34 Tabel 8. Komoditas Unggulan Kecamatan di Kabupaten Cianjur
Jumlah produksi Pestisida yang
No Komoditas Kecamatan sentra
tahun ton digunakan
1 Padi Seluruh Kecamatan di Kab.
599 732 benlate, regent 50EC,
sawah Cianjur Kecuali Kec.Pacet
petrofur 3G, larvin 75 WP dan Kec.Sukanagara
furadan, dll 2 Jagung
Cibeber,Mande,Cugenang, 27 595
decis 2.5 EC, dursban 20 Ec, Takokak,Tanggeung,
larvin 75 WP, matador 25 EC Cikalongkulon dan Ciadaun
dll 3 Kedele
Ciranjang, Sukaluyu dan 7 224
belate, Confidor, decis 2.5 EC, Bojongpicung
dll 4 Kacang
Sindangbarang, Cidaun, 10 513
dursban 20 EC, diazinon Tanah
Agarbinta dan Naringgul 60 EC, decis, basban dll
5 Cabe Pacet, Cugenang, Sukaresmi
27 285 bion-M, benlate, dursban
20 EC, curacron 500 Ec dll 6 Kubis
Pacet, Cugenang 32 390
basamid G, curacron 500 EC, dan Campaka
diazinon 60 EC dll 7 Tomat
Pacet, Cugenang, Campaka 22 743
bion-M, curacron 500 EC, dan Warungkondang
dursban 20 EC, diazinon 60 EC dll 8 Petsai
Pacet, Cugenang, Sukaresmi 46 426
sidazinon 600EC, sidametrin 50EC 9 Sawi
dan Warungkondang diazinon 60EC
10 Wortel Pacet dan Cugenang
87 115
dursban 20 EC, curacron 500 EC 11 Bawang
Pacet dan Cugenang
81 651
antracol 70WP, dursban 20EC dll daun
12 Durian Cilaku, Cikalongkulon
6 552 _
13 Rambutan Cilaku, Cikalongkulon,
2 686 beta 15 EC
Mande dan Cibeber 14 Pisang
Cikalongkulon, Sukaresmi 422 472
rugby 10G, basamid G, anvil 50 SC dan Cibinong
Data pertanian dan perkebunan Cianjur 2005
Para petani sebenarnya telah melakukan upaya untuk memperbaiki kualitas tanah dengan mencampurkan kotoran sapi dan tanah sebelum lahan
ditanami kembali. Berdasarkan penelitian ini, perlakuan tersebut memang mampu manaikkan pH tanah mendekati netral tetapi tidak efektif menurunkan cemaran
pestisida. Selain itu, berdasarkan bio massa hasil panen juga berbeda nyata dengan perlakuan pengomposan.
4.2 Proses Pengomposan
Proses pengomposan pada penelitian ini dilakukan dengan mencampurkan bahan-bahan kotoran sapi, daun wortel, serbuk gergaji dan tanah terkontaminasi
profenofos dengan komposisi campuran bahan seperti pada Lampiran 1.
35 Campuran tersebut dibedakan berdasarkan nilai CN rasio. Hasil analisis CN dan
kadar air masing-masing bahan tersebut disajikan pada Tabel 9. Perlakuan ini bertujuan untuk mengetahui nilai CN yang palin g efektif berpengaruh pada
penurunan residu profenofos. Tabel 9. Rasio CN dan Kadar Air Bahan -bahan Pengomposan
Bahan C
N Kadar Air
Daun Wortel 39.03
1.90 30
Kotoran sapi 34.66
1.40 85
Serbuk Gergaji 55.00
0.11 10
Tanah 2.44
0.20 25
Menurut CPIS 1992, CN merupakan faktor utama pengomposan. Hal ini karena proses pengomposan dikendalikan oleh kegiatan bakteri yang
memanfaatkan karbon sebagai sumber energi dan pembentukan sel bersamaan dengan nitrogen. Bakteri dalam pertumbuhan dan aktivitasnya dipengaruhi oleh
suhu dan pH. Oleh karena itu suhu dan pH sangat penting diperhatikan selama proses pengomposan. Moser 2000 menyatakan suhu akan mencapai 20-65
o
C saat proses pencampuran bahan -bahan kompos. Jika suhu kurang dari 20
o
C maka proses akan berjalan lambat dan jika lebih dari 65
o
C menyebabkan banyak bakteri yang mati. Moser menambahkan suhu yang disarankan pada kisaran 35-55
o
C. Gambar 8 menggambarkan perubahan suhu dan nilai pH selama proses
pengomposan. Suhu kontrol 1a mengikuti suhu ruan g yaitu 19.6-23.4
o
C. Suhu kontrol 2 b meningkat sejak awal hanya sampai 29.1
o
C pada hari ke-10 selanjutnya menurun mendekati suhu ruang. Suhu pada perlakuan CN 30 c
meningkat sejak awal mencapai 40.6
o
C pada hari ke-8 selanjutnya turun perlahan mendekati suhu ruang pada hari ke-35. Suhu pada perlakuan CN 35 d
meningkat sejak awal mencapai 31.7 pada hari ke-10 selanjutnya menurun mendekati suhu ruang. Suhu pada perlakuan CN 40 e meningkat sejak awal
mencapai 28.0 pada hari ke-10 selanjutnya menurun dan meningkat kembali 27.3 pada hari ke-21 dan selanjutnya menurun mendekati suhu ruang. Selama proses
pengomposan pada semua perlakuan suhu cenderung meningkat sejak awal sampai minggu ke dua. Penurunan suhu secara umum terjadi pada hari ke 22.
