri, tidak terkecuali Indonesia. Salah satu keunikan itu adalah bertemunya kelompok perempuan tak berbasis agama dengan kelompok perempuan berbasis agama. Ini, seperti dikatakan Zaenah Anwar, aktivis perempuan muslim dari Malaysia, telah menempatkan gerakan perempuan Islam di Indonesia pada posisi penting bahkan menjadi ‘tolok ukur’ dalam diskursus Islam dan perempuan di dunia Islam. Lebih jelasnya, pada saat ini wacana Islam dan pemberdayan perempuan secara intensif disosialisikan oleh institusi-institusi keislaman yang peduli pada pemberdayaan perempuan. Antara lain oleh Fatayat NU, Muslimat NU, Aisyiyah Muhammadiyah, Fahmina Institute, Yayasan Rahima, PSW-PSW Peguruan Tinggi Islam, dan lainnya. Kesemua institusi tersebut menggunakan pendekatan yang mirip; pemberdayaan perempuan dengan menggunakan argumentasi keagamaan. 5 Gerakan untuk kemajuan kaum perempuan telah menjadi isu penting dalam perkembangan wacana sosial-intelektual Islam di Indonesia. Sejumlah tokoh muncul dengan gagasan untuk mendorong kaum perempuan memiliki 4 Dr. Siti Musdah, Keadilan dan Kesetaraan Jender, hal. x-xi. 5 KH. Husein Muhammad, dkk, Modul Kursus Islam dan Gender; Dawrah Fiqh Perempuan, Cirebon: Fahmina Institute, 2007, hal. 1. Untuk selanjutnya akan ditulis dawrah fiqh perempuan. Pendahuluan 5 posisi lebih tinggi, bahkan terlibat dalam peran-peran di luar dunia tradisional mereka sebagai ibu rumah tangga. Bersamaan dengan itu, berbagai upaya dilakukan untuk mewujudkan gagasan-gagasan mereka. Pendirian lembaga pendidikan Rahma el-Yunusiah di Sumatra Barat, Penerbitan surat kabar perempuan oleh Roehana Koedoes di wilayah yang sama, pendirian organsasi- organisasi perempuan dalam organisasi pergerakan seperti Muhammadiyah, dan sejumlah upaya lain, semua itu merupakan wujud dari gerakan kaum perempuan di Indonesia pada awal abad ke-20. Dalam konteks sejarah Indonesia gerakan- gerakan di atas barangkali disebut sebagai “gelombang pertama” kaum perempuan bergerak. Kemajuan yang menjadi dasar pergerakan Indonesia secara umum – menjadi satu isu pertama pergerakan mereka, yang diterjemahkan dalam rumusan emansipasi. Kaum perempuan menuntut hak-hak mereka bisa terlibat dalam dunia yang diakui hanya milik laki-laki. 6 Perbincangan sekitar jender yang hingar bingar dewasa ini pada gilirannya harus menarik keterlibatan para tokoh agama. Ini karena mereka dengan pemahaman terhadap doktrin-doktrin agama yang dimilikinya telah memberikan warna yang cukup signifikan dalam menciptakan konsitusi sosial dalam kaitannya dengan relasi antara laki-laki dan perempuan yang memiliki dua sisi yang saling berhadapan. Wacana ini bisa membawa agama untuk kemajuan masyarakat atau justru mereduksi pesan-pesan agama. Ini semua tergantung pada persfektif- persfektif keagamaan yang diyakininya. 7 6 Amelia Fauzia, dkk, Wacana dan Gerakan, hal.4. 7 KH.Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan; Pembelaan Kiai Pesantren, Yogyakarta: LKiS, 2004, hal. 319. untuk selanjutnya akan ditulis islam agama ramah. Pendahuluan 6 Sejarah telah mencatat beberapa kasus dimana perempuan telah menempati posisi kuat, sebagaimana terjadi dalam peradaban Mesir, tetapi kasus tersebut hanya beberapa dan tidak memcerminkan kondisi umum perempuan pada waktu atau sejak saat itu. Mengenai kelembutan perempuan yang dikenal sebagai anugrah Tuhan, adalah murni hal kebetulan yang tidak menunjukan bahwa perempuan sangat dihormati atau bermartabat. Andaipun memang demikian, kasus-kasus tersebut hendaklah dipandang sebagai kekecualian-kekecualian yang jarang terjadi dan tidak mempengaruhi hukum umum yang berlaku. 8 Seperti yang kita ketahui sebagian Aktivis muslim Indonesia yang dulunya juga mengembangkan karir di kelompok-kelompok LSM perempuan, yang memang sejak awal tidak ada embel-embel Islam atau agamanya, malah mengambil peran dengan mengubah paradigma melihat perempuan di Indonesia. 