Analisis Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian Pasca Otonomi Daerah (Studi Kasus : Kota Depok)

(1)

Oleh ANNISA ANJANI

H14103124

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007


(2)

RINGKASAN

ANNISA ANJANI. Analisis Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian Pasca Otonomi Daerah (Studi Kasus: Kota Depok) (dibawah bimbingan FIFI DIANA THAMRIN)

Pembangunan daerah sebagai tolak ukur pertumbuhan ekonomi memprioritaskan untuk membangun dan memperkuat sektor-sektor di bidang ekonomi dengan mengembangkan, meningkatkan dan mendayagunakan sumber daya secara optimal dengan tetap memperhatikan ketentuan antara industri dan pertanian yang tangguh, serta sektor-sektor pembangunan yang lainnya. Pembangunan yang terjadi selama ini dirasa tidak menyentuh di seluruh wilayah Indonesia dan seluruh lapisan masyarakat. Masih terdapat ketimpangan antar wilayah pusat dengan daerah. Salah satu penyebab ketidakmerataan pembangunan tersebut adalah adanya struktur pemerintahan yang terpusat. Pada sistem pemerintahan yang terpusat ini pemerintah pusat berperan sebagai pengambil dan pembuat keputusan pembangunan untuk daerah, sedangkan pemerintah daerah hanya berperan sebagai pelaksana.

Otonomi daerah yang merupakan pelimpahan kekuasaan dari pemerintah pusat kepada daerah di bawahnya untuk mengatur dearahnya sendiri secara mandiri dirasa akan membawa angin segar untuk mengatasi permasalahan tentang lambannya kemajuan suatu daerah yang bersangkutan. Dalam realisasinya, pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Hal ini bertujuan agar permasalahan yang timbul pada daerah tersebut dapat segera ditanggulangi oleh pemerintah daerah dengan menggunakan segala potensi dan keragaman yang dimiliki daerah tersebut.

Menindaklanjuti Undang-undang No. 22 Tahun 1999 pada tanggal 27 April 1999 diresmikan pula Undang-undang No. 15 Tahun 1999 tentang pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok (dimana UU No. 15/1999 ini diimplementasikan di Kota Depok mulai 1 Januari 2001). Kota Depok memiliki potensi daerah yang cukup baik untuk berkembang sebagai penyokong pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Kota Depok itu sendiri. Seiring dengan pembangunan di Kota Depok pula maka baik langsung maupun tak langsung akan menimbulkan berbagai macam dampak terhadap keadaan lingkungan di Kota Depok. Dampak yang muncul dapat berupa dampak positif dan dampak negatif.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pertumbuhan PDRB sektor-sektor perekonomian Kota Depok sebelum dan semasa otonomi daerah. Pertumbuhan yang dimaksud juga untuk menganalisis laju pertumbuhan dan menganalisis daya saing sektor-sektor perekonomian Kota Depok sebelum dan semasa otonomi daerah. Selain itu akan diidentifikasi pula profil pertumbuhan PDRB dan pergeseran bersih sektor-sektor perekonomian Kota Depok, sehingga akan diketahui sektor perekonomian apa yang tergolong progressive (maju) atau lamban.


(3)

otonomi daerah berlangsung. Selang waktu tersebut dibagi menjadi dua selang waktu analisis, yaitu tahun 1997-2000 dan 2001-2004.

Berdasarkan hasil penelitian, pertumbuhan PDRB sektor-sektor perekonomian Kota Depok selama otonomi daerah tahun 2001-2004, pertumbuhan PDRB Kota Depok mengalami peningkatan sebesar Rp 276.897,01 juta (20,13 persen). Sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan adalah sektor yang memiliki tingkat pertumbuhan terbesar (23,61 persen), sedangkan sektor pertanian memiliki pertumbuhan terkecil (8,76 persen).

Laju pertumbuhan sektor-sektor perekonomian Kota Depok semasa otonomi daerah tahun 2001-2004 adalah sebesar 2,07 persen. Sektor yang memiliki laju pertumbuhan tercepat adalah sektor listrik, gas, dan air bersih (6,33 persen), dan yang memiliki laju pertumbuhan paling lambat adalah sektor pertanian (-7,58 persen).

Daya saing sektor-sektor perekonomian Kota Depok terhadap Provinsi Jawa Barat tahun 2001-2004 adalah sebesar 2,46 persen. Nilai ini menunjukkan bahwa secara umum sektor-sektor perekonomian di Kota Depok memiliki daya saing cukup baik bila dibandingkan dengan wilayah yang lainnya yang ada di Provinsi Jawa Barat. Sektor yang memiliki daya saing yang kurang baik adalah sektor bangunan (-4,33 persen), sedangkan sektor yang memiliki daya saing yang terbaik adalah sektor industri pengolahan (7,49 persen).

Pada tahun 2001-2004 secara keseluruhan nilai PB Kota Depok adalah bernilai positif (4,53 persen), artinya sektor-sektor perekonomian di Kota Depok secara keseluruhan tergolong ke dalam kelompok yang maju. Sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan adalah sektor yang memiliki tingkat PB terbesar (8,02 persen). Sedangkan sektor yang paling tidak progresif adalah sektor pertanian (-6,83 persen). Sektor industri pengolahan, sektor pengangkutan dan komunikasi, dan sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan berada di kuadran I yang memiliki pertumbuhan yang cepat dengan daya saing yang baik pula. Pada tahun 2001-2004 tidak ada sektor yang menempati kuadran III. Hal ini menunjukkan bahwa semasa otonomi daerah berlangsung, sektor-sektor perekonomian di Kota Depok tidak ada yang pertumbuhannya tergolong lambat.

Berdasarkan teori Rostow tentang tahapan pembangunan, maka Kota Depok dapat dikatakan berada pada tahap pra take-off menuju take-off. Hal ini dikarenakan, pada Kota Depok semasa otonomi daerah memiliki industri yang maju yang merupakan ciri pada tahapan pra take-off, namun Kota Depok belum memenuhi ciri pada tahap take-off.

Dari hasil penelitian ini maka bagi pemerintah Kota Depok disarankan untuk terus mendorong peningkatan sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan. Tapi sektor-sektor yang lain, seperti sektor pertanian yang selama otonomi daerah menjadi sektor yang paling lambat pertumbuhannya, tidak boleh ditinggalkan begitu saja. Salah satu cara untuk mengembangkan sektor pertanian


(4)

adalah dengan mengembangkan pertanian perkotaan, yaitu dengan mengembangkan produk unggulan Kota Depok. Pemerintah Kota Depok hendaknya tetap menjaga kestabilan laju pertumbuhan perekonomian tersebut, terutama sektor listrik, gas, dan air bersih yang memiliki laju pertumbuhan tercepat pada masa otonomi dapat lebih ditingkatkan lagi kinerjanya dengan cara memberikan layanan prasarana air bersih yang optimal. Peningkatan daya saing sektor industri pengolahan harus terus dilakukan antara lain dengan meningkatkan tenaga kerja maupun pengusaha yang terlatih di bidang industri dan membina hubungan industrial antara pengusaha dan pekerja. Sedangkan untuk sektor bangunan, harus tetap ditingkatkan kualitas bangunan di Kota Depok, terutama untuk bangunan perumahan. Perlu juga dilakukan rehabilitasi bangunan dan gedung, baik bangunan sekolah maupun peribadatan dan bangunan lainnya, yang sudah bobrok.

Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah Kota Depok hendaknya berwawasan lingkungan, sehingga tetap menjaga lingkungan. Jangan sampai bencana alam buatan tangan manusia dapat terjadi akibat pembangunan yang tidak beraturan. Pembangunan yang sedang terjadi pun hendaknya diperhatikan secara seksama agar tidak mengganggu tata ruang kota, sehingga kegiatan perekonomian dapat berjalan lancar dan tidak memihak pada salah satu pihak pelaku ekonomi. Contoh kebijakan yang dapat ditempuh antara lain tentang pengaturan penggunaan lahan agar tidak semua lahan digunakan untuk pembuatan bangunan. Pengaturan lalu lintas di sepanjang pusat kota, atau dititik-titik yang rawan kemacetan, diantisipasi agar tidak merugikan masyarakat. Pemerintah daerah juga hendaknya selektif menyeleksi investor yang berminat menanamkan modalnya di Kota Depok. Hal ini harus dilakukan untuk mencegah kepemilikan lahan yang double atau sewa bangunan yang tumpang tindih. Pengaturan tata kota juga harus memperhatikan kegiatan mata pencaharian masyarakat. Maksudnya, bila ingin menggusur atau merubah tatanan kota hendaknya dilakukan pendekatan yang membuat masyarakat juga tidak dirugikan.


(5)

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa

Nomor Registrasi Pokok Program Studi

Judul Skripsi

: : : :

Annisa Anjani H14103124 Ilmu Ekonomi

Analisis Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian Pasca Otonomi Daerah (Studi Kasus: Kota Depok)

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Fifi Diana Thamrin, SP, M.Si NIP. 132 321 453

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,

Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS. NIP. 131 846 872 Tanggal Kelulusan:


(6)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, April 2007

Annisa Anjani H14103124


(7)

1984 di Jakarta, hingga kini penulis berdomisili di Kota Depok, Jawa Barat. Penulis adalah anak pertama dari pasangan Agus Basuki dan Erna Hernawati. Tahun 1996 penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada SD Islam Yasma PB Sudirman, dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan jenjang pendidikannya pada SLTP Islam Yasma PB Sudirman. Pada tahun 2002 penulis menamatkan pendidikan menengah atas pada SMU Negeri 99 Jakarta Timur.

Pada tahun 2002, penulis melanjutkan pendidikannya di Universitas Indonesia program D-III jurusan Administrasi Negara program studi Administrasi Perpajakan. Pada tahun 2003, penulis mengikuti ujian SPMB dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor (FEM-IPB). Skripsi yang berjudul Analisis Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian Pasca Otonomi Daerah (Studi Kasus: Kota Depok) menjadi topik skripsi penulis yang juga digunakan sebagai syarat kelulusan. Penulis pun menyelesaikan pendidikan sarjananya pada tahun 2007. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif sebagai staf biro kesekretariatan Hipotesa pada masa jabatan 2005-2006 dan 2006-2007. Penulis juga aktif menjadi panitia maupun peserta kegiatan (seminar-seminar) yang diselenggarakan di lingkup FEM maupun lingkup IPB


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat yang telah diberikan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul Analisis Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian Pasca Otonomi Daerah (Studi Kasus: Kota Depok). Penulis tertarik menulis tentang otonomi di Kota Depok karena kian lama perkembangan Kota Depok kian pesat sesuai dengan potensi dan keunggulan yang dimilikinya, terutama selama otonomi berlangsung. Skripsi ini juga diperuntukkan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada Ibu Fifi Diana Thamrin, SP, M.Si yang telah memberikan bimbingan, ilmu, dan kritik kepada penulis sehingga skripsi ini terselesaikan dengan baik. Kepada Ibu Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si dan Bapak Jaenal Effendi, MA selaku penguji dan komisi pendidikan yang telah menguji dan memberi banyak saran atas penyempurnaan skripsi ini. Kepada para Staf Departemen Ilmu Ekonomi yang telah banyak membantu dalam penyelenggaraan seminar dan sidang, penulis ucapkan banyak terima kasih. Terima kasih pula kepada para peserta seminar yang telah memberi kritik dan saran yang sangat membantu dalam perbaikan skripsi ini.

