Data Wawancara SUBYEK 1 Manihuruk

meter persegi. Pada wawancara kedua ini posisi duduk Manihuruk terlihat lebih dekat, sedikit menyamping ke sebelah kanan menghadap peneliti. Terlihat Manihuruk menggunakan kaos singlet berwarna putih dan celana kain berwarna abu-abu. Selama wawancara, sesekali terlihat Manihuruk mengeryitkan keningnya seraya mengingat-ingat, dan terasa suasana menjadi hening beberapa saat. Ketika peneliti mengajukan pertanyaan mengenai anak laki-lakinya yang telah meninggal dunia pada usia enam bulan, mata Manihuruk terlihat berkaca-kaca, dan intonasi suaranya terdengar berubah menjadi rendah. Secara keseluruhan, wawancara kedua berlangsung selama 45 menit.

3. Data Wawancara

a. Internalisasi nilai-nilai 3H dalam diri Manihuruk sebagai seorang “bapak” Batak Toba yang napunu Sepanjang hidupnya, Manihuruk tinggal di daerah Samosir, yang merupakan daerah asal Batak Toba. Manihuruk juga memahami, dan hidup dalam adat istiadat Batak Toba. Hal ini terlihat dari internalisasi sistem kekerabatan dan nilai- nilai 3H hagabeon, hamoraon, hasangapon yang terbentuk dalam budaya masyarakat Batak Toba. Sistem kekerabatan Batak Toba dikenal dengan istilah Dalihan Na Tolu, yang terdiri dari 3 unsur yaitu hula-hula, boru, dongan sabutuha Gultom, 1992. Manihuruk memahami pentingnya kehadiran hula-hula keluarga dari pihak istri, boru saudara perempuan, dan dongan sabutuha temankerabat satu marga. Hula-hula itu pihak istri yang kita ambil, boru itu saudara perempuan, dongan sabutuha teman semarga. Universitas Sumatera Utara S1.W1.b.116-119.h.4 Di dalam sistem kekerabatan adat Batak Dalihan Na Tolu terbentuklah nilai-nilai 3H hagabeon, hamoraon, hasangapon Gultom, 1992. Nilai pertama dari 3H, yaitu hagabeon. Menurut Manihuruk, hagabeon nilai pertama dari nilai 3H hanya dapat dicapai apabila memiliki anak laki-laki dan perempuan. Kalau hagabeon itu sudah punya anak laki-laki dan perempuan yang gabe... S1.W2.b.357-359.h.13 Kalau cuma punya anak perempuan saja belum dibilang hagabeon,... S1.W1.b.011-013.h.1 Selanjutnya dalam pemahaman nilai hagabeon ini, Manihuruk menegaskan bahwa apabila hanya memiliki anak perempuan seseorang bisa memiliki hagabeon namun tetap ada yang kurang karena tidak ada anak laki-lakinya. Kalau cuma anak perempuan bisa tetap dia dibilang gabe, tapi... tetap ada yang kurang... karena, ga’ ada anak laki-lakinya. S1.W2.b.390-393.h.14 Harahap Siahaan dalam Irmawati, 2007 menyatakan bahwa nilai hagabeon merupakan nilai yang paling penting karena dalam nilai hagabeon terungkap bahwa orang Batak Toba sangat mendambakan anak, terlebih lagi kehadiran anak laki-laki karena anak laki-laki adalah penerus marga. Manihuruk pun juga membutuhkan anak laki-laki dalam hidupnya sebagai orang Batak karena anak laki-laki adalah sebagai siboan goar pembawa nama dan ahli waris hartanya. Anak laki-laki itu sebagai siboan goar pembawa nama bapaknya. S1.W1.b.044-045.h.2 ...Kalaupun ada warisan hak anak laki-lakinya itu. Universitas Sumatera Utara S1.W2.b.484-485.h.17 Hal inilah yang membuat Manihuruk terus mencoba mendapatkan anak laki- laki hingga anak keempatnya adalah anak laki-laki, namun nasib berkata lain karena anak laki-lakinya meninggal ketika berusia sekitar enam bulan. Manihuruk masih terus berusaha untuk mendapatkan anak laki-laki sampai anak ketujuhnya pun masih tetap anak perempuan dan Manihuruk pun disebut sebagai “bapak” Batak Toba yang napunu karena