Saran Pengertian Perjanjian, Asas-Asas Perjanjian dan Syarat Sah

akomodasi dan transportasi terutama pada musim Umrah. Untuk mengatasi hal tersebut, PT Siar Haramain International Wisata membooking hotel dan penerbangan untuk waktu 1 satu tahun. Selain itu, hambatan juga dikarenakan tidak keluarnya visa sehingga dapat mengakibatkan jemaah gagal berangkat serta karena adanya pengurangan kuota Haji Khusus yang dilakukan secara sepihak oleh pemerintah Saudi Arabia.

B. Saran

1. Untuk memberikan kepastian hukum, penulis menyarankan agar biro penyelenggara menuangkan kesepakatan yang telah tercapai dalam bentuk perjanjian tertulis yang menyebutkan hak dan kewajiban masing-masing pihak beserta ketentuan yang telah disepakati, sehingga apabila terjadi cidera janji maka perjanjian tersebut dapat menjadi bukti untuk penuntutan haknya. Namun, apabila biro penyelenggara tetap mempertahankan klausul-klausul baku yang telah ditetapkannya, sebaiknya pula klausul-klausul itu dituangkan ke dalam perjanjian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak disamping dalam bentuk brosur. 2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PT Siar Haramain International Wisata sudah baik dalam menyelenggarakan Ibadah Haji Khusus dan Umrah. Oleh karena itu, penulis menyarankan agar biro penyelenggara tetap mempertahankan dan meningkatkan profesionalitas seluruh staf baik di Indonesia maupun di Saudi Arabia ke arah yang lebih baik lagi. 3. Untuk keperluan penelitian selanjutnya, penulis memberikan saran agar dapat dilakukan penelitian bagi yang berminat terkait Haji dan Umrah yang diselenggarakan oleh travel agent yang secara khusus membahas tentang Universitas Sumatera Utara penerbangan, asuransi bagi jemaah Haji Khusus dan Umrah, serta perjanjian kerja sama yang diadakan oleh biro penyelenggara dengan travel agent di Saudi Arabia. Universitas Sumatera Utara BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

A. Pengertian Perjanjian, Asas-Asas Perjanjian dan Syarat Sah

Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengawali ketentuan yang diatur dalam Bab Kedua Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dengan judul “Tentang Perikatan-Perikatan yang Dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian”, yang menyatakan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Dari rumusan tersebut dapat terlihat bahwa suatu perjanjian adalah: a. Suatu perbuatan; b. Antara sekurangnya dua orang jadi dapat lebih dari dua orang; c. Perbuatan tersebut melahirkan perikatan di antara pihak-pihak yang berjanji tersebut 12 . Perbuatan yang disebutkan dalam rumusan awal Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan bahwa perjanjian hanya mungkin terjadi jika ada suatu perbuatan nyata, baik dalam bentuk ucapan maupun tindakan secara fisik dan tidak hanya dalam bentuk pikiran semata-mata 13 . Oleh karena itu, di dalam suatu perjanjian harus diutarakan kehendak masing-masing pihak. Atas 12 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2006, hlm. 7. 13 Ibid. Universitas Sumatera Utara dasar inilah kemudian dikenal adanya perjanjian konsensuil, perjanjian formil, dan perjanjian riil. Dalam perjanjian konsensuil, kesepakatan yang dicapai oleh para pihak secara lisan, melalui ucapan saja telah mengikat para pihak. Pada Perjanjian formil, kesepakatan atau perjanjian lisan semata-mata antara para pihak yang berjanji belum melahirkan kewajiban pada pihak yang berjanji untuk menyerahkan sesuatu, melakukan atau berbuat sesuatu atau untuk tidak melakukan atau tidak berbuat sesuatu. Sedangkan perjanjian riil harus ada suatu perbuatan nyata yang harus dipenuhi agar perjanjian yang dibuat tersebut mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian. Definisi perjanjian selain dirumuskan dalam Pasal 1313 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, beberapa ahli juga memberikan definisi mengenai perjanjian. Subekti memberikan definisi “perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji pada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”. KRMT Tirtodiningrat memberikan definisi “perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat di antara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh undang-undang” 14 . Terhadap pengertian perjanjian yang diberikan oleh Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menurut Setiawan, rumusan Pasal 1313 tersebut selain tidak lengkap juga sangat luas. Tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja. Sangat luas karena dengan digunakannya perkataan 14 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian “Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial”, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2013, hlm. 15-16. Universitas Sumatera Utara “perbuatan” tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan itu, menurut Setiawan perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai definisi tersebut ialah: a. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum; b. Menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; c. Sehingga perumusannya menjadi, “perjanjian adalah perbuatan hukum, di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih” 15 . Handri Raharjo mengungkapkan dalam bukunya “Hukum Perjanjian di Indonesia”, ada beberapa kelemahan dari pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 BW yaitu merupakan perbuatan hal ini bermakna terlalu luas, yang mengikatkan dirinya hanya satu pihak sehingga bisa disebut perjanjian sepihak dan tujuannya tidak jelas. Penyempurnaan terhadap definisi perjanjian Pasal 1313 KUHPerdata menurut Handri Raharjo adalah sebagai berikut: Suatu hubungan hukum dibidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan di antara mereka para pihaksubjek hukum saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum 16 . Pengertian perjanjian yang dikemukakan para ahli tersebut melengkapi kekurangan definisi Pasal 1313 KUHPerdata, sehingga secara lengkap pengertian perjanjian adalah perbuatan hukum, di mana satu orang atau lebih mengikatkan 15 Ibid, hlm. 16. 16 Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Yustisia, 2009, hlm. 42. Universitas Sumatera Utara dirinya terhadap satu orang atau lebih 17 . Definisi Pasal 1313 KUHPerdata tersebut mengalami perubahan dalam NBW sebagaimana diatur dalam Buku 6 Bab 5 Pasal 6: 213 yaitu “a contract in the sense of this title is a multilateral juridical act whereby one or more parties assume an obligation towards one or more other parties”. Menurut NBW kontrak merupakan perbuatan hukum yang bertimbal balik, di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya 18 . Dalam perundang-undangan Indonesia, ada beberapa istilah yang digunakan secara berdampingan dengan perjanjian yaitu perikatan dan memorandum of understanding MoU. Pada hakikatnya, antara ketiganya memiliki perbedaan. Perikatan dan perjanjian menunjuk pada dua hal yang berbeda. Perikatan adalah suatu istilah atau pernyataan yang bersifat abstrak, yang menunjuk pada hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua atau lebih orang atau pihak, di mana hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban kepada salah satu pihak yang terlibat dalam hubungan hukum tersebut 19 . Perjanjian merupakan sumber dari perikatan. Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan dapat kita temui landasannya pada ketentuan Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa“Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian baik karena undang-undang”. 17 Agus Yudha Hernoko, Loc.Cit. 18 Ibid. 19 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit, hlm. 1. Universitas Sumatera Utara Dengan rumusan yang demikian, KUHPerdata hendak menyatakan bahwa diluar perjanjian dan karena hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang tidak ada perikatan. Perikatan melahirkan hak dan kewajiban. Dengan demikian, perjanjian juga akan melahirkan hak dan kewajiban bagi pihak yang membuat perjanjian tersebut 20 . Memory of understanding merupakan perkembangan baru dalam aspek hukum dan ekonomi yang baru dikenal. Menurut pendapat Munir Faudi, memory of understanding merupakan terjemahan bahasa Indonesia yang paling pas dan paling dekat dengan nota kesepakatan. Pada hakikatnya memory of understanding adalah suatu perjanjian pendahuluan yang nantinya akan diikuti dan dijabarkan dalam perjanjian lain yang mengaturnya secara lebih detail. Oleh karena itu, dalam memory of understanding hanya berisikan hal-hal yang pokok saja 21 . Kontrak atau perjanjian merupakan suatu peristiwa hukum di mana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Kontrak atau perjanjian inilah yang melahirkan perikatan seperti yang telah disinggung sebelumnya. Dalam hukum Islam, inilah yang disebut dengan akad. Jika dikaitkan dengan sumber perikatan dalam KUHPerdata, maka letak akad adalah pada perikatan yang lahir dari perjanjian sebagaimana secara lengkap dapat diuraikan sebagai berikut: Perikatan bersumber dari perjanjian dan undang-undang, yang bersumber dari undang-undang dibagi dua yaitu dari undang-undang saja dan dari undang-undang karena perbuatan manusia. Selanjutnya perikatan yang lahir 20 Ibid, hlm. 2. 