15 Tabel 2. Ringkasan Degradasi Profenofos
Sumber: EPA, 1998
b. Mobilitas
Mobilitas profenofos dinyatakan dengan koefisien Freundlich K
ads
sebagai Adsorbsi dan K
oc
sebagai Desorbsi dimana Kads 4.6 untuk pasir, 7.5 untuk tanah liat berpasir, 17.0 untuk tanah liat dan 89.3 untuk tanah debu.
Koefisien desorbsi berada pada selang 6.2 pasir – 128.1 debu. Adsorbsi akan meningkat seiring dengan meningkatnya bahan organik tanah dan debu. Data yang
lebih lengkap dibutuhkan untuk mengetahui bagaimana mobilitas dari produk utama degradasi profenofos yaitu 4-bromo-2-chlorophenol dan O-ethyl-S-propyl
Phosporthioate EPA, 2000 Percobaan di laboratorium menunjukkan bahwa sebagian profenofos bisa
hilang ke atmosfer melalui penguapan. Lebih dari 30 hari, rata-rata volatilitas profenofos 6.13 x 10-3 ugcm
2
jam dan tekanan uap rata-rata 3.46 x 10
-6
mm Hg. Residu utama pada penguapan adalah 4-bromo -2-chlorophenol EPA, 2000
c. Akumulasi
Berdasarkan penelitian, profenofos dan produk degradasinya yaitu 4- bromo -2-chlorophenol masih ditemukan sejauh 6 inchi dari permukaan pada plot
Parameter Nilai
Persisten Hidrolisis pH 5
t
12
= 104-108 hari pH 7
t
12
= 24-62 hari pH 9
t
12
= 0.33 hari Fotolisis di air
stabil Fotolisis di tanah
stabil Metabolisme aerob di tanah
t
12
= 2 hari pH 7.8 Metabolisme anaerob di tanah
t
12
= 3 hari pH 7.8 Metabolisme anaerob di perairan
t
12
= 3 hari pH 7.3 air pH 5.1 sediment
MobilitasAdsorbsi – Desorbsi Koefisien stabilitas 4 jenis tanah
Kd = 4.6-89.3 Koc = 869-3162
Penguapan di Laboratorium 6.13 x 10
-3
ugcm
2
jam
Bioakumulasi Akumulasi pada ikan
29x pada daging; 45x pada kepala; 682x pada organ dalam
16 yang ditanami kapas dan plot kontrol di California dan Texas. Sedangkan pada
penelitian Ngan et al. 2005 bahwa pada tanah pertanian dengan pH 5 mengindikasikan profenofos tidak mengalami leaching lebih dari 10 cm di bawah
tanah. Selanjutnya dijelaskan bahwa profenofos bersifat “limited mobiltiy ”. Pada penelitian Tejada et al. 2000 mengenai pengaruh pemakaian profenofos secara
terus menerus di perkebunan kapas, menyimpulkan bahwa profenofos ditemukan hanya sampai kedalaman 20 cm setelah 180 hari penyemprotan sebesar 0.02
dari konsentrasi awal di permukaan hari ke nol. Akumulasi residu profenofos pada biota ikan lebih banyak terjadi pada
organ dalampencernaan. Maksimun faktor biokonsentrasi mencapai 29x pada daging, 45x pada kepala dan 682x pada organ dalam. Residu profenofos dapat
didepurasi secara cepat dengan konsentras i hanya 1 ppb pada daging, 2 ppb pada kepala dan 7 ppb pada organ dalam. Bahan kimia yang dominan ditemukan di
organ dalam ikan yaitu 4-bromo-2-chlorophenol EPA, 2000 2.3 Bioremediasi
Bioremediasi merupakan bagian dari bioteknologi lingkungan yang memanfaatkan aktivitas mikroba untuk mendegradasi kontaminan berbahaya
menjadi bahan yang tidak toksik atau toksisitasnya berkurang Vidali, 2001. Bioremediasi dapat digunakan sebagai teknik untuk pengolahan limbah bahan
kimia termasuk pestisida Cookson, 1995. Bioremediasi akan efektif jika kondisi lingkungan mendukung pertumbuhan dan aktivitas mikroba.