tidak ada lagi yang meneruskan marganya. Hal ini sesuai dengan pendapat Gultom, 1992 bahwa dalam masyarakat Batak, jika seseorang tidak memiliki anak laki-laki maka akan dianggap sebagai napunu, yang artinya generasinya sudah punah dan tidak berkelanjutan lagi. Nilai kedua dari nilai 3 H, yaitu hamoraon. Manihuruk juga memahami nilai hamoraon. Menurut Manihuruk seseorang dikatakan memiliki hamoraon apabila sudah mempunyai cucu dari anak laki-laki dan juga cucu dari anak perempuan. Hamoraon maksudnya...kalau punya cucu dari anak laki-laki dan cucu dari anak perempuan juga. Itulah hamoraon itu. S1.W2.b.408-419.h.15 Manihuruk telah menginternalisasikan nilai hamoraon ini sebagai bentuk dari kekayaan anak. Menurutnya, anak adalah kekayaannya dan sebagai wujud dari kekayaannya itulah maka Manihuruk menyekolahkan anaknya sampai tingkat pendidikan SMA. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Lubis 1997 bahwa kekayaan selalu identik dengan harta kekayaan dan anak. Tanpa anak akan merasa tidak kaya, walaupun banyak harta, seperti ungkapan Batak Universitas Sumatera Utara Toba berikut : anakkonhido hamoraon diahu anakku adalah harta yang paling berharga bagi saya. ...anakku...perempuan adalah kekayaanku dan mesti ku sekolahkan. R1.W1.b.317-320.h.11 Selanjutnya Manihuruk menambahkan bahwa hamoraon berhubungan dengan hagabeon karena apabila seseorang memiliki anak laki-laki dan perempuan disebut dengan hamoraon-hagabeon. …kalau ada anak laki-laki dan perempuan di situlah dibilang hamoraon dan hagabeon. S1.W1.b.013-015.h.1 …biar ketemu kata hagabeon dengan hamoraon itu kalau ada keturunannya, lengkap anak laki-laki dan perempuannya… S1.W1.b.022-025.h.1 Menurut Manihuruk karena hagabeon berhubungan dengan hamoraon akibatnya apabila tidak memiliki anak laki-laki tidak gabe maka harta kekayaannya akan ditean oleh saudara laki-lakinya. Siteanon artinya semua hartanya tidak bisa diwariskan pada anak perempuan namun akan diambil alih oleh saudara laki-laki ayah. Hal ini sesuai dengan pendapat Pardosi 1989 bahwa dulunya orang Batak yang tidak memiliki anak laki-laki semua hartanya tidak akan jatuh pada anak perempuannya tetapi akan diambil oleh saudara laki-lakinya. Dulu...ee itulah yang dinamakan siteanon. Kalau cuma anak perempuan yang ada siteanonlah itu oleh saudara ayahnya. S1.W1.b.056-059.h.2 Siteanon itu artinya kalau ada hartaku orang lainlah yang mengambil hartaku, ga’ bisa anak perempuanku, itulah. S1.W2.b.434-437.h.15 Universitas Sumatera Utara Nilai yang terakhir yaitu hasangapon. Bagi Manihuruk hasangapon berhubungan dengan hagabeon karena hanya orang yang gabe yang mampu mencapai nilai hasangapon. Hasangapon artinya punya anak laki-laki dan perempuan. S1.W2.b.351-352.h.13 Ooo...hagabeon dengan hasangapon katanya...kalau sudah ada anak laki- laki dan perempuan itulah hagabeon dengan hasangapon… S1.W2.b.377-381.h.13 Hasangapon juga dipahami Manihuruk memiliki hubungan dengan hamoraon karena meskipun tidak memiliki harta dunia namun apabila memiliki anak laki-laki dan perempuan maka tetap disebut sebagai orang yang sangap. …kalau sudah ada anak laki-laki dan perempuan, contoh kata walaupun kita kurang dalam hal kekayaan tetap kita sangap… S1.W1.b.103-104.h.4 Menurut Manihuruk orang yang tidak memiliki hasangapon tidak akan mendapat gelar saurmatua ketika dia meninggal nanti karena seseorang dikatakan saurmatua apabila memiliki cucu dari anak laki-laki dan