Dinamika Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia

secara keseluruhan akan memunculkan berbagai permasalahan yang justru malah membebani masyarakat di daerah.

C. Dinamika Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia

Kondisi pemerintahan daerah yang ada sekarang pada dasarnya terbentuk melalui perjalanan panjang yang cukup melelahkan. Oleh sebab itu tidaklah bijak jika kita meninggalkan aspek histories tersebut dalam kajian ini. Mengutip pendapat Sarundjajang, paradigma pemerintahan daerah di Indonesia selama ini dapat dirumuskan sebagai berikut; Paradigma Pertama antara kurun waktu tahun 1903-1922 ditandai dengan adanya pengakuan Pemerintahan Daerah dalam sistem pemerintahan Hindia Belanda. Paradigma Kedua antara kurun waktu tahun 1922-1942 Desentralisasi Versi Kolonial. Paradigma Ketiga antara kurun waktu tahun 1942-1959, merupakan pase pencarian bentuk desentralisasi menuju demokrasi. Paradigma Keempat antara kurun waktu tahun 1959-1974, merupakan masa dimana terjadinya desentralisasi yang dipaksakan. Paradigma Kelima – ORBA – ketika masa berlakunya UU No.15 Tahun 1974 tentang Otonomi Terbatas dan kecenderungan Sentralistik dalam pelaksanaannya. Paradigma Keenam – Era Reformasi saat ini – masa berlakunya UU No.22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No.32 Tahun 2004 yang oleh Sarundjajang disebut-sebut sebagai arus balik kekuasaan pusat ke daerah. 46 Berdasarkan sejarah, perkembangan otonomi daerah di Indonesia secara garis besar bisa dibagi menjadi empat periode, antara lain; Periode I, Periode Kolonial, Periode II, Periode Kemerdekaan ORLA, Periode III, Periode ORBA, Periode IV, Periode Reformasi sekarang. Lahirnya ‘Reglement’ Staatsblad 1855 No. 2 yang mengatur tentang pemerintah daerah dalam sistem pemerintahan Hindia Belanda bukanlah atas dasar asas desentralisasi seperti yang kita kenal sekarang ini, yaitu memberikan hak otonom pada daerah-daerah koloni saat itu. Namun, selajur dengan politik penjajahan pada umumnya, pemerintah Kolonial semula hanya melaksanakan asas dekonsentrasi. Dengan begitu, pengaturan tentang sistem politik daerah masa itu masih bersifat sentralisasi, sehingga peranan pemerintahan Pangreh Praja atau sering disebut sebagai Pamong Praja memegang posisi yang sangat menentukan. 47 Otonomi masa kolonial berlandaskan pada hukum adat yang secara yuridis mencapai titik kulminasinya setelah ditetapkan politik etis etische politic atau “Politik Balas Budi” yang dicanangkan oleh orang-orang Belanda yang progresif, sebagai reaksi terhadap Culture Stetsel yang berdampak pada timbulnya pemerasan 46 S. H. Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1999, h. 4 47 Soehino, Perkembangan Pemerintahan Daerah, Yogyakarta : Liberty, 1983, h. 5 tenaga rakyat Indonesia dalam peristiwa penanaman paksa tanaman keras culture yang memberikan kerugian begitu besar bagi pemerintahan Belanda. 48 Oleh sebab itulah, Pemerintah Hindia Belanda melakukan perubahan dalam ketatanegaraannya dengan menjalankan sistem pemerintahan yang lebih intensif dan disemangati dengan tujuan pokok untuk mengimbangi gerakan kebangsaan yang dipelopori oleh kaum cendikiawan bangsa Indonesia, dimana mereka adalah para orang Hindia Belanda terpelajar hasil didikan Sekolah Belanda. Ketika itu pemerintah Belanda menempatkan beberapa cendikiawan Hindia Belanda tersebut kebeberapa instansi pemerintahan lokal di beberapa daerah untuk menjadi pejabat setempat. Yang tanpa disadari oleh mereka sebenarnya hal tersebut menjadi senjata boomerang bagi Belanda. Decentralisatiewet 1903 adalah produk kemudian yang dihasil Belanda berkaitan dengan sistem pemerintahan daerahnya. Berdasarkan kebijakan ini bisa diartikan bahwa Belanda mencoba mendasarkan pemerintahan daerahnya atas asas desentralisasi yang tentunya versi kolonial. Sejak diberlakukannya UU Desentralisasi yang ada saat itu, wilayah Hindia Belanda terlihat terbagi menjadi dua jenis otonomi daerah, yaitu yang berdasarkan pada hukum asli Indonesia dan otonomi daerah yang berdasarkan Decentralisatiewet 1903. Pada prinsipnya jauh sebelum Penjajah menguasai kepulauan Indonesia sebagai wilayah administratif, kerajaan