36
a
5 15
25 35
45
1 3
5 7
9 11
13 15
17 19
21 23
25 27
29 31
33 35
hari ke- suhu
C
2 4
6 8
10
pH
b
5 15
25 35
45
1 3
5 7
9 11
13 15
17 19
21 23
25 27
29 31
33 35
hari ke- suhu
C
2 4
6 8
10
pH
c
5 15
25 35
45
1 3
5 7
9 11
13 15
17 19
21 23
25 27
29 31
33 35
hari ke- suhu
C
2 4
6 8
10
pH
d
5 15
25 35
45
1 3
5 7
9 11
13 15
17 19
21 23
25 27
29 31
33 35
hari ke- suhu
C
2 4
6 8
10
pH
e
5 15
25 35
45
1 3
5 7
9 11
13 15
17 19
21 23
25 27
29 31
33 35
hari ke- suhu
C
2 4
6 8
10
pH
suhu pH
pengadukan sampling
Gambar 8 Perubahan suhu dan pH campuran selama proses pengomposan berdasarkan komposisi campuran a tanah; b tanah dan kotoran
37 Selama proses pengomposan dilakukan pembalikan setiap minggu sore
?
, namun hal ini tidak mempengaruhi suhu pengomposan. Hal ini disebabkan suhu
campuran yang merata. Suhu pengomposan mendekati suhu kamar suhu sekitar penelitian 19-23
o
C pada hari ke 31-35 dengan kisaran suhu 21-22.9
o
C. Setelah mengalami peningkatan suhu pada penelitian ini hanya tercapai fase mesofilik
campuran menjadi padatkompak dan aerasi menjadi berkurang sehingga terjadi penurunan suhu yang mengakibatkan aktivitas enzim berkurang. Pada tahap ini
campuran berada dalam tahap pematangan. Dari peningkatan suhu, tertinggi pada pengomposan CN 30 Gambar 6c.
Hal ini disebabkan oleh karena nilai CN campuran mendukung untuk kegiatan bakteri. Pada CN 30 komposisi campuran bahan teridiri dari: tanah + serbuk
gergaji 628.27 Kg, kotoran sapi 317.04 Kg dan daun wortel 54.68 Kg. Komposisi ini jika dibandingkan dengan perlakuan lain mengandung biowaste lebih banyak
Lampiran 2. Suhu yang tinggi pada pengomposan menyebabkan perubahan CN yang rasio juga tinggi jika dibandingkan dengan kontrol 1 dan 2 Tabel 10
Nilai pH tanah sebagai bahan utama pada pengomposan ini rendah. Nilai pH kontrol sampai akhir penelitian berkisar 5.27-5.79 Gambar 6a
? . Pada
semua perlakuan menunjukkan nilai pH yang rendah di awal proses pengomposan. Rendahnya nilai pH pada awal pengomposan menunjukkan
terbentuknya asam-asam organik hasil dari penguraian bahan organik karbohidrat menjadi asam laktat dan asam organik lainnya. Pada hari ke-7 nilai
pH semua perlakuan meningkat mendekati nilai netral sampai akhir pengomposan. Nilai pH tersebut merupakan nilai optimal untuk pertumbuhan
mikroorganisme. Pada saat nilai pH mendekati netral, NH
3
yang terbentuk selama degradasi protein akan berikatan dengan air membentuk NH
4
OH yang bersifat basa, sehingga pH meningkat. Selain itu juga disebabkan oleh perubahan asam-
asam organik menjadi CO
2
dan sumbangan kation-kation basa hasil mineralisasi bahan-bahan pengomposan.
