Penentuan Kondisi Pengempaan Lemak Kakao (Cocoa Butter) Secara Mekanik

(1)

PENENTUAN KONDISI PENGEMPAAN

LEMAK KAKAO (Cocoa Butter) SECARA MEKANIK

Oleh :

AGUNG SETIAWAN F14102082

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

AGUNG SETIAWAN. F14102082. Penentuan Kondisi Pengempaan Lemak Kakao (cocoa butter) Secara Mekanik. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Hadi K Purwadaria, MSc.

RINGKASAN

Biji kakao merupakan biji dari buah tanaman kakao (Theobroma cacao

LINN) yang telah di fermentasi, dibersihkan, dan dikeringkan. Biji kakao digolongkan dalam jenis mulia dan lindak. Produksi kakao Indonesia saat ini mencapai 435 ribu ton dan diperkirakan akan terus meningkat secara nyata karena program peremajaan tanaman yang teratur dan perluasan kebun baru (ED dan F Man, 2004). Lebih dari 76% kakao yang diproduksi di Indonesia diekspor dalam bentuk biji kakao, terutama ke negara pengolah biji kakao seperti Malaysia, Singapura, dan Belanda (Indranada, 2003). Selain digunakan sebagai minuman penyegar, kakao juga digunakan untuk bahan baku industri makanan, farmasi dan kosmetik. Fungsi kakao sebagai minuman penyegar disebabkan kakao memilki kandungan senyawa alkaloid yang terdiri dari Theobromin dan Kaffein. Bahkan karena aroma dan cita rasanya yang khas, kakao banyak digemari dan digunakan sebagai “flavoring agent”. Biji kakao mengandung banyak nilai kalori yang tinggi serta nilai kandungan lemak yang prima. Kakao sering juga diberi nama

Theobroma cacao, yang artinya santapan atau minuman para dewa (theos = dewa atau tuhan ; broma = minuman atau santapan).

Pada saat sekarang ini pemanfaatan kakao hanya terbatas pada buahnya saja, itu pun terbatas bijinya saja. Biji kakao tersebut dimanfaatkan untuk dihasilkan bubuk kakao (cocoa powder) dan lemak kakao (cocoa butter). Dari bubuk kakao dapat digunakan sebagai bahan pembuatan minuman cokelat instan, sebagai bahan pencampur susu bubuk dan juga bahan pembuatan kue. Sedangkan dari lemak kakao digunakan untuk bahan pembuat permen coklat dan bahan pembuatan perlengkapan kencantikan seperti sabun serta berbagai alat kosmetik.

Faktor-faktor pendukung produk olahan kakao yang mempengaruhi kualitas antara lain adalah cita rasa, sifat fisik dan sifat kimiawinya. Komponen penyusun cita rasa cokelat dibentuk melalui perubahan kimiawi yang terjadi selama pengolahan kakao. Untuk mendapatkan lemak kakao yang memiliki kualitas terbaik maka perlu adanya proses pengolahan sekunder kakao yang baik pula. Dalam mendapatkan lemak kakao tersebut proses utamanya dalam pengolahan sekunder kakao adalah proses pengempaan. Oleh karena itu Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (PPKKI) telah merancang mesin pengempa lemak kakao tipe mekanik untuk sarana penyediaan lemak kakao pada pengembangan industri skala kecil dan menengah.

Pengempaan bertujuan untuk memisahkan lemak kakao dari pasta kasar yang telah dihasilkan. Banyaknya lemak yang dapat dipisahkan tergantung pada lamanya pengempaan yang dilakukan, tekanan yang digunakan, dan ukuran partikel pasta yang diekstrak. Menurut Mulato dan Widyotomo, (2003), rendemen lemak yang diperoleh dari pengepresan dipengaruhi oleh bebrapa faktor antara lain suhu pasta, kadar air pasta, ukuran partikel pasta, kadar protein pasta, tekanan kempa, dan waktu pengepresan.


(3)

Mesin pengempa lemak kakao secara garis besar terdiri dari unit rangka, unit pengempaan, unit saringan silinder cetakan, unit motor listrik sebagai tenaga penggerak pompa hidrolik, dan unit pompa hidrolik yang disertai dengan tangki oli beserta selang-selang sirkulasi oli dan pressure valve otomatis. Setelah motor listrik dihidupkan dengan menekan tombol on-off, maka pompa berputar menghisap dan mengedarkan oli dari tangki ke selang-selang sirkulasi, menuju silinder-piston pengempa, dan kembali lagi ke tangki oli. Tuas handel yang dapat digerakkan ke atas atau ke bawah secara perlahan atau cepat berhubungan dengan pressure valve otomatis. Bila tuas digerakkan ke atas piston pengempa bergerak turun melakukan pengempaan, sedangkan bila tuas digerakkan ke bawah maka piston pengempa bergerak ke atas tidak melakukan pengempaan. Sistem penerusan daya mesin pengempa lemak kakao tipe hidrolik ini menggunakan oli. Oli tersebut diedarkan dengan menggunakan selang sirkulasi. Oli-oli tersebut terus bersikulasi dengan adanya pompa hidrolik yang digerakkan oleh motor listrik.

Penelitian mengenai optimasi ini dilakukan dalam tiga tahap penelitian utama. Tahap pertama mencari kondisi terbaik dari proses pengempaan dengan variasi jenis bahan masukan, nib, pasta kasar, dan pasta halus merupakan variasinya. Tahap kedua yaitu menentukan kondisi paling memungkinkan pada proses pengempaan dengan variasi berat input yang dimasukkan ke dalam kantung. Tahap tiga merupakan tahap terakhir untuk mengetahui kondisi terbaik dalam mengempa yaitu untuk mengetahui pada suhu penyimpanan berapakah bahan masukan paling baik disimpan.

Dari percobaan tiga pengempaan dengan jenis masukan yang berbeda, yaitu pengempaan dengan jenis masukan nib, pasta kasar, dan pasta halus maka didapat perolehan lemak terbanyak didapat oleh pengempaan dengan jenis masukan pasta halus yaitu sebesar 37.25 % dari berat masukan. Namun energi yang dibutuhkan untuk melakukan pengempaan dengan bahan masukan pasta halus sangat besar yaitu sebesar 2.227 kWh untuk sekali pengempaan. Dengan demikian dipilih pengempaan dengan bahan masukan berupa pasta kasar sebagai pilihan terbaik untuk dilanjutkan ke tahap penelitian selanjutnya. Hal ini dilihat dari persentase lemak yang dihasilkan memiliki nilai terbaik kedua setelah pengempaan dengan bahan pasta halus yaitu sebesar 33.22 %, memiliki nilai kapasitas pengempaan terbaik yaitu 38.46 g/menit, namun pengempaan pasta kasar memiliki kebutuhan energi yang terkecil nilainya yaitu hanya dibutuhkan 1. 038 kWh untuk sekali pengempaan. Dengan demikian pengempaan dengan bahan baku pasta kasar memiliki nilai ekonomis yang menguntungkan dan juga memiliki performa pengempaan yang baik pula.

Dalam perbandingan hasil pengempaan dengan variasi bobot masukan terlihat perbandingan antara persentase lemak dan kapasitas masing-masing variasi bobot masukan tidak terlihat perbedaan terlalu signifikan. Dengan demikian dipilih pengempaan dengan bobot masukan seberat 200 gram sebagai variasi bobot yang terbaik. Hal ini dilihat bahwa hasil persentase lamak yang dihasilkan sudah baik yaitu sekitar 32.05 % dari bobot masukan, selain itu kapasitas pengempaan yang baik pula yaitu 28.57 g/menit, dan yang paling penting kebutuhan energi yang digunakan untuk sekali pengempaan kecil hanya 0.308 kWh. Pengempaan dengan bobot 100 gram tidak dipilih sebagai yang terbaik dikarenakan kapasitas pengempaannya terlalu kecil yaitu hanya 20.00


(4)

g/menit. Selain itu faktor ketebalan akhir dari pengempaan menjadi faktor utama pula, untuk jenis pengempaan yang memiliki nilai ketebalan bahan akhir yang besar yaitu diatas 0.5 cm maka bisa dikatakan pengempaan tersebut kurang baik atau maksimal sehinngga dapat menghasilkan bungkil kakao dengan nilai lemak yang masih tinggi.

Sehingga dengan demikian pengempaan dengan bobot 200 gram dipilih menjadi variasi bobot masukan terbaik, karena memenuhi nilai performa pengempaan yang baik walaupun bukan yang terbaik, tetapi memiliki nilai keunggulan dalam hal ekonomi dan faktor hasil ketebalan akhir yang didapat karena hal tersebut juga sesuai dengan yang diinginkan oleh pihak pelaku industri.

Pembanding hasil pengempaan variasi suhu penyimpanan bahwa jenis pengempaan dengan suhu penyimpanan 45ºC memperoleh hasil yang terbaik. Untuk nilai persentase lemak yang dihasilkan, pengempaan pada suhu penyimpanan 45ºC memiliki nilai yang terbaik yaitu 32.05%, demikian pula dengan nilai kapasitas pengempaannya memiliki nilai terbaik yaitu sebesar 28.57 g/menit. Dilihat dari konsumsi energinya memiliki konsumsi energi terkecil, sehingga dapat disimpulkan pengempaan suhu penyimpanan 45ºC merupakan proses pengempaan yang terbaik, baik di segi performa pengempaan maupun dari sisi nilai ekonomisnya.

Pengempaan biji kakao non fermentasi memiliki keunggulan pada persentase lemak yang didapat yaitu sebesar 36.30 % berbeda selisih sekitar 4.25 % dari pengempaan biji kakao fermentasi. Tetapi apabila melihat dari kapasitas pengempaan maka pengempaan biji kakao fermentasi lebih baik yaitu dengan nilai kapasitas pengempaan 28.57 g/menit memiliki selisih sebesar 6.35 g/menit dengan pengempaan biji kakao non fermentasi. Selain itu konsumsi energi yang digunakan pada pengempaan biji kakao fermentasi lebih rendah sekitar 0.087 kWh untuk sekali pengempaan dibandingkan pengempaan biji kakao non fermentasi. Dari pertimbangan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pengempaan dengan biji kakao fermentasi lebih baik sekaligus lebih menguntungkan dibandingkan dengan pengempaan dengan menggunakan biji non fermentasi.

Sehingga pengempaan biji kakao fermentasi yang paling optimum adalah pengempaan dengan masukan berupa pasta kasar dengan berat 200 gram yang terlebih dahulu disimpan selama 24 jam di oven dengan suhu 45 °C. Dari perbandingan dengan proses pengempaan non fermentasi, hasil pengempaan fermentasi ternyata lebih baik, tetapi nilai persentase kadar lemak pengempaan non fermentasi lebih unggul dibandingkan dengan pengempaan fermentasi. Dari perhitungan biaya operasional total proses pengempaan, diperoleh biaya sebesar Rp 2198.68 untuk pengempaan satu kilogram biji kakao.


(5)

PENENTUAN KONDISI PENGEMPAAN

LEMAK KAKAO (Cocoa Butter) SECARA MEKANIK

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

AGUNG SETIAWAN F14102082

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(6)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN

PENENTUAN KONDISI PENGEMPAAN LEMAK KAKAO

(Cocoa Butter) SECARA MEKANIK

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

AGUNG SETIAWAN F14102082

Dilahirkan pada tanggal 9 September 1984 Di Jakarta

Tanggal Lulus : Januari 2007

Menyetujui:

Jember, Februari 2007 Bogor, Februari 2007

Dr. Ir. Sri Mulato, MS. Prof. Dr. Ir. Hadi Karia Purwadaria, MSc.

Pembimbing 2 Dosen Pembimbing 1

Bogor, Februari 2007

Dr. Ir. Wawan Hermawan, MS. Ketua Departemen Teknik Pertanian


(7)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir 22 tahun silam pada tanggal 9 September di kota Jakarta. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara, lahir dari pasangan Alm. H. Yanni Rinaldy dan Ratna Ningrum. Penulis menempuh tingkat sekolah dasar di SDN Semplak 1 Bogor dan SDN Ciujung Bandung. Sekolah lanjutan tingkat pertama di tempuh penulis pada salah satu SLTP swasta di Bogor yaitu SLTP Bina Insani demikian pula dengan tingkat sekolah menengah atas di tempuh di SMU Bina Insani Bogor. Selama menempuh pendidikan di SMU penulis aktif diberbagai organisasi sekolah mulai dari Paskibra hingga OSIS, pada organisasi OSIS penulis memegang jabatan sebagai ketua OSIS saat berada di kelas dua. Pada bidang olahraga penulis pun aktif di bidang olahraga basket dan juga sepak bola.

