Terbentuknya Depok sebagai Kotamadya

sebagai kepanjangan tangan dari Pemerintah Pusat dan Propinsi telah menyulitkan Depok untuk berkembang. Ditambah lagi lemahnya perhatian Pemerintah Kabupaten mengingat Depok terlalu jauh dari pusat pemerintahan kota Bogor. Belum lagi ditambah adanya kewajiban menyetor uang kepada Pemerintah Kabupaten dan Propinsi yang pemanfaatannya tergantung kepada kebijakan keduanya, semakin membuat Depok tak berkutik. Bayangkan bila PAD Depok yang hanya sebesar Rp. 11,4 miliar saat itu masih harus berbagi dengan Kabupaten Bogor dan penggunaannya masih diatur oleh Pemerintah Kabupaten Bogor. Ini jelas menggambarkan bahwa pertumbuhan Depok sangat tergantung pada kebijakan Pemerintah Kabupaten Bogor. 25

D. Terbentuknya Depok sebagai Kotamadya

Terbentuknya Depok menjadi Kota seperti sekarang ini pada dasarnya tidak terlepas dari pesatnya perkembangan dan tuntutan masyarakatnya yang mendesak agar Depok menjadi sebuah Kotamadya. Disisi lain Pemda Bogor bersama Pemda Propinsi Jawa Barat juga memperhatikan perkembangan tersebut yang kemudian mengusulkan kepada Pemerintah Pusat dan DPR Dewan Perwakilan Rakyat. Kemudian dengan memperhatikan aspirasi masyarakat sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan DPRD Kabupaten Bogor Nomor 135SK,DPRD031994 25 Buana, H. Barul Kamal Membangun, h. 3 tepatnya 16 Mei 1994 tentang Persetujuan Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok dan Keputusan DPRD Propinsi Jawa Barat 7 Juli 1997 Nomor 135Kep, Dewan DPRD.06DPRD1997 tentang Persetujuan Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok, maka pembentukan Kota Depok sebagai wilayah Administratif baru ditetapkan berdasarkan UU No. 15 Tahun 1999, tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok yang ditetapkan pada tanggal 20 April 1999. 26 Pada tanggal 27 April akhirnya Depok resmi menjadi Kotamadya yang proses peresmiannya berbarengan dengan pelantikan Drs. H. Badrul Kamal sebagai Pejabat Wali Kota Madya Daerah Tingkat II Depok yang pertama, pada waktu itu beliau menjabat Walikota Administratif Depok. Akibat statusnya yang berubah, wilayah Depok diperluas ke Kabupaten Bogor lainnya. Depok yang pada awalnya hanya terdiri dari tiga Kecamatan, yaitu; Kecamatan Pancoran Mas, Kecamatan Beji, dan Kecamatan Sukmajaya. Kemudian diperluas dimekarkan menjadi enam Kecamatan, dimana wilayah Kecamatan Limo, Kecamatan Cimanggis, dan Kecamatan Sawangan masuk kewilayah Kotamadya Depok. Ditambah beberapa desa yang masuk wilayah Kecamatan Bojong Gede diantaranya ; Desa Bojong Pondok Terong, Ratujaya, Pondok Jaya, Cipayung, dan Cipayung Jaya. Dengan demikian, setelah statusnya berubah menjadi Kotamadya, wilayah Depok terdiri dari enam Kecamatan, enam puluh tiga Kelurahan, 772 RW, 26 Rusdi Nurdiansyah dkk, Depok Merajut Asa Membangun Kota, Depok : Pokja Wartawan Depok, 2005, h. 9 3.850 RT serta 218.095 Rumah Tangga, dengan luas wilayah sekitar 207.006 Km2. 