Pada penelitian ini, suhu pengomposan pada perlakuan CN 30 berbeda nyata terhadap semua perlakuan dan merupakaan suhu tertinggi mencapai suhu
40.3 Tabel 10. Hal ini menunjukkan tingginya aktivitas bakteri pada perlakuan CN 30. Sedangkan nilai pH tidak berbeda ny ata pada semua perlakuan. Jika
38 dibandingkan dengan nilai pH K1 yang asam 5.6 dan K2 7.13, nilai pH
perlakuan lebih tinggi mendekati netral. Berdasarkan hasil analisis aktivitas bakteri FDA menggunakan spektrofotometri menunjukkan bahwa aktivitas
bakteri pada CN 30 meningkat lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan yang lain Lampiran 10. Suhu dapat menggambarkan aktivitas bakteri pada campuran
kompos. Meskipun nilai pH pada campuran mendukung untuk pertumbuhan bakteri namun jika suhu tidak sesuai maka akan menghambat bakteri untuk
menghasilkan enzim yang berguna untuk mendegradasi bahan organik dan anorganik yang ada dalam campuran kompos. Peningkatan suhu dipengaruhi oleh
CN campuran karena berhubungan dengan aktivitas bakteri. Selama proses pengomposan, bakteri memanfaatkan C sebagai sumber energi dan N sebagai
sumber protein dan pertumbuhan sel. Pada proses pengomposan, bakteri mengkonsumsi 30 bagian karbon untuk satu bagian nitrogen dan penurunan N
hanya 0.5 sedangkan C mencapai 50. Pada CN terlalu rendah atau N melimpah, menyebabkan bakteri tidak mampu memanfaatkan semua N tersebut
sehingga akan lepas dalam bentuk bau gas amonia. Menurut Indrasti dan Wilmot 2001 CN yang rendah memberikan kontribusi terhadap bau sehingga perlu
menambah bahan dengan C tinggi. Pada penelitian ini menggunakan serbuk gergaji sebagai bulking agent. Sedangkan pada CN yang tinggi proses
pengomposan akan berlangsung lama Murbandono, 1983. Hal ini disebabkan jumlah nitrogen sedikit untuk pembentukan sel sehingga dibutuhkan beberapa kali
siklus untuk mereduksi karbon. Nitrogen yang telah diimobilisasi akan didaur ulang dicirikan dengan matinya beberapa bakteri yang bertanggung jawab
melaksanakan pengomposan. Suhu optimum pengomposan pada penelitian ini berkisar 25-40.3
o
C dengan kata lain suhu termofilik tidak tercapai. Hal ini disebabkan oleh kondisi
lingkungan di tempat penelitian yang sangat dingin dengan suhu mencapai 19
o
C. Namun demikian, berdasarkan pengamatan selama proses pengomposan, kondisi
campuran secara keseluruhan tetap hangat. Mikroorganisme yang tumbuh optimal diduga golongan mesofilik yaitu yang hidup pada kisaran suhu 10-45
o
C. Berdasarkan hasil isolasi diperoleh 7 jenis bakteri yang diberi inisial a, b, c, d, e, f
dan g Gambar 14. Selama proses pengomposan, bakteri-bakteri tersebut
39 mengkonsumsi bahan-bahan organik dan anorganik yang tersedia di dalam
campuran. Bakteri tertentu mampu memproduksi enzim-emzim yang berperan dalam mendegradasi profenofos yang terdapat di dalam campuran. Fokus
penelitian ini adalah untuk mengetahui perlakuan mana yang mampu menurunkan residu profenofos dengan bantuan bakteri yang ada di dalam campuran bahan
pengomposan tersebut. Bakteri yang berperan dalam mendegradasi profenofos dapat diketahui setelah menguji pertumbuhan bakteri tersebut pada media selektif
MSPY yang mengandung profenofos dan dilakukan pada akhir penelitian ini. Bakteri-bakteri tersebut biasanya disebut sebagai bakteri pendegradasi pofenofos
pestisida. Hasil analisis secara umum semua perlakuan menunjukkan residu
profenofos mengalami penurunan. Berdasarkan uji statistik menunjukkan bahwa CN rasio berpengaruh nyata terhadap penurunan residu profenofos Tabel 10.
Perlakuan CN 30 menunjukkan konsentrasi residu paling kecil yaitu 0.006 ppm dan berbeda nyata dengan semua perlakuan. Semua perlakuan menunjukkan
residu yang lebih kecil dibandingkan kontrol 1 dan kontrol 2. Perlakuan CN 30 memiliki kemampuan degradasi paling tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan
yang lain Gambar 9. Tingginya tingkat degradasi pada CN 30 disebabkan karena kandungan C dan N pada campuran CN 30 mendukung kegiatan
mikroorganisme oleh karena suhu dan pH optimum bisa tercapai. Suhu optimum pada CN 30 bisa tercapai oleh karena adanya aktivitas bakteri. Selama proses
pengomposan, bakteri memanfaatkan Karbon C sebagai sumber energi dan Nitrogen N sebagai sumber protein dan untuk pertumbuhan sel.
40 Tabel 10. Hasil Analisis Proses Pengomposan
Nilai Suhu
nilai Residu
delta laju
penurunan Laju Pertumbuhan
Kode CN
tertinggi CN
profenofos CN
residu Log
. cfuhr
FDAhr awal
C pH akhir
akhir ppm
35 hr ppm hr
K1 14.4
23.4 5.6
10 0.1360
4.40 0.0279
1.8465 0.8223
K2 20
29.1 7.13
17 0.0660
3.00 0.0371
2.1915 0.9185
CN30 30.25
40.3
c
7.29
a
18
a
0.0060
a
12.25 0.0642
2.4575 1.5867
CN35 37.55
31.3
b
7.38
ab
23
ab
0.0273
b
14.55 0.0560
2.2170 1.0735
CN40 41.75
27
a
7.47
b
29
b
0.0331
c
12.75 0.0512
2.1535 1.0368
• K1 = tanah; K2 = tanah + kotoran sapi
• Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang tidak sama berbeda nyata menurut Uji Tukey a= 0,05
• Suhu luar 26.4-19
o
C pengamatan pukul 10.00-11.00 WIB
41 Pada proses pengomposan, bakteri mengkonsumsi 30 bagian karbon untuk
satu bagian nitrogen dan penurunan N hanya 0.5 sedangkan C mencapai 50. Pada CN terlalu rendah atau N melimpah, menyebabkan bakteri tidak mampu
memanfaatkan semua N tersebut sehingga akan lepas dalam bentuk bau gas amonia. Menurut Indrasti dan Wilmot 2001 CN yang rendah memberikan
kontribusi terhadap bau sehingga perlu menambah bahan dengan C tinggi. Pada penelitian ini menggunakan serbuk gergaji sebagai bulking agent. Sedangkan pada
CN yang tinggi proses pengomposan akan berlangsung lama Murbandono, 1983. Hal ini disebabkan jumlah nitrogen sedikit untuk pembentukan sel
sehingga dibutuhkan beberapa kali siklus untuk mereduksi karbon. Nitrogen yang telah diimobilisasi akan didaur ulang dicirikan dengan matinya beberapa bakteri
yang bertanggung jawab melaksanakan pengomposan.