21 Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong, Hukum dalam Ekonomi, Jakarta, PT Grasindo, 2007, hlm. 37. Universitas Sumatera Utara dari undang-undnag karena perbuatan manusia dapat dibagi dua, yaitu perbuatan yang sesuai hukum dan perbuatan yang melanggar hukum 22 . Berdasarkan pengertian-pengertian perjanjian yang telah dipaparkan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum di mana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melaksanakan suatu prestasi yang telah disepakati yang melahirkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak. 2. Asas-Asas Perjanjian Di dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dikenal lima asas penting, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda asas kepastian hukum, asas iktikad baik dan asas kepribadian. a. Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: 1 Membuat atau tidak membuat perjanjian; 2 Mengadakan perjanjian dengan siapa pun; 3 Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya; 4 Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan 23 . Lahirnya asas kebebasan berkontrak dilatarbelakangi oleh paham individualisme yang lahir pada zaman Yunani dan berkembang pesat pada zaman 22 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Bernuansa Islam, Jakarta, Rajawali Pers, 2013. hlm. 6. 23 Salim H.S., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2004, hlm. 9. Universitas Sumatera Utara renaisance melalui ajaran-ajaran Hugo de Groth, Thomas Hobbes, John Locke dan Rosseau. Menurut paham individualisme, orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendakinya. Pada hukum kontrak, asas ini diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak” 24 . Meskipun para pihak memiliki kebebasan dalam berkontrak, kebebasan tersebut bukanlah sebebas-bebasnya, namun kebebasan yang tetap dibatasi. Artinya, para pihak bebas membuat kontrak perjanjian dan mengatur sendiri isi kontrak tersebut, sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1 memenuhi syarat sebagai suatu kontrak; 2 tidak dilarang oleh undang-undang; 3 sesuai dengan kebiasaan yang berlaku; 4 sepanjang kontrak tersebut dilaksanakan dengan iktikad baik 25 . Dengan kata lain, asas kebebasan berkontrak ini tetap dibatasi oleh Pasal 1337 KUHPerdata yang secara tegas menyatakan “suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. b. Asas Konsensualisme Perjanjian terbentuk karena adanya perjumpaan kehendak consensus dari pihak-pihak. Perjanjian pada pokoknya dapat dibuat bebas tidak terikat bentuk dan tercapai tidak secara formil, tetapi cukup melalui konsensus belaka 26 . Asas 24 Ibid. 25 Munir Fuady, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 30. 26 Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 2006, hlm. 95. Universitas Sumatera Utara konsensualisme dapat dilihat dan disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat 1 KUHPerdata. Suatu kontrak sudah sah dan mengikat ketika tercapai kata sepakat, tentunya selama syarat-syarat sahnya kontrak perjanjian lainnya sudah dipenuhi. Jadi, dengan adanya kata sepakat, kontrak perjanjian tersebut pada prinsipnya sudah mengikat dan sudah mempunyai akibat hukum, sehingga mulai saat itu juga sudah timbul hak dan kewajiban di antara para pihak. Dengan demikian, pada prinsipnya syarat tertulis tidak diwajibkan untuk suatu kontrak. Kontrak lisan pun sebenarnya sah-sah saja menurut hukum 27 . c. Asas Pacta Sunt Servanda Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda adalah asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak perjanjian yang dibuat oleh para pihak sebagaimana layaknya sebuah undang- undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak 28 . Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang berbunyi “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”. d. Asas Iktikad Baik Pasal 1338 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa “Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Rumusan 27 Munir Fuady, Loc.Cit. 28 Salim H.S, Loc.Cit. Universitas Sumatera Utara tersebut memberikan arti pada kita semua bahwa sebagai sesuatu yang disepakati dan disetujui oleh para pihak, pelaksanaan prestasi dalam tiap-tiap perjanjian harus dihormati sepenuhnya, sesuai dengan kehendak para pihak pada saat perjanjian ditutup. Hal yang mendasari keberadaan Pasal 1338 KUHPerdata dengan rumusan iktikad baik adalah bahwa suatu perjanjian yang dibuat hendaknya dari sejak perjanjian ditutup, perjanjian tersebut sama sekali tidak dimaksudkan untuk merugikan kepentingan debitur maupun kreditur, maupun pihak lain atau pihak ketiga lainnya di luar perjanjian. Hal mengenai iktikad baik ini sebenarnya telah ditemukan dalam Pasal 1235 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, termasuk kewajiban untuk menyerahkan barang yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang kepala rumah tangga yang baik, sampai saat penyerahan. Luas tidaknya kewajiban yang terakhir ini tergantung pada perjanjian tertentu, akibatnya akan ditunjuk dalam bab-bab yang bersangkutan 29 . Mengingat iktikad baik dalam perjanjian merupakan doktrin atau asas yang berasal dari hukum Romawi, iktikad baik dalam hukum Romawi mengacu kepada tiga bentuk perilaku para pihak dalam kontrak perjanjian. Pertama, para pihak harus memegang teguh janji atau perkataannya. Kedua, para pihak tidak boleh mengambil keuntungan dengan tindakan yang menyesatkan terhadap salah satu pihak. Ketiga, para pihak mematuhi kewajibannya dan berperilaku sebagai orang terhormat dan jujur, walaupun kewajiban tersebut tidak secara tegas 29 Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip Keterbukaan Aanvullend Recht dalam Hukum Perdata, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2006, hlm. 283-284. Universitas Sumatera Utara diperjanjikan 30 . Wirjono Prodjodikoro membagi iktikad baik menjadi dua macam, yaitu: 1 Iktikad baik pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan hukum. Iktikad baik di sini biasanya berupa perkiraan atau anggapan seseorang bahwa syarat-syarat yang diperlukan bagi dimulai hubungan hukum telah terpenuhi. Dalam konteks ini hukum memberikan perlindungan kepada pihak yang beriktikad baik, sedang bagi pihak yang beriktikad tidak baik te kwader trouw harus bertanggungjawab dan menanggung risiko. Iktikad baik semacam ini dapat disimak dari ketentuan Pasal 1977 ayat 1 KUHPerdata dan Pasal 1963 KUHPerdata, terkait dengan salah satu syarat untuk memperoleh hak milik atas barang melalui daluarsa. Iktikad baik ini bersifat subjektif dan statis. 2 Iktikad baik pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang termaktub dalam hubungan hukum itu. Pengertian iktikad baik semacam ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata adalah bersifat objektif dan dinamis mengikuti situasi sekitar perbuatan hukumnya. Titik berat iktikad baik terletak pada tindakan yang akan dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu tindakan sebagai pelaksanaan sesuatu hal 31 . 3. Syarat Sah Perjanjian Di zaman sekarang, dengan asas kebebasan berkontrak consensual, setiap orang dengan bebas membuat perjanjian kontrak. Asas ini menetapkan para pihak bebas untuk membuat perjanjian apa saja, baik yang sudah ada maupun yang belum ada pengaturannya sepanjang perjanjian itu tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Sebuah perjanjian yang baik semestinya memberikan rasa aman dan menguntungkan masing-masing pihak. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang wajib diperhatikan sebelum menandatangani sebuah perjanjian yaitu: a. Memahami syarat-syarat pokok sahnya sebuah perjanjian; 30 Ridwan Khairandy, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Jakarta, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004, hlm. 132. 