Penerimaan diri pasangan suku Batak Toba yang tidak memiliki anak laki-laki.

(1)

PENERIMAAN DIRI PASANGAN SUKU BATAK TOBA YANG TIDAK MEMILIKI ANAK LAKI-LAKI

Vivid Anna ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui penerimaan diri masing-masing individu pada pasangan suku Batak Toba yang tidak memiliki anak laki-laki, 2) proses saling mempengaruhi penerimaan diri masing-masing terhadap pasangannya dan 3) faktor-faktor yang mempengaruhi. Pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimana pasangan suku Batak Toba berupaya menerima diri atas keadaan keluarganya yang tidak memiliki anak laki-laki. Jenis penelitian yang dipakai adalah penelitian kualitatif dengan metode analisis fenomenologi deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara semi-terstruktur dan observasi kepada 3 pasang informan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga pasang informan belum mencapai tahap penerimaan diri (acceptance) kecuali informan MM. Tetapi, secara umum, ada usaha dari para informan untuk mengurangi dan mengatasi kendala yang dialami yaitu dengan emotion-focused coping. Koping yang dilakukan oleh ketiga pasang informan jadi faktor pendukung proses menuju penerimaan dalam beragam bentuk. Faktor pendukung ada dua yaitu faktor eksternal (dukungan sosial dari pasangan, tidak ada kendala dari lingkungan suku Batak Toba dan ajaran agama) dan internal (nilai religius dan rasa syukur, diri). Faktor penghambat berasal dari pihak keluarga yang tidak siap menerima keadaan sehingga menyarankan untuk menikah lagi dan/atau mengadopsi anak laki-laki tetapi ditolak pihak suami karena nilai agama yang dianut dan memegang janji pernikahan.


(2)

SELF-ACCEPTANCE OF BATAK TOBA’S COUPLES WHO DO NOT HAVE SON

Vivid Anna ABSTRACT

This research aimed to 1) understand self-acceptance of each individual couples of Batak Toba who do not have son, 2) the process of interplay of self-acceptance respectively to the spouse and 3) the factors which influence their self-acceptance. The research question is how Batak Toba ethnic group’s couples who do not have son tried to accept their circumstance without a son in their family. The type of this research used qualitative research method with descriptive phenomenology analysis. Data were collected by doing semi structured interview and observation as methods to the three couples. The results show that the three couples of informants have not reached the stage of self-acceptance except informant MM. But, in general, there were efforts from the informants to reduce and overcome the constraints experienced with emotional-focused coping. The coping that performed by the three of couples is as a supporting factor to the process of self-acceptance in various forms. There are two supporting factors namely external (social support from the spouse, there are no constraints surroundings on Batak Toba ethnic group and dogma) and internal (religious values and gratitude, self). Inhibiting factor came from the families who are not ready to accept the situation so that prompt to remarry and/or adopt a son but was rejected by the husbands because of the religion professed values and holds the promise of marriage.


(3)

i

PENERIMAAN DIRI PASANGAN SUKU BATAK TOBA YANG TIDAK MEMILIKI ANAK LAKI-LAKI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh: Vivid Anna

109114099

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANAT DHARMA YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

iv

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang

engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan.

(Yesaya 41:10)

Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka.

(Pengkhotbah 3:11)

Kebanggaan kita yang terbesar adalah bukan tidak pernah gagal, tetapi bangkit kembali setiap kali kita jatuh.

(Confucius)

Problems are like washing machines. They twist, they spin and knock us around, but in the end we come out cleaner, brighter and better than before.

(Unknown)

We met for a reason, either you’re a blessing or a lesson.

(Frank Ocean)

Karya ini membuat saya mengucap syukur kepada Allah Bapa, Sang Sgalanya Bapak, Mama, Abang-abang dan Adek yang sangat luar biasa arti mereka di dalam hidup saya serta persembahan bagi para pasangan suku Batak Toba yang mengasihi putri-putrinya dan tetap teguh pada janji pernikahan yang dibuat di hadapan Allah


(7)

(8)

vi

PENERIMAAN DIRI PASANGAN SUKU BATAK TOBA YANG TIDAK MEMILIKI ANAK LAKI-LAKI

Vivid Anna ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui penerimaan diri masing-masing individu pada pasangan suku Batak Toba yang tidak memiliki anak laki-laki, 2) proses saling mempengaruhi penerimaan diri masing-masing terhadap pasangannya dan 3) faktor-faktor yang mempengaruhi. Pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah bagaimana pasangan suku Batak Toba berupaya menerima diri atas keadaan keluarganya yang tidak memiliki anak laki-laki. Jenis penelitian yang dipakai adalah penelitian kualitatif dengan metode analisis fenomenologi deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara semi-terstruktur dan observasi kepada 3 pasang informan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga pasang informan belum mencapai tahap penerimaan diri (acceptance) kecuali informan MM. Tetapi, secara umum, ada usaha dari para informan untuk mengurangi dan mengatasi kendala yang dialami yaitu dengan emotion-focused coping. Koping yang dilakukan oleh ketiga pasang informan jadi faktor pendukung proses menuju penerimaan dalam beragam bentuk. Faktor pendukung ada dua yaitu faktor eksternal (dukungan sosial dari pasangan, tidak ada kendala dari lingkungan suku Batak Toba dan ajaran agama) dan internal (nilai religius dan rasa syukur, diri). Faktor penghambat berasal dari pihak keluarga yang tidak siap menerima keadaan sehingga menyarankan untuk menikah lagi dan/atau mengadopsi anak laki-laki tetapi ditolak pihak suami karena nilai agama yang dianut dan memegang janji pernikahan.


(9)

vii

SELF-ACCEPTANCE OF BATAK TOBA’S COUPLES WHO DO NOT HAVE SON

Vivid Anna ABSTRACT

This research aimed to 1) understand self-acceptance of each individual couples of Batak Toba who do not have son, 2) the process of interplay of self-acceptance respectively to the spouse and 3) the factors which influence their self-acceptance. The research question is how Batak Toba ethnic group’s couples who do not have son tried to accept their circumstance without a son in their family. The type of this research used qualitative research method with descriptive phenomenology analysis. Data were collected by doing semi structured interview and observation as methods to the three couples. The results show that the three couples of informants have not reached the stage of self-acceptance except informant MM. But, in general, there were efforts from the informants to reduce and overcome the constraints experienced with emotional-focused coping. The coping that performed by the three of couples is as a supporting factor to the process of self-acceptance in various forms. There are two supporting factors namely external (social support from the spouse, there are no constraints surroundings on Batak Toba ethnic group and dogma) and internal (religious values and gratitude, self). Inhibiting factor came from the families who are not ready to accept the situation so that prompt to remarry and/or adopt a son but was rejected by the husbands because of the religion professed values and holds the promise of marriage.


(10)

(11)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan, atas berkat dan kasih-Nya yang luar biasa tak pernah berkesudahan di setiap nafas saya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Proses penyelesaian skripsi ini membuat saya sebagai peneliti mengalami berbagai pengalaman suka dan duka serta pelajaran yang berharga hingga membuat saya semakin berkembang. Pengalaman yang memberitahu dan mengajarkan khususnya tentang diri saya yang selama ini saya tidak tahu dan pendam menjadi pribadi yang lebih dewasa.

Saya sebagai peneliti menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan, dukungan, bimbingan serta arahan dari berbagai pihak baik secara moral ataupun material yang begitu berharga dari orang-orang terkasih peneliti. Selain dalam proses penyelesaian skripsi juga proses selama berkuliah di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya juga kepada:

1. Dosen pembimbing skripsi Ibu Dr. Tjipto Susana, M. Si. yang telah dengan sabar membimbing, berdiskusi, memberikan pencerahan dengan saran dan pendapat yang sangat bermanfaat bagi saya. Selain sebagai DPS, dari beliau saya belajar banyak khususnya mengenai diri saya yang selama ini tidak saya sadari. Terima kasih banyak ibu .

2. Para informan penelitian. Terima kasih yang sebesar-besarnya atas kesediaan dan keterbukaan kalian untuk menceritakan pengalaman yang berharga,


(12)

x

sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya dan lebih mengetahui kebudayaan suku Batak Toba.

3. Seluruh anggota keluarga, Bapak dan Mama yang tak pernah lelah memberikan dukungan moral-material dan doa yang senantiasa menguatkan di berbagai situasi yang saya hadapi, serta saudara-saudara Bang Peri, Bang Win, dan Dek Chiles yang selalu memotivasi dengan moral-material dan bertanya mengenai kendala yang dihadapi terkait pengerjaan skripsi ini khususnya.

4. Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang juga dosen Pembimbing Akademik, Bapak Dr. Priyo Widiyanto, M. Si. yang selama ini tak henti mengingatkan dan menasihati dengan kasih agar dapat menyelesaikan program pendidikan saya dengan baik dan lancar.

5. Seluruh dosen, staf dan karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan pembelajaran baik akademik maupun kehidupan yang berharga bagi saya. Terima kasih juga atas senyum, canda tawa, sapa serta nasihat yang selalu menyertai langkah perjalanan saya selama berkuliah di Fakultas Psikologi.

6. Para sahabat terkasih Meaningful TKSD, Mb Ester, Ika, Tante Rinta, Christy, Filinia, dan Rachel. Terima kasih atas cerita kehidupan suka duka yang mewarnai perjalanan hidup kita sejak pertama kali kenal, selama perkuliahan ini, saat ini dan hingga nanti. Semua yang kita lalui memberikan pembelajaran hidup jadi pribadi yang lebih matang. Kalian sungguh luar biasa! See you on top, gals. ฀฀฀.


(13)

xi

7. Terima kasih juga atas segala cerita kehidupan Dien, Vica, Anggi, Rieke . 8. Iwel-chan teman SMA yang selalu menyemangati penulis untuk segera

menyelesaikan skripsi, makaseh ye iwel. Tika-chan juga teman SMA yang selalu menjadi motivasi penulis untuk berani bermimpi besar dan menghadapi tantangan dalam menggapai mimpi tersebut, danke mein Freund. Mb Yoke dengan kata-katanya yang memotivasi penulis agar tidak mudah menyerah pada tantangan yang ada di dalam hidup, ฀฀฀฀฀.

9. Terima kasih untuk semua teman-teman satu bimbingan yang saling menyemangati dan mendukung satu sama lain agar segera menyelesaikan skripsi masing-masing.

10. Terima kasih untuk semua teman-teman seangkatan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma 2010 atas semua kesempatan yang terjalin dalam dinamika perkuliahan.

11. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas doa, kasih sayang, perhatian dan dukungan selama ini. Terima kasih telah mewarnai sepenggal dari perjalanan kehidupan saya di dunia ini. God bless!

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi yang dibuat masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, peneliti bersedia membuka diri untuk menerima saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan karya ini.

Yogyakarta, 13 September 2016 Vivid Anna


(14)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ...iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ...iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ...vi

ABSTRACT ...vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ...viii

KATA PENGANTAR ...ix

DAFTAR ISI ...xii

DAFTAR TABEL ...xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ... 1

B. RUMUSAN MASALAH ...12

C. TUJUAN PENELITIAN ...12

D. MANFAAT PENELITIAN ...13

1. Manfaat Praktis ...13


(15)

xiii BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. PENERIMAAN DIRI ...14

1. Pengertian Penerimaan Diri ...14

2. Aspek-aspek Penerimaan Diri ...16

3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Diri ...17

4. Dampak Penerimaan Diri ...21

5. Proses/Tahap-tahap Penerimaan Diri ...22

B. SUKU BATAK TOBA ...25

1. Suku Batak Toba ...25

2. Nilai-nilai Kehidupan Suku Batak Toba ...26

3. Garis Keturunan Suku Batak Toba ...28

4. Pewarisan Nilai-nilai Kebudayaan Suku Batak Toba ... 33

D. KERANGKA PENELITIAN ...39

E. PERTANYAAN PENELITIAN ...42

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. JENIS PENELITIAN ...43

B. FOKUS PENELITIAN ...43

C. INFORMAN PENELITIAN ...44

D. METODE PENGAMBILAN DATA ...45

E. PROSEDUR ANALISIS DATA ...48

F. REFLEKSIVITAS PENELITI ...49


(16)

xiv BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PELAKSANAAN PENELITIAN ...51

B. HASIL PENELITIAN ...52

1. Pasangan TS dan ST ...53

a. Profil dan Observasi Informan TS ...53

b. Profil dan Observasi Informan ST ...55

c. Struktur Dasar Pengalaman Pasangan TS dan ST ...57

d. Proses Penerimaan Diri Pasangan TS dan ST Yang Tidak Memiliki Anak Laki-laki ...96

2. Pasangan MM dan SS ...102

a. Profil dan Observasi Informan MM ...102

b. Profil dan Observasi Informan SS ...104

c. Struktur Dasar Pengalaman Pasangan MM dan SS ...106

d. Proses Penerimaan Diri Pasangan MM dan SS Yang Tidak Memiliki Anak Laki-laki ...133

3. Pasangan PT dan TN ...138

a. Profil dan Observasi Informan PT ...138

b. Profil dan Observasi Informan TN ...140

c. Struktur Dasar Pengalaman Pasangan PT dan TN ...142

d. Proses Penerimaan Diri Pasangan PT dan TN Yang Tidak Memiliki Anak Laki-laki ...163


(17)

xv

a. Data Demografi Ketiga Pasangan ...169

b. Pemahaman 3H Ketiga Pasangan ...170

c. Arti dan Peranan Anak Menurut Ketiga Pasangan ...172

d. Proses Penerimaan Diri Ketiga Pasangan (TS dan ST, MM dan SS, PT dan TN) ...173

C. PEMBAHASAN ...179

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN ...190

B. KETERBATASAN PENELITIAN ...191

C. SARAN ...191

1. Bagi Peneliti Selanjutnya ...191

2. Bagi Keluarga dan Masyarakat Suku Batak Toba ...191

DAFTAR PUSTAKA ...193


(18)

xvi

DAFTAR TABEL

TABEL

Tabel 1. Panduan Pertanyaan Dalam Wawancara A ... 46

Tabel 2. Panduan Pertanyaan Dalam Wawancara B ... 46

Tabel 3. Pelaksanaan Wawancara ... 51

Tabel 4. Rangkuman Penerimaan Diri Pasangan TS dan ST ... 91

Tabel 5. Rangkuman Penerimaan Diri Pasangan MM dan SS ... 128


(19)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN

Lampiran 1. Informed Consent ... 201 Lampiran 2. Verbatim Informan ... 204 Lampiran 3. Contoh Analisis Data Informan TS (Pasangan TS dan ST) ... 288


(20)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada masyarakat suku Batak, perkawinan adalah satu mata rantai kehidupan yang cara pelaksanaannya melalui hukum-hukum adat yang sudah menjadi darah daging dari dulu sampai sekarang. Tujuan perkawinan pada masyarakat Batak umumnya adalah pertanggung-jawaban dalam naluri biologis atas tanggung-jawab dalam melanjutkan keturunan.

Dalam kebudayaan Batak Toba dijumpai rumusan mengenai tujuan hidup atau nilai-nilai yang utama dalam hidup 3H, yaitu Hagabeon (keturunan dan panjang umur), Hamoraon (kekayaan), dan Hasangapon (kehormatan dan kemuliaan). Nilai pertama yaitu hagabeon. Harahap dan Siahaan (1987) menjelaskan bahwa hagabeon sama artinya dengan bahagia dan sejahtera. Kebahagiaan yang dimaksud adalah kebahagiaan dalam keturunan. Keturunan dipandang sebagai pemberi harapan hidup karena keturunan adalah kebahagiaan yang tidak ternilai bagi orang tua, keluarga dan kerabat atau dengan kata lain, kekayaan paling berharga bagi orang Batak adalah keturunan, anak-cucu.

Nilai kedua yaitu Hamoraon (kekayaan). Hamoraon adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh seseorang dimana kekayaan ini diidentikan dengan harta kekayaan dan anak. Tanpa anak individu tidak akan merasa kaya meskipun banyak harta. Pada suku Batak Toba terdapat ungkapan “Anakhon hi do


(21)

hamoraon di ahu” yang berarti bahwa anak adalah harta yang tertinggi baginya (Harahap & Siahaan, 1987). Berkaca dari filosofi tersebut, kehadiran anak mempunyai makna yang sangat penting dalam keluarga-keluarga suku Batak Toba. Kehadiran anaklah yang membuat orang tua dipandang hormat di tengah-tengah masyarakat. Meskipun dalam masyarakat Batak Toba tidak mengenal sistem kasta, namun anak secara tidak langsung ikut menopang posisi orang tuanya (“Anak, Harta Bagi Orang Batak,” 2011).

Nilai yang ketiga yaitu Hasangapon (kehormatan dan kemuliaan) berkaitan dengan luasnya hubungan dengan banyak orang (Irianto, 2005). Seseorang bisa mencapai hasangapon dengan terlebih dahulu berketurunan (gabe) dan memiliki kekayaan (mora).

Sistem kekerabatan orang Batak adalah patrilineal – menurut garis keturunan ayah. Garis keturunan laki-laki diteruskan oleh anak laki-laki dan menjadi punah kalau tidak ada lagi anak laki-laki yang dilahirkan (Vergouwen, 2004). Hak tanah, milik, nama, dan jabatan hanya dapat diwarisi oleh garis laki-laki. Dalam peraturan tersebut tidak ada pengecualian dalam suku Batak Toba. Hal ini ditegaskan oleh Siahaan (1964) bahwa seorang yang meninggal tanpa mempunyai putera (walaupun ada puteri) berarti putus mata rantai silsilahnya karena tidak ada yang meneruskan.

Anak laki-laki memiliki arti penting di dalam kehidupan sebuah keluarga. Keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki diibaratkan sebatang pohon yang tidak memiliki akar. Anak laki-laki berkewajiban mengurus kelangsungan hidup keluarga juga berperan sebagai penerus marga (Nurelide, 2007). Pada


(22)

penelitian yang dilakukan oleh Nurelide (2007) mengungkapkan bahwa masyarakat Batak Toba masih menganggap bahwa anak laki-laki memiliki arti yang penting dalam keluarga karena nantinya ia yang akan meneruskan kelangsungan hidup keluarganya. Penelitian yang dilakukan oleh Simbolon dan Siregar (2014) turut mendukung yang menunjukkan bahwa pasangan suku Batak Toba melakukan berbagai upaya untuk memperoleh keturunan laki-laki. Hal tersebut karena berkaitan dengan penerus garis keturunan keluarga. Seperti yang telah diungkapkan bahwa dalam budaya Batak Toba anak laki-laki menjadi penerus garis keturunan dalam keluarga (marga).

Pada suku Batak Toba, anak laki-laki disebut “tampukni pusu-pusu, ihotni ate-ate, tumtumni siubeon”, yang berarti anak laki-laki itu adalah segalanya dan sangat berharga (Tambunan, 2007). Selain itu, terdapat ungkapan mengenai anak laki-laki yang mengatakan, “na mate tu anakdo rohan ijolma Batak, Alana anak do mangudut hak tarombo, hak ni arta pusaka dohot barang dohot mangulahon ngolu di patik dohot uhum di bajolmaon di tano on” yang berarti, kerinduan orang Batak semata-mata tertuju pada anak laki-laki; karena anak laki-laki yang berperan melanjutkan silsilah, pewaris harta pusaka dan sebagai pelaku dalam pelaksanaan upacara adat. Pardosi (dalam Siahaan, 2009) menyebutkan beberapa faktor orang suku Batak Toba menginginkan anak laki-laki, yaitu anak laki-laki dianggap penerus keturunan (marga ayah), anak laki-laki dapat menggantikan kedudukan dalam acara adat dan tanggung jawab adat serta pembawa nama dalam silsilah kekerabatan dalam masyarakat Batak Toba.


(23)

Banyak pasangan Batak Toba terus berusaha untuk mendapatkan anak laki-laki meskipun telah lanjut usia dan memiliki anak perempuan yang amat banyak tetapi tidak semua berhasil memperoleh anak laki-laki (Irianto, 2005). Seorang suami suku Batak Toba yang napunu (sebutan untuk tidak memiliki anak laki-laki) tidak jarang mendapat desakan untuk memiliki istri lagi (bigami) atau cara lainnya yaitu dengan menceraikan isteri pertama lalu menikah lagi. Namun, semenjak agama Kristiani masuk ke tanah Batak Toba, hal tersebut tidak dianjurkan untuk dilakukan. Jika hal tersebut dilakukan maka akan mendapatkan sanksi dari gereja.

Penelitian yang dilakukan oleh Tambunan (2007) menunjukkan bahwa budaya yang dibawa bersamaan dengan masuknya agama Kristen ke tanah Batak telah banyak menggeser nilai-nilai budaya tradisional. Namun, ada yang tidak bisa diintervensi oleh ajaran agama Kristen dan tidak tergeserkan sampai saat ini yaitu mengenai pentingnya kehadiran anak laki-laki dalam suatu keluarga karena masih merupakan keharusan dan mutlak dengan alasan sebagai penerus marga dari bapaknya. Hal ini juga sejalan dengan temuan Silalahi (2010) bahwa kehadiran anak laki-laki bagi orang Batak Toba masih sangat berarti, anak laki-laki masih menjadi pemimpin dalam setiap upacara adat Batak Toba dan tanpa kehadiran anak laki-laki acara adat tidak akan bisa berjalan sebagaimana mestinya.

Irianto (2005) mengungkapkan bahwa salah satu tujuan hidup orang Batak yaitu mencapai hagabeon, memiliki (banyak) keturunan terutama laki-laki ternyata nyaris tidak berubah sampai saat ini. Bagi orang Batak yang


(24)

tidak punya anak laki-laki, tujuan tersebut diupayakan dengan mengadopsi anak laki-laki. Hal yang menarik untuk dicermati adalah meskipun pengangkatan anak sudah disahkan secara adat, agama dan negara, tetapi kaum kerabat masih tidak mengakui anak tersebut. Apalagi bila dikaitkan dengan waris maka orang yang dianggap tidak memiliki anak itu sangat tidak diuntungkan. Ihromi (dalam Irianto, 2005) juga mengungkapkan bahwa meskipun pranata tentang keluarga di kalangan orang Batak Toba mengalami perubahan dalam hal-hal tertentu, tetapi mengenai hal-hal yang mendasar berkaitan dengan tujuan utama dalam hidup itu tidak mengalami perubahan. Dalam suatu kehidupan masyarakat, tidak semua unsur-unsur kebudayaan mengalami perkembangan yang sama. Ada unsur kebudayaan yang cepat berubah, sebaliknya ada pula unsur kebudayaan yang lambat dan sukar berubah (Poerwanto, 2008).

Dalam keluarga suku Batak Toba, anak perempuan yang menikah akan pergi dari rumah dan mengikuti keluarga suami sehingga nama keluarganya pun akan ditinggalkan dan memakai nama dari keluarga suami. Anak perempuan tidak mempunyai hak tertentu dalam warisan orang tuanya. Adapun anak perempuan bisa mendapatkan bagian dari warisan jika ia dengan baik-baik meminta bagian dari harta itu dari ahli waris laki-laki (Irianto, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Nainggolan (2005) yang menunjukkan bahwa kedudukan anak perempuan dalam hukum waris adat telah mengalami perkembangan. Perkembangan dalam pembagian warisan yang sama dengan anak laki-laki sehingga hal ini menunjukkan adanya


(25)

persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan dan memberi pengaruh yang besar dalam bidang hukum adat.

Gultom (dalam Siahaan, 2009) menyebutkan bahwa keluarga suku Batak Toba yang tidak memiliki anak laki-laki akan merasa hidupnya hampa. Keadaan ini disebut napunu. Napunu artinya generasi seseorang sudah punah dan tidak berkelanjutan lagi pada silsilah Siraja Batak, bahkan namanya tidak akan pernah diingat atau disebut orang lagi. Pada suku Batak Toba yang napunu, akan merasa tidak berarti dalam hidup karena tidak ada lagi yang meneruskan marganya. Selain itu, terdapat perasaan tidak lengkap dalam diri sebagai orang Batak karena suku Batak Toba memegang prinsip keturunan patrilineal, yaitu menarik garis keturunan dari anak laki-laki. Pada wawancara yang dilakukan oleh Siahaan (2009) kepada seorang Raja Adat Batak Toba mengungkapkan bahwa orang Batak Toba khususnya bapak yang napunu akan memiliki perasaan tidak berarti, tidak lengkap sebagai orang Batak, sedih dan perasaan kurang puas dalam diri sehingga akan membentuk penilaian terhadap dirinya sendiri.

Penelitian terkait napunu dilakukan oleh Siahaan (2009) yang bertujuan untuk mengetahui harga diri bapak Batak Toba yang napunu. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif berupa fenomenologi menggunakan metode wawancara. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa bapak Batak Toba yang napunu memiliki perbedaan harga diri yaitu positif dan negatif. Hal ini berarti bahwa tidak semua bapak Batak Toba yang napunu memiliki harga diri yang positif ataupun negatif. Bapak Batak Toba


(26)

napunu yang memiliki harga diri positif memiliki aspek-aspek seperti perasaan berharga, mampu dan diterima yang menjadikan harga diri positif sedangkan yang memiliki harga diri negatif tidak merasakan ketiga hal tersebut. Hal ini juga menunjukkan bahwa walaupun ada bapak yang tidak memiliki anak laki-laki hanya anak perempuan saja namun tetap memiliki harga diri yang positif.

Dalam bukunya, Vergouwen (2004) menjelaskan seorang wanita Batak yang mengawini seorang laki-laki dan melahirkan anak-anak untuknya maka seorang perempuan telah menunaikan tugas alaminya. Dia telah memberikan kepada lelaki apa yang diinginkannya, dia telah membantu suaminya dalam membangun rumah tangga, dan karenanya ia tidak boleh diceraikan begitu saja oleh suaminya. Meski begitu, seorang suami suku Batak Toba yang napunu tidak jarang mendapat desakan untuk memiliki istri lagi (bigami). Salah satu alasan mengapa orang mengambil istri dua ialah karena ia tidak memiliki keturunan, terutama kegagalan mendapat anak laki-laki. Cara lainnya untuk mendapatkan anak ialah dengan menceraikan isteri pertama lalu menikah lagi. Vergouwen (2004) mengungkapkan bahwa salah satu alasan perceraian yang tidak mudah dipahami ialah yang disebabkan karena kedua pasangan itu hanya melahirkan anak perempuan. Perceraian karena alasan ini pun sering terjadi. Namun, hal ini bertentangan dengan agama yang dianut oleh mayoritas suku Batak Toba, yaitu Kristen-Katolik. Gilarso (1996) mengungkapkan perkawinan Kristiani bercirikan, yaitu (a) monogami, (b) tak terceraikan, (c) terbuka bagi keturunan dan (d) merupakan gereja mini. Dalam


(27)

hukum gereja disebutkan bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama kedudukannya (Tambunan, 2007).

Pada penelitian sebelumnya terkait napunu difokuskan pada subjek bapak saja. Namun dalam penelitian ini peneliti ingin melihat dari sisi keduanya yaitu suami dan istri sebagai pasangan. Permasalahan tersebut bukan hanya menyangkut pria tetapi wanita sebagai istri yang juga melahirkan anak harus menerima kenyataan bahwa perkawinan mereka tidak dianugerahi keturunan laki-laki hanya keturunan perempuan saja. Berlatar belakang kondisi kehidupan perkawinan, psikologis dan agama tersebut, peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai penerimaan diri pada masing-masing individu dan pengaruhnya pada pasangan. Oleh karena itu, penerimaan diri ini penting bagi pasangan suku Batak Toba yang tidak memiliki keturunan laki-laki.

Penerimaan diri merupakan salah satu ciri dari kepribadian yang matang (Allport, dalam Hjelle & Ziegler, 1981). Menurut Supratiknya (1995) menerima diri adalah memiliki penghargaan yang tinggi terhadap diri atau tidak bersikap sinis terhadap diri sendiri. Maslow (dalam Schultz, 1991) mengemukakan bahwa pribadi yang sehat ialah seorang yang mampu menerima diri, kelemahan-kelemahan dan kekuatan-kekuatan mereka tanpa keluhan atau kesusahan.

Hal terkait penerimaan diri juga ditegaskan oleh Allport (dalam Feist & Feist, 2008) yang mengungkapkan bahwa individu yang sehat psikologisnya ialah seorang yang tidak begitu jengkel jika terdapat hal-hal yang tidak


(28)

berjalan seperti yang direncanakan atau ketika mereka mengalami “hari buruk”. Mereka juga senantiasa tidak merasa terluka karena sadar bahwa rasa frustasi dan tidak nyaman adalah bagian dari hidup itu sendiri. Seseorang yang memiliki penerimaan diri mempunyai keyakinan diri (self-confidence) dan harga diri (self-esteem). Hal tersebut menjadikan seseorang lebih mampu menerima kritik daripada seseorang yang kurang menerima diri (Hurlock, 1974).

Hurlock (1974) mengemukakan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi seseorang untuk menyukai dan menerima keadaan dirinya, yaitu pemahaman diri, harapan yang realistis, tidak adanya hambatan-hambatan dari lingkungan, sikap sosial yang mendukung, tidak adanya stres tekanan emosional, kesuksesan yang pernah dicapai, identifikasi dengan orang yang mempunyai penyesuaian diri baik, pola pengasuhan di masa kecil yang baik dan konsep diri yang stabil.

Beberapa penelitian sebelumnya terkait dengan penerimaan diri meneliti subjek yang berbeda-beda. Penelitian penerimaan diri yang dilakukan oleh Kuntari (2008) adalah penelitian yang bertujuan untuk mengetahui tingkat penerimaan diri pada pasien pasca mastektomi. Penelitian ini berupa deskriptif dengan menggunakan metode survey. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 60 orang pasien kanker payudara yang telah melaksanakan mastektomi. Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner yaitu skala penerimaan diri. Hasil penelitian yang diperoleh adalah pasien kanker payudara yang melakukan mastektomi memiliki tingkat penerimaan


(29)

diri yang tinggi dengan memiliki pengetahuan tentang fisik diri, pemahaman yang realistis tentang kemampuan diri dan kepuasan terhadap dirinya. Namun, pada penelitian ini terdapat kelemahan yaitu menggunakan skala yang hanya terbatas pada tingkat penerimaan diri. Selain itu, penelitian ini belum menggali faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penerimaan diri dan bagaimana proses penerimaan diri tersebut terjadi pada diri subjek.

Penelitian lainnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Wibowo (2012) terkait dengan penerimaan diri individu yang mengalami prekognisi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif berupa studi kasus dengan metode wawancara, observasi dan unobstrusive berupa data tertulis subjek. Subjek pada penelitian ini yaitu seorang wanita berusia 23 tahun. Hasil dari penelitian ini adalah subjek memiliki penerimaan diri yang baik, merasa senang dan terbantu dengan kondisinya sehingga tindakannya terarah. Faktor yang berperan dominan dalam penerimaan diri individu yang mengalami prekognisi yaitu ibu yang juga mengalami kondisi serupa dengan subjek. Penelitian ini memiliki kelemahan yaitu jumlah subjek penelitian yang hanya satu dan kurang memaparkan proses penerimaan diri.

Selanjutnya, terdapat penelitian terkait penerimaan diri terhadap kondisi fisik pada kaum waria. Penelitian ini dilakukan oleh Adaninggar (2006) dengan pendekatan kualitatif deskriptif. Penelitian ini melibatkan empat orang waria. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak tiga orang waria memiliki penerimaan diri terhadap kondisi fisiknya sedangkan satu


(30)

subjek lainnya tidak mampu menerima kondisi fisik yang berbeda dengan keinginan jiwanya.

Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya seperti tingkat penerimaan diri dan gambaran penerimaan diri memiliki kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut adalah faktor-faktor dan proses penerimaan diri yang tidak dijelaskan hanya tingkat penerimaan diri saja, jumlah subjek penelitian prekognisi yang hanya satu dan kurang pemaparan mengenai proses penerimaan diri. Perbedaan permasalahan psikologis yang dialami oleh subjek yang mengalami prekognisi dan kaum waria tidak dapat digeneralisasikan pada subjek orang suku Batak Toba yang napunu yaitu perasaan tidak berarti, sedih dan perasaan kurang puas dalam diri. Sedangkan subjek prekognisi dan kaum waria menghadapi permasalahan psikologis seperti dipandang rendah dan dikucilkan oleh lingkungan serta adanya usaha menutup diri.

Melihat kondisi psikologis yang dihadapi oleh orang Batak Toba napunu yang telah diungkapkan sebelumnya, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian pada pasangan suku Batak Toba yang tidak memiliki keturunan laki-laki dan dapat mengetahui gambaran penerimaan diri serta mengungkap hal-hal yang mempengaruhi pasangan tersebut dalam upaya penerimaan diri terkait dengan 3H yang menjadi nilai-nilai tujuan hidup suku Batak Toba. Penerimaan diri diperlukan oleh pasangan suku Batak Toba agar tidak hanya terpaku pada keterbatasan yang dimiliki yaitu tidak memiliki anak laki-laki, tetapi juga mampu menghargai apa yang telah dimiliki yaitu anak perempuan


(31)

yang sama berharganya dengan anak laki-laki dari segi agama. Penelitian ini perlu dilakukan karena penelitian yang mengungkap penerimaan diri lebih banyak pada kaum transgender dan penderita penyakit tertentu. Penelitian mengenai napunu pada suku Batak Toba masih sangat jarang diteliti. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif untuk mengungkap rumusan masalah dalam penelitian ini.

B. Rumusan Masalah

Mengacu dari paparan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, rumusan masalah ialah bagaimana pasangan suku Batak Toba berupaya menerima diri atas keadaan keluarganya yang tidak memiliki anak laki-laki.

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui bagaimana penerimaan diri masing-masing individu pada pasangan suku Batak Toba yang tidak memiliki anak laki-laki.

2. Mengetahui bagaimana proses saling mempengaruhi penerimaan diri masing-masing individu terhadap pasangannya.


(32)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan dan pemahaman ilmu psikologi khususnya di bidang psikologi kepribadian dan psikologi sosial mengenai penerimaan diri pada pasangan suku Batak Toba yang tidak memiliki anak laki-laki.

2. Manfaat praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi mengenai pasangan suku Batak Toba yang tidak memiliki anak laki-laki dalam proses menerima diri, pengaruh pasangan terhadap proses penerimaan diri masing-masing individu dan masukan bagi pasangan agar realistis dalam menghadapi kenyataan.

b. Hasil penelitian ini diharapkan bagi lingkungan terkhusus keluarga dapat memberikan interaksi yang positif kepada pasangan suku Batak


(33)

14 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penerimaan Diri

1. Pengertian Penerimaan Diri

Penerimaan diri merupakan salah satu ciri lain dari kepribadian yang matang (Allport, dalam Hjelle & Ziegler, 1981). Hurlock (1981) mengemukakan penerimaan diri adalah toleransi seseorang terhadap peristiwa frustasi maupun menjengkelkan serta pengakuan terhadap kekuatan yang dimiliki. Hal ini juga ditegaskan oleh Supratiknya (1995) yang mengungkapkan bahwa menerima diri adalah memiliki penghargaan yang tinggi terhadap diri atau tidak bersikap sinis terhadap diri sendiri. Hal tersebut berkaitan dengan kerelaan membuka diri atau mengungkapkan pikiran, perasaan dan reaksi kepada orang lain, kesehatan psikologis individu serta penerimaan terhadap orang lain.

Maslow (dalam Schultz, 1991) mengemukakan bahwa pribadi yang sehat ialah seorang yang mampu menerima diri, kelemahan-kelemahan dan kekuatan-kekuatan mereka tanpa keluhan atau kesusahan. Hal ini juga dipertegas oleh Jersild (Hurlock, 1973) yang menjelaskan bahwa seorang yang dapat menerima diri adalah seorang yang menghormati dirinya sendiri dan hidup dengan seimbang; dapat mengenali keinginan-keinginan, harapan-harapan, ketakutan dan kebencian serta lebih bebas untuk membuat keputusan sendiri dan bertanggung jawab atas hal tersebut.


(34)

Hurlock (1973) mengungkapkan bahwa dengan sikap menerima diri, seseorang “menyukai” dirinya dan merasa bahwa orang lain juga menemukan hal menyenangkan yang berkualitas di dalam dirinya. Penerimaan diri akan meningkatkan penilaian diri, dapat mengkritik dirinya sendiri dan bertanggung jawab terhadap pilihannya, tidak menyalahkan ataupun mencela orang lain karena keadaan dirinya. Adanya penerimaan diri tersebut akan meningkatkan tolerasi terhadap orang lain dan terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya (Wiley; dalam Josephine dan Srisuini, 1998). Selain itu, individu melihat manusia, dunia dan dirinya seperti apa adanya.