cucu dari anak perempuan, serta anak-anaknya telah menikah semua. Hal ini sesuai dengan pendapat seorang Raja Adat Batak Toba yang menyatakan bahwa suku bangsa Batak Toba sangat ingin mencapai hasangapon ini bahkan sampai akhir hidupnya pun tetap dikejar, sehingga salah satu dari tiga stratifikasi meninggal pada masyarakat Batak Toba adalah saurmatua. Itulah kalau dibilang orang saurmatua ada cucu dari anak laki-laki dan cucu dari anak perempuan, sudah menikah semua anak-anaknya. S1.W2.b.464-468.h.16 Universitas Sumatera Utara Manihuruk menyatakan bahwa saurmatua disimbolkan dengan pesta gondang dan memakai tali-tali. Yang tadilah kalau ga’ ada anak laki-lakinya, contoh...mati orangtua ini, eee..tak bisa dipestakan kalau ga’ ada anak laki-lakinya, pesta gondang tak bisa. Gitulah.. S1.W1.b.068-073.h.3 Ikat kepala ini...kalau kata Toba pake tali-tali sebagai simbol orang yang saurmatua. S1.W2.b.456-458.h.16 Menurut Manihuruk, dalam masyarakat Batak yang memakai tali-tali simbol saurmatua itu adalah anak laki-laki dan bukan anak perempuan. Ya ga lah, kan anak laki-laki yang make ikat kepalanya itu. S1.W1.b.082-083.h.3 Jadi dapat disimpulkan bahwa Manihuruk menginternalisasikan nilai-nilai 3H dalam hidupnya. Hal ini terlihat ketika nilai-nilai 3H tidak tercapai maka tidak akan ada lagi yang meneruskan marganya, hartanya akan ditean dan tidak akan memiliki gelar saurmatua ketika dia meninggal nanti. b. Keterkaitan 3H dengan sumber harga diri Coopersmith 1967 pada Manihuruk Tujuan yang ditetapkan individu akan menghasilkan harga dirinya Stuart Sundeen dalam Salbiah, 2003. Apabila tujuan tersebut tercapai maka harga dirinya cenderung positif dan apabila tujuan tersebut tidak berhasil dicapainya maka harga dirinya pun cenderung menjadi negatif. Bagi orang Batak Toba 3H merupakan tujuan hidupnya, begitu juga dengan Manihuruk sebagai bagian dari Universitas Sumatera Utara masyarakat Batak itu sendiri. Manihuruk telah menginternalisasi nilai-nilai 3H dalam dirinya sebagai tujuan hidupnya sehingga nilai-nilai 3H inilah yang akan membentuk harga dirinya. Apabila dihubungkan dengan teori harga diri Coopersmith 1967 ada empat sumber yang membentuk harga diri individu pada umumnya, yaitu significance, power, competence, dan virtue. Jadi, nilai-nilai 3H ini akan mempengaruhi sumber harga diri yang dikemukakan oleh Coopersmith 1967 pada Manihuruk. Nilai hagabeon menurut Manihuruk mengandung arti pentingnya anak laki- laki dan perempuan. Kemudian seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Manihuruk juga memahami nilai hagabeon ini sebagai nilai yang berhubungan dengan nilai hamoraon karena baginya anak adalah kekayaannya dan harus disekolahkan. Sebagai seorang “bapak” Batak Toba yang napunu, Manihuruk berhasil menyekolahkan semua anak perempuannya sampai SMA. Apabila dibandingkan dengan dirinya yang hanya tamatan SD terlihat bahwa Manihuruk telah berprestasi dalam pendidikan anak-anaknya. Hal ini sesuai dengan pendapat seorang Raja Adat Batak Toba yang menyatakan bahwa bagi suku bangsa Batak Toba sebuah prestasi orang tua apabila pendidikan anaknya satu jenjang lebih tinggi dari orang tuanya. Dalam teori harga diri Coopersmith 1967, keberhasilan dalam memenuhi tuntutan untuk berprestasi disebut dengan istilah competence. Apabila dilihat dari teori ini maka Manihuruk memiliki competence yang bersumber dari anak perempuannya. Hasangapon adalah kedudukan atau status