Penulis lulus dari sekolah menengah atas pada tahun 2002 dan langsung melanjutkan sekolah pada perguruan tinggi di Institut Pertanian Bogor, Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Penulis masuk IPB melalui jalur undangan (PMDK), dengan undangan tersebut penulis sangat merasa beruntung dan merasa telah ditakdirkan untuk melanjutkan pendidikan di IPB dengan Jurusan Teknik Pertanian.

Di tingkat perguruan tinggi penulis masih bisa menyalurkan minatnya dalam bidang organisasi dan olahraga, dalam bidang orgaisasi pada tingkat pertama penulis terpilih sebagai ketua organisasi kelas, setelah itu pada tingkat dua terpilih menjadi salah satu anggota Badan Eksekutif Mahasiswa tingkat fakultas sebagai anggota dari departemen sosial. Pada bidang olahraga penulis aktif dalam bidang olahraga basket maupun sepak bola namun rutinitas olahraga pada perguruan tinggi berkurang dibandingkan dengan tingkat sekolah menengah. Pada tingkat perguruan tinggi ini penulis banyak belajar mengenai berbagai hal mengenai kehidupan, mulai dari mengempa diri kita untuk lebih dewasa, lebih pandai dalam membagi waktu, pandai dalam berhubungan sosial antara sesama, belajar menghadapi bebagai tekanan dari berbagai sisi dan banyak hal lain yang dapat diperoleh penulis selama menempuh pandidikan di IPB.


(8)

I. PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG

Produksi kakao Indonesia saat ini mencapai 435 ribu ton dan diperkirakan akan terus meningkat secara nyata karena prog peremajaan tanaman yang teratur dan perluasan kebun baru. Lebih dari 76% kakao yang diproduksi di Indonesia diekspor dalam bentuk biji kakao, terutama ke negara pengolah biji kakao seperti Malaysia, Singapura, dan Belanda (Indranada, 2003). Namun sekarang ini sudah terdapat beberapa produsen coklat di Indonesia yang mulai mengembangkan usaha ekspor coklat dalam bentuk hasil olahan kakao, terutama untuk diekspor ke Negara seperti Filipina, Amerika Serikat, Brazil, Belanda, Spanyol dan negara-negara lainnya (Direktorat Jendral Perkebunan,2001).

Selain digunakan sebagai minuman penyegar, kakao juga digunakan untuk bahan baku industri makanan, farmasi dan kosmetik. Fungsi kakao sebagai minuman penyegar disebabkan kakao memilki kandungan senyawa alkaloid yang terdiri dari theobromin dan kaffein. Bahkan karena aroma dan citarasanya yang khas, kakao banyak digemari dan digunakan sebagai “flavoring agent”. Biji kakao mengandung banyak nilai kalori yang tinggi serta nilai kandungan lemak yang prima. Kakao sering juga diberi nama Theobroma cacao, yang artinya santapan atau minuman para dewa (theos = dewa atau tuhan ; broma = minuman atau santapan).

Pada era industri sekarang ini, upaya peningkatan mutu biji kakao rakyat sudah saatnya diarahkan melalui pendekatan agrobisnis. Dengan pola ini, petani tidak lagi dilihat sebagai individu dengan kemampuan produksi yang terbatas. Konsep agribisnis bertumpu pada pemberdayaan petani agar mampu berusaha tani secara kelompok, membentuk badan usaha yang berorientasi pada profit serta mengadopsi teknologi produksi yang bercirikan efisiensi tinggi dan produk yang kompetitif.

Pada saat sekarang ini pemanfaatan kakao hanya terbatas pada buahnya saja, itu pun terbatas bijinya saja. Biji kakao tersebut dimanfaatkan untuk dihasilkan bubuk kakao (cocoa powder) dan lemak kakao (cocoa butter). Dari bubuk kakao dapat digunakan sebagai bahan pembuatan minuman cokelat instan,


(9)

sebagai bahan pencampur susu bubuk dan juga bahan pembuatan kue. Sedangkan dari lemak kakao digunakan untuk bahan pembuat permen coklat dan bahan pembuatan perlengkapan kencantikan seperti sabun serta berbagai alat kosmetik.

Faktor-faktor pendukung produk olahan kakao yang sangat mempengaruhi kualitas antara lain adalah cita rasa, sifat fisik dan sifat kimiawinya. Komponen penyusun cita rasa cokelat dibentuk melalui perubahan kimiawi yang terjadi selama pengolahan kakao. Untuk mendapatkan lemak kakao yang memiliki kualitas terbaik maka perlu adanya proses pengolahan sekunder kakao yang baik pula. Dalam mendapatkan lemak kakao tersebut proses utamanya dalam pengolahan sekunder kakao adalah proses pengempaan. Oleh karena itu Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (PPKKI) telah merancang mesin pengempa lemak kakao tipe mekanik untuk sarana penyediaan lemak kakao pada pengembangan industri skala kecil dan menengah.

B. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah menentukan kondisi proses pengempaan pasta kakao kasar, pasta kakao halus dan biji kakao (nib) menjadi lemak kakao dengan menggunakan mesin pengempa mekanik. Tujuan yang lebih khusus adalah sebagai berikut.

1. Mengamati pengaruh tingkat kekasaran bahan umpan dalam bentuk pasta kakao kasar, pasta kakao halus, dan biji kakao terhadap persentase hasil lemak kakao serta kinerja mesin pengempa mekanik.

2. Menentukan pengaruh keragaman berat bahan umpan, terhadap persentase hasil lemak kakao serta kinerja mesin pengempa mekanik. 3. Mempelajari pengaruh suhu penyimpanan bahan umpan terhadap


(10)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. BIOLOGI TANAMAN KAKAO

Kakao merupakan tanaman yang menumbuhkan bunga dari batang atau cabang. Daerah yang menjadi daerah utama penanaman kakao adalah hutan hujan tropis di Amerika Tengah, tepatnya wilayah 18° Lintang Utara sampai 15° Lintang Selatan (Siregar et al., 2003). Tanaman ini mulai berbuah setelah berumur 4-5 tahun dan mencapai produksi buah tertinggi pada usia 12 tahun. Tanaman ini dapat berbuah terus menerus sampai berusia 50 tahun, dan dalam setahun dapat dilakukan pemanenan sebanyak dua kali (Nasution, 1985).

Tanaman kakao akan tumbuh mencapai ketingian 20-30 kaki dan membutuhkan tanaman pelindung yang lebih besar. Tanaman ini membutuhkan curah hujan rata-rata/tahun antara 1150 – 2500 mm, dan temperatur pertumbuhan maksimum antara 30-32 ºC serta temperatur minimum antara 18-20 ºC. Pertumbuhan dan hasil yang baik juga dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari yang diterima dalam jumlah cukup, kondisi tanah yang subur dan jarak tanam yang baik. Tanaman kakao termasuk tanaman biseksual, tidak mempunyai madu, dan serbuk sarinya melekat dengan erat sehingga sulit untuk diserbukkan oleh angin. Namun pada akhirnya diketahui bahwa penyerbukan bunga disebabkan oleh bantuan seranga.

Tanaman kakao di golongkan kedalam kelompok tanaman caolifloris, termasuk dalam Genus Theobroma. Famili Sterculiaceae, dan spesies theobroma cacao LINN. Criollo dan trinitario adalah nama fine cacao atau kakao mulia, sedangkan jenis forastero dikenal dengan nama bulk cacao atau kakao lindak (Susanto,1994). Perbedaan yang nyata antara kedua grup di atas terutama adalah warna buah, warna biji dan bau kakao masing-masing. Kakao dengan biji yang tidak berwarna termasuk grup Criollo, sedangkan kakao dengan warna biji berwarna ungu yang khas termasuk grup Forastero. Grup Criollo juga menghasilkan buah yang berwarna merah atau kuning dengan bau dan rasa yang lebih baik daripada bau dan rasa kakao lainnya. Forastero menghasilkan kakao yang berwarna kuning dengan bau yang agak rendah dan rasa yang lebih pahit. Di Indonesia khususnya di pulau Jawa, tanaman coklat yang tumbuh adalah dari jenis


(11)

PENENTUAN KONDISI PENGEMPAAN

LEMAK KAKAO (Cocoa Butter) SECARA MEKANIK

Oleh :

AGUNG SETIAWAN F14102082

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(12)

AGUNG SETIAWAN. F14102082. Penentuan Kondisi Pengempaan Lemak Kakao (cocoa butter) Secara Mekanik. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Hadi K Purwadaria, MSc.

RINGKASAN

Biji kakao merupakan biji dari buah tanaman kakao (Theobroma cacao

LINN) yang telah di fermentasi, dibersihkan, dan dikeringkan. Biji kakao digolongkan dalam jenis mulia dan lindak. Produksi kakao Indonesia saat ini mencapai 435 ribu ton dan diperkirakan akan terus meningkat secara nyata karena program peremajaan tanaman yang teratur dan perluasan kebun baru (ED dan F Man, 2004). Lebih dari 76% kakao yang diproduksi di Indonesia diekspor dalam bentuk biji kakao, terutama ke negara pengolah biji kakao seperti Malaysia, Singapura, dan Belanda (Indranada, 2003). Selain digunakan sebagai minuman penyegar, kakao juga digunakan untuk bahan baku industri makanan, farmasi dan kosmetik. Fungsi kakao sebagai minuman penyegar disebabkan kakao memilki kandungan senyawa alkaloid yang terdiri dari Theobromin dan Kaffein. Bahkan karena aroma dan cita rasanya yang khas, kakao banyak digemari dan digunakan sebagai “flavoring agent”. Biji kakao mengandung banyak nilai kalori yang tinggi serta nilai kandungan lemak yang prima. Kakao sering juga diberi nama

Theobroma cacao, yang artinya santapan atau minuman para dewa (theos = dewa atau tuhan ; broma = minuman atau santapan).

Pada saat sekarang ini pemanfaatan kakao hanya terbatas pada buahnya saja, itu pun terbatas bijinya saja. Biji kakao tersebut dimanfaatkan untuk dihasilkan bubuk kakao (cocoa powder) dan lemak kakao (cocoa butter). Dari bubuk kakao dapat digunakan sebagai bahan pembuatan minuman cokelat instan, sebagai bahan pencampur susu bubuk dan juga bahan pembuatan kue. Sedangkan dari lemak kakao digunakan untuk bahan pembuat permen coklat dan bahan pembuatan perlengkapan kencantikan seperti sabun serta berbagai alat kosmetik.

Faktor-faktor pendukung produk olahan kakao yang mempengaruhi kualitas antara lain adalah cita rasa, sifat fisik dan sifat kimiawinya. Komponen penyusun cita rasa cokelat dibentuk melalui perubahan kimiawi yang terjadi selama pengolahan kakao. Untuk mendapatkan lemak kakao yang memiliki kualitas terbaik maka perlu adanya proses pengolahan sekunder kakao yang baik pula. Dalam mendapatkan lemak kakao tersebut proses utamanya dalam pengolahan sekunder kakao adalah proses pengempaan. Oleh karena itu Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (PPKKI) telah merancang mesin pengempa lemak kakao tipe mekanik untuk sarana penyediaan lemak kakao pada pengembangan industri skala kecil dan menengah.

Pengempaan bertujuan untuk memisahkan lemak kakao dari pasta kasar yang telah dihasilkan. Banyaknya lemak yang dapat dipisahkan tergantung pada lamanya pengempaan yang dilakukan, tekanan yang digunakan, dan ukuran partikel pasta yang diekstrak. Menurut Mulato dan Widyotomo, (2003), rendemen lemak yang diperoleh dari pengepresan dipengaruhi oleh bebrapa faktor antara lain suhu pasta, kadar air pasta, ukuran partikel pasta, kadar protein pasta, tekanan kempa, dan waktu pengepresan.