31 Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, hlm. 137. Universitas Sumatera Utara b. Substansi pasal-pasal yang diatur di dalamnya jelas dan konkrit; c. Mengikuti prosedurtahapan-tahapan dalam menyusun kontrak 32 . Menurut Asser dalam perjanjian terdiri dari bagian inti essensialia dan bagian bukan inti naturalia dan accidentalia yakni sebagai berikut: a. Unsur Essensialia Unsur yang mutlak harus ada. Unsur ini sangat erat berkaitan dengan syarat sahnya perjanjian Pasal 1320 KUHPerdata dan untuk mengetahui adatidaknya perjanjian serta untuk mengetahui jenis perjanjiannya. b. Unsur Naturalia Unsur yang lazimnya adasifat bawaan perjanjian, sehingga secara diam- diam melekat pada perjanjian. c. Unsur Accidentalia Unsur yang harus tegas diperjanjikan. Tidak semua perjanjian yang dibuat oleh setiap orang sah dalam pandangan hukum. Agar suatu perjanjian oleh hukum dianggap sah sehingga mengikat kedua belah pihak, maka perjanjian tersebut haruslah memenuhi syarat- syarat tertentu. Syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut dapat digolongkan sebagai berikut: a. Syarat sah yang umum, terdiri dari: 1 Syarat sah umum berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata yang terdiri dari: a Kesepakatan kehendak; 32 Lukman Santoso, Hukum Perjanjian Kontrak, Yogyakarta, Cakrawala, 2012, hlm. 26. Universitas Sumatera Utara b Wenang berbuat; c Perihal tertentu; d Kausa yang legal. 2 Syarat sah umum berdasarkan Pasal 1338 dan 1339 KUHPerdata yang terdiri dari: a Syarat iktikad baik; b Syarat sesuai dengan kebiasaan; c Syarat sesuai dengan kepatutan; d Syarat sesuai dengan kepentingan umum. b. Syarat sah yang khusus, yang terdiri dari: 1 Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu; 2 Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu; 3 Syarat akta pejabat tertentu yang bukan notaris untuk kontrak- kontrak tertentu; 4 Syarat izin dari yang berwenang 33 . Ke empat syarat yang disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata tersebut, dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang digolongkan ke dalam: a. Dua syarat pokok yang pertama 1 dan 2 yang menyangkut subjek yang mengadakan perjanjian disebut syarat subjektif; b. Dua syarat pokok yang terakhir 3 dan 4 yang menyangkut objek perjanjian disebut syarat objektif. Tidak terpenuhinya salah satu dari ke empat syarat tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subjektif, maupun batal demi hukum dalam hal tidak terpenuhinya unsur objektif dengan pengertian bahwa pelaksanaan perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan. 33 Munir Fuady, Op.Cit, hlm. 33-34. Universitas Sumatera Utara a. Kesepakatan Bebas Kesepakatan bebas di antara para pihak pada prinsipnya adalah pengejawantahan dari asas konsensualitas. Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan dan siapa yang harus melaksanakan 34 . Kesepakatan mengandung pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendak masing-masing untuk menutup suatu perjanjian atau pernyataan pihak yang satu “cocok” atau bersesuaian dengan pernyataan pihak yang lain. Pernyataan kehendak tidak harus dinyatakan secara tegas namun dapat dengan tingkah laku atau hal-hal lain yang mengungkapkan pernyataan kehendak para pihak. Kesepakatan yang merupakan pernyataan kehendak para pihak dibentuk oleh dua unsur, yaitu unsur penawaran dan penerimaan. Penawaran aanbod, offerte, offer diartikan sebagai pernyataan kehendak yang mengandung usul untuk mengadakan perjanjian. Sedangkan penerimaan aanvarding, acceptatie, acceptance merupakan pernyataan setuju dari pihak lain yang ditawari 35 . Perjanjian yang lahir dari kesepakatan karena bertemunya penawaran dan penerimaan, pada kondisi normal adalah bersesuaian antara kehendak dan pernyataan. Seyogyanya, kesepakatan kedua belah pihak dalam suatu perjanjian 34 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit, hlm. 95. 35 Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, hlm. 162. Universitas Sumatera Utara harus diberikan secara bebas, dalam arti bahwa dalam memberikan kesepakatan itu tidak ada unsur paksaan dwang, kekhilafan dwaling dan penipuan bedrog. Perjanjian yang proses pembentukannya tersebut dipengaruhi oleh adanya unsur cacat kehendak mempunyai akibat hukum dapat dibatalkan vernietigbaar. b. Kecakapan Setiap subjek hukum yang berwenang melakukan tindakan hukum, memiliki kewenangan kapasitas untuk melakukan tindakan hukum menjadi pengemban hak dan kewajiban hukum. Untuk terbentuknya suatu hubungan hukum disyaratkan ada atau dilakukannya suatu tindakan hukum yang “menghidupkan” kewenangan tersebut. Siapa yang dapat dan boleh bertindak serta mengikatkan diri adalah mereka yang cakap bertindak handelingsbekwaam dan mampu melakukansuatu tindakan yang memiliki konsekuensi hukum 36 . Untuk mengadakan suatu perjanjian, para pihak haruslah cakap, namun dapat saja terjadi bahwa para pihak atau salah satu pihak yang mengadakan perjanjian adalah tidak cakap menurut hukum. Cakap hukum adalah orang yang sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan perbuatan hukum 37 . Seseorang oleh hukum dianggap tidak cakap untuk melakukan perjanjian jika orang tersebut belum berumur 21 tahun. Sebaliknya setiap orang yang berumur 21 tahun ke atas, oleh 36 Herlien Budiono, Op.Cit, hlm. 110. 