yang diakui dan dihargai dalam masyarakat Lubis, 1997. Orang yang memiliki hasangapon bagi masyarakat Universitas Sumatera Utara Batak diakui dan dihargai hak dan pendapatnya. Coopersmith 1967 menyatakan bahwa pendapat yang diakui dan dihargai merupakan salah satu sumber yang membentuk harga dirinya yang disebut dengan power. Power adalah kemampuan untuk mempengaruhi dan mengendalikan orang lain. Meninjau pada teori Coopersmith 1967, Manihuruk tidak memiliki power karena menurutnya dia tidak merasa sangap dihargai dalam keluarganya. Manihuruk mengatakan bahwa dia memiliki hak bicara dalam keluarga namun dia tidak memiliki hak atas harta warisan. Menurutnya, harta warisannya tidak akan jatuh kepada anak perempuannya, namun akan ditean oleh saudara laki-lakinya. Hal ini disebabkan karena anak perempuan tidak bisa mewarisi harta orang tuanya yang napunu. ...Kalau aku ga’ ada lagi marsangap aku dalam keluarga. Eee...bisa dibilang aku ga’ merasa ada dihargai keluargaku karena ga’ ada anak laki-lakiku... S1.W2.b.360-366.h.13 Kalau hak bicaranya tetapnya ada...tetapnya ada, apa lagi kalau marhaha anggi kayak-adik tetapnya ada, ga’ akan hilang itu. Cuma...seperti kita bilang tadi beratnya hati di hari belakang...ujung umurku nanti ga’ ada hak warisku nanti yang mengikuti karena ga’ bisa anak perempuan yang mengikutinya...,harta warisanku ditean sama saudara laki-lakiku. S1.W2.b.617-625.h.21; S1.W2.b.630-632.h.22 Sebagai seorang “bapak” Batak Toba yang napunu dalam kehidupannya Manihuruk tidak akan memiliki hula-hula karena anak laki-lakinyalah yang akan menjadi hula-hulanya. Hula-hula adalah salah satu unsur Dalihan Na Tolu dan dalam masyarakat Batak hula-hula dianggap sebagai Tuhan yang terlihat Debata natarida yang harus dihormati Gultom, 1992. Dalihan Na Tolu merupakan Universitas Sumatera Utara sistem kekerabatan orang Batak yang di dalamnya adalah orang-orang yang terpenting dalam hidup significant others. Apabila dihubungkan dengan teori Coopersmith 1967, penerimaan, perhatian, dan kasih sayang dari significant others disebut dengan istilah significance. Manihuruk tidak memiliki sumber harga diri significance karena dia tidak mendapat perhatian dari hula-hula. Tidak adanya sumber harga diri significance ini terlihat ketika opung Manihuruk merasa terasing dan pahit ketika dia harus bertahan tinggal di rumahnya sendiri meskipun ada anak perempuannya yang telah berumah tangga tinggal di daerah yang sama dengannya. ...Seperti sekaranglah karena sehat aku kan ga’ mungkin aku ke tempat anak perempuanku. Jadi bertahan di rumahku inilah aku, itulah pahitnya... S1.W2.b.559-563.h.20 Ada dua alasan mengapa Manihuruk memilih untuk tinggal di rumahnya sendiri. Pertama, karena dia memikirkan perasaan hela menantu laki-laki nya. Kedua, karena dia hanya ingin tinggal dengan anak laki-lakinya saja namun karena anak laki-lakinya tidak ada maka dia sekarang tinggal di rumahnya sendiri bersama seorang cucu laki-lakinya. ...gimanalah anak perempuan kita pasti kasihan dia melihat aku tapi...gimana pikiran hela menantu laki-laki ku dan keluarganya nanti jadi ku tahankan lah di sini. S1.W2.b.575-580.h.20 Yalah…kalau ada anak laki-lakiku tadi pasti aku sudah tinggal sama dia. S1.W2.b.569-571.h.20 Dalam kehidupannya sebagai seorang “bapak” Batak Toba napunu yang tidak mampu mencapai nilai-nilai 3H, Manihuruk sewaktu masih muda dan Universitas Sumatera Utara istrinya masih hidup disarankan oleh hula-hulanya untuk menikah lagi. Hal ini sesuai dengan pendapat Situmorang 2009 bahwa seorang “bapak” Batak Toba yang napunu akan mendapat desakan untuk memiliki istri lagi agar bisa mengabadikan marganya. Aa...samanya semasa istriku pun masih hidup mereka hula-hula semuanya nyuruh ”nikahlah kau lagi” tapi aku ga’ mau. S1.W1.b.134-137.h.5 Akan tetapi, Manihuruk tidak mau melakukannya karena beranggapan bahwa menikah lagi merupakan dosa larangan agama. Ya karena bikin susah, dosa itu, dilarang agama. S1.W1.b.142-143.h.5 Bahkan setelah Manihuruk pun tua, saran untuk menikah lagi tidak hanya datang dari hula-hula namun juga datang dari banyak orang. Kalau saya ditanya, sesudah tua kami, saya sama suami, ee...istri saya, sudah putus harapan. Dibilang orang pun kawin saya ga’ mau. S1.W1.b.228-232.h.8 Meskipun mendapat desakan untuk menikah lagi, namun Manihuruk tidak mau karena setelah tua selain beranggapan bahwa itu merupakan dosa, dilarang agama, juga karena semua anak Manihuruk telah menikah dan dia telah memiliki banyak cucu. Susahnya ee..anak saya sudah kawin semua, cucu pun sudah banyak jadi nambahin dosa nanti kalau kawin saya. Contoh orang yang lain sesudah meninggal orang rumah sebetulnya saya udah bisa kawin tapi saya tak mau lagi. S1.W1.b.240-246.h.9 Universitas Sumatera Utara Ketika Manihuruk memilih untuk patuh pada larangan agama, jika dihubungkan dengan teori Coopersmith berarti Manihuruk memiliki sumber harga diri virtue. Virtue dinyatakan oleh Coopersmith 1967 sebagai kepatuhan pada standar etika, moral, dan prinsip agama. Keempat sumber inilah yang akan dipengaruhi oleh nilai-nilai 3H masyarakat Batak Toba sehingga akhirnya membentuk harga diri orang Batak. Meskipun Manihuruk memiliki sumber harga diri competence namun baginya competence bukanlah sumber harga diri yang berperan penting dalam membentuk harga dirinya. Hal ini dikarenakan bagi Manihuruk anak perempuan hanyalah sebagai ‘parit’ yang akan menikah dan membawa marga orang lain. Menurut Manihuruk anak perempuan tidak memiliki hak atas harta warisan, kalaupun ada bagian warisannya, itu hanyalah pemberian dari ito saudara laki-laki nya. Hal ini sesuai dengan pendapat Irianto dalam Irmawati, 2002 bahwa anak perempuan yang jika ia menikah maka ia pergi dari rumah dan mengikuti keluarga suaminya. Nama keluarganya pun akan ditinggalkan dan dia memakai nama dari keluarga suaminya. Kalau anak perempuan istilahnya dulu ’parit’ orang yang akan diisinya... kawin dia sama orang nanti, marga orang yang dibawanya... S1.W1.b.093-095.h.4; R1.W2.b.480-484.h.17 Ga’ ada, kalaupun itosaudara laki-lakinya itu ngasih sama dia itu terserah itonyalah. S1.W2.b.489-491.h.17 Manihuruk pun menegaskan bahwa apabila tidak ada anak perempuan tidak terlalu sulit tapi bila tidak memiliki anak laki-laki akan sulit karena ada yang dipikirkannya sehingga menyebabkan sakit hati. Universitas Sumatera Utara …Kalau ga’ ada anak laki-laki tetap susah, tapi kalau ga’ punya anak perempuan ga’ terlalu susah orang. Jadi kalau ga’ punya anak laki-laki ada yang dipikirin. S1.W1.b.025-030.h.1 Kebanyakan pikiran kita terus ke sana, sakit hati kita itu maksudnya. S1.W1.b.033-034.h.2 Menurut Manihuruk meskipun agama memandang sama baik anak laki-laki maupun anak perempuan, namun sulit jika di dalam adat karena tidak ada yang akan meneruskan marganya. Hal ini sesuai dengan pendapat Gultom 1992 bahwa hanya anak laki-laki yang dapat