(13)

Mesin pengempa lemak kakao secara garis besar terdiri dari unit rangka, unit pengempaan, unit saringan silinder cetakan, unit motor listrik sebagai tenaga penggerak pompa hidrolik, dan unit pompa hidrolik yang disertai dengan tangki oli beserta selang-selang sirkulasi oli dan pressure valve otomatis. Setelah motor listrik dihidupkan dengan menekan tombol on-off, maka pompa berputar menghisap dan mengedarkan oli dari tangki ke selang-selang sirkulasi, menuju silinder-piston pengempa, dan kembali lagi ke tangki oli. Tuas handel yang dapat digerakkan ke atas atau ke bawah secara perlahan atau cepat berhubungan dengan pressure valve otomatis. Bila tuas digerakkan ke atas piston pengempa bergerak turun melakukan pengempaan, sedangkan bila tuas digerakkan ke bawah maka piston pengempa bergerak ke atas tidak melakukan pengempaan. Sistem penerusan daya mesin pengempa lemak kakao tipe hidrolik ini menggunakan oli. Oli tersebut diedarkan dengan menggunakan selang sirkulasi. Oli-oli tersebut terus bersikulasi dengan adanya pompa hidrolik yang digerakkan oleh motor listrik.

Penelitian mengenai optimasi ini dilakukan dalam tiga tahap penelitian utama. Tahap pertama mencari kondisi terbaik dari proses pengempaan dengan variasi jenis bahan masukan, nib, pasta kasar, dan pasta halus merupakan variasinya. Tahap kedua yaitu menentukan kondisi paling memungkinkan pada proses pengempaan dengan variasi berat input yang dimasukkan ke dalam kantung. Tahap tiga merupakan tahap terakhir untuk mengetahui kondisi terbaik dalam mengempa yaitu untuk mengetahui pada suhu penyimpanan berapakah bahan masukan paling baik disimpan.

Dari percobaan tiga pengempaan dengan jenis masukan yang berbeda, yaitu pengempaan dengan jenis masukan nib, pasta kasar, dan pasta halus maka didapat perolehan lemak terbanyak didapat oleh pengempaan dengan jenis masukan pasta halus yaitu sebesar 37.25 % dari berat masukan. Namun energi yang dibutuhkan untuk melakukan pengempaan dengan bahan masukan pasta halus sangat besar yaitu sebesar 2.227 kWh untuk sekali pengempaan. Dengan demikian dipilih pengempaan dengan bahan masukan berupa pasta kasar sebagai pilihan terbaik untuk dilanjutkan ke tahap penelitian selanjutnya. Hal ini dilihat dari persentase lemak yang dihasilkan memiliki nilai terbaik kedua setelah pengempaan dengan bahan pasta halus yaitu sebesar 33.22 %, memiliki nilai kapasitas pengempaan terbaik yaitu 38.46 g/menit, namun pengempaan pasta kasar memiliki kebutuhan energi yang terkecil nilainya yaitu hanya dibutuhkan 1. 038 kWh untuk sekali pengempaan. Dengan demikian pengempaan dengan bahan baku pasta kasar memiliki nilai ekonomis yang menguntungkan dan juga memiliki performa pengempaan yang baik pula.

Dalam perbandingan hasil pengempaan dengan variasi bobot masukan terlihat perbandingan antara persentase lemak dan kapasitas masing-masing variasi bobot masukan tidak terlihat perbedaan terlalu signifikan. Dengan demikian dipilih pengempaan dengan bobot masukan seberat 200 gram sebagai variasi bobot yang terbaik. Hal ini dilihat bahwa hasil persentase lamak yang dihasilkan sudah baik yaitu sekitar 32.05 % dari bobot masukan, selain itu kapasitas pengempaan yang baik pula yaitu 28.57 g/menit, dan yang paling penting kebutuhan energi yang digunakan untuk sekali pengempaan kecil hanya 0.308 kWh. Pengempaan dengan bobot 100 gram tidak dipilih sebagai yang terbaik dikarenakan kapasitas pengempaannya terlalu kecil yaitu hanya 20.00


(14)

g/menit. Selain itu faktor ketebalan akhir dari pengempaan menjadi faktor utama pula, untuk jenis pengempaan yang memiliki nilai ketebalan bahan akhir yang besar yaitu diatas 0.5 cm maka bisa dikatakan pengempaan tersebut kurang baik atau maksimal sehinngga dapat menghasilkan bungkil kakao dengan nilai lemak yang masih tinggi.

Sehingga dengan demikian pengempaan dengan bobot 200 gram dipilih menjadi variasi bobot masukan terbaik, karena memenuhi nilai performa pengempaan yang baik walaupun bukan yang terbaik, tetapi memiliki nilai keunggulan dalam hal ekonomi dan faktor hasil ketebalan akhir yang didapat karena hal tersebut juga sesuai dengan yang diinginkan oleh pihak pelaku industri.

Pembanding hasil pengempaan variasi suhu penyimpanan bahwa jenis pengempaan dengan suhu penyimpanan 45ºC memperoleh hasil yang terbaik. Untuk nilai persentase lemak yang dihasilkan, pengempaan pada suhu penyimpanan 45ºC memiliki nilai yang terbaik yaitu 32.05%, demikian pula dengan nilai kapasitas pengempaannya memiliki nilai terbaik yaitu sebesar 28.57 g/menit. Dilihat dari konsumsi energinya memiliki konsumsi energi terkecil, sehingga dapat disimpulkan pengempaan suhu penyimpanan 45ºC merupakan proses pengempaan yang terbaik, baik di segi performa pengempaan maupun dari sisi nilai ekonomisnya.

Pengempaan biji kakao non fermentasi memiliki keunggulan pada persentase lemak yang didapat yaitu sebesar 36.30 % berbeda selisih sekitar 4.25 % dari pengempaan biji kakao fermentasi. Tetapi apabila melihat dari kapasitas pengempaan maka pengempaan biji kakao fermentasi lebih baik yaitu dengan nilai kapasitas pengempaan 28.57 g/menit memiliki selisih sebesar 6.35 g/menit dengan pengempaan biji kakao non fermentasi. Selain itu konsumsi energi yang digunakan pada pengempaan biji kakao fermentasi lebih rendah sekitar 0.087 kWh untuk sekali pengempaan dibandingkan pengempaan biji kakao non fermentasi. Dari pertimbangan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pengempaan dengan biji kakao fermentasi lebih baik sekaligus lebih menguntungkan dibandingkan dengan pengempaan dengan menggunakan biji non fermentasi.

Sehingga pengempaan biji kakao fermentasi yang paling optimum adalah pengempaan dengan masukan berupa pasta kasar dengan berat 200 gram yang terlebih dahulu disimpan selama 24 jam di oven dengan suhu 45 °C. Dari perbandingan dengan proses pengempaan non fermentasi, hasil pengempaan fermentasi ternyata lebih baik, tetapi nilai persentase kadar lemak pengempaan non fermentasi lebih unggul dibandingkan dengan pengempaan fermentasi. Dari perhitungan biaya operasional total proses pengempaan, diperoleh biaya sebesar Rp 2198.68 untuk pengempaan satu kilogram biji kakao.


(15)

PENENTUAN KONDISI PENGEMPAAN

LEMAK KAKAO (Cocoa Butter) SECARA MEKANIK

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

AGUNG SETIAWAN F14102082

2007

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(16)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN

PENENTUAN KONDISI PENGEMPAAN LEMAK KAKAO

(Cocoa Butter) SECARA MEKANIK

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

AGUNG SETIAWAN F14102082

Dilahirkan pada tanggal 9 September 1984 Di Jakarta

Tanggal Lulus : Januari 2007

Menyetujui:

Jember, Februari 2007 Bogor, Februari 2007

Dr. Ir. Sri Mulato, MS. Prof. Dr. Ir. Hadi Karia Purwadaria, MSc.

Pembimbing 2 Dosen Pembimbing 1

Bogor, Februari 2007

Dr. Ir. Wawan Hermawan, MS. Ketua Departemen Teknik Pertanian


(17)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir 22 tahun silam pada tanggal 9 September di kota Jakarta. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara, lahir dari pasangan Alm. H. Yanni Rinaldy dan Ratna Ningrum. Penulis menempuh tingkat sekolah dasar di SDN Semplak 1 Bogor dan SDN Ciujung Bandung. Sekolah lanjutan tingkat pertama di tempuh penulis pada salah satu SLTP swasta di Bogor yaitu SLTP Bina Insani demikian pula dengan tingkat sekolah menengah atas di tempuh di SMU Bina Insani Bogor. Selama menempuh pendidikan di SMU penulis aktif diberbagai organisasi sekolah mulai dari Paskibra hingga OSIS, pada organisasi OSIS penulis memegang jabatan sebagai ketua OSIS saat berada di kelas dua. Pada bidang olahraga penulis pun aktif di bidang olahraga basket dan juga sepak bola.

Penulis lulus dari sekolah menengah atas pada tahun 2002 dan langsung melanjutkan sekolah pada perguruan tinggi di Institut Pertanian Bogor, Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Penulis masuk IPB melalui jalur undangan (PMDK), dengan undangan tersebut penulis sangat merasa beruntung dan merasa telah ditakdirkan untuk melanjutkan pendidikan di IPB dengan Jurusan Teknik Pertanian.

Di tingkat perguruan tinggi penulis masih bisa menyalurkan minatnya dalam bidang organisasi dan olahraga, dalam bidang orgaisasi pada tingkat pertama penulis terpilih sebagai ketua organisasi kelas, setelah itu pada tingkat dua terpilih menjadi salah satu anggota Badan Eksekutif Mahasiswa tingkat fakultas sebagai anggota dari departemen sosial. Pada bidang olahraga penulis aktif dalam bidang olahraga basket maupun sepak bola namun rutinitas olahraga pada perguruan tinggi berkurang dibandingkan dengan tingkat sekolah menengah. Pada tingkat perguruan tinggi ini penulis banyak belajar mengenai berbagai hal mengenai kehidupan, mulai dari mengempa diri kita untuk lebih dewasa, lebih pandai dalam membagi waktu, pandai dalam berhubungan sosial antara sesama, belajar menghadapi bebagai tekanan dari berbagai sisi dan banyak hal lain yang dapat diperoleh penulis selama menempuh pandidikan di IPB.


(18)

I. PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG

Produksi kakao Indonesia saat ini mencapai 435 ribu ton dan diperkirakan akan terus meningkat secara nyata karena prog peremajaan tanaman yang teratur dan perluasan kebun baru. Lebih dari 76% kakao yang diproduksi di Indonesia diekspor dalam bentuk biji kakao, terutama ke negara pengolah biji kakao seperti Malaysia, Singapura, dan Belanda (Indranada, 2003). Namun sekarang ini sudah terdapat beberapa produsen coklat di Indonesia yang mulai mengembangkan usaha ekspor coklat dalam bentuk hasil olahan kakao, terutama untuk diekspor ke Negara seperti Filipina, Amerika Serikat, Brazil, Belanda, Spanyol dan negara-negara lainnya (Direktorat Jendral Perkebunan,2001).

Selain digunakan sebagai minuman penyegar, kakao juga digunakan untuk bahan baku industri makanan, farmasi dan kosmetik. Fungsi kakao sebagai minuman penyegar disebabkan kakao memilki kandungan senyawa alkaloid yang terdiri dari theobromin dan kaffein. Bahkan karena aroma dan citarasanya yang khas, kakao banyak digemari dan digunakan sebagai “flavoring agent”. Biji kakao mengandung banyak nilai kalori yang tinggi serta nilai kandungan lemak yang prima. Kakao sering juga diberi nama Theobroma cacao, yang artinya santapan atau minuman para dewa (theos = dewa atau tuhan ; broma = minuman atau santapan).

Pada era industri sekarang ini, upaya peningkatan mutu biji kakao rakyat sudah saatnya diarahkan melalui pendekatan agrobisnis. Dengan pola ini, petani tidak lagi dilihat sebagai individu dengan kemampuan produksi yang terbatas. Konsep agribisnis bertumpu pada pemberdayaan petani agar mampu berusaha tani secara kelompok, membentuk badan usaha yang berorientasi pada profit serta mengadopsi teknologi produksi yang bercirikan efisiensi tinggi dan produk yang kompetitif.

Pada saat sekarang ini pemanfaatan kakao hanya terbatas pada buahnya saja, itu pun terbatas bijinya saja. Biji kakao tersebut dimanfaatkan untuk dihasilkan bubuk kakao (cocoa powder) dan lemak kakao (cocoa butter). Dari bubuk kakao dapat digunakan sebagai bahan pembuatan minuman cokelat instan,


(19)

sebagai bahan pencampur susu bubuk dan juga bahan pembuatan kue. Sedangkan dari lemak kakao digunakan untuk bahan pembuat permen coklat dan bahan pembuatan perlengkapan kencantikan seperti sabun serta berbagai alat kosmetik.