Kepada seluruh sahabat dan teman-teman IE-40 (Utie, Tuti, Vivi, Yudis, Madu, Wilma, Tirani, Evi, dan semuanya), teman-teman IE-39 dan IE-41 (Teh Nita, Iyas, Heri, dan semuanya), teman-teman Hipotesa, teman-teman LabKom dan perpustakaan FEM, teman-teman KKP Dukuh Turi, teman-teman Wisma Melati dan teman-teman Pramana, serta seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat diucapkan satu per satu, yang telah banyak memberikan keceriaan, pemikiran, dorongan, dan semangat kepada penulis, hanya ucapan terima kasih untuk semua.

Akhirnya penulis mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada kedua orang tua penulis, Agus Basuki dan Erna Hernawati, adik Ahmad Ilman Nafian,


(9)

Bogor, April 2007

Annisa Anjani H14103124


(10)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Setiap daerah di Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Perbedaan ini dapat dilihat dari demografi, potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia, aksesibilitas dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan, serta aspek potensi pasar. Kondisi tersebut memungkinkan pertumbuhan suatu wilayah sering kali tidak seimbang dengan wilayah lainnya (Gunawan, 2000). Pembangunan daerah sebagai tolak ukur pertumbuhan ekonomi memprioritaskan untuk membangun dan memperkuat sektor-sektor di bidang ekonomi dengan mengembangkan, meningkatkan dan mendayagunakan sumber daya secara optimal dengan tetap memperhatikan ketentuan antara industri dan pertanian yang tangguh, serta sektor-sektor pembangunan yang lainnya (Rita, 2004).

Pembangunan yang terjadi selama masa orde baru dirasa tidak menyentuh di seluruh wilayah Indonesia dan seluruh lapisan masyarakat. Masih terdapat ketimpangan antar wilayah pusat dengan daerah. Salah satu penyebab ketidakmerataan pembangunan tersebut adalah adanya struktur pemerintahan yang terpusat. Pada sistem pemerintahan yang terpusat ini pemerintah pusat berperan sebagai pengambilan keputusan dan pembuat keputusan pembangunan untuk daerah, sedangkan pemerintah daerah hanya berperan sebagai pelaksana. Sistem tersebut dianggap tidak efektif dan efisien bagi pembangunan di daerah, sehingga sistem ini dirasa tidak memuaskan masyarakat yang menghendaki pembangunan yang menyeluruh dan merata di segala aspek kehidupan mereka.


(11)

Oleh ANNISA ANJANI

H14103124

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2007


(12)

RINGKASAN

ANNISA ANJANI. Analisis Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian Pasca Otonomi Daerah (Studi Kasus: Kota Depok) (dibawah bimbingan FIFI DIANA THAMRIN)

Pembangunan daerah sebagai tolak ukur pertumbuhan ekonomi memprioritaskan untuk membangun dan memperkuat sektor-sektor di bidang ekonomi dengan mengembangkan, meningkatkan dan mendayagunakan sumber daya secara optimal dengan tetap memperhatikan ketentuan antara industri dan pertanian yang tangguh, serta sektor-sektor pembangunan yang lainnya. Pembangunan yang terjadi selama ini dirasa tidak menyentuh di seluruh wilayah Indonesia dan seluruh lapisan masyarakat. Masih terdapat ketimpangan antar wilayah pusat dengan daerah. Salah satu penyebab ketidakmerataan pembangunan tersebut adalah adanya struktur pemerintahan yang terpusat. Pada sistem pemerintahan yang terpusat ini pemerintah pusat berperan sebagai pengambil dan pembuat keputusan pembangunan untuk daerah, sedangkan pemerintah daerah hanya berperan sebagai pelaksana.

Otonomi daerah yang merupakan pelimpahan kekuasaan dari pemerintah pusat kepada daerah di bawahnya untuk mengatur dearahnya sendiri secara mandiri dirasa akan membawa angin segar untuk mengatasi permasalahan tentang lambannya kemajuan suatu daerah yang bersangkutan. Dalam realisasinya, pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah. Hal ini bertujuan agar permasalahan yang timbul pada daerah tersebut dapat segera ditanggulangi oleh pemerintah daerah dengan menggunakan segala potensi dan keragaman yang dimiliki daerah tersebut.

Menindaklanjuti Undang-undang No. 22 Tahun 1999 pada tanggal 27 April 1999 diresmikan pula Undang-undang No. 15 Tahun 1999 tentang pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok (dimana UU No. 15/1999 ini diimplementasikan di Kota Depok mulai 1 Januari 2001). Kota Depok memiliki potensi daerah yang cukup baik untuk berkembang sebagai penyokong pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Kota Depok itu sendiri. Seiring dengan pembangunan di Kota Depok pula maka baik langsung maupun tak langsung akan menimbulkan berbagai macam dampak terhadap keadaan lingkungan di Kota Depok. Dampak yang muncul dapat berupa dampak positif dan dampak negatif.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pertumbuhan PDRB sektor-sektor perekonomian Kota Depok sebelum dan semasa otonomi daerah. Pertumbuhan yang dimaksud juga untuk menganalisis laju pertumbuhan dan menganalisis daya saing sektor-sektor perekonomian Kota Depok sebelum dan semasa otonomi daerah. Selain itu akan diidentifikasi pula profil pertumbuhan PDRB dan pergeseran bersih sektor-sektor perekonomian Kota Depok, sehingga akan diketahui sektor perekonomian apa yang tergolong progressive (maju) atau lamban.


(13)

otonomi daerah berlangsung. Selang waktu tersebut dibagi menjadi dua selang waktu analisis, yaitu tahun 1997-2000 dan 2001-2004.

Berdasarkan hasil penelitian, pertumbuhan PDRB sektor-sektor perekonomian Kota Depok selama otonomi daerah tahun 2001-2004, pertumbuhan PDRB Kota Depok mengalami peningkatan sebesar Rp 276.897,01 juta (20,13 persen). Sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan adalah sektor yang memiliki tingkat pertumbuhan terbesar (23,61 persen), sedangkan sektor pertanian memiliki pertumbuhan terkecil (8,76 persen).

Laju pertumbuhan sektor-sektor perekonomian Kota Depok semasa otonomi daerah tahun 2001-2004 adalah sebesar 2,07 persen. Sektor yang memiliki laju pertumbuhan tercepat adalah sektor listrik, gas, dan air bersih (6,33 persen), dan yang memiliki laju pertumbuhan paling lambat adalah sektor pertanian (-7,58 persen).

Daya saing sektor-sektor perekonomian Kota Depok terhadap Provinsi Jawa Barat tahun 2001-2004 adalah sebesar 2,46 persen. Nilai ini menunjukkan bahwa secara umum sektor-sektor perekonomian di Kota Depok memiliki daya saing cukup baik bila dibandingkan dengan wilayah yang lainnya yang ada di Provinsi Jawa Barat. Sektor yang memiliki daya saing yang kurang baik adalah sektor bangunan (-4,33 persen), sedangkan sektor yang memiliki daya saing yang terbaik adalah sektor industri pengolahan (7,49 persen).

Pada tahun 2001-2004 secara keseluruhan nilai PB Kota Depok adalah bernilai positif (4,53 persen), artinya sektor-sektor perekonomian di Kota Depok secara keseluruhan tergolong ke dalam kelompok yang maju. Sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan adalah sektor yang memiliki tingkat PB terbesar (8,02 persen). Sedangkan sektor yang paling tidak progresif adalah sektor pertanian (-6,83 persen). Sektor industri pengolahan, sektor pengangkutan dan komunikasi, dan sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan berada di kuadran I yang memiliki pertumbuhan yang cepat dengan daya saing yang baik pula. Pada tahun 2001-2004 tidak ada sektor yang menempati kuadran III. Hal ini menunjukkan bahwa semasa otonomi daerah berlangsung, sektor-sektor perekonomian di Kota Depok tidak ada yang pertumbuhannya tergolong lambat.

Berdasarkan teori Rostow tentang tahapan pembangunan, maka Kota Depok dapat dikatakan berada pada tahap pra take-off menuju take-off. Hal ini dikarenakan, pada Kota Depok semasa otonomi daerah memiliki industri yang maju yang merupakan ciri pada tahapan pra take-off, namun Kota Depok belum memenuhi ciri pada tahap take-off.

Dari hasil penelitian ini maka bagi pemerintah Kota Depok disarankan untuk terus mendorong peningkatan sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan. Tapi sektor-sektor yang lain, seperti sektor pertanian yang selama otonomi daerah menjadi sektor yang paling lambat pertumbuhannya, tidak boleh ditinggalkan begitu saja. Salah satu cara untuk mengembangkan sektor pertanian


(14)

adalah dengan mengembangkan pertanian perkotaan, yaitu dengan mengembangkan produk unggulan Kota Depok. Pemerintah Kota Depok hendaknya tetap menjaga kestabilan laju pertumbuhan perekonomian tersebut, terutama sektor listrik, gas, dan air bersih yang memiliki laju pertumbuhan tercepat pada masa otonomi dapat lebih ditingkatkan lagi kinerjanya dengan cara memberikan layanan prasarana air bersih yang optimal. Peningkatan daya saing sektor industri pengolahan harus terus dilakukan antara lain dengan meningkatkan tenaga kerja maupun pengusaha yang terlatih di bidang industri dan membina hubungan industrial antara pengusaha dan pekerja. Sedangkan untuk sektor bangunan, harus tetap ditingkatkan kualitas bangunan di Kota Depok, terutama untuk bangunan perumahan. Perlu juga dilakukan rehabilitasi bangunan dan gedung, baik bangunan sekolah maupun peribadatan dan bangunan lainnya, yang sudah bobrok.

Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah Kota Depok hendaknya berwawasan lingkungan, sehingga tetap menjaga lingkungan. Jangan sampai bencana alam buatan tangan manusia dapat terjadi akibat pembangunan yang tidak beraturan. Pembangunan yang sedang terjadi pun hendaknya diperhatikan secara seksama agar tidak mengganggu tata ruang kota, sehingga kegiatan perekonomian dapat berjalan lancar dan tidak memihak pada salah satu pihak pelaku ekonomi. Contoh kebijakan yang dapat ditempuh antara lain tentang pengaturan penggunaan lahan agar tidak semua lahan digunakan untuk pembuatan bangunan. Pengaturan lalu lintas di sepanjang pusat kota, atau dititik-titik yang rawan kemacetan, diantisipasi agar tidak merugikan masyarakat. Pemerintah daerah juga hendaknya selektif menyeleksi investor yang berminat menanamkan modalnya di Kota Depok. Hal ini harus dilakukan untuk mencegah kepemilikan lahan yang double atau sewa bangunan yang tumpang tindih. Pengaturan tata kota juga harus memperhatikan kegiatan mata pencaharian masyarakat. Maksudnya, bila ingin menggusur atau merubah tatanan kota hendaknya dilakukan pendekatan yang membuat masyarakat juga tidak dirugikan.


(15)

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa

Nomor Registrasi Pokok Program Studi

Judul Skripsi

: : : :

Annisa Anjani H14103124 Ilmu Ekonomi

Analisis Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian Pasca Otonomi Daerah (Studi Kasus: Kota Depok)

dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

Menyetujui, Dosen Pembimbing,

Fifi Diana Thamrin, SP, M.Si NIP. 132 321 453

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,

Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS. NIP. 131 846 872 Tanggal Kelulusan:


(16)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Bogor, April 2007

Annisa Anjani H14103124


(17)

1984 di Jakarta, hingga kini penulis berdomisili di Kota Depok, Jawa Barat. Penulis adalah anak pertama dari pasangan Agus Basuki dan Erna Hernawati. Tahun 1996 penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada SD Islam Yasma PB Sudirman, dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan jenjang pendidikannya pada SLTP Islam Yasma PB Sudirman. Pada tahun 2002 penulis menamatkan pendidikan menengah atas pada SMU Negeri 99 Jakarta Timur.