37 A. Patra M. Zen dan Daniel Hutagalung, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia:Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum, Jakarta, YLBHI, 2007, hlm. 133. Universitas Sumatera Utara hukum dianggap cakap, kecuali karena sesuatu hal dia ditaruh dibawah pengampuan seperti gelap mata, dungu, sakit ingatan atau pemboros 38 . Dengan demikian, dapat disimpulkan, seseorang dianggap tidak cakap apabila: 1 Belum berusia 21 tahun dan belum menikah; 2 Berusia 21 tahun tetapi gelap mata, sakit ingatan, dungu atau boros. Sementara itu, KUHPerdata menentukan bahwa tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah: 1 Orang-orang yang belum dewasa; 2 Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan; 3 Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang- undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu 39 . Khusus terhadap poin c ini, sekarang tidak berlaku lagi dengan keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 tahun 1963 dan sejak diundangkannya Undang-Undang No. 1 tahun 1974, maka sejak saat itu hak perempuan dan laki- laki disamakan, dan perempuan dapat bertindak dan berbuat dalam hukum. Berkaitan dengan kecakapan ini, konsekuensi dari perjanjian yang dibuat oleh mereka yang tidak cakap adalah dapat dibatalkan. Dalam arti, perjanjian masih dapat terus berlangsung selama tidak dibatalkan oleh salah satu pihak. c. Suatu Hal Tertentu Adapun yang dimaksud suatu hal tertentu een bepaald onderwerp dalam Pasal 1320 KUHPerdata syarat ke-3 adalah prestasi yang menjadi pokok 38 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2008, hlm. 29. 39 Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Universitas Sumatera Utara perjanjian yang bersangkutan. Mengenai suatu hal tertentu ini, juga diartikan bahwa apa yang diperjanjikan harus jelas dan terinci jenis, jumlah dan harganya atau keterangan terhadap objek sehingga diketahuilah hak dan kewajiban tiap-tiap pihak sehingga tidak akan terjadi perselisihan dikemudian hari 40 . Selain itu, hal tersebut juga untuk menentukan sifat dan luasnya pernyataan- pernyataan yang menjadi kewajiban para pihak. Pernyataan-pernyataan yang tidak dapat ditentukan sifat dan luasnya kewajiban para pihak adalah tidak mengikat batal demi hukum. Lebih lanjut mengenai suatu hal tertentu ini dapat dirujuk dari substansi beberapa pasal di dalam KUHPerdata yaitu sebagai berikut: 1 Pasal 1332 KUHPerdata yang menyatakan “Hanya barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok perjanjian”. 2 Pasal 1333 KUPerdata yang berbunyi “Suatu pejanjian harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung”. 3 Pasal 1334 KUHPerdata yang menegaskan bahwa: Barang yang baru ada pada waktu yang akan datang, dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Tetapi tidaklah diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka, ataupun untuk meminta diperjanjikan sesuatu hal mengenai warisan itu, sekalipun dengan sepakatnya orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian itu, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 169, 176 dan 178. 40 Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong, Op.Cit, hlm. 31. Universitas Sumatera Utara Substansi pasal-pasal tersebut memberikan pedoman bahwa dalam suatu kontrak harus dipenuhi hal atau objek tertentu. Hal ini dimaksudkan agar sifat dan luasnya kewajiban para pihak prestasi dapat dilaksanakan oleh para pihak. Bahwa kata “tertentu” tidak harus dalam gramatikal sempit tetapi juga dimungkinkan untuk objek tertentu tersebut sekedar ditentukan jenis, sedang mengenai jumlah dapat ditentukan kemudian hari 41 . d. Kausa yang Diperbolehkan Terkait dengan pengertian “kausa yang diperbolehkan” atau ada yang menerjemahkan “sebab yang halal” eene geoorloofde oorzaak beberapa sarjana mengajukan pemikirannya, antara lain H.F.A. Vollmar dan Wirjono Prodjodikoro, yang memberikan