Profenofos merupakan insektisida golongan organofosfat yang memiliki sifat stabil di dalam tanah maupun di air EPA, 1998. Waktu paruh profenofos
pada pH 5 mencapai 108 hari, pada pH 7 mencapai 62 hari Tabel 2. Pad a penelitian ini, pengomposan selama 35 hari mampu menurunkan residu
konsentrasi profenofos sampai 98. Konsentrasi residu profenofos mencapai
0.00 0.05
0.10 0.15
0.20 0.25
0.30
7 14
21 28
35 hari ke-
Residu profenofos ppm
K1 K2
CN 40 CN 35
CN 30
Gambar 9. Penurunan Residu Profenofos Selama Proses Pengomposan
42 separuh dari konsentrasi awal pada hari ke 14 -21 pada perlakuan pengomposan.
Sedangkan pada kontrol, konsentrasi residu profenofos mencapai separuh dari konsentrasi awal pada hari ke-35. Berdasarkan hal ini dapat diduga bahwa proses
pengomposan mampu mempercepat degradasi profenofos. Nilai pH pada K
1
adalah 5.27-5.79 dan pada perlakuan K2, A30, B30, A35, B35, A40 dan B40 mendekati netral. Penurunan residu profenofos pada hari
ke-35 sudah mendekati nol kecuali K
1
dan K
2
. Hal ini karena selama proses pengomposan terjadi co-metabolisme oleh bakteri-bakteri. Struktur bahan organik
yang beragam dan memiliki karakteristik tersendiri dalam kompos membantu terjadinya co-metabolisme sejumlah bahan yang menjadi objek degradasi dalam
hal ini profenofos. Suhu yang hangat juga membantu mempercepat proses degradasi karena memungkinkan reaksi biokimia yang lebih cepat. Suhu yang
tinggi juga dapat menyebabkan pestisida menjadi lebih mudah terdegradasi karena pertumbuhan dan aktivitas bakteri pendegradasi pestisida meningkat.
Pertumbuhan populasi bakteri dan degradasi profenofos setiap perlakuan disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10 menunjukkan bahwa jumlah populasi bakteri cenderung mengikuti pola pertumbuhan bakteri yaitu kurva sigmoid. Secara umum pada hari
ke-7 pertumbuhan populasi bakteri masih relatif kecil karena bakteri dari bahan - bahan pengomposan masih beradaptasi dengan lingkungan barunya yang
mengandung profenofos. Proses pertumbuhan adaptasi ini berlangsung selama 2 minggu. Pada hari ke-21 populasi bakteri meningkat cepat, mengindikasikan
bahwa bakteri yang sudah mampu beradaptasi telah memanfaatkan bahan-bahan organik sebagai sumber energi dan protein. Namun pada perlakuan CN 30
Gambar 10e populasi bakteri meningkat lebih cepat pada hari ke 14 dengan populasi lebih tinggi. Meningkatnya populasi bakteri log cful dan aktivitas
bakteri FDA diikuti oleh penurunan konsentrasi residu profenofos Gambar 11. Hal ini bisa menggambarkan proses co metabolisme bakteri selama pengomposan.
Pertumbuhan dan aktivitas bakteri dipengaruhi oleh pH dan suhu. Meskipun bakteri tersebut diisolasi dari kondisi yang ekstrim, namun pertumbuhan yang
optimal hanya terjadi pada kisaran yang sempit. Oleh karena itu perlu memperoleh kondisi yang optimal yaitu pH 6.5-7.5 dan suhu 15-45
o
C.