lama di Indonesia masih memiliki wewenang administratif dalam memerintah wilayah teritorial yang berada di bawah pengaruh 48 B. Hestu Handoyo, Otonomi Daerah : Titik Berat Otonomi dan Urusan Rumah Tangga Daerah , Yogyakarta : Universitas Atmajaya, 1998, Cet. Ke-1, h. 46 kekuasaan mereka. Namun, pemerintah kerajaan-kerajaan tersebut tetap terikat oleh sebuah perjanjian yang selanjutnya disebut “Kontrak Politik”. Pada masa pendudukan Jepang, wilayah Indonesia dibagi kedalam tiga teritori kekuasaan militer, yaitu Sumatra berada di bawah kekuasaan Kepala Pasukan Angkatan Darat KPAD yang berada di Bukit Tinggi. Kemudian Jawa yang berkedudukan di Jakarta. Sedangkan kepulauan selebihnya berada di bawah kekuasaan Kepala Pasukan Angkatan Laut di Makasar. 49 Dengan demikian dapat kita pahami bahwa pada zaman kolonial Jepang implementasi dari asas desentralisasi kaitannya dengan otonomi daerah tidak memunculkan “daerah otonom”. Para kolonialis Jepang bahkan kerap kali mengeluarkan kebijakan deviasi yang menyesatkan untuk menyelubungi sikap jajahan atas nama pemerintah daerah menurut versinya masing-masing. Masih menurut Sujatmo, bahwa selama kependudukan Jepang, pengaturan asas desentralisasi semakin kabur. Pada prinsipnya kebijakan dan aturan yang diambil atau diterapkan oleh pejajah hanyalah bersifat kamuflase. Mereka sengaja mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang terus menyudutkan bangsa Indonesia demi melanggengkan kekuasaan di Indonesia. Kaum kolonial memasang ikatan yang menjerat hak warga Indonesia pada setiap sendi kehidupan bernegara. Pada era berikutnya yaitu pada masa kemerdekaan Orde Lama dimana kekuasan berada ditangan Soekarno, paling tidak terdapat beberapa kali perubahan 49 Sujatmo, Otonomi Daerah yang Nyata dan Bertanggungjawab, Jakarta : Ghalia Inodonesia, 1984, Cet. Ke-2, h. 138-139 kebijakan tentang pengaturan daerah-daerah dalam sistem pemerintahan kita kala itu. Di mulai dengan UU No.1 tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional, maka Indonesia telah mengawali komitmennya tentang arti negara kesatuan dalam format negara-bangsa. Karena UU ini masih bersifat sederhana dan minim penjabarannya, selang tiga tahun kemudian lahirlah UU No. 22 tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. UU No.22 tahun 1948 tersebut merupakan penghapusan perbedaan antara pemerintahan di pulau Jawa-Madura dan di luar Jawa-Madura. Namun sangat disayangkan, UU tersebut dianggap gagal dalam pemberlakuannya karena instabilitas politik nasional yang disebabkan Agresi Militer Belanda di tahun yang sama. 50 Seiring berubahnya politik-kekuasaan negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat, ada satu hal yang menarik dari proses pergantian peraturan pemerintahan daerah. Sementara issue federalistik Indonesia bergulir, proses untuk kembali kepada semangat UUD 1945, terbitlah UU Negara Indonesia Timur No.44 tahun 1950. Tepat setelah sistem politik negara kembali berdasarkan UUD 1945 yang selaras dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka asas federalisme yang baru seumur jagung, kandas sudah. Efeknya dari hal tersebut adalah lahirnya kebijakan berupa Penetapan Presiden yang tertuang dalam UU No.6 tahun 1959 yang disusul dengan PenPres No.5 tahun 1960 setahun kemudian. Namun, kedua UU tersebut sangat 50 Inu Kencana Syafie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1996, Cet. Ke-1, h. 10 menonjolkan sifat sentralistik dari kepemimpinan Soekarno yang otoritarian dengan Demokrasi Terpimpinnya. 51 Soekarno di penghujung kekuasaannya mengganti kebijakannya kembali dengan mengeluarkan UU No.18 tahun 1965 untuk mengatur lebih lanjut permasalah otonomi daerah. Namun integritas isi UU tersebut secara substantif tidak memiliki nilai lebih dari peraturan-peraturan sebelumnya. Kendati terdapat sedikit perubahan dalam hal bentuk dan susunan pemerintahan daerah serta wewenangnya. 