pengertian “sebab kuasa sebagai maksud atau tujuan dari perjanjian”. Sedangkan Subekti menyatakan bahwa “sebab adalah isi perjanjian itu sendiri”. Dengan demikian kausa merupakan prestasi dan kontra prestasi yang saling dipertukarkan oleh para pihak 42 . Pasal 1335 KUHPerdata menegaskan bahwa, “Suatu perjanjian yang dibuat tanpa sebab atau dibuat dengan sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan”. Sebab yang diperbolehkan maksudnya adalah bahwa apa yang hendak dicapai para pihak dalam perjanjian tersebut harus disertai iktikad baik dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan. Selanjutnya dalam Pasal 1337 KUHPerdata ditegaskan pula bahwa, “Suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. 41 Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, hlm. 192. 42 Ibid, hlm. 194. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan Pasal 1335 dan 1337 KUHPerdata tersebut, suatu perjanjian tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat batal, apabila perjanjian tersebut: 1 Tidak mempunyai kausa; 2 Kausanya palsu; 3 Kausanya bertentangan dengan undang-undang; 4 Kausanya bertentangan dengan kesusilaan; 5 Kausanya bertentangan dengan ketertiban umum 43 . B. Teori-Teori tentang Lahirnya Perjanjian dan Jenis-Jenis Perjanjian 1. Teori-Teori tentang Lahirnya Perjanjian Mariam Darus menyatakan ada beberapa ajaran tentang saat terjadinya perjanjian antara para pihak, yaitu: a. Teori Penawaran dan penerimaan offer and acceptance merupakan teori dasar dari adanya kesepakatan kehendak adalah teori “penawaran dan penerimaan”. Maksudnya adalah bahwa pada prinsipnya suatu kesepakatan kehendak baru terjadi setelah adanya penawaran offer dari salah satu pihak dan diikuti dengan penerimaan lamaran acceptance oleh pihak lain dalam kontrak tersebut. Teori ini diakui secara umum di setiap sistem hukum, sungguhpun pengembangan dari teori ini banyak dilakukan di negara-negara yang menganut sistem hukum common law; b. Teori kehendak wilstheorie mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dengan menuliskan surat; 43 Ibid, hlm. 196. Universitas Sumatera Utara c. Teori pengiriman verzendtheori mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran; d. Teori pengetahuan vernemingstheorie mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima; e. Teori kepercayaan vertrouwenstheorie mengajarkan bahwa kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan 44 . Dalam buku Salim H.S, selain teori-teori yang telah disebutkan di atas terdapat teori lain yaitu: a. Teori Pernyataan uithingsthorie Menurut teori pernyataan, kesepakatan toesteming terjadi pada saat pihak yang menerima penawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu. Jadi, dilihat dari pihak yang menerima, yaitu pada saat baru menjatuhkan ballpoint untuk menyatakan menerima, kesepakatan sudah terjadi. Kelemahan teori ini adalah sangat teoritis karena dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis; b. Teori Penerimaan ontvangstheorie Menurut teori penerimaan bahwa toesteming terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan; 44 Sukarmi, Cyber Law: Kontrak Elektronik dalam Bayang-Bayang Pelaku Usaha, Bandung, Pustaka Sutra, 2008, hlm. 120. Universitas Sumatera Utara c. Teori Geobjectiveerde bernemingstheorie Teori ini diungkapkan oleh Pitlo, yang menentukan bahwa saat si pengirim surat redelijkerwijs, dapat menganggap si alamat telah mengatahui isi surat itu 45 . Selain itu, juga masih dikenal teori lain yaitu: a. Teori Kotak Pos Teori kotak pos yakni terjadinya kesepakatan adalah pada saat dimasukkannya jawaban penerimaan atas penawaran ke dalam kotak pos. Hal ini tidak diterangkan lebih lanjut karena esensinya sama dengan teori pengiriman yaitu surat tersebut sudah lepas dari kekuasaan pihak yang menerima penawaran; b. Teori Dugaan Teori dugaan yaitu terjadinya kesepakatan pada saat pihak yang menerima penawaran sudah menduga bahwa suratnya yang berisi penerimaan penawaran sudah diterima oleh pihak yang menawarkan 46 . Menurut peneliti, dari semua teori lahirnya perjanjian tersebut, teori yang paling relevan dan ideal ialah teori penawaran dan penerimaan offer and acceptance. Hal ini dikarenakan pada teori ini jelas tampak bahwa perjanjian terjadi secara praktis yaitu ketika tawaran pihak I diterima oleh pihak II sehingga menunjukkan kesepakatan telah terjadi tanpa direka-reka. 45 Salim H.S, Hukum Kontrak: Teori Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta, Sinar Grafika, 2003, hlm. 40-41. 46 Ibid. Universitas Sumatera Utara