43 Gambar 10. Pertumbuhan bakteri dan penurunan residu profenofos selama
Pengomposan a K1 b K2 c CN 40 d CN 35 dan eCN 30
d
6 7
8 9
10 11
12
7 14
21 28
35
Log cfu
0.00 0.05
0.10 0.15
0.20 0.25
0.30 0.35
Residu profenofos ppm b
6 7
8 9
10 11
12
7 14
21 28
35
Log cfu
0.00 0.05
0.10 0.15
0.20 0.25
0.30 0.35
Residu profenofos ppm
a
6 7
8 9
10 11
12
7 14
21 28
35
Log cfu
0.05 0.10
0.15 0.20
0.25 0.30
0.35
Residu profenofos ppm
c
6 7
8 9
10 11
12
7 14
21 28
35
Log cfu
0.00 0.05
0.10 0.15
0.20 0.25
0.30
Residu profenofos
e
6 7
8 9
10 11
12
7 14
21 28
35
Log cfu
0.00 0.05
0.10 0.15
0.20 0.25
0.30 0.35
Residu profenofos ppm
log cfu Residu profenofos
44 Gambar 11. Hubungan laju penurunan konsentrasi profenofos terhadap a laju
pertumbuhan dan b laju aktivitas bakteri selama pengomposan
b
0.0 0.3
0.6 0.9
1.2 1.5
1.8
K 1 K2
CN30 CN35
CN40
slope residu 10E-1 ppmhari 28 hari slope FDAhari 28 hari
a
0.0 0.5
1.0 1.5
2.0 2.5
K1 K2
CN30 CN35
CN40
slope residu 10E-1 ppmhari 28 hari slope log cfuhari 28 hari
Pada penelitian ini proses pengomposan terjadi pada suhu 25-40.6
o
C dan nilai pH 7.06-7.56. Suhu mesofilik hanya tercapai pada perlakuan CN 30.
Kondisi ini mendukung untuk pertumbuhan bakteri yang berperan dalam mendegradasi profenofos. Pada pH netral zat-zat organik mudah larut dalam air
sehingga bisa dimanfaatkan oleh mikroorganisme sehingga produksi enzim-enzim untuk mendegradasi profenofos oleh bakteri menjadi lebih optimal.
Pada hari ke-21 pada perlakuan CN rasio 30 dan hari ke-28 dan 35 pada perlakuan yang lain, terlihat residu profenofos tetap mengalami penurunan
meskipun sangat kecil. Hal yang terpenting di sini adalah, penurunan tersebut bukan semata-mata karena degradasi tetapi bisa terjadi karena volatilisasi dan
adsorbsi oleh bahan -bahan organik. Sedangkan untuk proses leaching profenofos kecil kemunginan terjadi. Pernyataan ini berdasarkan pada penelitian Ngan et al.
2005 bahwa pada tanah pertanian dengan pH 5 mengindikasikan profenofos tidak mengalami leaching lebih dari 10 cm di bawah tanah. Selanjutnya
dijelaskan bahwa profenofos bersifat “limited mobiltiy”. Pada penelitian Tejada et al
. 2000 mengenai pengaruh pemakaian profenofos secara terus menerus di perkebunan kapas, menyimpulkan bahwa profenofos ditemukan hanya sampai
kedalaman 20 cm setelah 180 hari penyemprotan sebesar 0.02 dari ko nsentrasi awal.
45 Residu profenofos di akhir pengomposan pada K1 masih tinggi yaitu
0.136 ppm atau mengalami penurunan konsentrasi 48. Residu profenofos pada K2 sebesar 0.066 ppm atau mengalami penurunan konsentrasi 74. Residu
profenofos pada CN 40 sebesar 0.033 ppm atau mengalami penurunan konsentrasi 88. Residu profenofos pada CN 35 sebesar 0.027 ppm atau
mengalami penurunan konsentrasi 89. Residu pada perlakuan CN 30 paling rendah dibandingkan dengan perlakuan yang lain yaitu 0.006 ppm atau mengalami
penurunan konsentrasi 98. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perlakuan CN rasio proses pengomposan sangat mempengaruhi proses
degradasi profenofos. Pada CN 30 mampu menurunkan residu profenofos lebih besar dibandingkan perlakuan yan g lain.
Menurut EPA 2000 batas maksimum konsumsi dalam makanan dan minuman yang dapat menimbulkan efek akut pada konsentrasi 0.005 ppm
sedangkan efek kronik pada konsentrasi 0.00005 ppm. Konsentrasi residu akhir pengomposan CN 30 adalah 0.006 ppm. Nilai ini masih dapat ditolelir dengan
asumsi bahwa konsentrasi residu profenofos 0.3 ppm pada tanah asal akan terakumulasi di dalam sayuran 0.0068 Fuad 2005 atau 2.2 dari residu di tanah.
Residu akhir pengomposan 0.006 diperkirakan akan terakumulasi di dalam sayuran sebesar 0.000132 ppm. Nilai ini sangat jauh di bawah ambang batas akut
atau kronik. Bioremediasi dengan cara pengomposan yang sederhana ternyata dapat
menghindarkan manusia dari hal yang berbahaya, yaitu akumulasi pestisida di dalam sayuran. BCPC 1997 menjelaskan bahwa profenofos secara biokimia
merupakan inhibitor kolinesterase, merupakan insektisida dan akarisida non- sistemik tetapi bersifat kontak dengan pencernaan. Gejala yang ditimbulkan
kepada manusia jika keracunan profenofos adalah sebagai berikut: produksi air liur berlebihan, berkeringat, keluar air mata, tegang otot, lemas, kejang -kejang, in-
koordinasi, sakit kepala, pusing, mual, muntah, kram perut, diare, tekanan pernafasan, sesak dada, batuk parah, mengganggu kerja pupil kadang-kadang
penglihatan kabur, tidak sadarpingsan dan penghambat enzim kolinesterase BCPC, 1997.