Faktor yang mempengaruhi bioremediasi adalah: keberadaan populasi mikroba yang mampu mendegradasi polutan, faktor lingkungan seperti tipe lahan,
suhu, pH, keberadaan oksigen atau electron acceptor lainnya dan nutrien. Bioremediasi ini dapat dilakukan jika tanah terkontaminasi pestisida
tersebut mengandung mikroba-mikroba indigen yang mampu hidup dan telah beradaptasi dengan kontaminan pestisida yang ada di lahan tersebut. Cookson
1995, meguraikan jenis-jenis bakteri yang mampu mendegradasi pestisida adalah; Achromobacter 2,4-D dan carbofuran, Arthrobacter EPT, esopenphos,
2,4-D, Alcaligenus Isipenphos 2,4-D, Flavobacterium PCP, EPTC, 2,4-D,
17 Methylomonas
EPTC, Pseudomonas Alachlor, Isopenfhos, carbofuran, 2,4-D, dan Rhodococcus EPTC.
Jenis mikroba juga mempengaruhi proses bioremediasi apakah secara aerobik atau anaerobik. Umumnya proses bioremediasi berlangsung secara
aerobik namun untuk kond isi tertentu tergantung jenis kontaminan dan mikroba pendegradasi, bisa berlangsung secara anaerobik. Pestisida atrazin, carbaryl,
carbofuran, coumphos, diazinon, glicofosfat, parathion, propham dan 2.4-D dapat diremediasi secara aerobik maupun anaerobik Vidali, 2001.
Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa, faktor lingkungan yang berpengaruh yaitu nutrien. Keberadaan mikroba di tanah terkontaminasi harus
distimulasi pertumbuhan dan aktivitasnya. Biostimulasi biasanya dilakukan dengan penambahan nutrien dan oksigen untuk membantu mikroba indigen untuk
menghasilkan enzim yang dibutuhkan guna mendegradasi kontaminan. Mikroba tersebut membutuhkan nitrogen, karbon dan fosfor Tabel 3. Karbon merupakan
kebutuhan nutrien dasar yang dibutuhkan dalam jumlah besar dibandingkan unsur lain. Kebutuhan nutrien CN rasio 10:1 dan CP rasio 30:1.
Tabel 3 Komposisi Sel Mikroba
Unsur Persentase
Unsur Persentase
Karbon 50
Natrium 1
Nitrogen 14
Kalsium 0.5
Oksigen 20
Magnesium 0.5
Hidrogen 8
Klorida 0.5
Phospor 3
Besi 0.2
Sulfur 1
lain-lain 0.3
Kalium 1
R.Y Stainer et.al. The Microbial Word 5
th
ed. Prentice-Hall, NJ 1986 dalam Vidali 2001
Pertumbuhan dan aktivitas mikroba dipengaruhi oleh pH, suhu dan kelembaban. Meskipun mikroba ters ebut diisolasi dari kondisi yang ekstrim,
namun pertumbuhan yang optimal hanya terjadi pada kisaran yang sempit. Oleh karena itu perlu memperoleh kondisi yang optimal. Mikroba dapat tumbuh dan
berkembang pada pH 6.5-7.5. Sedangkan suhu yang disarankan adalah 15-45
o
C. 2.4 Pengomposan
18 Gula, selulosa, hemiselulosa CH
2
Ox + xO
2
xCO
2
+ xH
2
O Protein N organik + O
2
NH
4
+ NO
2 -
+ NO
3 -
+ Energi Organik sulfur + O
2
SO
4
+ SO
2 -
+ SO
3 -
+ Energi Organik fosfor lesitin, phitin + O
2
H
3
PO4 + CaHPO
4 2
Pengomposan merupakan dekomposisi dan mineralisasi bahan-bahan organik secara biologi pada kondisi termofilik untuk menghasilkan produk akhir
yang stabil dan tidak berbahaya sehingga dapat menguntungkan saat diaplikasikan ke tanah Bertoldi et al. 1998. Selanjutnya dijelaskan bahwa kunci dari definisi
tersebut adalah untuk memproduksi hasil akhir yang stabil, bermanfaat dan menyuburkan yang disebut kompos.
Murbandono 2005 mendefinisikan pengomposan adalah proses fermentasidekomposisidegradasi bahan-bahan organik karena adanya interaksi
antara mokroba bakteri pembusuk. Bahan-bahan organik tersebut seperti dedaunan, rumput, jerami, kotoran hewan, sekam padi dan lain-lain.