Faktor-faktor pendukung produk olahan kakao yang sangat mempengaruhi kualitas antara lain adalah cita rasa, sifat fisik dan sifat kimiawinya. Komponen penyusun cita rasa cokelat dibentuk melalui perubahan kimiawi yang terjadi selama pengolahan kakao. Untuk mendapatkan lemak kakao yang memiliki kualitas terbaik maka perlu adanya proses pengolahan sekunder kakao yang baik pula. Dalam mendapatkan lemak kakao tersebut proses utamanya dalam pengolahan sekunder kakao adalah proses pengempaan. Oleh karena itu Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (PPKKI) telah merancang mesin pengempa lemak kakao tipe mekanik untuk sarana penyediaan lemak kakao pada pengembangan industri skala kecil dan menengah.

B. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah menentukan kondisi proses pengempaan pasta kakao kasar, pasta kakao halus dan biji kakao (nib) menjadi lemak kakao dengan menggunakan mesin pengempa mekanik. Tujuan yang lebih khusus adalah sebagai berikut.

1. Mengamati pengaruh tingkat kekasaran bahan umpan dalam bentuk pasta kakao kasar, pasta kakao halus, dan biji kakao terhadap persentase hasil lemak kakao serta kinerja mesin pengempa mekanik.

2. Menentukan pengaruh keragaman berat bahan umpan, terhadap persentase hasil lemak kakao serta kinerja mesin pengempa mekanik. 3. Mempelajari pengaruh suhu penyimpanan bahan umpan terhadap


(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. BIOLOGI TANAMAN KAKAO

Kakao merupakan tanaman yang menumbuhkan bunga dari batang atau cabang. Daerah yang menjadi daerah utama penanaman kakao adalah hutan hujan tropis di Amerika Tengah, tepatnya wilayah 18° Lintang Utara sampai 15° Lintang Selatan (Siregar et al., 2003). Tanaman ini mulai berbuah setelah berumur 4-5 tahun dan mencapai produksi buah tertinggi pada usia 12 tahun. Tanaman ini dapat berbuah terus menerus sampai berusia 50 tahun, dan dalam setahun dapat dilakukan pemanenan sebanyak dua kali (Nasution, 1985).

Tanaman kakao akan tumbuh mencapai ketingian 20-30 kaki dan membutuhkan tanaman pelindung yang lebih besar. Tanaman ini membutuhkan curah hujan rata-rata/tahun antara 1150 – 2500 mm, dan temperatur pertumbuhan maksimum antara 30-32 ºC serta temperatur minimum antara 18-20 ºC. Pertumbuhan dan hasil yang baik juga dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari yang diterima dalam jumlah cukup, kondisi tanah yang subur dan jarak tanam yang baik. Tanaman kakao termasuk tanaman biseksual, tidak mempunyai madu, dan serbuk sarinya melekat dengan erat sehingga sulit untuk diserbukkan oleh angin. Namun pada akhirnya diketahui bahwa penyerbukan bunga disebabkan oleh bantuan seranga.

Tanaman kakao di golongkan kedalam kelompok tanaman caolifloris, termasuk dalam Genus Theobroma. Famili Sterculiaceae, dan spesies theobroma cacao LINN. Criollo dan trinitario adalah nama fine cacao atau kakao mulia, sedangkan jenis forastero dikenal dengan nama bulk cacao atau kakao lindak (Susanto,1994). Perbedaan yang nyata antara kedua grup di atas terutama adalah warna buah, warna biji dan bau kakao masing-masing. Kakao dengan biji yang tidak berwarna termasuk grup Criollo, sedangkan kakao dengan warna biji berwarna ungu yang khas termasuk grup Forastero. Grup Criollo juga menghasilkan buah yang berwarna merah atau kuning dengan bau dan rasa yang lebih baik daripada bau dan rasa kakao lainnya. Forastero menghasilkan kakao yang berwarna kuning dengan bau yang agak rendah dan rasa yang lebih pahit. Di Indonesia khususnya di pulau Jawa, tanaman coklat yang tumbuh adalah dari jenis


(21)

Trinitario. Mutu coklat ini hampir sama atau sedikit di bawah grup Criollo dengan aroma yang segar dan rasa yang tidak terlalu pahit dan warna biji yang agak muda (Nasution., 1985).

Tanaman kakao dikonsumsi oleh manusia hanya bagian bijinya saja. Biji kakao (Gambar 1) terletak di dalam buah atau pod yang tumbuh pada batang dan dahan-dahannya. Bentuk dan ukuran buah berbeda-beda tergantung jenis kakao yang ditanam. Pada umumnya sub grup Criollo mempunyai mempunyai kulit buah yang bertonjolan dengan lekuk-lekuk, sedangkan sub grup Forastero hampir rata dan licin, serta ukuran biji yang lebih besar dibandingkan dengan Criollo.

Buah kakao yang masak mempunyai kulit yang tebal dan berisi 30 sampai 40 biji yang dikelilingi oleh pulp yang berlendir. Biji terdiri dari dua bagian utama dan sangat berperan selama proses fermentasi yaitu kulit biji (testa) dan keping biji. Kedua bahan inilah yang selama proses fermentasi mengalami perubahan dan menimbulkan aroma pada coklat.


(22)

B.

PENGOLAHAN KAKAO

1.

Pengolahan Primer Kakao

Setelah pemanenan, buah kakao tidak dapat dimanfaatkan secara langsung, harus melalui beberapa proses olahan awal yaitu proses pengupasan buah, fermentasi, pencucian dan perendaman, pengeringan serta penentuan mutu. Setelah melewati semua tahapan ini barulah biji kakao siap untuk diolah menjadi produk setengah jadi dan selanjutnya menjadi produk siap konsumsi. Adapun tahapan pengolahan primer kakao dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Tahapan pengolahan primer buah kakao.

1.Sortasi Buah

Proses sortasi sangat berperan penting dalam menghasilkan biji kakao dengan kualitas yang baik. Digunakan untuk memisahkan buah kakao yang sehat dari buah kakao yang rusak karena penyakit, busuk maupun cacat. Hal ini perlu dilakukan agar buah yang sehat tidak ikut tercemar karena ditimbun di satu tempat.

PANEN BUIAH

SORTASI BUAH

PENGUPASAN BUAH

FERMENTASI

PENCUCIAN dan PERENDAMAN

PENGERINGAN

PENENTUAN MUTU

PENYIMPANAN

KULIT BUAH


(23)

2. Pengupasan Buah

Setelah pemanenan, buah segera dikupas atau dipecahkan baik dengan pisau, arit maupun pemukul kayu. Dalam menghasilkan biji kakao kering dengan mutu yang baik, aspek pemecahan buah dan sortasi biji merupakan faktor yang menentukan. Pemecahan buah harus dilakukan secara hati-hati supaya tidak melukai biji yang kemudian didikuti dengan pemisahan biji dari buah yang sekaligus sortasi bijji agar diperoleh ukuran biji yang seragam (Mulato dan Widyotomo, 2003a).

3. Fermentasi

Tujuan dari proses fermentasi adalah untuk mematikan biji kakao tersebut, sehingga perubahan-perubahan yang terjadi di dalam biji yang dapat mengakibatkan adanya proses pertumbuhan dapat dihindarkan, sedangkan perubahan yang meningkatkan kualitas kakap ditingkatkan. Perubahan yang harus ditingkatkan adalah perubahan warna keping biji, peningkatan aroma dan rasa serta melunaknya keping biji kakao. Tujuan lainnya adalah untuk melepaskan pulp dari keping biji, dan mempermudah lepasnya kulit biji dari keping biji pada proses pengeringan/penyangraian biji kakao (Siregar et al., 2003).

Proses fermentasi merupakan salah satu tahap penting yang berpengaruh terhadap kualitas biji. Dari beberapa penelitian, diketahui bahwa biji kakao yang tidak di fermentasi atau setengah fermentasi akan memiliki rasa, aroma, maupun penampilan yang kurang. Kita ketahui bahwa biji kakao kebanyakan digunakan untuk bahan baku pangan, sehingga masakah rasa, aroma dan penampilannya merupakan hal yang sangat diperhatikan (Atmana, 2002).

Perubahan kimia dan biologi yang terjadi selama proses fermentasi mengakibatkan pulp hancur dan mencair, biji mati dan enzim-enzim tertentu terbentuk dan memecah tanin serta beberapa zat perangsang lainnya sehingga mengurangi rasa pahit pada kakao. Bentuk biji kakao selama proses fermentasi berubah menjadi menggembung bila proses fermentasi berjalan dengan sempurna, sedangkan bila proses fermentasi tidak berjalan sempurna biji kakao akan tetap berbentuk pipih. Keping biji yang berwarna putih maupun ungu akan berubah menjadi coklat. Apabila warna biji masih ungu kecoklatan, maka hal ini


(24)

menunjukkan proses fermentasi belum sempurna selesai. Proses fermentasi dapat berlangsung dengan berbagai macam cara misalnya dengan ditumpuk diatas alas tertentu, dimasukkan kedalam keranjang, dimasukkan kedalam peti atau bak kayu yang diletakkan diatas rak-rak.

Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan fermentasi berpengaruh terhadap suhu fermentasi, bobot biji hasil fermentasi, bobot biji hasil pengeringan (rendemen), kenampakan fisik, warna keping biji, indeks fermentasi, kadar kulit, pH dan kadar air relatif. Lama fermentasi untuk menghasilkan biji kakao bermutu baik adalah 3-5 hari. Selisih rendemen antara biji yang tidak difermentasi dengan yang difermentasi adalah 1.37-3.83 % atau setara dengan penurunan bobot kering 3.10-9.44 % (Yusianto et al., 1995).

4. Perendaman dan Pencucian

Proses pencucian biji kakao setelah proses fermentasi hanya dilakukan oleh beberapa negara saja salah satunya adalah Indonesia. Selain itu kebijakan dari masing-mahsing perusahaan perkebunan menjadi salah satu alasan diadakannya atau tidaknya proses perendaman dan pencucian (Nasution, 1985).

Tujuan utama dari proses pencucian ini antara lain untuk menghilangkan atau melepaskan pulp dari biji dan juga digunakan untuk menghambat atau menghentiksn proses fermentasi biji kakao yang sedang berlangsung. Proses perendaman serta pencucian biasanya dilakukan pada pagi hari. Proses pertama dilakukan perendaman biji kakao yang telah difermentasi di dalam wadah atau ember plastik dengan air yang terus mengalir selama 2 jam. Setelah itu dilanjutkan dengan proses pencucian dengan cara mengaduk-aduk biji kakao yang direndam dengan tangan. Namun ada pula proses perendaman dan pencucian dengan cara modern yaitu dengan menggunakan mesin pencuci yang dilengkapi alat pengaduk yang berputar dengan cepat.

Manfaat dari proses pencucian serta perendaman pada biji kakao ini agar biji-biji yang dihasilkan akan lebih tahan terhadap hama dan serangan serangga perusak pada proses penyimpanan. Dengan melihat dari fungsi tersebut maka industri kecil jarang melakukan proses perendaman serta pencucian ini hal ini dikarenakan pada industri kecil bahan baku biji coklat yang diolah atau digunakan


(25)

dengan jumlah yang terbatas atau kecil sehingga tidak perlu dilakukan proses penyimpanan dengan waktu yang lama (± dalam 2-3 hari bahan baku biji kakao telah habis digunakan) .

5. Pengeringan

Kadar air yang tinggi pada akhir proses fermentasi (± k.a 60 %), harus diturunkan menjadi sekitar 8 % sebelum biji kakao tersebut diolah lebih lanjut. Hal ini dilakukan agar pada biji kakao tidak mudah tumbuh kapang maupun jamur sehingga dapat mengurangi kualitas dari biji kakao itu. Namun apabila pengeringan berlangsung sampai pada kadar air dibawah 8 % maka biji kakao akan mudah hancur, kalitas rasa dan aroma juga akan menurun. Ada berbagai cara pengeringan yang dapat dilakukan, yaitu pengeringan secara alami (penjemuran/sun drying) dan pengeringan secara buatan (menggunakan alat/artificial drying) (Mulato dan Widyotomo, 2003a).

Pengeringan alami dilakukan bila pada daerah yang memiliki curah hujan tidak terlalu tinggi intensitasnya dan lama penyinaran matahari cukup panjang dengan intensitas penyinarannya yang tinggi. Proses pengeringan dilakukan di atas tikar pandan yang dihamparkan di atas lantai semen. Pengeringan dengan cara penjemuran ini memberikan hasil yang baik,karena biji coklat yang dikeringkan tidak langsung kontak dengan suhu yang tinggi. Maksimum suhu selama pengeringan adalah antara 45 – 60 º C. Apabila pada proses awal pengeringan digunakan suhu yang tinggi (± > 60º C) maka persentasi biji yang mengerut dan yang permukaanya mengeras akan meningkat.