46 Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pengomposan
mampu mempercepat laju degradasi residu profenofos. Pada proses pengomposan banyak jenis bakteri yang berperan, sehingga memungkinkan untuk terjadinya co-
metabolisme dalam mendegradasi residu profenofos. Semakin tinggi aktivitas
bakteri maka akan menyebabkan semakin cepatnya laju penurunan residu profenofos.
Aktivitas bakteri dapat dilihat dari has il analisis dengan menggunakan Fluorescein Diecetate Assay
FDA. Peningkatan jumlah FDA yang dihasilkan diiringi oleh penigkatan aktivitas bakteri.
Hasil pengujian aktivitas bakteri Lampiran 10 menunjukkan bahwa aktivitas bakteri cenderung mengikuti pola pertumbuhan bakteri yaitu melewati
fase awal lag phase, fase eksponesial exponential phase dan fase kematian death phase atau fase lambat, eksponensial dan stasionari.
Pengujian aktivitas bakteri pada penelitian ini Lampiran 10 menunjukkan bahwa aktivitas bakteri fase awal pada K1 dan K2 terjadi sampai hari ke-7, fase
eksponensial terjadi mulai hari ke-1 dan fase kematian terjadi setelah hari ke-28. Namun demikian, aktivitas bakteri pada perlakuan K2 lebih tinggi dibandingkan
dengan K1. Perbedaan ini diduga karena aktivitas bakteri yang berasal dari kotoran sapi yang ditambahkan pada perlakuan K2. Pada perlakuan CN 30, fase
awal terjadi sampai hari ke-7, fase eksponensial terjadi setelah hari ke-7 dan fase kematian terjadi setelah hari ke-21. Pengomposan pada CN 30 fase eksponensial
lebih cepat tercapai disebabkan karena kandungan C dan N pada campuran CN 30 mendukung kegiatan mikroorganisme oleh karena suhu dan pH optimum bisa
tercapai. Suhu campuran CN 30 mencapai 40.6 Gambar 8. Tingginya aktivitas bakteri tersebut berpengaruh terhadap kemampuan bakteri menghasilkan enzim-
enzim yang berperan dalam mendegradasi profenofos karena bakteri mulai memanfaatkan profenofos sebagai sumber karbon dan energi. Pada perlakuan CN
35 dan CN 40, fase awal terjadi sampai hari ke-7, fase eksponensial terjadi mulai hari ke-14 dan fase kematian terjadi setelah hari ke-28. Pada kedua campuran ini,
aktivitas bakteri mengikuti kurva pertumbuhan sigmoid namun pertumbuhannya lambat, hal ini disebabkan karena CN campuran tidak sesuai dengan kebutuhan
47 bakteri dimana jumlah nitrogen sedikit untuk pembentukan sel sehingga
dibutuhkan beberapa kali siklus untuk mereduksi karbon. Pada hari ke-28 kemungkinan masih terjadi peningkatan aktivitas bakteri.
Pada saat aktivitas bakteri mulai menurun maka akan mempengaruhi laju degradasi profenofos, hal ini disebabkan oleh sumber bahan organik yang tersedia
telah habis selama proses pengomposan. Pada fase awal aktivitas bakteri lambat karena bakteri berada pada tahap
adaptasi terhadap keberadaan senyawa profenofos. Pada fase adaptasi ini bakteri akan mensintesis enzim untuk mendetoksifikasi senyawa profenofos. Pada tahap
eksponensial bakteri mulai mampu mengasilkan enzim yang mampu mendegradasi senyawa profenofos sehingga laju penurunan profenofos juga
meningkat. Bakteri jarang mampu mempertahankan fase eksponensial dalam waktu yang lama karena keterbatasan jumlah sumber energi. Pada tahap stasionari
atau kematian, sumber energi mulai habis sehingga bakteri tidak aktif lagi dalam mensintesa enzim-enzim yang diperlukan untuk mendegradasi profenofos
sehingga penurunan konsentrasi residu profenofos sangat kecil. Gambar 12 menunjukkan hubungan antara aktivitas bakteri dan penurunan
residu profenofos selama proses pengomposan. Pada perlakuan K1 yang terdiri dari tanah tercemar profenofos, penurunan residu profenofos lambat karena
aktivitas bakteri selama pengomposan juga lambat. Nilai FDA yang menggambarkan aktivitas bakteri hanya 4.3 dan Log cfu yang menggambarkan
pertumbuhan bakteri hanya 8.1. Peningkatan pertumbuhan dan aktivitas bakteri diikuti oleh penurunan residu profenofos. Penurunan residu profenofos pada K1
48 ini sebagian besar disebabkan oleh proses fisika-kimia. Sedangkan penurunan yang disebabkan oleh proses biologi d iduga sangat kecil karena bakteri
yang beraktivitas hanya bakteri indigen yang berasal dari tanah. Peningkatan aktivitas bakteri pada kontrol terjadi akibat pengadukan setiap minggu, namun
peningkatan aktivitas tersebut sangat kecil jika dibandingkan dengan perlakuan yang lain.