Menurut Murbandono 2005 dan Indriani 2004 , selama proses pengomposan terjadi perubahan-perubahan bahan antara lain:
1. Karbohidrat, selulosa, hemiselulosa, lemak, lilin menjadi CO
2
dan air. 2. Protein menjadi amida-amida dan asam amino menjadi amoniak, CO
2
dan air. 3. Pengikatan unsur hara di dalam tubuh mikroorganisme terutama N disamping
P,K dan lain-lain yang terlepas kembali bila mikroorganisme mati. 4. Penguraian senyawa organik menjadi senyawa yang dapat diserap tanaman
Pengomposan dapat dilakukan secara aerob dan anaerob. Pengomposan aerob secara umum mengasilkan unsur C dalam bentuk CO
2
dengan keberadaan oksigen. Hasil akhir lainnya yaitu NH
3
, H
2
O dan panas. Reaksi penguraian bahan organik pada pengomposan aerobik adalah sebagai berikut:
19 Pengomposan secara anaerob terjadi saat tumpukan campuran kurang
suplai oksigen sehingga menghasilkan senyawa merkaptan CH
2
Ox dan H
2
S yang berbau tak sedap melalui reaksi berikut:
Composting atau pengomposan dapat dilakukan dengan mencampur bahan
bahan yang terkontaminasi dengan bahan-bahan sisa organik yang tidak berbahaya seperti limbah pertanian atau kotoran hewan. Keberadaan bahan-bahan
organik tersebut akan mendukung perkembangan populasi mikroba dan kondisi temperatur untuk pengomposan Vidali, 2001. Pengomposan untuk lahan
tercemar bahan organik merupakan alternatif strategi baru yang secara umum sudah mulai berkembang tetapi masih terbatas penelitiannya Semple et.al. 2001.
Jika biowaste jerami, kotoran hewan, sekam padi, tanaman, sayuran, potongan kayuserbuk gergaji, kotoran hewan, tandan sawit diinkubasi dengan tanah
tercemar akan terjadi proses penguraian pada suhu tinggi thermophilic phase dan proses ini disebut pengomposan composting Gestel et al. 2003. Selama
proses pengomposan berlangsung akan terjadi degradasi kontaminan bahan organik.
Pestisida merupakan senyawa persisten di lingkungan pada konsentrasi tertentu, lebih cocok dilakukan bioremediasi dengan strategi pengomposan
karena: ♦
Suhu yang tinggi atau suhu termofilik selama pengomposan memungkinkan reaksi biokimia yang lebih cepat. Suhu yang tinggi juga dapat menyebabkan
pestisida menjadi lebih mudah terdegradasi dan meningkatkan pertumbuhan mikroba pendegradasi pestisida.
♦ Jenis mikroba yang beragam menyebabkan terjadinya co-metabolisme
terhadap pestisida. Struktur bah an organik yang beragam dalam kompos Gula, selulosa, hemiselulosa CH
2
Ox xCH3COOH xCH3COOH CH
4
+CO
2
N – Organik NH
3
2H
2
S + xCO
2
CH
2
Ox + S + H
2
O
Bakteri penghasil asam Methanomonas
20 membantu terjadinya co-metabolisme sejumlah bahan yang menjadi obyek
degradasi, bahkan xenobiotik yang rekalsitran seperti DDT, dan PCB. ♦
Bahan-bahan organik yang digunakan untuk pengomposan terdiri dari banyak dan beragam mikro organisme yang aktif, dengan karakteristik dan
kemampuan masing-masing. Keanekaragaman ini mengindikasikan kemampuan degradasi pestisida yang lebih tinggi dimiliki oleh
mikroorganisme Bahan pengomposan biasanya menggunakan sisa-sisa pertanian, kotoran
hewan misal kotoran kuda, sapi, domba, ayam, lumpur aktif, jerami, serbuk gergaji, gambut Bernier et al. 1997. Penelitian ini akan menggunakan bahan -
bahan daun-daun dari tanaman asal yaitu daun wortel, kotoran sapi dan tanah terkontaminasi pestisida dan serbuk gergaji untuk pengomposan. Bahan-bahan
tersebut berbeda dalam hal kandungan CN dan kadar air Tabel 5. Bahan yang mempunyai nilai CN rasio yang terlalu tinggi tidak baik digunakan sebagai bahan
utama pengomposan tetapi hanya sebagai bulking agent untuk mengimbangi bahan yang CN rasionya rendah.
