Pelaporan Masalah Restitusi dan Ketiadaan Kompensasi

64 kembali tugas dan fungsi lembaga-lembaga tersebut, dan yang paling penting menjamin pemenuhan hak korban atas pemulihan terlaksana tanpa terlebih dahulu menunggu dirumuskan peraturan pemerintah. Penyelenggaraan pemulihan korban yang diatur dalam Pasal 28 juga harus terlebih dahulu diharmonisasi dengan peran lembaga lain, yakni aparat penegak hukum dalam hal ini kepolisian. Pasal 28 belum mengakomodir peran kepolisian dalam hal pihak kepolisian melakukan rujukan kepada lembaga pengada layanan. Selama ini seperti yang telah dijelaskan bahwa koordinasi antara polri khususnya polda DKI Jakarta telah terlaksana cukup baik dengan pusat pelayanan terpadu P2TP2A DKI Jakarta. Ini berarti bahwa upaya pemulihan selain dimohonkan oleh korban, identifikasi oleh pendamping dan informasi dari aparatur desa dapat juga dimohonkan oleh kepolisian atau penyidik. Hal ini pun juga akan selaras dengan apa yang diatur dalam Pasal 531, Pasal 58 huruf d dan Pasal 63 yang mewajibkan penyidik untuk mengindentifikasi kebutuhan korban dan berkoordinasi dengan Lembaga Penyedia Layanan.

5.5 Pelaporan

Dalam hal mengenai pelaporan yang diatur dalam Pasal 53, pasal tersebut menjelaskan kewajiban pelaporan tindak kekerasan seksual kepada lembaga pengada layanan atau kepolisian untuk setiap orang, pejabat dan tenaga kesehatan, psikiater atau psikolog yang melihat adanya indikasi kekerasan seksual. Hal ini perlu dikaji lebih lanjut, bahwa pelaporan bagaimanapun bagian dari penaganan kekerasan seksual yang harus memperhatikan peran korban. Segala bentuk laporan kepada kepolisian harus mendapatkan persetujuan dari korban. Proses yang ditempuh dalam merespon kekerasan seksual harus berorientasi pada korban. Ada kalanya korban tidak ingin kasusnya diselesaikan melalui proses hukum. Fokus utama yang diberikan dalam UU ini adalah mengakomodir upaya korban untuk melanjutkan kehidupannya dengan jalan yang manusiawi, sehingga upaya pelaporan mutlak menjadi hak korban sebagai pihak yang dirugikan. Jangan sampai pengaturan kewajiban ini justru membuat korban tidak nyaman, sehingga pemulihannya menjadi bermasalah. Dengan adanya permasalahan ini, maka RUU PKS juga harus tegas dalam mengatur tentang pelaporan dan pemenuhan hak korban secara komprehensif. Penentuan kriteria seseorang sebagai korban harus diatur secara khusus dengan memperhatikan hak korban untuk tidak melaporkan kasusnya. Namun begitu keselarasan data tentang korban antara kepolisian dengan lembaga pengada layanan tetap harus terkoordinasi.

5.6 Masalah Restitusi dan Ketiadaan Kompensasi

Mengenai restitusi, hal yang cukup baru diatur dalam RUU PKS Pasal 49 ayat 4, yang menjabarkan mekanisme penalangan restitusi oleh LPSK atau tempat terdakwa bekerja manakala Terdakwa tidak memiliki kemauan untuk membayar restitusi dan terdakwa tidak memiliki harta 65 benda untuk dilakukan sita restitusi. Hal ini cukup menarik untuk dibahas, apakah pada implementasinya tidak akan menimbulkan masalah, dikarenakan sesuai dengan UU No 13 tahun 2006 jo UU No 31 tahun 2014 dinyatakan bahwa LPSK adalah lembaga mandiri yang bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan Saksi dan Korban. Bantuan dan Perlindungan yang diberikan telah diatur dalam Pasal 12A UU No 31 tahun 2014 yaitu:  meminta keterangan secara lisan danatau tertulis dari pemohon dan pihak lain yang terkait dengan permohonan;  menelaah keterangan, surat, danatau dokumen yang terkait untuk mendapatkan kebenaran atas permohonan;  meminta salinan atau fotokopi surat danatau dokumen terkait yang diperlukan dari instansi manapun untuk memeriksa laporan pemohon sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan;  meminta informasi perkembangan kasus dari penegak hukum;  mengubah identitas terlindung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;  mengelola rumah aman;  memindahkan atau merelokasi terlindung ke tempat yang lebih aman;  melakukan pengamanan dan pengawalan;  melakukan pendampingan Saksi danatau Korban dalam proses peradilan; dan  melakukan penilaian ganti rugi dalam pemberian Restitusi dan Kompensasi. yang didalamnya tidak memuat wewenang LPSK untuk menalangi restitusi bagi korban. Tentu hal ini perlu dikoordinasikan telebih dahulu Berdasarkan penjelasan diatas, tidak ada kewenangan bagi LPSK untuk menalangi restitusi bagi korban. Opsi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan manakala terdakwa tidak mampu membayarkan restitusi yang dibebankan kepadanya adalah dengan memohonkan kompensasi kepada negara ataupun membebankannya kepada pihak ketiga yang sebelumnya wajib dihadirkan menghadap LPSK sesuai dengan PP No 44 tahun 2008. Sehingga perlu dikaji kembali akankah pengaturan ini diubah dengan menyesuaikan praktik yang ada atau nantinya peraturan pemerintah tentang restitusi korban kekerasan seksual mengatur talangan restitusi oleh LPSK. RUU PKS sebisa mungkin seharusnya menjaminan adanya pengaturan mengenai kompensasi bagi korban kekerasan seksual. Karena bagaimana pun juga seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa hak korban termasuk ke dalam hak asasi manusia yang harus dipenuhi oleh negara. Negara bisa dengan mudah menganggarkan biaya untuk kastrasi kimia, rehabiltasi dalama UU Perlindungan Anak, namun tidak pernah diatur kewajiban negara untuk memberikan kompensasi khusus kepada korban. Bagaimana pun juga kompensasi harus diberikan kepada korban seperti yang telah dijelaskan bahwa kompensasi adalah salah satu aspek yang negara harus penuhi sesuai dengan UN Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of 66 Crime and Abuse of Power. Pengaturan yang hanya memfokuskan kepada pembebanan restitusi kepada pelaku hanya akan membuat negara absen dalam upaya memulihkan korban.

5.7 Masalah Asuransi, Jaminan Kesehatan dan Surat Izin Dokter