48
e
2 4
6 8
7 14
21 28
35 hari ke-
Volume FDA ml
0.0 0.1
0.2 0.3
Residu profenofos
FDA profenofos
a
2 4
6 8
7 14
21 28
35 Volume FDA ml
0.0 0.1
0.2 0.3
Residu profenofos
c
2 4
6 8
7 14
21 28
35 Volume FDA ml
0.0 0.1
0.2 0.3
Residu profenofos
d
2 4
6 8
7 14
21 28
35 Volume FDA ml
0.0 0.1
0.2 0.3
Residu profenofos
b
2 4
6 8
7 14
21 28
3 5 Volume FDA ml
0.0 0.1
0.2 0.3
Residu profenofos
Gambar 12. Aktivitas bakteri dan penurunan residu profenofos selama pengomposana K1 b K2 c CN 40 d CN 35 e CN 30
49 Pada perlakuan K2 yang terdiri dari tanah dan kotoran sapi, penurunan
residu profenofos lebih tinggi dibandingkan K1. Nilai FDA yang menggambarkan aktivitas bakteri mencapai 5.3 dan Log cfu yang menggambarkan pertumbuhan
bakteri mencapai 9.9. Peningkatan pertumbuhan dan aktivitas bakteri diikuti oleh penuruanan residu profenofos. Penurunan residu profenofos pada K2 74 ini
selain diduga disebabkan oleh proses fisika-kimia dan biologi oleh bakteri yang berasal dari kotoran sapi dan bakteri indigen.
Pada perlakuan CN 40 yang terdiri dari tanah, kotoran sapi, daun wortel dan serbuk gergaji, penurunan residu profenofos 88 lebih tinggi dibandingkan
K1 dan K2. Nilai FDA yang menggambarkan aktivitas bak teri mencapai 5.4 dan Log cfu yang menggambarkan pertumbuhan bakteri mencapai 9.9. Peningkatan
pertumbuhan dan aktivitas bakteri diikuti oleh penuruanan residu profenofos. Penurunan residu profenofos pada CN 40 ini selain sebagian besar disebabkan
oleh aktivitas bakteri yang berasal dari kotoran sapi, daun wortel, serbuk gergaji dan bakteri indigen. Penurunan secara fisika-kimia diduga sangat kecil
dibandingkan biologis biodegradasinya Pada perlakuan CN 35 yang terdiri dari tanah, kotoran sapi, daun wortel
dan serbuk gergaji, penurunan residu profenofos lebih tinggi dibandingkan K1 dan K2 dan CN 40. Nilai FDA yang menggambarkan aktivitas bakteri mencapai
6.3 dan pertumbuhan bakteri cfu sebesar 9.9. Peningkatan pertumbuhan dan aktivitas bakteri diik uti oleh penuruanan residu profenofos. Penurunan residu
profenofos pada CN 35 ini selain sebagian besar disebabkan oleh aktivitas bakteri yang berasal dari kotoran sapi, daun wortel, serbuk gergaji dan bakteri indigen.
Pada perlakuan CN 30 yang terdiri dari tanah, kotoran sapi, daun wortel dan serbuk gergaji, penurunan residu profenofos 98 lebih tinggi dibandingkan
K1 dan K2, CN 40 dan CN 35. Nilai FDA yang menggambarkan aktivitas bakteri mencapai 7.2 dan pertumbuhan bakteri mencapai 11.1. Peningkatan
pertumbuhan dan aktivitas bakteri tidak langsung diikuti oleh penuruanan residu profenofos. Penurunan residu profenofos pada CN 30 ini sebagian besar
disebabkan oleh aktivitas bakteri yang berasal dari kotoran sapi, daun wortel, serbuk gergaji dan bakteri indigen sendiri. Penurunan yang disebabkan oleh
50 proses fisika-kimia sangat kecil dibandingkan dengan penurunan secara biologi
biodegradasi. Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa, semakin rendah nilai CN dalam
penelitian ini atau semakin tinggi nilai N, maka diduga produksi enzim oleh bakteri juga akan tinggi. Bakteri memanfaatkan N sebagai sumber protein dan
untuk pembentukan sel. Meningkatnya produksi enzim tersebut menyebabkan penuruan residu profenofos juga meningkat. Selain itu juga akan meningkatkan
kegiatan co-metabolisme bakteri yang ada di dalam campuran pengomposan. Alexander 1999 menjelaskan bahwa, saat terjadi co-metabolisme bakteri
akan bekerjasama jointly yaitu salah satu bakteri akan membantu bakteri yang lain atau bersama-sama together merombak bahansubstrat dengan
menghasilkan enzim yang mampu mendegradasi bahan tersebut. Beberapa penelitian menggambarkan bahwa pada proses bioremediasi, spesies bakteri yang
kedua merombak metabolit yang diekskresikan oleh spesies bakteri jenis pertama. Misalnya: a parathion dimineralisasi oleh Pseudomonas stutzeri menghasilkan
metabolit 4-nitrophenol dan diethyl phospat, selanjutnya Pseudomonas aeruginosa
memanfaatkan phenol tersebut sebagai sumber C dan energi Daughton dan Hsieh 1977 dalam Alexader 1999 b DDT dikonversi menjadi 4-
cholrophenylacetic acid oleh Pseodomonas dan metabolit tersebut digunakan oleh Arthrobacter
sp. untuk pertumbuhan Pfaender dan Alexander 1972 dalam Alexader 1999.