Prinsip pengomposan adalah menurunkan CN rasio bahan organik menjadi kurang dari 20 atau sama dengan CN rasio tanah. Jika CN rasio tinggi,
bahan organik tidak dapat langsung dimanfaatkan oleh tanaman. Menurut CPIS 1992 CN merupakan faktor utama pengomposan oleh
karena proses pengomposan dikendalikan oleh kegiatan mikroba yang memanfaatkan karbon sebagai sumber energi dan pembentukan sel bersamaan
dengan nitrogen. Nilai CN yang ideal untuk pengomposan berkisar 20-40 dan yang efektif adalah 30. Campuran pengomposan yang memiliki rasio CN terlalu
besar memerlukan waktu yang lama dengan kualitas kompos bermutu rendah Murbandono, 1983. Hal ini disebabkan jumlah nitrogen sedikit untuk
pembentukan sel sehingga dibutuhkan beberapa kali siklus untuk mereduksi karbon. Nitrogen yang telah diimobilisasi akan didaur ulang dicirikan dengan
matinya beberapa mikroba yang bertanggung jawab melaksanakan pengomposan. Moser 2000 menyebutkan kadar air proses pengomposan perlu
dipertahankan, campuran berada pada kondisi lembab tetapi padat sekitar 40-70. Sedangkan menurut Indriani 1999, kadar air 40-60 baik untuk degradasi bahan
21 organik. Indrasti dan Wilmot 2001 menyatakan kadar air harus dikontrol 45-
60. Faktor penting pengomposan lainnya adalah suhu. Moser 2000
menyatakan suhu akan mencapai 20-65
o
C saat proses pencampuran bahan-bahan kompos. Jika suhu kurang dari 20
o
C maka proses akan berjalan lambat dan jika lebih dari 65
o
C menyebabkan banyak mikroba yang mati. Moser menambahkan suhu yang disarankan pada kisaran 35-55
o
C. Sedangkan menurut Indrasti dan Wilmot 2001 suhu dipertahankan pada 40-50
o
C. Nilai pH optimum untuk perkembangan mikroba adalah 6-8 Indriani, 2004. Cookson 1995, menyatakan
bahwa untuk jenis degradasi pestisida seperti DDT, aldrin, heptachlor, endrin dan lindane akan terdegradasi lebih cepat dalam kondisi anaerob. Pengomposan dapat
berlangsung secara aerobik maupun anaerobik. Pengomposan aerobik menghasilkan CO
2
, air dan panas. Pengomposan anaerobik menghasilkan metana alkohol, CO
2
dan senyawa antara seperti asam organik Indriani, 2004. Indrasti dan Wilmot 2001 menjelaskan pada pengomposan sistem windrow, pathogen
akan tereduksi jika suhu dipertahankan di atas 50
o
C selama 3 hari. Kualitas kompos mengacu kepada standar mutu kompos menurut
Departemen Pertanian RI 2004, Indrasti dan Wilmot 2001 dan standar mutu kompos menurut SNI Kompos 19-7030-2004 disajikan pada Tabel 3. Kualitas
kompos sangat ditentukan oleh beberapa kriteria yaitu; kematangan kompos, kandungan unsur hara kompos, kandungan bahan berbahaya dan kandungan
mikroba patogen dalam tanah. Gaur 1980 menyatakan bahwa kompos yang baik berstruktur remeh dan tidak menggumpal, berwarna coklat kehitaman, bau humus
dan reaksi agak masam sampai netral. Nisbah CN berkisar 5-20 dan kompos yang stabil mengandung N dalam bentuk senyawa nitrat dan tidak ada N dalam bentuk
amonia.
22
III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kawasan Agropolitan Desa Sindang Jaya, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Analisis mikroba dan
penyemaian benih di Laboratorium Bioproses IV dan Greenhouse, Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI, Cibinong. Analisis residu profenofos dilakukan di
Laboratorium Residu Pestisida Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetika Pertanian BALITBIOGEN. Penelitian
dilaksanakan pada bulan Oktober 2005 -Maret 2006.
3.2 Alat dan Bahan Penelitian 3.2.1 Alat
Penelitian ini menggunak an alat-alat sebagai berikut: cawan petri, labu Erlenmeyer, tabung reaksi, gelas piala, gelas ukur, autopipet, labu ukur, botol
Schott, corong, jarum ose, lampu spritus, kertas saring, neraca analitik, pH meter, autoklaf, sentrifuse, mikropipet Eppendorf 100 dan 1000
µ l, kertas milipore
0.45 µ
m, termometer, bak pengomposan, pH meter dan Kromatografi gas GC dan Spektrofotometer.
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah tercemar pestisida yang diperoleh dari Kawasan Agropolitan Des a Sindang Jaya,
Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur Jawa Barat Bahan -bahan pengomposan dalam hal ini kotoran sapi dan daun wortel diperoleh dari tempat asal tanah yang
terkontaminasi pestisida. Bahan lain yang digunakan adalah media selektif MSPY Mineral Salt Peptone Yeast, alkohol teknis 70 vv, metanol, larutan garam
steril, arang aktif, spirtus, larutan NaOH 5 Na
2
SO
4
anhidrat, larutan asam asetat 25, etil asetat, seriumIIsulfat, asetonitril dan air destilata, standar pestisida,
FDA, buffer posfat pH 3-6, CH
3
CN.