Pada tahun 2002, penulis melanjutkan pendidikannya di Universitas Indonesia program D-III jurusan Administrasi Negara program studi Administrasi Perpajakan. Pada tahun 2003, penulis mengikuti ujian SPMB dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor (FEM-IPB). Skripsi yang berjudul Analisis Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian Pasca Otonomi Daerah (Studi Kasus: Kota Depok) menjadi topik skripsi penulis yang juga digunakan sebagai syarat kelulusan. Penulis pun menyelesaikan pendidikan sarjananya pada tahun 2007. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif sebagai staf biro kesekretariatan Hipotesa pada masa jabatan 2005-2006 dan 2006-2007. Penulis juga aktif menjadi panitia maupun peserta kegiatan (seminar-seminar) yang diselenggarakan di lingkup FEM maupun lingkup IPB


(18)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat yang telah diberikan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul Analisis Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian Pasca Otonomi Daerah (Studi Kasus: Kota Depok). Penulis tertarik menulis tentang otonomi di Kota Depok karena kian lama perkembangan Kota Depok kian pesat sesuai dengan potensi dan keunggulan yang dimilikinya, terutama selama otonomi berlangsung. Skripsi ini juga diperuntukkan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada Ibu Fifi Diana Thamrin, SP, M.Si yang telah memberikan bimbingan, ilmu, dan kritik kepada penulis sehingga skripsi ini terselesaikan dengan baik. Kepada Ibu Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si dan Bapak Jaenal Effendi, MA selaku penguji dan komisi pendidikan yang telah menguji dan memberi banyak saran atas penyempurnaan skripsi ini. Kepada para Staf Departemen Ilmu Ekonomi yang telah banyak membantu dalam penyelenggaraan seminar dan sidang, penulis ucapkan banyak terima kasih. Terima kasih pula kepada para peserta seminar yang telah memberi kritik dan saran yang sangat membantu dalam perbaikan skripsi ini.

Kepada seluruh sahabat dan teman-teman IE-40 (Utie, Tuti, Vivi, Yudis, Madu, Wilma, Tirani, Evi, dan semuanya), teman-teman IE-39 dan IE-41 (Teh Nita, Iyas, Heri, dan semuanya), teman-teman Hipotesa, teman-teman LabKom dan perpustakaan FEM, teman-teman KKP Dukuh Turi, teman-teman Wisma Melati dan teman-teman Pramana, serta seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat diucapkan satu per satu, yang telah banyak memberikan keceriaan, pemikiran, dorongan, dan semangat kepada penulis, hanya ucapan terima kasih untuk semua.

Akhirnya penulis mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada kedua orang tua penulis, Agus Basuki dan Erna Hernawati, adik Ahmad Ilman Nafian,


(19)

Bogor, April 2007

Annisa Anjani H14103124


(20)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Setiap daerah di Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Perbedaan ini dapat dilihat dari demografi, potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia, aksesibilitas dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan, serta aspek potensi pasar. Kondisi tersebut memungkinkan pertumbuhan suatu wilayah sering kali tidak seimbang dengan wilayah lainnya (Gunawan, 2000). Pembangunan daerah sebagai tolak ukur pertumbuhan ekonomi memprioritaskan untuk membangun dan memperkuat sektor-sektor di bidang ekonomi dengan mengembangkan, meningkatkan dan mendayagunakan sumber daya secara optimal dengan tetap memperhatikan ketentuan antara industri dan pertanian yang tangguh, serta sektor-sektor pembangunan yang lainnya (Rita, 2004).

Pembangunan yang terjadi selama masa orde baru dirasa tidak menyentuh di seluruh wilayah Indonesia dan seluruh lapisan masyarakat. Masih terdapat ketimpangan antar wilayah pusat dengan daerah. Salah satu penyebab ketidakmerataan pembangunan tersebut adalah adanya struktur pemerintahan yang terpusat. Pada sistem pemerintahan yang terpusat ini pemerintah pusat berperan sebagai pengambilan keputusan dan pembuat keputusan pembangunan untuk daerah, sedangkan pemerintah daerah hanya berperan sebagai pelaksana. Sistem tersebut dianggap tidak efektif dan efisien bagi pembangunan di daerah, sehingga sistem ini dirasa tidak memuaskan masyarakat yang menghendaki pembangunan yang menyeluruh dan merata di segala aspek kehidupan mereka.


(21)

Otonomi daerah yang merupakan pelimpahan kekuasaan dari pemerintah pusat kepada daerah di bawahnya untuk mengatur daerahnya sendiri secara mandiri dirasa akan membawa angin segar untuk mengatasi permasalahan tentang lambannya kemajuan suatu daerah yang bersangkutan. Dalam realisasinya, pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah bersama atribut-atribut lainnya. Hal ini bertujuan agar permasalahan yang timbul pada daerah tersebut dapat segera ditanggulangi oleh pemerintah daerah dengan menggunakan segala potensi dan keragaman yang dimiliki daerah tersebut. Undang-undang tersebut juga dilengkapi dengan Undang-undang No. 25 Tahun 1999 tentang dana perimbangan pusat dengan daerah.

Namun Undang-undang per-otonomian daerah tersebut juga tidak dapat dilepaskan tanpa campur tangan pemerintah pusat. Pada akhirnya pemerintah pusat akan berperan dalam kewenangan dan pengaturan keuangan daerah. Dampak yang berkembang selama otonomi daerah pun kian dirasa oleh masyarakat. Untuk menganalisis dampak otonomi daerah tersebut, penulis ingin mengangkat masalah dampak otonomi daerah terhadap sektor-sektor perekonomian di Kota Depok.

1.2. Perumusan Masalah

Menindaklanjuti Undang-undang No. 22 Tahun 1999 pada tanggal 27 April 1999 diresmikan pula Undang-undang No. 15 Tahun 1999 tentang pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok. Dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999 dinyatakan bahwa perekonomian daerah diberi kewenangan


(22)

3

untuk memperoleh pendapatannya sendiri dari hasil pemanfaatan sumber-sumber ekonomi yang dimilikinya.

Kota Depok memiliki potensi daerah yang cukup baik untuk berkembang sebagai penyokong pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Kota Depok itu sendiri. Lokasi Kota Depok strategis karena terletak di pinggir perbatasan Provinsi Jawa Barat dan memiliki jalur yang menghubungkan Kabupaten Bogor dengan Provinsi DKI Jakarta. Kota Depok juga merupakan salah satu hinterland dari Kota Jakarta membuat Kota Depok mengalami perkembangan yang cukup pesat. Hal ini terlihat dengan makin ramai dan semaraknya Kota Depok dan sekitarnya akibat pesatnya pembangunan infrastruktur, perdagangan, dan industri.

Peningkatan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Depok yang terus meningkat dapat menjadi indikator pesatnya pertumbuhan Kota Depok dari tahun ke tahun. Hal ini dapat dilihat melalui Tabel 1.1 dibawah ini.

Tabel 1.1. PDRB Kota Depok 1994-2004 Atas Dasar Harga Konstan 1993

TAHUN PDRB

(Juta Rupiah)

LAJU PERUBAHAN (%)

1994 1.572.765,69 10,16

1995 1.691.555,14 7,55

1996 1.831.647,55 8,28

1997 1.735.013,52 -5,27

1998 1.224.213,98 -41,72

1999 1.242.529,54 1,50

2000 1.298.090,64 4,47

2001 1.375.749,12 5,98

2002 1.459.981,62 6,12

2003 1.552.624,70 6,35

2004 1.652.664,12 6,35

Sumber : BPS Kota Depok

Sejak tahun 1994 menuju tahun 1995 PDRB Kota Depok mengalami peningkatan PDRB sebanyak Rp 118.789,45 juta. Peningkatan terus terjadi hingga


(23)

tahun 1997. Pada tahun 1998 PDRB Kota Depok mengalami penurunan drastis sebesar Rp 765.902,33 juta dari Rp 2.080.767,34 juta menjadi Rp 1.323.865,01 juta. Hal ini diperkirakan karena tidak stabilnya situasi politik secara nasional di Indonesia. Dampak krisis ekonomi yang terjadi akibat perubahan iklim politik tersebut turut mengguncang Kota Depok yang saat itu masih tergabung dalam kewilayahan Kabupaten Bogor. Pada tahun 2000 terjadi penurunan PDRB yang cukup besar dari Rp 1.375.749,12 juta pada tahun 1999 menjadi Rp 1.298.090,64 juta rupiah. Hal ini diperkirakan akibat dari implementasi Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah di Kota Depok.

Kota Depok terus berkembang dan mengalami perubahan orientasi sebagai pusat pemukiman, pendidikan, perdagangan, dan jasa. Perkembangan Kota Depok dapat dilihat pada Tabel 1.1 yaitu dengan meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi Kota Depok tahun 1999-2004 yang mengalami peningkatan pertahunnya sebesar 1,50 persen, 4,47 persen, 5,98 persen, 6,12 persen, 6,35 persen, dan 6,44 persen. Hal tersebut memberikan tantangan bagi sektor-sektor perekonomian yang ada di dalamnya untuk lebih optimal lagi dalam memajukan sektor-sektor yang ada.

Selang tujuh tahun sejak otonomi daerah, pembangunan di Kota Depok kian pesat. Pesat pembangunan ini diiringi dengan pertumbuhan jumlah penduduk selama terjadinya otonomi daerah. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat, pada tahun 2001 penduduk Kota Depok berjumlah 1.184.045 jiwa. Selang 4 tahun berikutnya yakni pada tahun 2004 jumlah penduduk sudah mencapai 1.324.452 jiwa.


(24)

5

Seiring dengan pembangunan di Kota Depok pula maka baik langsung maupun tak langsung Kota Depok telah menyediakan lapangan kerja baru untuk menyerap tenaga kerja yang ada. Munculnya pusat hiburan dan banyaknya pembangunan yang terjadi tentu akan menyerap tenaga kerja yang cukup banyak. Berikut disajikan data ketenagakerjaan yang terdapat di Kota Depok selama tahun 2000-2004.

Tabel 1.2. Tenaga Kerja Kota Depok Tahun 2000-2004 (Jiwa)

Sektor 2000 2001 2002 2003 2004

1. Pertanian 83.101 16.915 9.456 15.107 10.494 2. Pertambangan &

Penggalian 0 2.240 918 4.266 2.862

3. Industri pengolahan 94.032 78.030 70.375 77.262 91.584 4. Listrik, Gas & Air Minum 4.655 4.480 4.590 4.740 4.770 5. Bangunan 42.251 32.520 39.541 29.746 29.574 6. Perdagangan, Hotel &

Restoran 113.017 96.865 94.622 122.229 122.589 7. Pengangkutan &

Komunikasi 33.516 41.100 45.228 54.375 51.993 8. Keuangan, Persewaan &

Jasa Perusahaan 9.310 94.225 30.417 27.357 57.240 9. Jasa-jasa 135.927 94.225 112.863 124.400 141.669

TOTAL 515.809 460.600 408.010 459.482 512.775

Sumber : BPS Kota Depok

Besarnya peningkatan jumlah penduduk dan tenaga kerja dirasa akan menimbulkan berbagai macam dampak terhadap keadaan lingkungan di Kota Depok. Dampak yang muncul dapat berupa dampak positif dan dampak negatif. Hal ini tergantung dari keseimbangan dan keselarasan perkembangan yang ada di Kota Depok sendiri.