Waktu penjemuran biji coklat sangat tergantung pada keadaan cuaca selama penjenuran tersebut. Bila tidak diselingi dengan hari hujan, maka waktu penjemuran berkisar antara 6 sampai 9 hari. Pengeringan biji kakao diawali dengan penjemuran dengan mengunakan panas matahari kemudian dilanjutkan dengan pengeringan tahap kedua yaitu meletakkan biji pada ruangan pengering dengan suhu diusahakan tidak lebih dari 45º C. Ruangan tersebut merupakan suatu lantai yang tinggi yang berlubang-lubang, dimana udara dalam ruangan tersebut dipanasi dengan menggunakan pipa pemanas yang mengalirkan udara panas dari tungku.


(26)

Pengeringan buatan banyak dilakukan pada negara yang memiliki tingkat curah hujan yang tinggi. Keuntungan utama dari pengeringan buatan ini adalah mengurangi waktu dan luas tempat dilakukannya pengeringan, selain itu dengan dilakukannya pengeringan buatan maka proses pengeringan tidak tergantung terhadap cuaca tempat pengeringann tersebut berada. Pengeringan buatan yang dianjurkan adalah dengan menggunakan gabungan alat pengering, dengan suhu yang berbeda. Mula-mula biji basah dikeringkan dengan menggunakan convorted gordon dryer pada suhu sekitar 90º C selama 3 – 4 jam, yaitu sampai gejala melekatnya biji dengan biji hilang. Kadar air biji setelah melalui proses pengeringan pendahuluan ini adalah sekitar 40 %. Penmgeringan lanjutan dilakukan dengan meneberkan biji di atas tray dan dimasukkan ke dalam tunnel dryer dengan type counter current. Ruangan tunnel itu dipanasi dan dipertahankan suhunya kurang dari 70º C dengan jalan menyalakan burner selama 40 menit setiap jam (Mulato dan Widyotomo, 2003a).

6. Pemisahan dan Penentuan Mutu

Penentuan mutu biji kakao sekarang ini didefinisikan sebagai alokasi contoh coklat berdasarkan atas penentuan kerusakan biji. Pemisahan biji yang telah dikeringkan dilaksanakan atas dasar berat biji, kemurnian, warna dan bahan ikutan, serta jamur. Dalam menetapkan kualitas biji, faktor-faktor seperti kulit ari, kadar lemak, kadar air turut diperhatikan. Standar minimum persentase kandungan biji coklat ini berbeda-beda pada setiap negara penghasil coklat. Misalkan saja biji kakao Ghana yang mempunyai standar kadar kulit ari 11.5-12 %, kadar lemak 57-58 %, dan kelembaban biji 6-7 % digolongkan bermutu baik (Siregar et al., 2003).

Pemisahan yang dilakukan untuk memisahkan bahan ikutan dan mengklasifikasikan biji adalah proses pemindahan bahan-bahan asing dan biji kakao yang berada diluar kategori kelas. Pada perkebunan besar biasanya proses dilakukan dengan bantuan peralatan khusus yang berupa piring-piring silinder yang dibagi atas empat bagian, dan setiap bagian terdiri dari ukuran dan bentuk yang berbeda. Mula-mula biji kering dilewatkan pada bagian yang pertama, khusus untuk memisahkan debu, bahan-bahan kecil bekas kulit dan sampah.


(27)

Pemisah kedua bertujuan untuk memisahkan biji tipis atau gepeng. Bagian ketiga menghasilkan biji kakao kelas dua, dan sisanya adalah biji kakao kelas pertama.

Pada umumnya penentuan mutu masih dilakukan secara subyektif dengan berdasarkan penampakan fisik biji tersebut, yaitu bulat, keriput, gepeng, biji pecah dan warna kulit biji. Menurut Nasution (1985) di Indonesia penetuan mutu biji dibedakan atas mutu A, B, C, G, dan Z.

Mutu A adalah biji-biji kakao yang berwarna rata dengan bentuk bulat penuh.

Mutu B adalah biji-biji yang berwarna kurang rata, pada kulitnya terdapat bercak-bercak, bentuk tidak bulat penuh dan ada bagian biji yang rusak.

Mutu C adalah biji-biji yang berwarna tidak rata, berbentuk gepeng dan keriput.

Mutu G adalah campuran biji-biji yang terpecah atau belah. Mutu Z adalah biji-biji yang berwrna hitam.

7. Penyimpanan

Proses penyimpanan bertujuan untuk menyimpan hasil panen yang telah disortasi dalam kondisi yang aman dan terkontrol dengan baik sebelum diolah lebih lanjut atau diperdagangkan. Penyimpanan biji kakao dilakukan didalam karung goni yang memiliki kapasitas makasimal 60 kg dan diberi label sesuai dengan mutu yang telah ditetapkan dan juga menunjukkan identitas produsen dari biji kakao tersebut. Kemudian karung biji kakao itu ditumpuk dengan jumlah tumpukan maksimal enam tumpukan. Sebelumnya tumpukan karung diberi penyangga yang terbuat dari papan kayu setinggi 10 cm dari lantai gudang penyimpanan, dan diberi jarak 20 sampai 15 cm dari dinding gudang. Selain itu aerasi di gudang penyimpanan harus diperhatikan secara serius agar biji kakao tidak menjadi lembab (Siregar et al., 2003).

Dalam proses penyimpanan, dilakukan juga proses fumigasi yang bertujuan untuk mengatasi infestasi dan kontaminasi hama gudang pada penyimpanan biji kakao. Karena tiga persyaratan dasar biji kakao agar bisa


(28)

diekspor ke negara lain seperti Amerika Serikat, yaitu memenuhi persyaratan yang berhubungan dengan jamur, serangga dan kotoran, bebas dari pencemaran bahan kimia dan residu pestisida (Yusianto dan Teguh, 2001).

2. Pengolahan Sekunder Kakao

Setelah melewati proses pengolahan primer maka kakao yang dihasilkan diolah lebih lanjut dalam pengolahan sekunder kakao (Gambar 3). Pengolahan sekunder kakao merupakan pengolahan biji kakao menjadi bahan setengah jadi yang dapat dimanfaatkan menjadi berbagai macam produk jadi baik itu bubuk kakao, lemak kakao, minuman instan, permen dan produk-produk lainnya.

Gambar 3. Tahapan pengolahan sekunder buah kakao

1.Penyangraian

Proses penyangraian merupakan salah satu proses yang menentukan kualitas dari kakao yang dihasilkan untuk diolah menjadi produk jadi. Proses

BIJI KAKAO

PENYANGRAIAN

PEMISAHAN KULIT

DAGING BIJI

PEMASTAAN KASAR

PASTA KAKAO KASAR

PENGEMPAAN

LEMAK KAKAO BUBUK KAKAO


(29)

penyangraian memiliki beberapa tujuan yaitu proses penyangraian yang baik harus dapat mengembangkan rasa, aroma, warna, memudahkan pelepasan kulit dari biji, mengurangi kadar air, dan mengendorkan kulit sehingga dengan mudah dapat dipisahkan kulitnya pada proses pemisahan biji kulit.

Rasa dan aroma yang didapat dari proses penyangraian bergantung atau ditentukan oleh beberapa factor yaitu suhu dan lama penyangraian, panas spesifik biji, bentuk biji, asal biji, jenis varietas biji, cara pengolahan serta cara dan lama proses penyimpanan biji coklat.

Biji yang berbentuk relatif bulat, pada suhu dan lama penyangraian yang sama akan lebih cepat mengalami perubahan daripada yang berbentuk

hemiellipsoida. Biji berukuran lebih kecil juga akan lebih cepat berubah warna daripada yang berukuran lebih besar. Jika penyangraian biji-biji yang relative lebih kecil dicampur dengan yang berukuran lebih besar, maka biji yang berukuran lebih kecil akan tersangrai lebih gelap warnanya (Mulato dan Widyotomo, 2000).

Perubahan pertama yang terjadi pada proses penyangraian diantaranya adalah penurunan kadar air dan pengeringan biji kakao. Perubahan kedua adalah terjadinya penghilangan rasa asam dengan menguapnya komponen asam organic volatile, seperti asam aetat yang sangat dominan terbentuk pada proses fermentasi biji. Selain itu komponen utama seperti tanin yang menyebabakan rasa pahit sepat dapat teroksidasi selama proses penyangraian. Sedangkan untuk pengembangan komponen rasa dapat diketahui dari aroma yang terbentuk (Lee, et al. 2001)

Pada prinsipnya terdapat dua tipe mesin penyangraian, yaitu tipe kontinyu dan tipe batch (Gambar 4). Penyangrai tipe batch biasnya berbentuk drum berputar dengan pemanas dari luar memakai burner minyak tanah, kayu, arang, atau LPG (Liquid Petroleum Gas). Penyangraian tipe kontinyu biasanya menggunakan udara panas yang dialirkan berlawanan arah dengan aliran biji kakao. Di divisi pasca panen di PUSLIT Jember ini digunakan mesin penyangrai tipe Batch.


(30)

Gambar 4. Mesin sangrai biji kakao tipe Batch

2. Pemisahan Kulit

Proses pemishan kulit dilakukan karena hanya biji kakao (nib) saja yang digunakan untuk proses pengoalahan selanjutnya. Kulit biji kakao tidak cocok untuk dikonsumsi oleh manusia karena memiliki kandungan selulosa yang cukup tinggi yang dapat mengakibatkan rasa pedih. Kulit biji juga dapat menyebbakan kapasitas penghancuran biji secara mekanis sangat rendah (Beckett, 2000).

Proses pemisahan nib dari biji dilakukan setelah biji disangrai dan mengalami proses tempering. Biji coklat ini dimasukkan ke dalam mesin pemecah kulit yang memiliki kapasiat sekitar 27 kg/jam (Gambar 5). Mesin ini digunakan untuk proses pemisahan kulit biji kakao menjadi nib sekaligus memperkecil ukuran dari kakao tersebut, proses pemisahannya menggunakan silinder berulir yang berputar dengan kecepatan tertentu, input mesin tersebut berupa biji kakao yang telah disangrai yang dimasukkan ke dalam lubang input berupa corong yang terdapat di bagian atas mesin. Output dari mesin ini yaitu nib yang keluar dari lubang bagian bawah dari mesin yang ditampung dengan menggunakan wadah, kemudian output yang lain berupa kulit biji kakao yang keluar dari lubang di tengah mesin dengan menggunakan sistem blower.


(31)

Gambar 5. Mesin pemisah kulit biji kakao

3. Pemastaan

Proses pemastaan merupakan proses penghancuran nib (daging buah

kakao) menjadi ukuran tertentu (<20 mμ). Dengan ukuran seperti itu maka nib yang dihancurkan akan menjadi pasta cair kental. Hasil jadi penghancuran kakao tersebut terjadi dikarenakan kandungan yang terdapat pada biji kakao yang terdiri dari 50 % lemak kakao. Penghancuran tersebut bertujuan juga untuk memperbesar luas permukaan kakao, sehingga pada saat perlakuan pengempaan dengan bantuan pemanasan massa kakao akan memberikan pengaruh semakin banyaknya kakao yang dapat diekstrak. Kadar kulit dan kadar air biji kakao akan mempengaruhi tingkat kesulitan dalam penghancuran nib menjadi pasta kakao (Beckett, 2000).

Mesin pemasta kasar (Gambar 6) merupakan mesin pembuat pasta kakao kasar yang bahan inputnya adalah nib. Sistemnya menghancurkan nib menjadi pasta kental dengan memasukan nib dari lubang input yang kemudian digiling atau dihancurkan oleh silinder yang berputar di dalam mesin dengan kecepatan yang cukup tinggi (± 800 RPM) sehingga menghancurkan nib. Pasta kasar yang dihasilkan akan dilanjutkan dengan proses pengempaan, tetapi sebelumnya dimasukkan ke dalam kantong kain setelah itu disimpan di ruang pemanas agar lemak yang terdapat pada pasta mengendap dan pasta tersebut tidak beku sehingga memudahkan proses pengempaannya.


(32)

Gambar 6. Mesin pemasta kasar biji kakao.