52 Dalam pengaplikasiannya UU ini terbentur kasus G 30 SPKI yang terjadi di tahun yang sama. 53 Kemudian pada masa Orde Baru , pemberlakuan UU No.5 tahun 1974 mengenai pokok-pokok pemerintahan daerah dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Pelaksanaan pemberian otonomi kepada daerah harus menunjang aspirasi perjuangan rakyat, yakni memperkokoh negara kesatuan dan mempertinggi tingkat kesejahteraan masyarakat; 2. Pemberian otonomi kepada daerah harus merupakan otonomi yang nyata dan bertanggungjawab; 3. Asas desentralisasi dilaksanakan secara bersama-sama dengan asas dekonsentrasi, dengan memberikan kemungkinan pula bagi pelaksanaan asas tugas pembantuan; 51 H. Syaukani dkk, Otonomi Daerah : Dalam Negara Kesatuan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002, h. 107-108 52 H. Syaukani dkk, Otonomi Daerah : Dalam Negara Kesatuan, h. 112 53 B. Hestu Cipto Hardoyo, Otonomi Daerah dan Urusan-urusan Rumah tangga; Daerah- daerah Pokok Pikiran Menuju Reformasi Hukum di Bidang Pemerintahan Daerah, Jakarta : Universitas Atma Jaya, 1998, Cet. Ke-1, h. 61 4. Pemberian otonomi kepada daerah mengutamakan aspek keserasian dengan tujuan, disamping aspek pendemokrasian; 5. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan di daerah, terutama dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat serta untuk meningkatkan pembinaan politik dan kesatuan bangsa. 54 Asas desentralisasi yang coba diterapkan pada prinsipnya adalah sentralisasi yang dibungkus dengan dekonsentrasi. Sehingga prinsip-prinsip “otonomi yang riil dan seluas-luasnya” diganti oleh UU No.5 tahun 1974 menjadi prinsip-prinsip “otonomi yang nyata dan bertanggungjawab”. Sementara itu dalam penjelasan UU tersebut dijelaskan bahwa istilah “seluas-luasnya” dianggap dapat membahayakan keutuhan negara kesatuan. 55 Banyak kalangan yang menilai bahwa penerapan otonomi daerah di Indonesia semakin memasung kreatifitas daerah untuk membangun daerahnya secara mandiri dan bersahaja. Terkesan daerah diperas hasil sumber dayanya untuk kepentingan pemerintah pusat. Lebih jauh lagi , UU No.5 tahun 1974 – menekankan konsentrasi daerah untuk mewujudkan pembangunan berskala global. Pemerintah melalui UU 54 Sujatmo, Otonomi Yang Nyata dan Bertanggungjawab, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990, Cet. Ke-2, h. 11 55 H. Syaukani dkk, Otonomi Daerah : Dalam Negara Kesatuan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002, h. 143 tersebut menekankan bahwa prinsip “otonomi lebih merupakan kewajiban bukan hak”. 56 Dengan satu kebijakan tersebut, Seoharto bersama rezim orde barunya “memelihara” dan “mengupayakan” kesejahteraan daerah-saerah di seluruh pelosok nusantara. Padahal, dinamika problematika daerah sudah “gerah dan jemu” dengan aturan tersebut, sehingga munculnya berbagai permasalahan yang semakin kompleks, tidak sebatas ekonomi pembangunan saja, bahkan ikut tercerabutnya daya nalar kehidupan sosial budaya masyarakat selaku manusia beradab. Dalam tiga dekade tersebut, pembahasan otonomi daerah bisa dibilang hanya berkutat pada satu “cara main” saja yang sifatnya sempit sementara permasalahan akibat ketimpangan pusat dan daerah begitu beragam. Sangat jelas sekali, mandulnya efektifitas kinerja daerah dan jajaran pemerintahannya disebabkan oleh sentralistiknya pemerintahan Orde Baru dalam memperhatikan dan memperdulikan nasib daerah-daerah di Indonesia. Kemudian bebicara tentang era reformasi yang ditandai dengan lengsernya Seoharto dari tampuk kursi kekuasaannya selama 32 tahun pada 1998. Beralihnya kepemimpinan ketangan Bj. Habibie, pelaksanaan otonomi belum mendapatkan titik cerah, bahakan pada masanya terjadi peristiwa referendum bagi rakyat Timor-Timur untuk memilih antara tetap atau lepas dari NKRI. Ide dan proses referendum tersebut pun menjadi polemik bangsa yang menjadi perhatian banyak kalangan. 56 Lihat Penjelasan UU No.5 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah “Bercerainya” Timor-Timur dari kekuasaan Indonesia, juga terjadi pada masa kekuasaan Bj. Habibie. Selanjutnya pemerintah mengeluarkan UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang dilengkapi dengan UU No.25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah. 57 Kemudian keduanya direvisi menjadi UU No.32 dan 33 tahun 2004 yang sampai detik ini dipakai oleh pemerintah dalam mengatur pemerintahan daerah.

D. Kebijakan – kebijakan Tentang Otonomi Daerah Depok