27 Dari pejelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa perubahan status yang terjadi pada Kota Depok melalui jalan yang panjang. Proses yang terjadi pun menuntut kesabaran dan penantian yang tidak sebentar. Banyak energi yang terkuras disini, mungkin karena itu pulalah Depok semakin mematangkan diri dalam menghadapi perubahan status Kota yang tadinya Kotif menjadi Kotamadya Kota. Proses politiknya yang terbilang berbelit-belit kemungkinan disebabkan oleh proses birokrasi yang berlaku di Indonesia. Banyaknya tahapan yang mesti dilalui menyebabkan proses perubahan itupun menjadi lama. Maka tak heran bila kemudian Badrul Kamal selaku walikota Administratif Depok saat itu bersama tokoh masyarakat yang ada harus berpeluh keringat menggapainya. Badrul pun kemudian aktif melobi Gubernur Jawa Barat dan Pemda Bogor serta DPRD Bogor, sementara para tokoh berusaha meyakinkan DPR dan eksekitif pemerintah. Akhirnya perjuangan pun mendapatkan hasil maksimal setelah Mendagri Syarwan Hamid menetapkan peningkatan status Depok bersama sejumlah daerah lainnya. Pengesahan Depok menjadi Kotamadya yang kemudian disebut Kota dilaksanakan di Plaza Departemen Dalam Negeri pada tanggal 27 April 1999. 28 Kemudian berdasarkan UU No. 15 tahun 1999 wilayah Kota Depok meliputi wilayah Administratif Depok yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya ditambah dengan sebagian wilayah Kabupaten Bogor, yaitu : 27 Rusdi Nurdiansyah dkk, Depok Merajut Asa, h. 9 28 Buana, H. Barul Kamal Membangun, h. 26 1. Kecamatan Cimanggis, meliputi : a. Kelurahan Cilangkap b. Desa Pasir Gunung Selatan c. Desa Tugu d. Desa Mekarsari e. Desa Cisalak Pasar f. Desa Curug g. Desa Hajarmukti h. Desa Sukatani i. Desa Sukamaju Baru j. Desa Jatijajar k. Desa Tapos l. Desa Cimpaeun m. Desa Luwinanggung 2. Kecamatan Sawangan, meliputi : a. Desa Sawangan b. Desa Sawangan Baru c. Desa Cinangka d. Desa Kedaung e. Desa Serua f. Desa Pondok Petir g. Desa Curug h. Desa Bojongsari i. Desa Bojongsari Baru j. Desa Duren Seribu k. Desa Duren Mekar l. Desa Pengasinan m. Desa Bedahan n. Desa Pasir Putih 3. Kecamatan Limo, meliputi : a. Desa Limo b. Desa Meruyung c. Desa Cinere d. Desa Gandul e. Desa Pangkalan Jati f. Desa Pangkalan Jati Baru g. Desa Kerukut h. Desa Grogol Selain mendapatkan tambahan tiga Kecamatan seperti yang telah disebutkan di atas, Depok mendapatkan tambahan lima desa yang semula masuk wilayah Kecamatan Bojong Gede, Kabupaten Bogor. Lima desa tersebut adalah Cipayung Jaya, Ratu Jaya, Pondok Terong, dan Pondok Jaya. Kelima desa tersebut dimasukkan kedalam wilayah Kecamatan Pancoran Mas. Kini, setelah lima tahun lebih berjalan, status desa tersebut meningkat menjadi kelurahan. 29 Dari penjelasan di atas jelaslah kiranya bahwa terbentuknya Kota Depok tidak lepas dari kebijakan yang sifatnya skala nasional. Dimana pada saat yang bersamaan dan sesudahnya tahun-tahun berikutnya hampir semua daerah menuntut diberlakukannya hak otonom di daerah mereka. Sebagai sebuah kesimpulan sementara dapat penulis nyatakan bahwa perubahan status Depok dari kedudukan sebagai kota administrative yang disingkat Kotif menjadi kotamadya atau yang sering juga disebut kota, Depok menuju kepada arah pembangunan yang positif. Sebagai buktinya dapat kita lihat bagaimana pembangunan di sepanjang jalan margonda. 29 Buana, H. Barul Kamal Membangun, h. 30

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG OTONOMI DAERAH DI INDONESIA