Berdasarkan penjabaran diatas, penulis mencoba menguraikan permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini. Permasalahan tersebut adalah :


(25)

1. Bagaimana pertumbuhan PDRB sektor-sektor perekonomian Kota Depok sebelum dan semasa otonomi daerah?

2. Bagaimana laju pertumbuhan sektor-sektor perekonomian Kota Depok sebelum dan semasa otonomi daerah?

3. Bagaimana daya saing sektor-sektor perekonomian Kota Depok sebelum dan semasa otonomi daerah?

4. Bagaimana profil pertumbuhan PDRB dan pergeseran bersih sektor-sektor perekonomian Kota Depok?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengidentifikasi pertumbuhan PDRB sektor-sektor perekonomian Kota Depok sebelum dan semasa otonomi daerah.

2. Menganalisis laju pertumbuhan sektor-sektor perekonomian Kota Depok sebelum dan semasa otonomi daerah.

3. Menganalisis daya saing sektor-sektor perekonomian Kota Depok sebelum dan semasa otonomi daerah.

4. Mengidentifikasi profil pertumbuhan PDRB dan pergeseran bersih sektor-sektor perekonomian Kota Depok.

1.4. Manfaat Penelitian

Selain menjawab permasalahan yang ada, penulis berharap penelitian ini dapat berguna dikemudian hari. Adapun manfaat penelitian ini adalah :


(26)

7

1. Kegunaan bagi Pemerintah Kota Depok. Pemerintah diharapkan dapat lebih memperhatikan sektor perekonomian mana yang dapat benar-benar menjadikan kota Depok sebagai unggulan.

2. Kegunaan bagi para akademisi. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi rujukan bagi penelitian-penelitian lainnya atau pun hanya sebagai bacaan semata.

3. Kegunaan lainnya bagi masyarakat umum. Penelitian ini diharapkan dapat menyuguhkan suatu pengetahuan umum yang menarik, dan dipetik manfaatnya. Terutama pengetahuan terhadap Kota Depok dan perkembangannya.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup atau batasan dari penelitian ini adalah penelitian dengan mengamati dampak otonomi daerah terhadap pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Kota Depok. Penelitian mengambil data tahun 1997 hingga tahun 2004, yaitu melibatkan data sebelum dan selama otonomi daerah berlangsung. Selang waktu tersebut dibagi menjadi dua selang waktu analisis, yaitu tahun 1997-2000, dan 2001-2004.

Tahun 1997-2000 dipilih karena data tersebut dianggap merefleksikan PDRB Kota Depok sebelum otonomi daerah terjadi, dimana pada selang waktu tersebut terjadi pula krisis ekonomi nasional. Sedangkan tahun 2001-2004 dipilih karena dianggap merefleksikan PDRB Kota Depok setelah Undang-undang No. 15 Tahun 1999 tentang pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok dikeluarkan dan diimplementasikan pada tanggal 1 Januari 2001.


(27)

Dalam penelitian ini menggunakan sembilan sektor perekonomian yang dapat menjadi tolak ukur dalam mengukur pertumbuhan suatu perekonomian. Kesembilan sektor tersebut adalah: (1) Pertanian; (2) Pertambangan dan Penggalian; (3) Industri pengolahan; (4) Listrik, Gas, dan Air Minum; (5) Bangunan; (6) Perdagangan, Hotel, dan Restoran; (7) Pengangkutan dan Komunikasi; (8) Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan; dan (9) Jasa-jasa. Dari kesembilan sektor tersebut dapat diketahui tingkat pertumbuhan PDRB dan kontribusi masing-masing sektor ekonomi dengan melakukan analisis PDRB.


(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Konsep Otonomi Daerah

Otonomi daerah merupakan alternatif pemecahan masalah kesenjangan pembangunan, terutama dalam konteks pemberdayaan pemerintah daerah yang selama ini dipandang hanya sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat. Padahal konsep otonomi daerah sudah muncul pada saat pemerintahan orde lama, yaitu melalui Undang-undang No. 1 Tahun 1945 tentang Pemerintah Daerah (Pemerintah Pusat, 1999). Berikut adalah beberapa peraturan perundang-undangan mengenai pemerintah daerah.

Tabel 2.1. Peraturan Perundang-undangan tentang Pemerintah Daerah sejak tahun 1945-1999

Tahun Nomor Subjek

1945 1 Pemerintah Daerah

1948 22 Pemerintah Daerah

1950 44 Pemerintah Daerah

1956 32 Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah

1957 1 Pemerintah Daerah

1959 6 Pemerintah Daerah

1960 5 Pemerintah Daerah

1965 18 Pemerintah Daerah

1974 5 Pemerintah Daerah (gagal)

1999 22 Pemerintah Daerah

1999 25 Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah

2004 32 Pemerintah Daerah

Sumber : Saragih (2003)

Menurut Undang-undang No. 22 Tahun 1999 Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas


(29)

daerah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adapun yang dimaksud dengan Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Otonom oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas Desentralisasi.

Dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999 terdapat beberapa prinsip tentang penyelenggaraan pemerintah daerah. Prinsip-prinsip tersebut adalah (1) Digunakannya asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan; (2) Penyelenggaraan asas desentralisasi secara utuh dan bulat yang dilaksanakan di Daerah Kabupaten dan Daerah Kota; dan (3) Asas tugas pembantuan yang dapat dilaksanakan di Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten, Daerah Kota dan Desa.

Tiga asas pada prinsip pelaksanaan otonomi daerah (asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan) dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Asas desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

b. Dekonsentrasi, adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan atau perangkat pusat di Daerah. c. Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada Daerah dan

Desa dan dari Daerah ke Desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan


(30)

11

kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan.

Pada masa sebelum otonomi daerah kedudukan pemerintah pusat dan pemerintah daerah membentuk suatu hierarki, yaitu pemerintah pusat ada pada posisi paling tinggi, kemudian provinsi, dan yang paling bawah adalah kabupaten. Adanya otonomi daerah menyebabkan hierarki tersebut dihilangkan. Posisi Kabupaten/Kota tidak memiliki hierarki terhadap propinsi. Hal ini menyebabkan wewenang pemerintah daerah semakin besar. Berdasarkan Undang-undang No. 22 Tahun 1999 kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. Kewenangan bidang lain ini meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional.

Daerah juga mempunyai kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun gaji, tunjangan dan kesejahteraan pegawai, serta pendidikan dan pelatihan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah, berdasarkan peraturan perundang-undangan. Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Adapun


(31)

bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.

2.2. Konsep Regional dan Kewilayahan

Menurut BPS dalam buku Pendapatan Domestik Bruto Kotamadya Depok (1998) Region dapat diartikan sebagai Daerah Tingkat I (Provinsi), Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kotamadya), dan Daerah administrasi yang lebih rendah (kecamatan). Budiharsono (2001) menyatakan bahwa wilayah dapat diartikan sebagai suatu unit geografi yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya tergantung secara internal. Wilayah tersebut dibagi menjadi empat jenis, yaitu :

1. Wilayah Homogen

Wilayah homogen adalah wilayah yang dipandang dari satu aspek/kriteria dan mempunyai sifat-sifat atau ciri yang relatif sama. Sifat-sifat atau ciri-ciri kehomogenan itu misalnya dalam hal ekonomi, geografi, agama, suku, dan sebagainya. Richardson (1975) dan Hoover (1977) mengemukakan bahwa wilayah homogen dibatasi berdasarkan keseragamannya secara internal (internal uniformity). Contoh wilayah homogen adalah pantai utara Jawa Barat yang merupakan wilayah yang homogen dari segi produksi padi (Budiharsono, 2001).


(32)

13

2. Wilayah Nodal

Wilayah nodal adalah wilayah yang secara fungsional mempunyai ketergantungan antara pusat (inti) dan daerah belakangnya (hinterland). Tingkat ketergantungan ini dapat dilihat dari arus penduduk, faktor produksi, barang dan jasa, ataupun komunikasi dan transportasi.

Dalam wilayah nodal pertukaran barang dan jasa secara intern di dalam wilayah tersebut merupakan suatu hal yang mutlak harus ada. Biasanya daerah belakang akan menjual barang-barang mentah dan jasa tenaga kerja kepada daerah inti, sedangkan daerah inti akan menjual ke daerah belakang dalam bentuk barang jadi. Contoh wilayah nodal adalah DKI Jakarta dengan Botabek (Bogor, Tanggerang, dan Bekasi), Jakarta yang merupakan daerah inti dan Botabek sebagai daerah belakangnya.

3. Wilayah Administrasi

Wilayah administratif adalah wilayah yang batas-batasnya ditentukan berdasarkan kepentingan administrasi pemerintahan atau politik, seperti propinsi, kabupaten, kecamatan, desa/kelurahan, dan RT/RW. Dalam kenyataannya, suatu pembangunan seringkali tidak hanya dalam satu kesatuan wilayah administrasi. Sebagai contoh adalah pengelolaan pesisir, pengelolaan daerah aliran sungai, pengelolaan lingkungan dan sebagainya, yang batasnya bukan berdasarkan administrasi namun berdasarkan batas ekologis dan seringkali lintas batas wilayah administrasi. Sehingga penanganannya memerlukan kerjasama dari satuan wilayah administrasi yang terkait.


(33)

4. Wilayah Perencanaan

Boudeville dalam Glasson (1978) mendefinisikan wilayah perencanaan sebagai wilayah yang memperlihatkan koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi. Wilayah perencanaan dapat dilihat sebagai wilayah yang cukup besar untuk memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan penting dalam penyebaran penduduk dan kesempatan kerja, namun cukup kecil untuk memungkinkan persoalan-persoalan perencanaannya dapat dipandang sebagai suatu kesatuan (Budiharsono, 2001).

Klassen juga menyatakan ciri-ciri wilayah perencanaan adalah sebagai berikut: (a) cukup besar untuk mengambil keputusan-keputusan investasi yang berskala ekonomi; (b) mampu mengubah industrinya sendiri dengan tenaga kerja yang ada; (c) mempunyai struktur ekonomi yang homogen; (d) mempunyai sekurang-kurangnya satu titik pertumbuhan; (e) menggunakan suatu cara pendekatan perencanaan pembangunan; (f) masyarakat dalam wilayah itu mempunyai kesadaran bersama terhadap persoalan-persoalannya. Salah satu contoh wilayah perencanaan yang ada di Indonesia adalah BALERANG (Pulau Batam, P. Rempang, dan P. Galang). Daerah perencanaan tersebut sudah lintas batas wilayah administrasi. (Budiharsono, 2001)

Klasifikasi wilayah dapat pula dibedakan atas dasar wilayah formal, fungsional, dan perencanaan (Hanafiah, 1988) :

1. Wilayah Formal adalah wilayah yang mempunyai beberapa persamaan dalam beberapa kriteria tertentu.


(34)

15

2. Wilayah Fungsional adalah wilayah yang memperlihatkan adanya suatu hubungan fungsional yang saling tergantung dalam kriteria tertentu, terkadang wilayah fungsional diartikan juga sebagai wilayah nodal atau wilayah polaritas yang secara fungsional saling tergantung.

3. Perpaduan wilayah formal dengan wilayah fungsional menciptakan Wilayah Perencanaan. Boudeville dalam Budiharsono (2001) mengemukakan bahwa wilayah perencanaan adalah wilayah yang memperlihatkan koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi. Wilayah perencanaan dirancang sedemikian rupa berdasarkan potensi yang dimiliki oleh wilayah tersebut sehingga dapat meningkatkan kondisi perekonomian dan tingkat kesejahteraan masyarakat yang ada di wilayah tersebut.

2.3. Konsep Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi

Arsyad (1993) menyatakan bahwa pembangunan ekonomi pada umumnya didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu negara meningkat dalam jangka panjang. Sedangkan pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan GDP/GNP tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk, atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak. Namun demikian, pada umumnya para ekonom memberikan pengertian sama untuk kedua istilah tersebut. Mereka mengartikan pertumbuhan atau pembangunan ekonomi sebagai kenaikan GDP/GNP saja. Dalam penggunaan yang lebih umum, istilah pertumbuhan ekonomi biasanya digunakan untuk menyatakan perkembangan


(35)

ekonomi di negara maju, sedangkan istilah pembangunan ekonomi untuk menyatakan perkembangan ekonomi di negara sedang berkembang.