9 Seperti telah diakui oleh Lies Marcoes Natsir, salah seorang pionir gerakan ini, justru mencoba memasukan isu perempuan kedalam diskursus Islam, dan sebaliknya. Meskipun tidak semua umat muslim Indonesia dapat menerima tapi hasilnya sangat menarik. Wacana Islam dan perempuan menjadi penting, dan berkelanjutan serta mendapatkan cukup perhatian di media massa. Pada masa inilah, yakni awal hingga pertengahan dekade tahun 1990-an, wacana feminisme di Indonesia tidak melulu didominasi oleh pandangan feminisme sekuler, dan bahkan sebagian diantaranya beralih kefeminisme Islam. Dalam konteks inilah kemunculan aktivis-aktivis Muslim Indonesia menjadi penting. 10 8 Fatima Umar Nasif, Menggugat Sejarah Perempuan, Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 2001. hal.18. untuk selanjutnya akan ditulis menggugat sejarah. 9 Amelia Fauzia, dkk, Wacana dan Gerakan, hal. 132. 10 Ibid, hal. 133. Pendahuluan 7 Kemunculan seorang K.H. Husein Muhammad 11 dalam konteks pemberdayaan fiqh perempuan di Indonesia patut dicatat secara khusus. Kyai yang sehari-hari menjadi salah seorang pengasuh pesantren Darut Tauhid, Arjawinangun Cirebon ini lahir dan menjadi salah seorang aktivis hak-hak perempuan yang paling menonjol, bukan hanya dikalangan pesantren tapi juga di kalangan aktivis perempuan muslim secara keseluruhan dengan kemampuannya yang sangat baik dan khazanah literatur Islam dari Kyai yang pernah belajar di Kairo, Mesir ini selalu menarik. 12 Kalau kita bertanya mungkinkah laki-laki bisa menjadi feminis, maka pertanyaan itu menjadi secara teoritis bertentangan dengan feminisme itu sendiri. Alasannya adalah pertama, tujuan feminisme sebagai gerakan peningkatan kesadaran jender untuk menghasilkan sebuah transformasi sosial, tentunya mengandaikan bahwa laki-laki ‘tertular’ ide-ide feminisme. Kedua, feminisme untuk menjadi kekuatan moral, sosial dan politik, memerlukan dukungan masyarakat, termasuk kaum laki-laki. Ketiga, dengan menolak laki-laki dalam kategori feminis, justeru feminisme mempertahankan suatu pandangan esensial dengan menentukan bahwa hanya perempuanlah yang bisa menjadi feminis. Kontroversi tentang feminis laki-laki disandarkan pada dua pandangan yang berbeda, yaitu, laki-laki dapat menyatakan diri feminis sepanjang mereka ikut berjuang bagi kepentingan kaum perempuan. Disisi lain, laki-laki tidak dapat 11 Untuk selajutnya ditulis Kyai Husein 12 Amelia Fauzia, dkk, Wacana dan Gerakan, hal. 143. Pendahuluan 8 menjadi feminis karena mereka tidak mengalami diskriminasi dan penindasan sebagaimana kaum perempuan. 13 Kyai Husein sebagai laki-laki yang mengusung gagasan feminisme Islam, bisa dikategorikan sebagai feminis laki-laki atau laki-laki yang melakukan pembelaan terhadap perempuan yang berada pada pandangan yang ketiga. 14 Kyai Husein adalah salah satu dari ulama yang sedang ikut melakukan pembaharuan ini dengan mengusung isu wacana kesetaraan dan keadilan jender dengan paradigma feminisme Islam fiqh hukum Islam, karena menurut beliau, “kehidupan masyarkat Indonesia sangat dipengaruhi oleh sikap beragama masyarakatnya, pola tradisi, kebudayaan dan pola hidup masyarakat Indonesia banyak dipengaruhi oleh norma-norma keagamaan, lebih khusus dari teks-teks keagamaan, karena pengaruh agama terhadap kebudayaan sangat besar. 15 Dari uraian yang talah dipaparkan di atas, penulis tertarik untuk membahas lebih mengenai sejarah gerakan kesetaraan jender dan peran KH. Husein Muhammad dalam gerakan kesetaraan jender di Indonesia, karenanya penulis membuat skripsi ini dengan judul:” PERAN KH. HUSEIN MUHAMMAD DALAM GERAKAN KESETARAAN JENDER DI INDONESIA”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah