Dalihan Na Tolu SUKU BANGSA BATAK TOBA

Demikian juga dalam hal tanggung jawab, jika sang ayah dalam satu keluarga telah meninggal, maka anak laki-laki ang paling tualah yang bertanggung jawab atas keluarga itu. Seperti ungkapan yang menyatakan : Siangkangan do na matean ama. Artinya: anak laki-laki paling tualah yang kematian ayah. c Anak laki-laki pembawa nama dalam silsilah kekerabatan dalam masyarakat Batak Toba. Nama kekerabatan seorang ayah pada masyarakat Batak Toba hanya dapat dijadikan dari keturunannya laki-laki. Seorang ayah tidak dapat menjadikan nama kekerabatannya dari anaknya perempuan karena anak dari anaknya perempuan itu tidak lagi semarga dengan sang ayah. Misalnya: A adalah seorang marga E adalah seorang ayah B anak laki-laki A F anak perempuan E C anak B G anak F maka si A dapat menjadikan anak B sebagai nama kekerabatan, sedangkan si E tidak dapat memakai anak F sebagai nama kekerabatannya.

3. Dalihan Na Tolu

Gultom 1992 menyatakan bahwa Dalihan Na Tolu artinya tiga tiang tungku Dalihan artinya tungku yang dibuat dari batu, na artinya yang, tolu artinya tiga. Dalihan Na Tolu dibuat dari batu yang ditata sedemikian rupa sehingga bentuknya menjadi bulat panjang, ujungnya yang satu tumpul dan ujung yang lain agak persegi empat sebagai kaki dalihan, kakinya  10 cm, panjangnya  30 cm, Universitas Sumatera Utara dan diameternya  12 cm. Besar dalihan harus dibuat sama besar dan ditanam dengan simetris di dapur di tempat yang telah disediakan. Dalihan ini bukan sekedar berfungsi sebagai tungku untuk prasarana memasak, tetapi menyangkut seluruh kehidupan yang bersumber dari dapur. Pada saat masyarakat Batak Toba melihat tiang tungku yang tiga atau Dalihan Na Tolu sebagai tungku, mereka melihat bahwa: apabila makanan yang dimasak baik untuk dimakan perseorangan atau bersama di atas tungku itu baik, maka baik atau sempurnalah dalihan tersebut. Melihat contoh yang sederhana dari Dalihan Na Tolu ini nenek moyang suku Batak melihat kehidupan manusia baik sebagai individu maupun sebagai keluarga tidak ada ubahnya seperti keadaan Dalihan Na Tolu. Bahwa segala sesuatu yang perlu demi kepentingan manusia dan keluarga, serta yang menjadi sumber sikap perilaku seseorang dalam kehidupan sosial budaya haruslah bersumber dari tiga unsur kekerabatan. Ibaratnya tiga tiang tungku yang berdiri sendiri tetapi saling berkait dalam bentuk kerja sama atau sama-sama dimanfaatkan. Ketiga unsur yang berdiri sendiri tidak akan ada arti, tetapi harus bekerja sama satu sama lain baru bermanfaat. Bagi masyarakat suku bangsa Batak Toba, Dalihan Na Tolu adalah ide vital, suatu kompleks gagasan yang merupakan pandangan hidup dan sumber perilaku masyarakat Batak Toba dan menumbuhkan kompleks aktivitas masyarakat dalam wujud karya budaya baik budaya spiritual maupun budaya material. Dalihan Na Tolu juga merupakan sumber hukum dan adat bagi masyarakat Batak Toba yang berhubungan dengan sistem perkawinan, kematian, tempat tinggal, warisan dan lain sebagainya. Universitas Sumatera Utara Unsur-unsur yang terdapat dalam Dalihan Na Tolu terdiri dari hula-hula, boru, dan dongan tubu dongan sabutuha Lubis, 1997. a. Hula-hula Kedudukan pemberi gadis hula-hula dianggap sebagai pemberi kehidupan dan penyalur berkat, karena itu harus dihormati. Hula-hula disebut juga parrajoan, artinya dirajakan, mereka sangat dihormati borunya. Rasa hormat terhadap hula-hula tercermin dalam falsafah Dalihan Na Tolu bahwa somba marhula-hula, yang artinya: seseorang yang mempunyai hula-hula harus hormat dan patuh kepada hula-hulanya walaupun kedudukannya lebih tinggi tetapi harus tetap selalu menghormati hula-hulanya. Hula-hula dianggap sebagai Tuhan yang terlihat Tuhan natarida, tempat boru meminta berkat pasu-pasu seperti banyak anak, tambah rejeki dan tambah umur. Tidak jarang tampak boru pergi mengunjungi hula-hula yang tujuannya untuk menerima berkat dari Tuhan melalui doa dari pihak hula-hula. Keadaan itu seolah-oleh memberi gambaran bahwa berkat atau pasu-pasu itu akan tercapai apabila hula-hula mendoakan borunya. Fungsi hula-hula dalam kehidupan masyarakat Batak Toba, yaitu dalam: 1 Musyawarah dan mufakat untuk membuat rencana, maka fungsi hula-hula sebagai tempat meminta nasehat dan bantuan moral agar terlaksananya suatu upacara adat; 2 Upacara yang sedang berlangsung, fungsi hula-hula meminta sumbangan moral dan mereka yang bertugas memimpin upacara, memberkati dan berdoa agar acara adat tersebut tidak mendapat hambatan. Universitas Sumatera Utara 3 Mendamaikan perselisihan seperti pembagian harta warisan, fungsi hula- hula sangat menentukan dalam mendamaikan tanpa memihak, sehingga perselisihan itu dapat diselesaikan. b. Boru Penerima gadis boru berada pada posisi yang lebih rendah dari hula-hula, dalam posisi ini kelompok hula-hula harus mengasihi dan bersikap membujuk boru yang tercermin dari filsafat elek marboru. Pada upacara adat, pihak boru bertindak sebagai parhobas orang yang bertugas mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kelancaran jalannya pesta. Fungsi boru adalah memberi sumbangan tenaga dan materi pada setiap upacara adat, boru juga memegang peranan penting dalam mendamaikan hula-hulanya apabila terjadinya perselisihan antara hula-hula. c. Dongan tubu dongan sabutuha Kerabat semarga dongan sabutuha adalah marga yang erat sekali hubungannya satu dengan yang lain, walaupun kedudukan dalam marga oleh penarikan garis keturunan ayah. Dari kata dongan, yang artinya teman sudah dapat diartikan bahwa kedudukan mereka adalah sama. Sabutuha berarti satu perut atau satu ayah dan satu ibu. Itu berarti harus seia sekata, ringan sama dijinjing dan berat sama dipikul sebagai keluarga kandung seibu sebapak. Fungsi dongan sabutuha adalah sama dengan suhut orang yang melaksanakan pesta di dalam menjalankan suatu acara tertentu. Hubungan antara kerabat semarga harus hati-hati dan dijaga sedemikian rupa supaya tetap langgeng dan serasi yang didasari oleh falsafat manat mardongan tubu hati-hati terhadap Universitas Sumatera Utara teman semarga, yang maksudnya ialah harus hati-hati dalam bertindak melaksanakan sesuatu dan juga dalam berbicara. Artinya dalam merencanakan upacara adat, tidaklah dapat bertindak menurut kehendak sendiri tetapi harus melalui musyawarah dengan dongan sabutuha.

4. Konsep 3H Hagabeon, Hamoraon, Hasangapon