Menurut Rostow dalam Deliarnov (2005), proses pembangunan ekonomi bisa dibedakan ke dalam lima tahap yaitu : (1) Tahap tradisional statis, yang dicirikan oleh keadaan Iptek yang masih sangat rendah dan belum berpengaruh terhadap kehidupan. Selain itu, perekonomian pun masih didominasi sektor pertanian-pedesaan. Struktur sosial-politik juga masih bersifat kaku; (2) Tahap transisi (pra take-off), yang dicirikan oleh Iptek yang mulai berkembang, produktivitas yang meningkat dan industri yang makin berkembang. Tenaga kerja pun mulai beralih dari sektor pertanian ke sektor industri, pertumbuhan tinggi, kaum pedagang bermunculan, dan struktur sosial-politik yang makin membaik; (3) Tahap lepas landas, yang dicirikan oleh keadaan suatu hambatan-hambatan sosial politik yang umumnya dapat diatasi, tingkat kebudayaan dan Iptek yang makin maju, investasi dan pertumbuhan tetap tinggi, dan mulai terjadi ekspansi perdagangan ke luar negeri; (4) Tahap dewasa (maturing stage), dicirikan oleh masyarakat yang makin dewasa, dapat menggunakan Iptek sepenuhnya. Terjadi perubahan komposisi angkatan kerja dimana jumlah tenaga kerja skilled lebih banyak dari pada tenaga kerja unskilled. Serikat dagang dan gerakan buruh semakin maju dan berperan, dan tingginya pendapatan perkapita; dan (5) Tahap konsumsi massa (mass consumption) yang merupakan tahap akhir dimana masyarakat hidup serba kecukupan, kehidupan dirasakan aman tentram, dan laju pertumbuhan penduduk semakin rendah.


(36)

17

Penelitian Kuznets (1966) dalam Sukirno (1985) tentang corak perubahan persentase sumbangan berbagai sektor dalam pembangunan ekonomi di 13 negara2 adalah sebagai berikut:

1. Sumbangan sektor pertanian pada produksi nasional telah menurun di 12 negara dari 13 negara. Umumnya pada awal pembangunan ekonomi, peranan sektor pertanian mendekati setengah (hingga duapertiga) dari seluruh produksi nasional. Pada akhir penelitian, peranan sektor pertanian dalam menghasilkan produksi nasional hanya mencapai 20 persen atau kurang di beberapa negara, dan di beberapa negara peranannya lebih rendah dari 10 persen.

2. Di 12 negara, peranan sektor industri dalam menghasilkan produksi nasional meningkat. Pada awal penelitian, sumbangan sektor industri berkisar antara 20-30 persen dari seluruh produksi nasional. Pada akhir penelitian, peranan sektor industri paling sedikit meningkat 20 persen sehingga sedikitnya menyumbang 40 persen terhadap produksi nasional.

3. Sektor jasa-jasa sumbangannya dalam menciptakan produksi nasional tidak mengalami perubahan yang berarti dan perubahan tersebut tidak konsisten sifatnya.

Perubahan struktur ekonomi tersebut berarti bahwa (1) sektor pertanian produksinya mengalami perkembangan yang lebih lambat dari perkembangan produksi nasional; sedangkan (2) tingkat pertambahan produksi sektor industri adalah lebih cepat dari pada tingkat pertambahan produksi nasional; dan (3) tidak adanya perubahan dalam peranan sektor jasa-jasa dalam produksi nasional berarti

2

Inggris, Perancis, Jerman, Belanda, Denmark, Norwegia, Swedia, Italia, Amerika Serikat, Kanada, Australia, Jepang, Russia.


(37)

perkembangan sektor jasa-jasa adalah sama dengan tingkat perkembangan produksi nasional.

Teori pattern of development oleh Chenery (1975) dalam Tambunan (2001) mengidentifikasi bahwa sejalan dengan peningkatan pendapatan masyarakat per kapita yang membawa perubahan dalam pola permintaan konsumen dari penekanan pada makanan dan barang-barang kebutuhan pokok lain ke berbagai macam barang-barang manufaktur dan jasa, akumulasi kapital fisik dan manusia (SDM). Perkembangan kota-kota dan industri-industri di urban bersamaan dengan proses migrasi penduduk dari pedesaan ke perkotaan, dan penurunan laju pertumbuhan penduduk dan family size yang semakin kecil. Struktur perekonomian suatu negara bergeser dari yang semula didominasi oleh sektor pertanian dan/atau sektor pertambangan menuju ke sektor-sektor nonprimer, khususnya industri.

Irawan, Suparmoko (1999) menyatakan bahwa pembangunan ekonomi adalah usaha-usaha untuk meningkatkan taraf hidup suatu bangsa yang sering diukur dengan tinggi rendahnya pendapatan riil per kapita. Jadi pembangunan ekonomi selain untuk meningkatkan pendapatan riil juga untuk meningkatkan produktivitas. Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan ekonomi suatu wilayah atau daerah. Faktor-faktor tersebut terdiri dari faktor ekonomi dan faktor nonekonomi (seperti hukum, pendidikan, agama, pemerintah, dan lainnya).

Syarat utama bagi pembangunan ekonomi adalah bahwa proses pertumbuhannya harus bertumpu pada kemampuan perekonomian di dalam negeri. Hasrat untuk memperbaiki nasib dan prakarsa untuk menciptakan


(38)

19

kemajuan material harus muncul dari warga masyarakatnya sendiri dan tidak dapat dipengaruhi atau diidentifikasi oleh daerah luar (Jhingan, 2002).

2.4. Konsep Perencanaan dan Pembangunan Wilayah Daerah

Soegijoko (1997) menyatakan bahwa suatu masyarakat dalam suatu wilayah, tempat atau daerah, dihubungkan dengan unit daerah (tempat atau wilayah) lain oleh faktor maupun keadaan-keadaan ekonomi, fisik dan sosialnya. Dengan demikian, pembangunan dalam suatu tempat tertentu membutuhkan koordinasi proyek dan pembangunan lokalnya dengan rencana regional dan nasional. Dari segi pembangunan, perencanaan regional memberikan rangka dasar dalam proyek pembangunan, baik nasional maupun lokal dapat dipertemukan secara balanced dan dapat menempati kedudukan yang sebenarnya dalam suatu rangkaian pembangunan yang menyeluruh.

Sogijoko (1997) juga menyatakan bahwa adanya proses desentralisasi menuntut dilakukannya penyediaan pelayanan, perbaikan kemampuan aparat pemerintah daerah, dan penguatan perencanaan-perencanaan strategis di tingkat wilayah. Oleh karena itu, strategi yang perlu diperhatikan dalam pengembangan wilayah adalah sebagai berikut :

1. Desentralisasi Kekuasaan

Pemerintah harus meningkatkan kemampuan dalam memperbesar pendapatan daerah. Di lain pihak, pemerintah pusat tetap meneruskan pengalihan sumber daya kepada pemerintah daerah dalam bentuk bantuan yang tidak mengikat sehingga memberikan keleluasaan dalam membuat keputusan.


(39)

2. Peningkatan Pendapatan Daerah

Dewasa ini bantuan pemerintah pusat merupakan kekuatan untuk pemerintah daerah. Akan tetapi, dengan adanya proses desentralisasi, pemerintah daerah perlu menyusun sejumlah kriteria untuk pemasukan keuangan daerah. Pemerintah daerah juga harus dapat menampilkan kemampuan administrasi dan proses budgetting yang baik, agar dianggap mampu untuk memikul tanggung jawab yang lebih besar.

3. Pengembangan Kelembagaan

Kesuksesan desentralisasi pendanaan akan tergantung dari peningkatan kemampuan kelembagaan pemerintah agar lebih efisien dan efektif. Tantangan itu dihadapi oleh pemerintah pusat maupun daerah, termasuk keterkaitan antar-kelembagaan agar lebih transparan dan bertanggung jawab serta profesional.

4. Keanekaragaman Budaya

Masyarakat Indonesia yang majemuk memiliki kemauan dan kebutuhan yang berbeda-beda dan dituangkan dengan cara yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, aparat pemerintah daerah harus tanggap terhadap perbedaan-perbedaan itu, sehingga perlu adanya penilaian sosial yang menggambarkan pendekatan strategi kebudayaan untuk masing-masing daerah.

Tambunan (2001) menyatakan ada beberapa teori yang dapat menerangkan kenapa ada perbedaan dalam tingkat pembangunan ekonomi antardaerah. Teori yang umum digunakan adalah sebagai berikut :


(40)

21

1. Teori Basis Ekonomi

Teori basis ekonomi ini menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung dengan permintaan barang dan jasa dari luar daerah. Proses produksi di sektor industri di suatu daerah yang menggunakan sumber daya produksi lokal, termasuk tenaga kerja dan bahan baku, dan output-nya di ekspor akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan per kapita, dan penciptaan peluang kerja di daerah tersebut.

2. Teori Lokasi

Inti pemikiran teori ini didasarkan pada sifat rasional pengusaha atau perusahaan yang cenderung mencari keuntungan setinggi mungkin dengan biaya serendah mungkin. Oleh karena itu, pengusaha memilih lokasi usaha yang memaksimumkan keuntungannya dan meminimalisasikan biaya usaha atau produksinya, yakni lokasi yang dekat dengan tempat bahan baku dan pasar.

3. Teori Daya Tarik Industri

Dalam upaya pengembangan ekonomi daerah di Indonesia sering dipertanyakan jenis-jenis industri apa saja yang tepat untuk dikembangkan. Ini adalah masalah membangun portofolio industri suatu daerah. Dalam menjawab pertanyaan tersebut, ada sejumlah faktor penentu pembangunan industri di suatu daerah, yang terdiri atas (1) Faktor-faktor daya tarik industri yang mencakup nilai tambah yang tinggi per pekerja/produktivitas, industri-industri kaitan, daya saing di masa depan, spesialisasi industri-industri, potensi ekspor,


(41)

dan prospek bagi permintaan domestik; dan (2) Faktor-faktor daya saing daerah, meliputi penilaian kemampuan industri suatu daerah dan pembangunan kemampuan industri suatu daerah.

2.5. Konsep Perkotaan

Berdasarkan undang-undang No. 22 Tahun 1999 yang dimaksud dengan Kawasan Perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa serta perubahan nama dan pemindahan ibukota pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999 Kawasan Perkotaan memiliki status Daerah Kota, dan adanya penetapan Kawasan Perkotaan yang terdiri atas :

1. Kawasan Perkotaan yang merupakan bagian Daerah Kabupaten;

2. Kawasan Perkotaan baru yang merupakan hasil pembangunan yang mengubah Kawasan Pedesaan menjadi Kawasan Perkotaan; dan

3. Kawasan Perkotaan yang merupakan bagian dari dua atau lebih Daerah yang berbatasan sebagai satu kesatuan sosial, ekonomi, dan fisik perkotaan.

Pemerintah Kota dan/atau Pemerintah Kabupaten yang wilayahnya berbatasan langsung dapat membentuk lembaga bersama untuk mengelola Kawasan Perkotaan. Di Kawasan Pedesaan yang direncanakan dan dibangun menjadi Kawasan Perkotaan di Daerah Kabupaten, dapat dibentuk Badan Pengelola Pembangunan yang bertanggung jawab kepada Kepala Daerah. Sedangkan mengenai pengelolaan Kawasan Perkotaan ditetapkan dengan


(42)

23

Peraturan Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.