meneruskan marga, bukan anak perempuan. Kata Tuhan serupa itu anak laki-laki. Tapi kalau dalam adat kita sulit itu. S1.W1.b.187-189.h.7 Karena ga’ ada yang meneruskan marganya. S1.W1.b.198-199.h.7 Coopersmith 1967 menyatakan bahwa masing-masing sumber ini akan berbeda pada setiap individu tergantung sumber mana yang menjadi sumber paling penting bagi dirinya. Pada Manihuruk, dapat disimpulkan bahwa sumber harga dirinya yang terpenting adalah significance dan power. Kedua sumber inilah yang kemudian membentuk harga diri Manihuruk. c. Gambaran harga diri Manihuruk sebagai “bapak” Batak Toba yang napunu Harga diri merupakan evaluasi yang dibuat individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya yang diekspresikan melalui suatu bentuk penilaian setuju Universitas Sumatera Utara atau tidak setuju, dan menunjukkan tingkat dimana individu meyakini dirinya sebagai individu yang mampu, penting, dan berharga Coopersmith, 1967. Harga diri Manihuruk dapat dilihat dari ketiga aspeknya, yaitu perasaan berharga, perasaan mampu, dan perasaan diterima. Perasaan berharga adalah perasaan yang dimiliki individu ketika individu tersebut merasa dirinya berharga dan dapat menghargai orang lain Coopersmith, 1967. Manihuruk merasa tidak berharga dalam hidupnya terlihat ketika anak laki-lakinya meninggal dunia, dia berniat untuk ikut meninggal juga tetapi karena tidak diperbolehkan dalam adat dia mengurungkan niatnya. ...Sudah mati anak ini seperti kataku tadi...kalau bisa ikut aku mati tapi ga’ mungkin, ga’ diperbolehkan adat... S2.W2.b.546-549.h.19 Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa sebagai seorang ”bapak” Batak Toba yang napunu, Manihuruk merasa tidak memiliki hasangapon sehingga dalam keluarganya dia merasa tidak dihargai. Kemudian untuk meningkatkan perasaan berharganya, Manihuruk berusaha untuk mendapatkan anak laki-laki lagi dengan melakukan banyak usaha seperti yang juga telah dijelaskan sebelumnya. Namun usahanya tersebut tidak berhasil hingga sekarang. Semua usaha dilakukan, misalnya ada kata orang pintar ini atau itu kita lakukan. S1.W1.b.180-182.h.7 Itulah kalau orang yang ga’ punya anak laki-laki capek-capek berdukunnya, tapi nasibnya yang ga’ ada tetap ga’ dapat anak laki-laki. Misalnya disuruh potong ayam putih di gelapang tempat untuk meletakkan sesuatu yang letaknya di atas dinding rumah bagian dalam, sudah kita lakukan itu tapi tetap juga ga’ ada hasilnya. S1.W2.b.500-509.h.18 Universitas Sumatera Utara Bahkan untuk menutupi kekurangannya yang tidak bisa memiliki anak laki- laki, Manihuruk pun mengadopsi anak laki-laki dari saudara laki-lakinya. Niat untuk mengadopsi anak laki-laki adiknya ini dilakukan Manihuruk tujuh tahun yang lalu supaya ada panggilan ’opung’ dari anak laki-laki tersebut karena panggilan ’opung’ tidak bisa dari anak perempuannya. ...jadi biar dianggap opung ga’ bisa anak perempuan ini, ga’ bisa, harus anak adiklah yang diambil. S1.W1.b.268-272.h.9 Pentingnya panggilan ’opung’ dari anak laki-laki bagi dirinya membuat Manihuruk harus mengadakan pesta pengadopsian tersebut meskipun dengan pesta yang kecil. Ya, bagaimanapun kecilnya tetap dipestakan. S1.W1.b.274-275.h.10 Meskipun Manihuruk berusaha untuk membuat dirinya merasa berharga namun tetap dia tidak memiliki perasaan mampu. Coopersmith 1967 menyatakan bahwa perasaan mampu adalah perasaan yang dimiliki oleh individu pada saat dia merasa mampu mencapai suatu hasil