4. Pengempaan

Pengempaan bertujuan untuk memisahkan lemak kakao dari pasta kasar yang telah dihasilkan. Banyaknya lemak yang dapat dipisahkan tergantung pada lamanya pengempaan yang dilakukan, tekanan yang digunakan, dan ukuran partikel pasta yang diekstrak. Menurut Mulato dan Widyotomo, (2003), rendemen lemak yang diperoleh dari pengepresan dipengaruhi oleh bebrapa faktor antara lain suhu pasta, kadar air pasta, ukuran partikel pasta, kadar protein pasta, tekanan kempa, dan waktu pengepresan.

Alat pengempa/pengepres pasta coklat terdiri dari 2 macam jenis yaitu alat pengempa tipe mekanis dan alat pengempa tipe hidrolik. Alat pengempa tipe mekanis merupakan alat pengempa yang menggunakan tenaga manusia dalam melakukan pengepresan, sistem kerja menggunakan sistem kerja dari dongkrak hanya bedanya pada alat pengempa ini bagian atas dongkarak dibuat “mati” / tidak bergerak sehingga timbul tekanan ke bawah, terdapat komponen alat berupa per yang berfungsi mengembalikan ujung bagian pengempa ke posisi semula atau atas, silinder / lempengan ujung pengempa yang kontak langsung dengan pasta dapat lepas untuk mempermudah pemasukan pasta ke dalam ruang pengempa selain itu berguna untuk mempermudah pembersihannya, bagian penampung lemak coklat berada di bawah alat pengempa, input adalah pasta kakao yang dikemas dalam kantong kain, output berupa lemak kakao dan bungkil.


(33)

Alat pengempa tipe hidrolik (Gambar 7) merupakan alat pengempa lemak kakao yang menggunakan tenaga mesin dalam proses pengempaan pasta dalam hal ini menggunakan prinsip dasar tekanan bahan cair (oli) yang didorong oleh pompa / motor melalui selang atau pipa bertekanan tinggi, tekanan pengepresan bisa dilakukan secara optimum yaitu sebesar 200 kg/cm3 agar menghasilkan lemak secara maksimal, satu kali pengepresan butuh waktu ± 7 – 15 menit.


(34)

C. LEMAK KAKAO

Lemak kakao merupakan lemak alami yang diperoleh dari biji kakao. Beberapa Negara membatasi pengertian lemak kakao sebagai lemak alami yang diperoleh dari nib kakao dengan pengepresan hidrolik atau ekspeler. FDA mendefinisikan lemak kakao sebagai lemak kakao yang dapat dimakan yang diperoleh dari biji theobroma cacao atau spesies yang sangat dekat, baik sebelum maupun sesudah penyangraian.

1. Sifat Lemak Kakao

Lemak kakao memiliki sifat yang khas dibandingkan dengan lemak nabati lainnya, diantara sifat lemak kakao tersebut bersifat plastis, memiliki kandungan senyawa lemak padat yang relatif tinggi, warnanya putih kekuningan dan memiliki bau khas dari coklat. Selain itu lemak kakao mengalami proses penyusutan volume (kontraksi) pada saat dilakukan pendinginan sehingga padatan lemak yang dihasilkan sangat kompak dan memiliki penampilan fisik yang menarik. Sifat-sifat inilah yang menjadi unggulan dibandingkan jenis lemak yang lainnya (Mulato dan Widyotomo, 2003).

2. Manfaat Lemak Kakao

Melihat dari sifat lemak kakao diatas maka lemak kakao dapat dimanfaatkan dalam berbagai bidang, baik bidang mengenai olahan makanan maupun bidang mengenai kacantikan dan farmasi (Mulato dan Widyotomo, 2003). Untuk bidang olahan makanan lemak kakao digunakan sebagai bahan campuran dalam pembuatan permen cokelat yang sebelumnya dicampur dengan pasta kakao, susu, dan gula. Selain itu lemak kakao bisa juga digunakkan sebagai minyak untuk menggoreng makanan namun dengan harga kakao yang mahal dan juga membutuhkan proses lanjutan yang juga membutuhkan biaya tambahan maka lemak kakao sebagai minyak goreng terasa kurang efisien. Sedangkan mengenai manfaat lemak kakao di bidang kecantikan digunakan sebagai bahan pencampur untuk produk pelembab serta pewarna bibir hal ini bisa dilakukan karena lemak kakao yang bersifat lembut untuk kulit dan mudah mencair pada suhu tubuh.


(35)

3. Cara Mendapatkan Lemak Kakao

Lemak kakao didapatkan dari kakao yang dipress dengan menggunakan alat pengempa lemak tipe mekanis maupun hidrolik. Pengempaan bertujuan untuk memisahkan lemak atau minyak dari pasta kasar, pasat halus, maupun biji kakao (nib). Bahan baku yang masih panas yang berasal dari ruang pemanas dimasukkan ke dalam alat pengempa. Dinding silinder diberi lubang-lubang sebagai alat penyaring. Cairan lemak tersebut akan melewati lubang-lubang tersebut dan bungkil kakao tertahan di dalam silinder. Proses sekali pengempaan lemak kakao biasanya berlangsung selama 7-15 menit.

4. Kriteria Mutu Lemak Kakao

Lemak kakao yang dihasilkan dari proses pengempaan memiliki nilai mutu yang tidak sama. Untuk menentukan apakah lemak kakao yang dihasilkan memiliki nilai mutu yang baik atau tidak maka harus dilihat berdasarkan kriteria-kriteria mutu lemak kakao yang ada. Kriteria atau dasar dari penilaian mutu lemak kakao adalah berupa nilai dari tingkat kekerasan, proses kristalisasi pada lemak kakao, dan juga tingkat titik cair dari lemak kakao tersebut.

Lemak kakao yang baik memiliki tingkat kekerasan serta titik cair yang cukup tinggi agar lemak kakao tersebut tidak mudah mencair apabila disimpan pada suhu tertentu dengan waktu yang cukup lama. Lemak kakao berbentuk padat pada suhu kamar, menurut SNI (Anonim, 1995) lemak kakao yang baik memiliki rentang titik cair 31-35°C. Sedangkan lemak kakao yang baik harus memiliki tingkat kristalisasi yang rendah hal ini agar menekan proses blooming atau proses terdifusinya gula ke permukaan yang menimbulkan bintik-bintik putih pada permukaan adonan cokelat apabila lemak digunakan untuk campuran pembuatan permen cokelat (Mulato dan Widyotomo, 2003).


(36)

III. BAHAN DAN METODE

A. WAKTU DAN TEMPAT

Penelitian mengenai penegempaan kakao ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan bulan Oktober 2006. Sedangkan tempat penelitiannya berlokasi di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jember yang tepatnya di Laboratorium Rekayasa Alat dan Mesin Pengolahan. Laboratorium ini merupakan tempat dibuatnya rekayasa alat dan mesin pengolahan kopi kakao mulai dari proses pasca panen hingga pengolahan produk jadi. Selain itu dilingkungan laboratorium ini terdapat pabrik pupuk organic dan pabrik olahan makanan yang berasal dari bahan baku kakao serta kopi. pada pabrik olahan makanan tersebut penelitian banyak dilakukan.

B. BAHAN DAN ALAT

Bahan yang digunakan pada penelitian ini merupakan kakao jenis Bulk atau lindak. Diambil dari dua kebun yang berbeda, untuk kakao yang telah difermentasi menggunakan kakao dari perkebunan kakao di Glemor, Banyuwangi, sedangkan untuk kakao yang tidak difermentasi (sebagai kontrol pembanding) berasal dari perkebunan percobaan PUSLIT Kaliwining, Jember. Biji kakao ini kemudian diolah (Gambar 8) menjadi daging biji kakao (nib), pasta kakao kasar, dan pasta kakao halus sebagai variasi i bahan baku proses pengempaan (Gambar 9).

Sedangkan peralatan yang akan digunakan selama penelitian ini dilakukan adalah mesin penyangrai biji kakao, mesin pemisah nib, mesin pemasta kasar, mesin penghalus cokelat (refiner), mesin pengempa hidrolik, kako tester oven penyimpan bahan cokelat, timbangan digital, oven kadar air, cawan, gelas ukur, wadah tampung lemak, kantung pasta, stopwatch, kabel termokopel, komputer, data logger 20 saluran, amperemeter, tachometer, plastik penampung biji kakao, dan label.


(37)

Gambar 8. Proses mendapatkan bahan baku untuk pengempaan. Proses

Penyangraian

Biji Kakao Setelah Penyangraian

Proses Pemisahan

nib

nib

Proses Pemastaan

Kasar

Pasta Kakao

Kasar

Proses Penghalusan

Pasta

Pasta Kakao

Halus

Bahan Baku 1

Bahan Baku 2

Bahan Baku 3


(38)

Gambar 9. Daging biji (nib), pasta kasar, dan pasta halus.

C. PERLAKUAN

Perlakuan yang diberikan pada mesin pengempa hidrolik untuk penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. kombinasi tingkat kekasaran bahan baku (biji kakao, pasta halus, dan pasta kasar);

2. kombinasi berat umpan (100, 200, 300, 400, 500, 750, dan 1000 g);

3. kombinasi suhu penyimpanan di oven selama 24 jam sebelum proses pengempaan dilakukan (suhu lingkungan, suhu 40°C dan suhu 45°C).

D.PENGAMATAN

Pengamatan yang dilakukan selama penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Kapasitas pengempaan

Dimana : KP = Kapasitas Pengempaan (g/menit) BKM = Berat Kakao Masuk (g/menit) t = Waktu Pengempaan (menit) 2. Gaya hidrolik maksimal yang diciptakan

KP = BM / t


(39)

Dimana : Fm = Gaya Mesin Pengempa (Newton) Pm = Tekanan Mesin Pengempa (Pascal)

As = Luas Permukaan Bidang Sentuh Tekan (m2)

3. Konsumsi energi a) Motor listrik satu fase

Dimana : KE = Konsumsi Energi (KWh)

V = Tegangan (volt) I = Arus (ampere) t = Waktu (jam) b) Motor listrik tiga fase

Dimana : KE = Konsumsi Energi (KWh)

V = Tegangan (volt) I = Arus (ampere) t = Waktu (jam)

4. Rendemen lemak hasil pengempaan

Dimana : Rl = Rendemen Lemak Yang Dihasilkan (%) Bl = Berat Lemak Yang Dihasilkan (g) Bin = Berat Input Kakao (g)

5. Suhu rata-rata ruang penyangraian

Pengamatan suhu ruang penyangraian di butuhkan untuk dapat menjaga kestabilan suhu yang diciptakan oleh mesin penyangrai agar kakao yang dihasilkan memiliki kualitas yang sama. Suhu ruang penyangraian diamati dengan mengunakan termokopel yang dihubungkan dengan sistem pencatat data fluke pada komputer. Titik pengukuran suhunya hanya pada ruang penyangraian saja.

KE = V x I x t

Rl = (Bl / Bin) x 100% KE = √3 (V x I x t)


(40)

E. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode dekskriptif dengan analisa grafis. Metode ini menampilkan data dalam bentuk grafik kemudian menganalisanya. Penelitian ini terbagi dalam 2 tahap yaitu tahap penelitian pendahuluan dan tahap kedua merupakan penelitian utama.

Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mengetahui kareteristik bahan baku yaitu kakao lindak (Theobroma Cacao L) serta mengolah biji kakao menjadi bahan siap kempa. Penelitian pendahuluan terdiri dari mengukur kadar air, kadar kulit, kadar lemak, mutu biji kakao sebagai bahan baku olahan. Setelah itu penelitian pendahuluan dilanjutkan dengan proses penyangraian, proses pisah kulit, proses pemastaan kasar, dan proses pemastaan halus biji kakao.

Penelitian urtama merupakan penelitian yang berfungsi untuk mencari kondisi optimum dari proses pengempaan kakao yang dilakukan menggunakan mesin pengempa hidrolik. Penelitian utama ini dibagi menjadi tiga tahap penelitian yaitu:

Tahap I, penelitian yang bertujuan untuk mengetahui kondisi optimum dari perbedaan jenis input yang hendak dikempa. Jenis input yang digunakan adalah nib kakao, pasta kasar, dan pasta halus. Kondisi terbaik yang diperoleh menjadi dasar tahap-tahap berikutnya.

Tahap II, penelitian yang mencari kondisi optimum dari perbedaan berat input yang hendak dikempa (100, 200, 300, 400, 500, 750, 1000 g), dengan menggunakan jenis input sama yaitu hasil paling optimum dari penelitian utama tahap I. Kondisi optimum dari penelitian tahap II ini akan digunakan pada penelitian utama tahap III.