Dalam penyelenggaraan pembangunan Kawasan Perkotaan, Pemerintah Daerah perlu mengikutsertakan masyarakat dan pihak swasta. Pengikutsertaan masyarakat ini merupakan upaya pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan perkotaan, dan pengaturan mengenai Kawasan Perkotaan ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.

O’Sullivan (2001) menyatakan bahwa sebuah kota adalah pusat produksi dan perdagangan. Dengan adanya dua sentra tersebut, maka munculnya kota akan meningkatkan standar hidup masyarakat disekitarnya. Pusat kota adalah wilayah dimana terdapat pusat pelayanan pemerintah. Sedangkan area perkotaan adalah wilayah yang terdiri dari minimal satu pusat kota dan dikelilingi oleh area yang memiliki kepadatan penduduk lebih dari 1000 jiwa per acre3, sehingga total penduduknya dalam area perkotaan minimal 50 ribu jiwa. Sedangkan yang dimaksud dengan kota metropolitan adalah area yang memiliki jumlah penduduk yang sangat besar di pusat kotanya dan terintegrasi secara ekonomi. Karakteristik kota metropolitan adalah memiliki kepadatan penduduk di pusat kota sebanyak 50 ribu jiwa dan ditambah lagi dengan penduduk yang ada di area perkotaan, sehingga jumlah penduduknya akan mencapai lebih dari 50 ribu jiwa.

Tatag Wiranto dalam Soegijoko (1997) mengungkapkan bahwa ciri masyarakat perkotaan ditandai oleh struktur masyarakat berbasis perdagangan dan jasa, kepadatan penduduk rapat, tempat tinggal penduduk berkelompok, tenaga

3


(43)

berpendidikan relatif tinggi, dan sistem organisasi kerja yang kompleks berbasis kegiatan formal. Kawasan perkotaan juga dianggap pusat kegiatan ekonomi dan politik, dan dianggap sebagai tempat dimana terjadinya proses pemusatan kekuasaan dan perubahan budaya, pusat kreativitas yang menyebabkan terjadinya pola perkembangan kehidupan masyarakat dan lingkungan fisiknya sangat berbeda dengan kawasan pedesaan yang biasanya disebut kawasan pinggiran.

2.6. Penelitian Terdahulu

Budiharsono (2001) melakukan penelitian tentang keadaan perekonomian antar daerah (27 provinsi) di Indonesia dengan menggunakan metode analisis Shift Share. Hasilnya adalah bahwa pertumbuhan Produk Domestik (PDB) Indonesia pada tahun 1983-1987 sebesar 27,14 persen. Pertumbuhan ini tidak merata di seluruh provinsi. Provinsi-provinsi yang pertumbuhan PDRB-nya melebihi pertumbuhan PDB Indonesia pada kurun waktu 1983-1987 adalah Daerah Istimewa Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, Maluku dan Timor Timur. Sedangkan provinsi-provinsi lainnya memiliki tingkat PDRB yang lebih kecil daripada pertumbuhan PDB-nya pada kurun waktu 1983-1987. Kemudian Budiharsono melakukan penelitian kembali terhadap pertumbuhan sektor-sektor di provinsi Jawa Barat pada kurun waktu 1983-1987. Hasilnya adalah sektor-sektor Industri, Utilitas dan Jasa merupakan sektor yang pertumbuhannya cepat. Sedangkan sektor pertanian mempunyai nilai pergeseran bersih negatif. Hal ini berarti bahwa pertumbuhan sektor pertanian lamban.


(44)

25

Ardiansyah (2004) dalam penelitiannya tentang pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Kota Jambi sebelum dan pada masa otonomi menyimpulkan bahwa pada masa sebelum otonomi daerah seluruh sektor perekonomian di Kota Jambi pertumbuhannya pesat. Akan tetapi setelah adanya otonomi daerah, seluruh sektor ekonomi mengalami pertumbuhan yang lambat. Kota Jambi kalah bersaing dengan Kabupaten yang lain. Selain itu dampak krisis ekonomi juga secara tidak langsung masih berpengaruh terhadap perekonomian Kota Jambi.

Restuningsih (2004) dalam penelitiannya tentang pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di propinsi DKI Jakarta pada masa krisis ekonomi tahun 1997-2002 dengan menggunakan alat analisis Shift Share menyimpulkan bahwa krisis ekonomi yang melanda DKI Jakarta menyebabkan sebagian besar sektor-sektor ekonomi tidak dapat bersaing dengan baik, yaitu sektor-sektor pertanian, sektor-sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor bangunan dan sektor jasa-jasa. Sedangkan sektor pertambangan dan galian, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor keuangan, perbankan, dan jasa perusaan dapat bersaing dengan baik.

Ruth Elisabeth (2006) menggunakan analisis Shift Share dalam penelitiannya untuk menganalisis dampak otonomi daerah terhadap pertumbuhan sektor perekonomian di Kabupaten Tapanuli Utara. Hasilnya adalah sebelum otonomi pertumbuhan sektor-sektor perekonomian Kabupaten Tapanuli Utara lebih kecil dari pertumbuhan sektor-sektor ekonomi Provinsi Sumatera Utara. Saat krisis, persentase total perubahan PDRB sektor-sektor perekonomian Kabupaten


(45)

Tapanuli Utara lebih besar dari tingkat pertumbuhan sektor-sektor ekonomi Propinsi Sumatera Utara. Pada masa otonomi daerah pertumbuhan sektor-sektor perekonomian Kabupaten Tapanuli Utara lebih kecil dari pertumbuhan sektor-sektor ekonomi Provinsi Sumatera Utara. Sebelum otonomi daerah perekonomian Tapanuli Utara tergolong lambat, pada tahun 1997-2000 juga masih cenderung lambat, dan pada tahun 2001-2004 pertumbuhannya adalah progresif.

Azman (2001) menyimpulkan bahwa struktur perekonomian Kabupaten Padang Pariaman selama tahun 1995-1999 telah terjadi pergeseran dari kelompok sektor primer ke kelompok sektor tersier (melalui analisis Shift Share). Walaupun demikian, sektor pertanian yang berada pada kelompok sektor primer masih tetap mendominasi bila dibandingkan dengan sektor lainnya, baik dari segi kontribusinya terhadap PDRB maupun dalam penyediaan lapangan pekerjaan. Sedangkan pada kelompok tersier, sektor yang memberikan kontribusi terbesar adalah sektor jasa-jasa.

Berdasarkan penelitian terdahulu ada yang menganalisis pertumbuhan ekonomi atau pertumbuhan wilayah pada satu kurun waktu tertentu dan ada pula yang menganalisis pertumbuhan wilayah pada dua kurun waktu. Pada penelitian ini menggunakan dua kurun waktu yaitu sebelum dan selama otonomi daerah, tapi dengan kurun waktu yang berbeda. Kurun waktu yang dipakai berbeda dengan penelitian sebelumnya dan terbagi dalam tiga periode, yaitu periode masa sebelum krisis ekonomi tahun 1994-1996, periode pada masa krisis ekonomi tahun 1997-1998, dan periode pada masa otonomi daerah tahun 1999-2004.


(46)

27

2.7. Kerangka Pemikiran Teoritis 2.8.1. Analisis Shift Share

Analisis Shift Share pertama kali diperkenalkan oleh Perloff et all (1960), yang telah menggunakan analisis ini untuk mengidentifikasi sumber pertumbuhan ekonomi wilayah di Amerika Serikat. Lucas (1979) juga menggunakan analisis ini untuk mengidentifikasi pertumbuhan sektor-sektor atau wilayah yang lamban di Indonesia dan Amerika Serikat. Analisis Shift Share juga dapat digunakan untuk menduga dampak kebijakan wilayah ketenagakerjaan.

Analisis Shift Share merupakan suatu analisis mengenai perubahan berbagai indikator ekonomi, seperti produksi dan kesempatan kerja, pada dua titik waktu di suatu wilayah. Analisis Shift Share juga dapat digunakan untuk membandingkan laju sektor-sektor perekonomian di suatu wilayah dengan laju pertumbuhan perekonomian nasional serta sektor-sektor dan mengamati penyimpangan-penyimpangan dari perbandingan tersebut. Bila penyimpangannya bernilai positif, maka dapat dikatakan bahwa sektor ekonomi dalam wilayah tersebut memiliki keunggulan kompetitif.

Analisis Shift Share memiliki tiga kegunaan, yaitu untuk melihat perkembangan :

1. Sektor perekonomian di suatu wilayah terhadap perkembangan ekonomi wilayah yang lebih luas.

2. Sektor-sektor perekonomian jika dibandingkan secara relatif dengan sektor-sektor lainnya.


(47)

3. Suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya, sehingga dapat membandingkan besarnya aktivitas suatu sektor pada wilayah tertentu dan pertumbuhan antar wilayah. Dengan demikian, dapat ditunjukan adanya shift (pergeseran) hasil pembangunan perekonomian daerah, bila daerah itu memperoleh kemajuan sesuai dengan kedudukannya dalam perekonomian nasional.

Pada analisis Shift Share diasumsikan bahwa perubahan indikator kegiatan ekonomi disuatu wilayah antara tahun dasar analisis dengan tahun akhir analisis dibagi menjadi tiga komponen pertumbuhan, yaitu :

1. Komponen Pertumbuhan Nasional

Komponen pertumbuhan nasional (PN) adalah perubahan produksi/kesempatan kerja suatu wilayah yang disebabkan oleh perubahan produksi/kesempatan kerja nasional secara umum, perubahan kebijakan ekonomi nasional atau perubahan dalam hal-hal yang mempengaruhi perekonomian semua sektor dan wilayah. Dalam hal ini, analisis pertumbuhan ekonomi hanya difokuskan pada pembahasan daerah kabupaten. Maka, istilah komponen PN dianalogikan menjadi komponen pertumbuhan regional (PR). Hal ini dilakukan untuk menghindari salah penafsiran dalam pengertian nasional (Indonesia) dengan regional (provinsi/kabupaten).

2. Komponen Pertumbuhan Proporsional

Komponen pertumbuhan proposional (PP) tumbuh karena perbedaan sektor dalam permintaan produk akhir, perbedaan dalam ketersediaan bahan mentah, perbedaan dalam kebijakan industri (seperti kebijakan perpajakan,


(48)

29

Komponen Pertumbuhan Nasional

subsidi dan price support) dan perbedaan dalam struktur dan keragaman pasar.

3. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah

Komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW) timbul karena peningkatan atau penurunan produksi/kesempatan kerja dalam suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya. Cepat lambatnya pertumbuhan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya ditentukan oleh keunggulan komperatif, akses ke pasar, dukungan kelembagaan, prasarana sosial ekonomi serta kebijakan ekonomi regional pada wilayah tersebut.

Berdasarkan ketiga komponen pertumbuhan wilayah tersebut dapat ditentukan dan diidentifikasikan perkembangan suatu sektor ekonomi pada suatu wilayah. Apabila PP + PPW ≥ 0, maka dapat dikatakan bahwa pertumbuhan sektor ke i di wilayah ke j termasuk ke dalam kelompok progresif (maju). Sementara itu, PP + PPW < 0 menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor ke i pada wilayah ke j tergolong lamban. Kerangka analisis shift share dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 2.1. Kerangka Model Analisis Shift Share

Maju PP + PPW ≥ 0

Komponen Pertumbuhan Pangsa

Wilayah Komponen

Pertumbuhan Proporsional Wilayah ke j

(sektor ke i)

Wilayah ke j (sektor ke i)

Lamban PP + PPW < 0


(49)

2.8.2. Keunggulan Analisis Shift Share

Menurut Soepono (1993), keunggulan analisis Shift Share tersebut adalah: 1. Analisis Shift Share dapat melihat perkembangan produksi atau kesempatan

kerja pada suatu wilayah hanya pada dua titik waktu tertentu, yang mana satu titik waktu dijadikan sebagai dasar analisis, sedangkan satu titik waktu lainnya dijadikan sebagai akhir analisis.