2. Jenis-Jenis Perjanjian

Jenis-jenis perjanjian adalah sebagai berikut: a. Perjanjian Menurut Sumbernya Perjanjian berdasarkan sumber hukumnya merupakan penggolongan perjanjian yang didasarkan pada tempat ditemukannya perjanjian. Sudikno Mertokusumo menggolongkan jenis perjanjian berdasarkan sumber hukumnya menjadi lima macam, yaitu perjanjian yang sumbernya berasal dari hukum keluarga, kebendaan, perjanjian obligatoir, perjanjian yang bersumber dari hukum acara, dan perjanjian yang bersumber dari hukum publik 47 . b. Perjanjian Menurut Namanya Hal ini didasarkan kepada Pasal 1319 KUHPerdata dan artikel 1355 NBW yang menyebutkan bahwa ada dua macam perjanjian menurut namanya yaitu perjanjian nominaat bernama dan perjanjian innominaat tidak bernama. c. Perjanjian Timbal Balik Penggolongan ini dilihat dari hak dan kewajiban para pihak. Perjanjian timbal balik ini dibagi menjadi dua macam: 1 Perjanjian Timbal Balik Tidak Sempurna 47 Eka Astri Maerisa, Panduan Praktis Membuat Surat-Surat Bisnis dan Perjanjian, Jakarta, Visimedia, 2013, hlm. 21-22. Universitas Sumatera Utara Perjanjian ini senantiasa menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak. Dalam perjanjian ini pihak yang satu memenuhi kewajiban yang tidak seimbang dengan kewajiban pihak lainnya 48 ; 1 Perjanjian Sepihak Perjanjian yang hanya menimbulkan kewajiban ada pada satu pihak, sedangkan menimbulkan hak bagi pihak lainnya. d. Perjanjian Cuma-Cuma atau Perjanjian atas Beban Penggolongan ini didasarkan pada keuntungan-keuntungan salah satu pihak dan adanya prestasi dari pihak lainnya. Perjanjian Cuma-Cuma adalah suatu perjanjian ketika pihak yang satu memberikan keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya. Sedangkan perjanjian atas beban adalah perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu untuk melakukan prestasi berkaitan langsung dengan prestasi yang harus dilakukan oleh pihak lain 49 . e. Perjanjian Berdasarkan Sifatnya Didasarkan pada hak kebendaan dan kewajiban yang ditimbulkan dari adanya perjanjian tersebut. Perjanjian berdasarkan sifatnya dibagi menjadi dua macam yaitu perjanjian kebendaan dan perjanjian obligatoir. f. Perjanjian Pokok dan Tambahan Perjanjian pokok merupakan perjanjian utama baik kepada individu maupun badan hukum. Perjanjian tambahan accesoir adalah perjanjian yang timbul karena adanya perjanjian pokok. 48 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Modul Hukum Perdata: Termasuk Asas-asas Hukum Perdata, Jakarta, PT Pradnya Paramita, 2004, hlm. 207. 49 Eka Astri Maerisa, Op.Cit. hlm. 23. Universitas Sumatera Utara g. Perjanjian Berdasarkan Aspek Larangannya Penggolongan perjanjian ini merupakan penggolongan perjanjian berdasarkan aspek tidak diperbolehkannya para pihak untuk membuat perjanjian yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. h. Berdasarkan Kesepakatan Perjanjian berdasarkan kesepakatan dibagi dua yaitu: 1 Perjanjian Konsensual, yaitu perjanjian yang tercipta dengan tercapainya persetujuan kehendak pihak-pihak; 2 Perjanjian Rieel, yaitu perjanjian yang baru tercipta apabila disamping persetujuan kehendak antara pihak-pihak secara obligatoir, diikuti pula dengan penyerahan barang levering 50 . i. Perjanjian Dilihat dari Segi Hasil Perjanjian Perjanjian dilihat dari segi hasil perjanjian terbagi dua yaitu: 1 Perjanjian Comutatif, yaitu perjanjian di mana terdapat keuntungan yang dinikmati oleh yang berhak atau atas nama yang menjanjikan prestasi itu; 2 Perjanjian Aleatoir, yaitu perjanjian dalam mana terhadap suatu prestasi yang dijanjikan dengan atau tanpa syarat, terdapat hanya suatu keuntungan dengan syarat, sedangkan dipenuhinya syarat itu tidak bergantung pada pokok-pokok yang bersangkutan, sedangkan perjanjian-perjanjian itu diadakan justru berhubungan dengan kemungkinan dipenuhinya syarat itu 51 . j. Dilihat dari Segi Pengaturannya Dari segi pengaturannya, perjanjian dapat dibedakan menjadi dua yaitu: 1 Perjanjian yang lahir dari undang-undang; 2 Pejanjian yang lahir dari persetujuan. 50 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Op.Cit, hlm. 208. 51 Ibid. Universitas Sumatera Utara

C. Berakhirnya Perjanjian