yang diharapkannya. Apabila dilihat dari teori ini, maka Manihuruk dikatakan tidak memiliki perasaan mampu. Manihuruk merasa tidak mampu karena dia terus memikirkan anak laki-lakinya yang meninggal dunia saat masih berusia enam bulan. Manihuruk merasa putus harapan. Memang kalau sudah mati anak, itulah teman saurmatua kita, tapi sudah mati gimanalah perasaan kita. Karena mati itu jadi seperti putus harapanlah kita...karena ga’ ada lagi yang meneruskan margaku. S1.W2.b.525-529.h.18; S1.W2.b.532-533.h.19 Universitas Sumatera Utara Coopersmith 1967 menyatakan bahwa individu yang merasa mampu adalah individu yang tidak menganggap dirinya sempurna tetapi sadar akan keterbatasan diri dan berusaha agar ada perubahan dalam dirinya. Meskipun perasaan putus harapan itu disadarinya tetapi masih ada sampai sekarang bahkan membuat Manihuruk menjadi suntuk. Manihuruk tidak memiliki perasaan mampu karena dia tidak berusaha keluar dari situasi suntuk tersebut. Aaa...seterusnya lah kita seperti itu. Ga’ akan pulang lagi perasaan tapi tetap disadari. S1.W2.b.539-541.h.19 Maksudnya disadari itu kita tahu kalau kita ga’ akan ada lagi eee anak laki- lakiku yang meneruskan margaku lagi...Sudah mati anak ini seperti kataku tadi...kalau bisa ikut aku tapi ga’ mungkin, ga’ diperbolehkan adat. Ga’ tahu kapan itu tapi terus aku pikirin. Seperti yang aku bilang tadi, kayak manapun dibilang ga’ seminggu...ga’ dua minggu...satu bulan...tapi seterusnya aku suntuk... S1.W2.b.543-554.h.19 Bahkan menurut Manihuruk justru ketidakhadiran anak laki-laki mempengaruhi interaksinya dalam hidup sehari-hari. Apabila bekerja di ladang Manihuruk berpikir untuk apa kekayaannya jika tidak ada anak laki-laki. Itulah kalau kerja pun, bagaimanalah, contoh kalau kaya nanti saya bagaimana pun ga’ adanya anak laki-laki saya, itulah. S1.W1.b.216-219.h.8 Tidak hanya dalam kehidupan sehari-hari, dalam adatpun Manihuruk sering memiliki ’perasaan dingin’ karena dia menyadari tidak ada lagi yang akan meneruskan keturunannya. Manihuruk hanya bisa diam bila orang lain tertawa. Ya dimanapun adat sama itu misalnya kalau dalam acara adat orang ketawa- ketawa ya kita diam-diam aja. S1.W1.b.203-206.h.7 Universitas Sumatera Utara Jadi dinginlah perasaan kita karena ga’ ada anak laki-laki yang meneruskan marga kita. S1.W1.b.208-210.h.7 Selain merasa tidak berharga dan tidak mampu, Manihuruk juga merasa tidak diterima oleh keluarganya. Perasaan diterima merupakan perasaan yang dimiliki individu ketika ia dapat diterima sebagai dirinya sendiri oleh suatu kelompok Coopersmith, 1967. Perasaan tidak diterima Manihuruk terlihat ketika dia mengadakan pesta, keluarganya akan berat hati datang ke pestanya dan kurang terima karena dia tidak memiliki anak laki-laki. Beratnya hati keluarganya untuk datang ke pestanya membuat Manihuruk cenderung merasa tidak diperlakukan sebagai bagian dalam keluarga dan hal ini menyebabkan Manihuruk merasa tidak diterima dalam keluarganya. Semua keluarga, saudara-saudara, baik itu dongan sabutuha juga berat hatinya, kurang terima mereka kalau aku ga’ punya anak laki-laki. Eeee..kalau aku punya adat misalnya, mereka semua berat hatinya itu untuk datang ke pestaku karena ga’ ada anak laki-lakiku. S1.W1.b.157-165.h.6 Dapat disimpulkan bahwa Manihuruk tidak merasa berharga, tidak merasa mampu, dan tidak merasa diterima dalam keadaannya sebagai seorang “bapak” Batak Toba yang napunu.

B. SUBYEK 2 Sitanggang