2. Perubahan PDRB di suatu wilayah antara tahun dasar analisis dapat dilihat melalui 3 komponen pertumbuhan wilayah, yakni komponen pertumbuhan regional (PR), komponen pertumbuhan proposional (PP), dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW).

3. Komponen PP dapat digunakan untuk mengetahui pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di suatu wilayah. Hal ini berarti bahwa suatu wilayah dapat mengadakan spesialisasi di sektor-sektor yang berkembang secara nasional dan bahwa sektor-sektor dari perekonomian wilayah telah berkembang lebih cepat daripada rata-rata nasional untuk sektor-sektor tersebut.

4. Komponen PPW dapat digunakan untuk melihat daya saing sektor-sektor ekonomi dibandingkan dengan sektor ekonomi pada wilayah lainnya.

5. Jika persentase PP dan PPW dijumlahkan, maka dapat ditunjukkan adanya shift (pergeseran) hasil pembangunan perekonomian daerah.

2.8.3. Kekurangan Analisis Shift Share

Kemampuan teknik analisis Shift Share untuk memberikan dua indikator positif yang berarti bahwa suatu wilayah mengadakan spesialisasi di sektor-sektor yang berkembang secara nasional, dan bahwa sektor-sektor dari perekonomian


(50)

31

wilayah telah berkembang lebih cepat daripada rata-rata nasional untuk sektor-sektor tersebut, tidaklah lepas dari kelemahan-kelemahan. Kelemahan-kelemahan analisis Shift Share, yaitu :

1. Analisis Shift Share tidak lebih daripada suatu teknik pengukuran atau prosedur baku untuk mengurangi pertumbuhan suatu variabel wilayah menjadi komponen-komponen. Persamaan Shift Share hanyalah identity equation dan tidak mempunyai implikasi-implikasi keprilakuan. Metode Shift Share tidak untuk menjelaskan mengapa. Misalnya, pengaruh kenggulan kompetitif adalah positif dibeberapa wilayah, tetapi negatif di daerah-daerah lain. Metode Shift Share merupakan teknik pengukuran yang mencerminkan suatu sistem perhitungan semata dan tidak analitik.

2. Komponen pertumbuhan regional secara implisit mengemukakan bahwa laju pertumbuhan suatu wilayah hendaknya tumbuh pada laju regional tanpa memperhatikan sebab-sebab laju pertumbuhan wilayah.

3. Kedua komponen pertumbuhan wilayah (PP dan PPW) berkaitan dengan hal-hal yang sama seperti perubahan penawaran dan permintaan, perubahan teknologi dan perubahan lokasi, sehingga dapat berkembang dengan baik. 4. Teknik analisis Shift Share secara implisit mengambil asumsi bahwa semua

barang dijual secara nasional, padahal tidak semua demikian. Bila pasar suatu wilayah bersifat lokal, maka barang itu tidak dapat bersaing dengan wilayah-wilayah lain yang menghasilkan barang yang sama, sehingga tidak mempengaruhi permintaan agregat.


(51)

2.9. Kerangka Pemikiran Konseptual

Kondisi perekonomian suatu daerah dipengaruhi oleh demografi, potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia, aksesibilitas dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan, serta aspek potensi pasar. Kekuasaan dalam pengambilan keputusan ini termasuk didalamnya adalah pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Salah satu keputusan tersebut adalah keputusan mengenai otonomi daerah di daerah yang bersangkutan. Otonomi daerah tersebut merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.

Sebelum otonomi daerah, kewenangan pemerintah pusat sangat dominan dalam menentukan arah pembangunan daerah sehingga daerah tidak dapat berkreasi sendiri dalam menentukan arah pembangunan daerahnya. Sedangkan pada masa otonomi daerah, daerah di tuntut untuk mengembangkan daerahnya sendiri dengan menggunakan segala potensi dan sumber daya yang dimiliki.

Dari kondisi daerah tersebut, terdapat sembilan sektor perekonomian yang dapat menjadi tolak ukur dalam mengukur pertumbuhan suatu perekonomian. Kesembilan sektor tersebut adalah: (1) Pertanian; (2) Pertambangan dan Penggalian; (3) Industri pengolahan; (4) Listrik, Gas, dan Air Minum; (5) Bangunan; (6) Perdagangan, Hotel, dan Restoran; (7) Pengangkutan dan Komunikasi; (8) Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan; dan (9) Jasa-jasa. Dari kesembilan sektor tersebut dapat diketahui tingkat pertumbuhan PDRB dan kontribusi masing-masing sektor ekonomi dengan melakukan analisis PDRB dan


(52)

33

dapat diketahui laju pertumbuhan, daya saing, dan profil pertumbuhan dari masing-masing sektor perekonomian melalui analisis Shift Share. Setelah melakukan analisis PDRB dan analisis Shift Share maka akan didapatkan sebuah hasil dan kesimpulan yang selanjutnya dapat digunakan sebagai rekomendasi bagi pemerintah setempat untuk merencanakan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di Kota Depok selanjutnya. Adapun kerangka pemikiran konseptual dapat dilihat dari Gambar 2.2.


(53)

Keterangan :

: Hal-hal yang dianalisis : Analisis yang digunakan

Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran konseptual Kondisi Perekonomian

Masa Otonomi Daerah (2001-2004)

Sektor-sektor Perekonomian

Laju Pertumbuhan, daya saing, dan profil pertumbuhan

masing-masing sektor perekonomian Tingkat

pertumbuhan PDRB dan kontribusi

masing-masing sektor perekonomian

Rekomendasi Analisis

PDRB

Analisis Shift Share Masa Sebelum Otonomi Daerah


(54)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2006-Mei 2007. Lokasi penelitian adalah Kota Depok, Provinsi Jawa Barat. Lokasi ini dipilih sebagai objek penelitian karena : (1) Kota Depok mengalami perkembangan dari tahun ke tahun karena di dukung oleh berbagai potensi sektor perekonomian, seperti sektor industri pengolahan dan perdagangan, hotel dan restoran; (2) Letak Kota Depok cukup strategis, yaitu terbentang antara Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat dengan Provinsi DKI Jakarta; (3) Tersedianya data PDRB dan data pendukung lainnya yang relatif lengkap; (4) Belum adanya penelitian tentang analisis pertumbuhan sektor-sektor perekonomian pasca otonomi daerah dengan studi kasus Kota Depok.

3.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan pada penelitian adalah data sekunder yang diperoleh dari BPS Kota Depok, BPS Kabupaten Bogor, dan instansi terkait lainnya. Data yang dibutuhkan adalah data PDRB Kota Depok tahun 1997-2004, data PDRB Jawa Barat tahun 1997-2004, dan data-data lainnya yang mendukung.

3.3. Metode Analisis Shift Share

Pada analisis Shift Share diasumsikan bahwa perubahan indikator kegiatan ekonomi disuatu wilayah antara tahun dasar analisis dengan tahun akhir analisis dibagi menjadi tiga komponen pertumbuhan, yaitu komponen


(55)

pertumbuhan regional, komponen pertumbuhan proporsional, dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah.

3.3.1. Analisis PDRB Kota dan PDRB Provinsi

Asumsikan dalam suatu wilayah perekonomian terdapat m wilayah kota (j=1,2,3,...,m) dan n sektor ekonomi (i=1,2,3,...,n), maka perubahan dalam PDRB dapat dinyatakan sebagai berikut :

∆Yij = PRij + PPij + PPWij (1) dimana :

∆Yij = Perubahan PDRB sektor i pada wilayah ke j,

PRij = Persentase perubahan PDRB Kota yang disebabkan komponen pertumbuhan regional,

PPij = Persentase perubahan PDRB Kota yang disebabkan komponen pertumbuhan proporsional,

PPWij = Persentase perubahan PDRB Kota yang disebabkan komponen pertumbuhan pangsa wilayah.

Untuk memperoleh nilai PR, PP dan PPW, ada beberapa rumusan yang harus dipenuhi yang dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. PDRB provinsi dari sektor i pada tahun dasar analisis :

Yi =

=

m

j ij Y 1

dimana:

Yi = PDRB provinsi dari sektor i pada tahun dasar analisis.


(56)

37

2. PDRB provinsi dari sektor i pada tahun akhir analisis :

Y`i =

= m j ij Y 1 ` dimana:

Yi = PDRB provinsi dari sektor i pada tahun akhir analisis.

Y`ij = PDRB kota sektor i pada wilayah ke j pada tahun akhir analisis.

Sedangkan Total PDRB propinsi pada tahun dasar analisis dan tahun akhir analisis dapat dirumuskan sebagai berikut.

3. Total PDRB provinsi pada tahun dasar analisis :

Y.. =

∑∑

= = n i m j ij Y 1 1 dimana:

Y.. = Total PDRB provinsi dari sektor i pada tahun dasar analisis.

Yij = Total PDRB kota sektor i pada wilayah ke j pada tahun dasar analisis.

4. Total PDRB provinsi pada tahun akhir analisis :

Y`.. =

∑∑

= = n i m j ij Y 1 1 ` dimana:

Y`.. = Total PDRB provinsi dari sektor i pada tahun dasar analisis.

Y`ij = Total PDRB kota sektor i pada wilayah ke j pada tahun dasar analisis.

3.3.2. Rasio PDRB Kota dan PDRB Propinsi (Nilai Ra, Ri, dan ri)

Nilai Ra, Ri, dan ri digunakan untuk mengidentifikasi perubahan PDRB dari sektor i di wilayah ke j pada tahun dasar analisis maupun tahun akhir analisis.


(57)

Menghitung nilai Ra, Ri, dan ri menggunakan nilai PDRB yang terjadi pada dua titik waktu, yaitu tahun dasar analisis dan tahun akhir analisis.

1. Nilai Ra

Ra merupakan selisih antara total PDRB provinsi pada tahun akhir analisis dengan total PDRB provinsi pada tahun dasar analisis dibagi total PDRB provinsi pada tahun dasar analisis. Rumusannya adalah sebagai berikut.

Ra = .. .. .. ` Y Y Y − dimana :

Y`.. = Total PDRB Provinsi pada tahun akhir analisis,

Y.. = Total PDRB Provinsi pada tahun dasar analisis.

2. Nilai Ri

Ri adalah selisih antara PDRB provinsi dari sektor i pada tahun akhir analisis dengan PDRB provinsi sektor i pada tahun dasar analisis dibagi PDRB propinsi sektor i pada tahun dasar analisis. Rumusannya adalah sebagai berikut.

Ri = . . . ` i i i Y Y Y − dimana :

Y`i. = PDRB Provinsi dari sektor i pada tahun akhir analisis,

Yi. = PDRB Provinsi dari sektor i pada tahun dasar analisis.

3. Nilai ri

ri adalah selisih antara PDRB kota dari sektor i pada wilayah ke j pada tahun akhir analisis dengan PDRB kota dari sektor i pada wilayah ke j pada tahun dasar analisis. Rumusannya adalah sebagai berikut.