Alexander 1999 menguraikan bahwa setiap substrat bisa didegradasi oleh enzim tertentu, tetapi bukan berarti setiap enzim khusus mendegradasi satu
substrat tertentu. Substrat yang mengandung pospat dimineralisasi oleh enzim phosphatase dengan reaksi hidrolisis seperti parathion, paraoxon, diazinon,
dursban dan fenitrothion, sedangkan profenofos tidak disebutkan. Substrat 4- bromo dan 2-chloro dapat dimineralisasi oleh enzim dehaloganase. Berdasarkan
pernyataan tersebut dapat diduga bahwa bakteri yang mampu medegradasi profenofos menghasilkan enzim phosphatase untuk menghidrolisis profenofos dan
enzim dehaloganase untuk degradasi gugus halogen selanjutnya.
51 Hubungan proses degradasi residu profenofos dengan proses
pengomposan dapat diringkas sebagai berikut. Saat pencampuran bahan-bahan pengompo san dengan tanah terkontaminasi, akan terjadi mineralisasi bahan-bahan
organik yang menimbulkan panas. Panas tersebut berasal dari terputusnya ikatan - ikatan molekul bahan -bahan organik dan dimanfaatkankan oleh bakteri termasuk
bakteri sendiri sebagai sumber energi. Tidak semua panas dimanfaatkan oleh bakteri, sehingga panas yang tersisa akan tertahan di dalam bahan-bahan
pengomposan sehingga suhu campuran akan terus meningkat. Peningkatan suhu tersebut akan meningkatkan pertumbuhan dan aktivitas bakteri seh ingga
kemampuan bakteri dalam memproduksi enzim-enzim yang berperan dalam mendegradasi profenofos juga meningkat. Semakin banyak enzim pendegradasi
profenofos yang diproduksi maka semakin tinggi laju degradasi profenofos. Akhir dari penelitian ini menghasilkan kompos. Kualitas kompos sangat
ditentukan oleh beberapa kriteria yaitu; kematangan kompos, kandungan unsur hara kompos, kandungan bahan berbahaya dan kandungan bakteri patogen dalam
tanah. Gaur 1980 menyatakan bahwa kompos yang baik berstruktur remeh dan tidak menggumpal, berwarna coklat kehitaman, bau humus dan reaksi agak
masam sampai netral. Nisbah CN berkisar 5-20 dan kompos yang stabil mengandung N dalam bentuk senyawa nitrat, nitrit dan amonium yang mudah
diserap oleh tanaman dan tidak ada N dalam bentuk amonia. Selain karbon dan nitrogen, zata hara lain yang penting di dalam kompos adalah kalium dan phospor
sebagai penyedia nutrisi bagi tanaman. Kalium bukan merupakan unsur penyusun jaringan tanaman tetapi berperan dalam pembentukan pati, mengaktifkan enzim,
pembukaan stomatamengatur pernafasan dan penguapan, proses fisiologis dalam tanaman, proses metabolik dalam sel, mempengaruhi penyerapan unsur-unsur
lain, mempertinggi daya tahan terhadap kekeringan dan penyakit dan untuk perkembangan akar Hardjowigeno, 2003. Phospor berperan dalam pembelahan
sel, pembentukan albumin, pembentukan bunga, buah dan biji, mempercepat pematangan, memperkuat batang, perkembangan akar, tahan terhadap penyakit,
membentuk nukleoprotein, metabolisme karbohidrat Hardjowigeno, 2003. Analisis kualitas kompos hasil penelitian disajikan pada Tabel 11. Kompos
yang dihasilkan pada akhir penelitian telah memenuhi standar mutu kompos
52 kecuali nitrogen. Rendahnya konsentrasi nitrogen kemungkinan disebabkan oleh
proses yang terjadi di akhir pengomposan anaerob karena bahan menjadi kompak saat suhu turun akibat aktivitas bakteri berkurang sehingga nitrogen hilang dalam
bentuk amonia. Selain itu kandungan N total di tanah tersebut juga rendah yaitu 0.2. Namun proses pengomposan ini telah meningkatan kandungan N tanah
menjadi 0.25-0.29. Warna kompos kehitaman dan berstruktur remeh tidak menggumpal. Tanah yang sudah dibioremediasi dengan cara pengomposan
tersebut bisa dimanfaatkan sebagai pembenah tanah pertanian sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman.
Tabel 11. Perbandingan mutu kompos dengan Standar Mutu Kompos
Paremeter Mutu Satuan
A B
C D
E Total N
2.5 -3.5 0.2
0.4 0.25-0.29
Rasio CN -
20-25 35
10-25 18-26
P
2
O
5
0.021 0.5
0.1 0.33-0.50
K
2
O 0.021
0.3 0.2
0.20-2.26 pH
7-8 5.5 -7.5 6.8-7.5
7-8 7.30-7.47
KTK Meq100g
100 70
- = 80
109-118 Kadar air
35-45 55-65
= 50 = 35
43-49
Keterangan: A: Indrasti dan Wilmot 2001
B: Japan Bark Compost Association Harada et al., 1993 C: SNI Kompos 19-7030-2004
D: Departemen Pertanian 2004 E: Hasil penelitian
4.3 Uji Pertumbuhan Tanaman Bayam Jepang