Tahap III, penelitian utama tahap akhir yang berfungsi untuk mengetahui kondisi paling optimum dari perbedaan suhu penyimpanan input, suhu yang digunakan untuk menyimpan input yaitu suhu 40°, 45°, dan suhu lingkungan. Hasil dari tahap ini merupakan kondisi optimum akhir dari proses pengempaan yang dilakukan yang terdiri dari perbedaan jenis input, berat input, dan suhu penyimpanan input.


(41)

1. Penelitian Pendahuluan

a) Mengukur kadar air biji kakao

Prinsip : pengurangan bobot selama 16 jam pengeringan dalam oven yang terkontrol pada suhu (103 ± 2)°C.

Prosedur pengukuran :

i. keringkan cawan dan tutupnya pada 103 ± 1º C selama 1 jam. Setelah itu cawan dan tutupnya didinginkan;

ii. timbang cawan dan tutupnya yang telah didinginkan catat sebagai nilai m0;

iii. ambil sampel kakao sebanyak 12 g, kemudian tumbuk selama kurang dari 1 menit sehingga ukurannya kurang dari 5 mm;

iv. ambil sampel kakao yang telah ditumbuk tadi sebanyak 10 g, masukan ke dalam cawan lalu ditutup kemudian ditimbang catat sebagai nilai m1;

v. masukkan cawan yang telah berisi sampel ke dalam oven yang telah dipanaskan pada suhu 103 ± 1ºC. setelah dimasukkan buka tutup cawan kemudian letakkan di dekat cawan. Dibiarkan selama 16±1 jam. Sebelum dikeluarkan cawan ditutup kembali, setelah itu didinginkan dan ditimbang catat sebagai nilai m2;

vi. pengujian kadar air dengan sampel yang sama dilakukan dua kali pengulangan;

vii. kadar air sebagai susut bobot dihitung sebagai berikut

Dimana : m0 = berat cawan + tutup (g)

m1 = berat cawan + tutup dan sampel sebelum pengeringan (g) m2 = berat cawan + tutup

dan sampel setelah pengeringan (m1-m2)

X 100 % (m1-m0)


(42)

b) Mengukur kerapatan curah biji kakao sebelum dan sesudah sangrai Kerapatan curah diukur dengan rumus sebagai berikut:

Dimana : ρ = massa jenis atau kerapatan (kg/m3, g/ml); m = massa (kg, g)

V = volume (m3, ml)

c) Mengukur kadar kulit biji kakao

Prinsip : pemisahan secara visual dan penimbangan. Prosedur pengukuran :

i. timbang contoh uji dari biji kakao yang masih utuh kulitnya, sebanyak ± 100 g;

ii. kemudian pisahkan kulit dari keping bijinya dan pindahkan kulit dan keping tersebut ke dalam kaca arloji/cawan yang berlainan yang telah diketahui bobotnya;

iii. timbang masing-masing kaca arloji/cawan yang berisi kulit dan keping biji;

iv. cara menyatakan hasil yaitu kadar kulit dan kadar keping biji masing-masing dinyatakan dalam persentase bobot per bobot, dengan menggunakan perhitungan

M0 adalah bobot contoh uji, g; M1 adalah bobot cawan kosong, g; M2 adalah bobot cawan dan

kulit/keping biji,g.

d) Mengukur kadar lemak biji kakao

Prinsip : ekstraksi lemak biji kakao dengan menggunakan pelarut organik non polar (petroleum benzen 40°C sampai dengan 60 °C).

Prosedur pengukuran :

i. siapkan bahan yang hendak diuji, dengan cara disaring dengan saringan bubuk agar memiliki ukuran partikel yang sama;

ρ = m / V

(M2 – M1)

x 100% MO


(43)

ii. siapkan kertas saring untuk membungkus bahan uji dengan dipotong berbentuk lingkaran yang diameternya ± 10 cm. apabila kertas saring merupakan kertas saring halus maka dilapisi 2 lapis kertas saring; iii. masukan kertas saring kedalam cawan kemudian dimasukkan

kedalam oven selama 1 jam dengan suhu 100ºC;

iv. timbang cawan dan kertas saring yang telah dioven, yang sebelumnya didinginkan selama 1 jam;

v. masukan sample ke dalam kertas saring lalu dilipat,masukan kedalam cawan lalu dioven pada suhu 100ºC selama ± 16 jam;

vi. timbang sample dan cawan yang telah dioven,;

vii. persiapkan soxhlet yang hendak digunakan, isi labu didih dengan ± 250 ml petroleum benzene;

viii. masukan sample kedalam soxhlet kemudian nyalakan mesin pemanasnya, pastikan air pendingin tetap mengalir pada saat soxhlet difungsikan;

ix. tunggu proses ekstraksi lemak tersebut selama 16 kali sirkulasi petroleum atau ± selama 8 jam;

x. setelah 8 jam ambil sample kemudian langsung dimasukkan kedalam oven dengan suhu 100ºC selama ± 4 jam;

xi. setelah 4 jam diginkan sample selama ± 1 jam, kemudian ditimbang maka akan didapat nilai kadar lemaknya.

Rumus Perhitungan :

dimana : A adalah berat plate, g;

B adalah berat plate + contoh, g; C adalah berat setelah di oven, g; D adalah berat contoh basah, g; D = B – A

( F – E )

% Kadar Lemak = X 100 % C

E = C – A


(44)

E adalah berat contoh kering, g;

F adalah berat setelah ekstraksi setelah 8 jam, g; G adalah berat lemak, g.

e) Perhitungan jumlah biji kakao per 100 g untuk menentukan mutu biji Prinsip : penimbangan dan penghitungan

Prosedur pengukuran :

i. timbang contoh uji ± 100 g;

ii. hitung jumlah biji yang terdapat dalam 100 g tersebut (x).

iii. hasil uji dinyatakan sesuai dengan jumlah biji yang dihitung dalam 100 g contoh uji, kriteria mutu biji kakao sebagai berikut :

a) jumlah biji (x) sampai dengan 85 biji, dinyatakan AA;

b) jumlah biji (x) dari 86 biji sampai dengan 100 biji, dinyatakan A; c) jumlah biji (x) dari 101 biji sampai dengan 110 biji, dinyatakan B; d) jumlah biji (x) dari 111 biji sampai dengan 120 biji, dinyatakan C; e) jumlah biji (x) melebihi dari 120 biji, dinyatakan S.

f) Melakukan proses penyangraian biji kakao

Proses sangrai dilakukan pada mesin sangrai tipe silinder dengan bahan bakar minyak tanah. Kapasitas antara 10 sampai 40 kg per batch. Sumber panas diperoleh dari pembakaran minyak tanah (kerosene) dengan alat pembakar (burner). Suhu ruang sangrai dapat diatur antara 190-225ºC, namun suhu sangrai yang umum untuk biji kakao adalah antara 105-120 ºC. waktu sangrai berkisar 15 sampai 50 menit tergantung pada jumlah biji kakao yang disangrai dan kadar airnya. Mesin sangrai dilengkapi dengan pendingin tipe bak dengan sistem hisapan udara menggunakan kipas sentrifugal. Waktu pendinginan optimum berkisar antara 8-10 menit dan sudah ckup untuk mencegah biji kakao menjadi gosong (over roasted) (Sri Mulato, et al., 2005). Untuk menidentifikasi suhu selama proses penyangraian maka di pasang termokopel untuk diambil data suhunya.


(45)

g) Melakukan proses pemisahan nib

Proses pemisahan nib dari kulitnya dilakukan secara mekanis dengan menggunakan mesin pemisah kulit dan nib kakao. Mesin ini akan menghasilkan fraksi nib dan fraksi kulit dengan ukuran dan sifat fisik yang berbeda secara bersamaan. Saat membentur silinder pemecah yang berputar, nib akan pecah dengan ukuran yang relatif besar dan seragam. Kulit biji dipisahkan dengan cara hisapan (pneumatic). Meskipun demikian tidak seluruh butiran nib akan dipisahkan dari partikel kulit secara sempurna. Oleh karena itu pada penelitian pendahuluan ini akan dihitung persentase kulit terikut nib maupun persentase nib terikut kulit, dengan metode perbandingan bobot.

h) Melakukan proses pemastaan

Sebelum masuk prose pengempaan pada umumnya nib harus berbentuk pasta atau cairan kental. Hal ini dilakukan agar lemak pada nib dapat keluar hingga mudah untuk dipisahkan pada proses pengempaan. Pada penelitian pendahuluan ini dilakukan dua jenis pemastaan, yaitu pemastaan kasar dan pemastaan halus. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan kombinasi tingkat kekasaran pada proses pengempaan. Proses awal yang dilakukan adalah membuat pasta kasar dengan menggunakan mesin pemasta kasar tipe silinder. Hasilnya akan tercipta pasta kasar dengan kehalusan butiran > 40 mư. Setelah itu sebagian pasta ada yang langsung dikempa tapi sebagian lagi masuk ke dalam penghalus bahan cokelat (refiner) untuk mendapatkan pasta yang lebih halus dengan ukuran partikel < 20

m

ư

. Setelah itu pasta halus masuk ke dalam proses pengempaan.

2. Prosedur Pengempaan Mekanik

Tujuan pengempaan adalah untuk mengetahui jumlah lemak yang dapat keluar dari berbagai kondisi pengempaan yang dilakukan (berat kantung, tingkat kekasaran, dan suhu penyimpanan input di dalam oven sebelum dikempa).


(46)

Langkah-langkah penelitian pengempaan adalah sebagai berikut :

i. masukkan input (nib, pasta kasar, dan pasta halus) ke dalam kantung kain, kemudian timbang dengan berat tertentu (100, 200, 300, 400, 500, 750, dan 1000 g) ;

ii. masukan input yang telah dimasukkan di dalam kain ke dalam oven dengan set suhu tertentu (45ºC, 40ºC, dan suhu lingkungan) selama ± 24 jam;

iii. menghitung luas permukaan sentuh tekan pada komponen mesin pengempa, untuk meghitung gaya hidrolik maksimal yang akan didapat dari proses pengempaan yang akan dilakukan;

iv. mempersiapkan mesin pengempa hidrolik untuk diaktifkan menyiapkan wadah plastik ukur untuk menampung lemak; v. mengaktifkan mesin pengempa sehingga siap dioperasikan; vi. memasukkan kombinasi bahan sebagai input;

vii. mulai melakukan proses pengempaan dengan di mulai dari tingkatan tekanan minimal hingga maksimal dengan waktu tertentu hingga input pada saat di kempa tidak mengeluarkan lemak lagi;

viii. mengukur arus listrik dengan mengunakan amperemeter pada saat setiap kenaikan tingkatan tekanan;

ix. mengukur putaran motor mesin pengempa menggunakan tachometer, setiap kenaikan tingkatan tekanan;

x. mengukur waktu lamanya proses pengempaan yang

berlangsung serta menimbang berat lemak dan bungkil yang dihasilkan;

xi. satu situasi kondisi input pemgempaan dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali.


(47)

F. KONTRUKSI DAN MEKANISME KERJA ALAT 1. Kontruksi Alat

Mesin pengempa lemak kakao secara garis besar terdiri dari unit rangka, unit pengempaan, unit saringan silinder cetakan, unit motor listrik sebagai tenaga penggerak pompa hidrolik, dan unit pompa hidrolik yang disertai dengan tangki oli beserta selang-selang sirkulasi oli dan pressure valve otomatis (Gambar 10).

Unit rangka terbuat dari besi profil U dengan tebal 8 mm, untuk rangka dudukan terbuat pegas hidrolis yang terdiri dari tiga buah pipa dengan diameter 57 mm. Berfungsi sebagai rangka dasar adalah meja besi yang terdiri dari meja dudukan tangki oli serta motor listrik, meja alas proses pengepresan lemak dengan tebal meja 10 mm, dan meja dudukan silinder pengempa.

Unit pengempa terdiri dari silinder piston, piston pengempa, dan piringan pengempa yang semuanya terbuat dari besi baja. Silinder piston berukuran tinggi 380 mm dengan diameter 56 mm. Piston pengempa memiliki tinggi 500 mm dan diameter 45 mm, sedangkan piringan pengempa memiliki tinnggi 30 mm dengan diameter 151 mm. Untuk menaik-turunkan piston pengempa dilengkapi tuas handel.