(1)

Rasio PDRB Kota Depok dan PDRB Propinsi Jawa Barat (Ra, Ri, dan ri)

A. Sebelum Otonomi Daerah Tahun 1997-2000

PDRB Propinsi Jawa Barat (Juta Rupiah)

PDRB Kota Depok (Juta Rupiah)

Perubahan PDRB Kota Depok Sektor*)

1997 2000 1997 2000 Juta Rupiah Persen

Ra Ri ri

1 8.675.504 8.624.494,12 58.130,66 43.099,10 -15.031,56 -25,86 -0,17 -0,01 -0,26 2 3.624.037 2.211.859,14 - - - - -0,17 -0,39 -3 26.310.836 21.269.223,73 848.819,14 517.377,26 -331.441,88 -39,05 -0,17 -0,19 -0,39 4 1.859.827 1.496.870,99 55.203,84 51.596,04 -3.607,80 -6,54 -0,17 -0,20 -0,07 5 4.202.306 2.321.445,77 118.178,74 91.145,39 -27.033,35 -22,87 -0,17 -0,45 -0,23 6 13.511.208 12.249.647,99 390.096,12 330.852,92 -59.243,20 -15,19 -0,17 -0,09 -0,15 7 3.908.369 3.428.208,22 76.898,56 77.761,24 862,68 1,12 -0,17 -0,12 0,01 8 3.666.643 2.310.848,14 64.391,69 62.441,44 -1.950,25 -3,03 -0,17 -0,37 -0,03 9 5.801.194 5.606.285,13 123.294,77 123.817,27 522,50 0,42 -0,17 -0,03 0,00 TOTAL 71.559.924 59.518.883,25 1.735.013,52 1.298.090,66 -436.922,86 -25,18 -0,17 -0,17 -0,25

B. Selama Otonomi Daerah Tahun 1999-2004

PDRB Propinsi Jawa Barat (Juta Rupiah)

PDRB Kota Depok (Juta Rupiah)

Perubahan PDRB Kota Depok Sektor*)

2001 2004 2001 2004 Juta Rupiah Persen

Ra Ri ri

1 9.005.802,25 9.727.150,59 44.214,03 48.086,77 3.872,74 8,76 0,16 0,08 0,09 2 2.361.896,62 2.264.408,81 - - - - 0,16 -0,04 -3 22.351.528,47 25.886.592,67 550.740,32 679.108,70 128.368,38 23,31 0,16 0,16 0,23 4 1.654.135,41 2.016.715,44 55.328,35 65.374,34 10.045,99 18,16 0,16 0,22 0,18 5 2.454.524,51 2.953.690,85 96.386,25 111.816,21 15.429,96 16,01 0,16 0,20 0,16 6 12.640.082,56 15.041.332,01 348.361,56 413.054,94 64.693,38 18,57 0,16 0,19 0,19 7 3.687.739,30 4.460.726,38 83.019,44 102.082,20 19.062,76 22,96 0,16 0,21 0,23 8 2.455.245,34 2.976.531,67 66.242,59 81.882,16 15.639,57 23,61 0,16 0,21 0,24 9 5.922.130,86 6.957.290,93 131.456,58 151.240,81 19.784,23 15,05 0,16 0,17 0,15 TOTAL 62.533.085,32 72.284.439,35 1.375.749,12 1.652.646,13 276.897,01 20,13 0,16 0,16 0,20 *) Sektor-sektor: (1) Pertanian; (2) Pertambangan dan Penggalian; (3) Industri Pengolahan; (4) Listrik, Gas, dan Air Bersih; (5) Bangunan;

(6) Perdagangan, Hotel, dan Restoran; (7) Pengangkutan dan Komunikasi; (8) Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan; (9) Jasa Lainnya.


(2)

Perhitungan Rasio PDRB Kota Depok dan PDRB Propinsi Jawa Barat (Ra, Ri, dan ri)

PDRB Propinsi Jawa Barat (Juta Rupiah)

PDRB Kota Depok (Juta Rupiah)

Perubahan PDRB Kota Depok Sektor*)

2001 (1)

2004 (2)

2001 (3)

2004 (4)

Juta Rupiah (5)

Persen (6)

Ra

(7) Ri

(8) ri

(9) 1 9.005.802,25 9.727.150,59 44.214,03 48.086,77 3.872,74 8,76 0,16 0,08 0,09 TOTAL 62.533.085,32 72.284.439,35 1.375.749,12 1.652.646,13 276.897,01 20,13 0,16 0,16 0,20

a. Perubahan PDRB Kota Depok

Dalam contoh perhitungan ini, sektor ke i adalah sektor pertanian dan wilayah ke j adalah Kota Depok. Dengan demikian perubahan PDRB adalah sebagai berikut :

∆Yij = (4) – (3)

∆Yij = 48.086,77 – 44.214,03

= 3.872,74

b. Persentase Perubahan PDRB

% ∆ PDRB.j = ((5) / (3)) * 100

% ∆ PDRB.j = (3.872,74 / 44.214,03) * 100 = 8,76 %

c. Ra

Ra = [Total (2) – Total (1)] / Total (1)

= (72.284.439,35 – 62.533.085,32) / 62.533.085,32 = 0,16

d. Ri

Ri = [(2) – (1)] / (1)

= (9.727.150,59 – 9.005.802,25) / 9.005.802,25 = 0,08

e. ri

ri = [(4) – (3)] / (3)


(3)

Komponen Pertumbuhan Regional (PR) dan Perhitungannya

PR(a)

1997-2000

PR 2001-2004 Sektor*)

Juta Rupiah Persen Juta Rupiah Persen

1 -9.781,36 -16,83 6.894,70 15,59

2 - - -

-3 -142.826,67 -16,83 85.881,96 15,59

4 -9.288,88 -16,83 8.627,85 15,59

5 -19.885,36 -16,83 15.030,39 15,59

6 -65.639,58 -16,83 54.323,19 15,59

7 -12.939,35 -16,83 12.945,98 15,59

8 -10.834,88 -16,83 10.329,81 15,59

9 -20.746,21 -16,83 20.499,22 15,59

TOTAL -291.942,30 -16,83 214.533,10 15,59

Contoh Perhitungan :

• Diketahui: Ra (a) adalah 0,16 dan nilai PDRB sektor pertanian Kota Depok pada tahun dasar analisis (1997) adalah Rp 58.130,66.

• Maka, bila kita akan menghitung PR (a) untuk sektor 1 (yaitu, sektor pertanian) adalah sebagai berikut :

PRij = (Ra) Yij = (-0,17) x Rp 58.130,66 = Rp -9.781,36

Total PR adalah jumlah nilai PR (dalam juta rupiah) dari seluruh sektor

pada tahun yang bersangkutan.

Total PR (a) = -9.781,36 + (-142.826,67) + … + (-20.746,21)

= -291.942,30

• Sedangkan untuk menghitung persentasenya adalah sebagai berikut :

% PR = (PR / PDRB tahun dasar) * 100

= (-9.781,36 / 58.130,66) * 100 = -16,83 %

Total % PR = (Total PR / PDRB tahun dasar) * 100

= (Rp -291.942,30 / Rp 58.130,66) *100


(4)

Komponen Pertumbuhan Proposional (PP) dan Perhitungannya

PP (a) 1997-2000

PP 2001-2004 Sektor*)

Juta Rupiah Persen Juta Rupiah Persen

1 9.439,57 16,24 -3.353,23 -7,58

2 - - -

-3 -19.821,79 -2,34 1.221,81 0,22

4 -1.484,47 -2,69 3.499,90 6,33

5 -33.008,86 -27,93 4.571,28 4,74

6 29.215,77 7,49 11.855,41 3,40

7 3.492,01 4,54 4.455,73 5,37

8 -12.974,89 -20,15 3.734,51 5,64

9 16.603,75 13,47 2.478,76 1,89

TOTAL -8.538,91 -0,49 28.464,17 2,07

Contoh Perhitungan :

• Diketahui: Ra (a) adalah -0,17 Ri (a) adalah -0,01, dan nilai PDRB sektor pertanian di Kota Depok pada tahun dasar (1994) adalah Rp 43.099,10.

• Maka, bila kita akan menghitung PR (a) untuk sektor 1 (yaitu, sektor pertanian) adalah sebagai berikut :

PPij = (Ri – Ra) Yij = (-0,01 – (-0,17)) x 43.099,10 = 9.439,57

Total PP adalah jumlah nilai PP (dalam juta rupiah) dari seluruh sektor

pada tahun yang bersangkutan.

Total PP (a) = 9.439,57 + (-19.821,79) + … + 16.603,75

= -8.538,91

• Sedangkan untuk menghitung persentasenya adalah sebagai berikut :

% PP = (PP / PDRB tahun dasar) * 100

= (9.439,57 / 43.099,10) * 100 = 16,24 %


(5)

Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW) dan Perhitungannya

PPW (a) PPW

Sektor*)

Juta Rupiah Persen Juta Rupiah Persen

1 -14.689,77 -25,27 331,28 0,75

2 - - -

-3 -168.793,42 -19,89 41.264,61 7,49

4 7.165,55 12,98 -2.081,77 -3,76

5 25.860,87 21,88 -4.171,71 -4,33

6 -22.819,39 -5,85 -1.485,22 -0,43

7 10.310,02 13,41 1.661,05 2,00

8 21.859,52 33,95 1.575,25 2,38

9 4.664,97 3,78 -3.193,75 -2,43

TOTAL -136.441,66 -7,86 33.899,74 2,46

Contoh Perhitungan :

• Diketahui: ri (a) adalah -0,26, Ri (a) adalah -0,01, dan nilai PDRB sektor pertanian di Kota Depok pada tahun dasar (1994) adalah Rp 58.130,66.

• Maka, bila kita akan menghitung PPW (a) untuk sektor 1 (yaitu, sektor pertanian) adalah sebagai berikut :

PPWij = (ri – Ri) Yij = (-0,26 – (-0,01)) * 58.130,66 = -14.689,77

Total PPW adalah jumlah nilai PPW (dalam juta rupiah) dari seluruh

sektor pada tahun yang bersangkutan.

Total PPW (a) = -14.689,77 + (-168.793,42) + … + 4.664,97

= -136.441,66

• Sedangkan untuk menghitung persentasenya adalah sebagai berikut :

% PPW = (PPW / PDRB tahun dasar) * 100

= (-14.689,77 / 58.130,66) * 100 = -25,27 %

Total % PPW = (Total PPW / PDRB tahun dasar) * 100

= (-136.441,66 / 58.130,66) *100


(6)

Komponen Pergeseran Bersih (PB) dan Perhitungannya

PB (a) PB

Sektor*)

Juta Rupiah Persen Juta Rupiah Persen

1 -5.250,20 -9,03 -3.021,96 -6,83

2 - - -

-3 -188.615,21 -22,22 42.486,42 7,71

4 5.681,08 10,29 1.418,14 2,56

5 -7.147,99 -6,05 399,57 0,41

6 6.396,38 1,64 10.370,19 2,98

7 13.802,03 17,95 6.116,78 7,37

8 8.884,63 13,80 5.309,76 8,02

9 21.268,71 17,25 -714,99 -0,54

TOTAL -144.980,56 -8,36 62.363,91 4,53

Contoh Perhitungan :

• Diketahui: nilai PP (a) adalah 9.439,57, PPW (a) adalah -14.689,77, dan nilai PDRB Kota Depok tahun dasar analisis adalah Rp 58.130,66.

• Maka, bila kita akan menghitung PB (a) untuk sektor 1 (yaitu, sektor pertanian) adalah sebagai berikut :

PBij = PPij + PPWij = 9.439,57 + (-14.689,77)

= -5.250,20

Total PB adalah jumlah nilai PB (dalam juta rupiah) dari seluruh sektor

pada tahun yang bersangkutan.

Total PB (a) = -5.250,20 + (-188.615,21) + … + 21.268,71

= -144.980,56

• Sedangkan untuk menghitung persentasenya adalah sebagai berikut :

% PB = % PP + % PPW

= 16,24 + (-25,27) = -9,03 %