Pada meja pengempa terdapat alas papan berukuran 545 x 570 x 30 mm dengan bingkai papan berukuran 560 x 315 x 20 mm yang berfungsi untuk mengarahkan lemak hasil pengempaan ke meja penampung lemak yang terbuat dari plat besi dengan tebal 3 mm diameter meja 395 mm. Unit saringan cetakan terdiri dari silinder saringan yang terbuat dari stainless steel berukuran tinggi 175 mm dengan diameter 159 mm. Selain itu terdapat pula cetakan sebagai dasar silinder saringan yang juga terbuat dari stainless steel yang berukuran 19 mm untuk tebalnya sedangkan diameternya 151 mm.


(48)

Gambar 10. Unit motor listrik, pompa hidrolis, dan saringan silinder pada mesin pengempa kakao.

2. Mekanisme Kerja Alat

Setelah motor listrik dihidupkan dengan menekan tombol on-off, maka pompa berputar menghisap dan mengedarkan oli dari tangki ke selang-selang sirkulasi, menuju silinder-piston pengempa, dan kembali lagi ke tangki oli. Tuas handel yang dapat digerakkan ke atas atau ke bawah secara perlahan atau cepat berhubungan dengan pressure valve otomatis. Bila tuas digerakkan ke atas piston pengempa bergerak turun melakukan pengempaan, sedangkan bila tuas digerakkan ke bawah maka piston pengempa bergerak ke atas tidak melakukan pengempaan.


(49)

menggerakkan tuas handel ke arah atas secara perlahan, maka piston pengempa bergerak turun untuk mengempa input. Pengempaan berlangsung selama 7-15 menit. Pengempaan terakhir dilakukan sampai skala jarum indikator pada alat ukur pressure gage mencapai sekitar 200 kg/cm2. Lemak cair yang keluar hasil pengempaan ditampung di tabung ukur.

Sistem penerusan daya mesin pengempa lemak kakao tipe hidrolik ini menggunakan oli. Oli tersebut diedarkan dengan menggunakan selang sirkulasi. Oli-oli tersebut terus bersikulasi dengan adanya pompa hidrolik yang digerakkan oleh motor listrik.


(50)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PENELITIAN PENDAHULUAN 1. Pengukuran Bahan Baku

Biji kakao yang digunakan sebagai bahan baku penelitian ini merupakan biji kakao jenis bulk,yang berasal dari perkebunan Glemor, Banyuwangi untuk biji kakao fermentasi dan perkebunan percobaan PUSLIT Kaliwining, Jember untuk biji kakao non fermentasi. Dikemas dalam karung yang bobot masing-masing karung berbobot 50 kilog.

Pengukuran kriteria mutu mutu yang perlu dilakukan : 1. Pengukuran kadar air, %;

2. Pengukuran kerapatan curah, g/ml; 3. Pengukuran kadar kulit, %;

4. Pengukuran jumlah biji/100 g, biji; 5. Pengukuran kadar lemak, %.

Biji Kakao Fermentasi

a. Pengukuran kadar air

Pengukuran kadar air awal menggunakan alat KAKO TESTER dengan nomor alat II – 068 dan persamaan kurvanya adalah Y = (0.4162 X + 4.6184) / r, dimana nilai r =0.94 . Dari pengukuran yang dilakukan didapat bahwa kadar air awal kakao fermentasi memiliki kadar air sebesar 7.3 % (di alat menunjukkan nilai 6.4).

b. Pengukuran kerapatan curah

Dari data pengukuran diperoleh nilai kerapatan curah rata-rata dari biji kakao fermentasi sebesar 0.453 gr/ ml. Pengukuran dilakukan dengan lima ulangan dengan massa biji tetap yaitu sebesar 200 g (Tabel 1).


(51)

Tabel 1. Data pengukuran kerapatan curah biji kakao fermentasi Massa Biji (g) Volume Biji (ml) Kerapatan Biji (g/ml)

200 435 0.459 200 440 0.454 200 445 0.449 200 440 0.454 200 445 0.449

c. Pengukuran kadar kulit

Dari hasil pengukuran (Tabel 2) didapat nilai kadar kulit rata-rata dari biji kakao yang digunakan sebagai bahan baku adalah 12.74%, nilai ini masih dalam persyaratan mutu biji kakao sebagai bahan baku produk.

Tabel 2. Data pengukuran kadar kulit biji kakao fermentasi. Berat Wadah

(g)

Berat Sampel (g)

Berat Kulit (g)

Kadar Kulit (%)

34.20 100.5 47.40 13.13 34.60 100.5 47.00 12.34 34.10 100.5 46.90 12.74

d. Pengukuran jumlah biji/100 g

Dari hasil uji fermentasi sebelumnya yang didapat nilai sebagian besar merupakan biji fermentasi sempurna, dan diperoleh dari pengukuran jumlah rataan biji per 100 g sebanyak 87.6 biji/100 g (Tabel 3), jumlah biji masih dalam kisaran 86-100 biji maka biji kakao tersebut memiliki mutu A.


(52)

Tabel 3. Data pengukuran jumlah biji/100 g biji kakao fermentasi Sampel Jumlah Biji (Biji)

1 84 2 89 3 91 4 83 5 91 Rataan 87.6

e. Pengukuran kadar lemak

Nilai rataan kadar lemak biji kakao fermentasi dari data perhitungan (Tabel 4) sebesar 52.94%.

Tabel 4. Data pengukuran kadar lemak biji kakao fermentasi

Contoh Berat Plate A (g) Berat Plate + Contoh B (g) Berat Setelah di Oven C (g) Berat Contoh Basah D (g) Berat Contoh Kering E (g) Berat Setelah Ekstraksi 8 Jam F (g) Berat Lemak (g) % Kadar Lemak Biji Kakao Fermentasi 1

59.9154 64.9741 64.6220 5.0587 4.7066 62.1208 2.5012 53.14 %

Biji Kakao Fermentasi 2

62.1482 67.1710 66.8200 5.0228 4.6718 64.3560 2.4640 52.74 %

Biji Kakao Non Fermentasi 1. Pengukuran kadar air

Pengukuran kadar air awal biji kakao non fermentasi menggunakan alat KAKO TESTER. Dari pengukuran yang dilakukan didapat bahwa kadar air awal kakao fermentasi memiliki kadar air sebesar 7.0 % (di alat menunjukkan


(1)

103 Tabel 32. Penentuan mutu khusus biji kakao

Jenis Jumlah biji Kadar biji Kadar biji tidak Kadar biji Kadar biji mutu per 100 gr berkapang terfermentasi Berserangga Pipih

(gr) (%) (%) (%)

(biji/biji) (biji/biji) (biji/biji) (biji/biji)

Biji slaty

Biji putih

kotor/ Biji ungu

ungu muda

Persyaratan Persyaratan Persyaratan Persyaratan Persyaratan Persyaratan (maks) (maks) (maks) (maks) (maks) (maks)

I-M Maks. 85 2 3 10 1 2

I-A 86 - 100 2 3 10 1 2

I-B 101-110 2 3 10 1 2

I-C 111-120 2 3 10 1 2

I - S > 120 2 3 10 1 2

II-AA Maks. 85 4 8 30 2 4

II- A 86 - 100 4 8 30 2 4

II- B 101-110 4 8 30 2 4

II- C 111-120 4 8 30 2 4


(2)

104 Lampiran 3. Pengawasan proses dan kontrol mutu pada pengolahan biji

kakao.

Tabel 33. Pengawasan proses dan kontrol mutu pengolahan biji kakao Tahapan proses Proses kontrol Nilai Kontrol mutu

Bahan baku Jam penerimaan

Berat biji kopi

40-50 kg

Kadar air

55-60 % Ukuran biji B/S/K Kadar pulpa 1-1.8 ml/biji

Kotoran

Biji pecah/potong Fermentasi Tinggi bedengan 0.40 m Biji slatty

Berat biji 300-600 kg Biji ungu penuh Waktu 5 hari Biji ungu separo Suhu Hari 1 35 oC Biji berjamur Suhu Hari 2 37 oC Biji coklat separo Suhu Hari 3 45 oC Biji coklat penuh Suhu Hari 4 45 oC Biji hitam Suhu Hari 5 40 oC Biji mati Pembalikan 1 kali hari 3 PH

Penjemuran Suhu udara 35-37 oC Kadar air 7 – 25 % Rh udara 55-75 % Kotoran

Ketebalan lapisan 3-5 lapis Keseragaman Kadar air 50 – 55 %

Pembalikan 2 kali/jam

Waktu 2 hari

Sanitasi Bersih

Pengering mekanis Suhu udara 50- 55 oC Kadar air Rh udara 35-45 % Kotoran Berat biji kg Keseragaman Kadar air 25 – 55 %

Aliran udara 1500 m3/j

Waktu 45 jam

Pembalikan 2 kali/jam Bahan bakar

Tenaga listrik

Sortasi mamnual Berat Ukuran biji

Waktu Kotoran

Kebersihan Keseragaman

Sortasi makanik Laju umpan Ukuran biji Tenaga listrik Kotoran

Keseragaman

Pengemasan Berat biji kopi Label mutu


(3)

105 Asal biji kopi

Kebersihan Tanggal produksi

Gudang Suhu udara Kadar air

Rh udara Serangga

Ventilasi Jamur

Penerangan Susut berat Sanitasi


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1997. Pedoman Teknologi Kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Jember.

Anonim. 2002a. Rekayasa Alat dan Mesin Pemasta Coklat Sebagai Upaya Diversifikasi Produk Kakao. Laporan Penelitian Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Jember.

Anonim. 2002b. www. chocolatepowder.com.

Anonim. 2003. SNI-01-2323-2003. Pusat Standardisasi dan Akreditasi Nasional. www.kadinss.or.id.

ASKINDO. 1999. Laporan Kongres Asosiasi Kakao Indonesia. Jakarta. 27-28 April 1999.

Beckett, S.T. 2000. The Science of Chocolate. The Royal Society of Chemistry, UK. Direktorat Jendral Perkebunan. 2001. Stastistik Perkebunan Kakao Indonesia,

2000-2001. Indonesia.

Sewet, A. 2004. Optimasi Kondisi Penyangraian Untuk Menghasilkan Bubuk Kakao (Theobroma cacao L.) dengan Sifat Fisik, Kimia, dan Organoleptik Terbaik. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sikumbang, Z., A. Pasaribu, dan M. Sari. 2004. Prospek Pengembangan Industri dan Ekspor Hasil Olahan Kakao Indonesia. Simposium Kakao. Jogjakarta, 4-5 Okt 2004.

Standar Nasional Indonesia. 2002. Standar Nasional Indonesia ”Kakao”,01-2323-2002. Badan Standarisasi Nasional. Departemen Pertanian.


(5)

Mulato, Sri. 2003. Perkembangan Teknologi Pengolahan Kakao di Indonesia. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Jember.

Mulato, Sri. 2003. Beberapa Faktor Berpengaruh Terhadap Efisiensi Pengolahan dan Mutu Biji Kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Jember. Mulato, Sri. 2004. Prospek Produksi Konversi Biji Kakao Menjadi Produk Sekunder.

Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Jember.

Mulato, S, S. Widyotomo, Misnawi, Sahali dan E. Suharyanto. 2004. Petunjuk Teknis Pengolahan Produk Primer dan Sekunder Kakao. Bagian Proyek Penelitian dan Pengembangan Kopi dan Kkakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Jember.

Mulato, S, S. Widyotomo, Misnawi, E. Suharyanto. 2005. Pengolahan Produk Primer dan Sekunder Kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Jember.

Widyotomo, S dan S. Mulato. 2000. Alsin Produksi Lemak dan Bubuk Kakao.Proyek Kawasan Sentra Produksi Dinas Perkebunan Daerah Tingkat I Palu Sulawesi Tengah. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Jember.

Widyotomo, S dan S. Mulato. 2004. Standarisasi Mutu BijI Kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Jember.

Yusianto., S. Budi dan W. Teguh. 1995. Analisis Mutu Kakao Lindak Pada Berbagai Perlakuan Fermentasi. Jurnal Penelitian Kopi dan Kakao. 11(1) : 45-55. Jember.

Yusianto. 2000. Pasca Panen Kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Jember. Indonesia.

Zaenudin dan Sri, Mulato. 2003. Ketersedian Paket Teknologi Pasca Panen Untuk Mendukung Pengembangan Agrobisnis Kakao. Makalah Seminar Sehari Pengembangan Agribisnis Perkebunan, Balikpapan. 28 Juli 2003.


(6)