Hal terkait penerimaan diri juga ditegaskan oleh Allport (dalam Feist & Feist, 2008) yang mengungkapkan bahwa individu yang sehat psikologisnya ialah seorang yang tidak begitu jengkel jika terdapat hal-hal yang tidak berjalan seperti yang direncanakan atau ketika mereka mengalami “hari buruk”. Mereka juga senantiasa tidak merasa terluka karena sadar bahwa rasa frustasi dan tidak nyaman adalah bagian dari hidup itu sendiri. Seseorang yang memiliki penerimaan diri mempunyai keyakinan diri (self-confidence) dan harga diri (self-esteem). Hal tersebut menjadikan seseorang lebih mampu menerima kritik daripada seseorang yang kurang menerima diri (Hurlock, 1974). Penerimaan diri yang dilakukan seseorang akan mengarahkan pada perilaku yang dianggap penyesuaian diri dan penyesuaian sosial.


(35)

Menurut Ryff (dalam Wibowo, 2012), penerimaan diri merupakan keadaan dimana seseorang memiliki penilaian positif terhadap dirinya, menerima serta mengakui segala kelebihan maupun segala keterbatasan yang ada dalam dirinya tanpa merasa malu atau merasa bersalah terhadap kodrat dirinya. Ryff juga menjelaskan bahwa individu yang memiliki penerimaan diri yang rendah, apabila ia merasa tidak puas dengan dirinya, merasa kecewa dengan kehidupan yang telah dijalaninya, mengalami kesulitan dengan sejumlah kualitas pribadinya dan ingin menjadi individu yang berbeda dari dirinya sendiri.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penerimaan diri adalah persepsi yang dimiliki oleh seseorang terkait kemampuannya dalam menerima dan memahami diri sendiri atas segala kelebihan dan keterbatasan yang dimilikinya serta kesediaan untuk hidup dengan segala karakteristik dirinya tanpa merasa terganggu.

2. Aspek-aspek Penerimaan Diri

Penerimaan diri memiliki beberapa aspek. Sheerer (dalam Cronbach, 1963) mengemukakan beberapa aspek dalam penerimaan diri, yaitu sebagai berikut:

a. Memiliki keyakinan akan kemampuan dirinya dalam menjalani hidup. b. Menganggap dirinya berharga sebagai seorang manusia yang sama atau

sederajat dengan orang lain dan tidak memandang diri sebagai orang yang tidak normal.


(36)

c. Menyadari dan tidak malu atau takut dicela oleh orang lain atas keadaannya.

d. Memiliki dan mengikuti prinsip/keyakinan hidupnya sendiri. e. Bertanggung jawab terhadap perbuatannya.

f. Menerima pujian atau celaan secara obyektif.

g. Tidak menyalahkan atau menghukum diri sendiri atas keterbatasan yang dimiliki ataupun mengingkari kelebihan yang dimiliki.

h. Tidak menyangkal impuls dan emosi atau merasa bersalah atas hal-hal tersebut yang ada dalam dirinya.

3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Diri

Hurlock (1974) menjelaskan bahwa ada beberapa kondisi yang menentukan seseorang dapat menyukai dan menerima dirinya sendiri. Faktor-faktor tersebut diantaranya, yaitu:

a. Pemahaman diri

Pemahaman diri seorang individu tidak ditentukan oleh kapasitas intelektualnya tapi melalui kesempatan yang dimiliki untuk menggali potensi-potensi yang ada di dalam dirinya. Individu harus memiliki kesempatan untuk mencoba kemampuannya tanpa harus dihalangi oleh orang lain. Pemahaman dan penerimaan diri saling berhubungan. Semakin baik seseorang memahami dirinya, semakin dapat ia menerima dirinya sendiri, dan sebaliknya. Kurangnya pemahaman diri dapat mengarahkan pada kesenjangan antara konsep diri yang ideal


(37)

dan gambaran yang diterima melalui kontak sosial, yang membentuk dasar konsep dirinya.

b. Harapan-harapan yang realistis

Harapan muncul jika seorang individu mampu menentukan sendiri harapannya yang disesuaikan dengan pemahaman mengenai kemampuan yang dimiliki, bukan harapan yang diarahkan oleh orang lain. Hal tersebut menjadi realistis bila individu memahami keterbatasan dan kekuatannya dalam mencapai tujuan. Individu yang semakin realistis terhadap harapan dan tujuannya akan semakin memiliki kesempatan untuk mencapai harapan dan tujuannya.

c. Tidak adanya hambatan dari lingkungan

Ketidakmampuan individu untuk mencapai tujuan dan harapan yang realistis dapat berasal dari lingkungan yang tidak mendukung, misalnya ras, jenis kelamin, maupun agama. Ketika hal tersebut terjadi, individu yang mengetahui potensinya akan sulit untuk menerima diri. Namun, ketika lingkungan mendorong individu untuk mencapai kesuksesan, maka ia akan merasa puas dengan pencapaiannya yang membuktikan bahwa harapannya adalah sesuatu yang realistis.

d. Tingkah laku sosial yang mendukung

Pada saat seseorang menampilkan tingkah laku yang diterima oleh lingkungan sekitar, maka ia akan mendapat perlakuan dan


(38)

penerimaan yang baik dari orang-orang disekitarnya. Hal tersebutlah yang membantu seseorang juga akan menerima dirinya sendiri.

e. Tidak adanya tekanan emosi yang berat

Individu yang tidak mengalami tekanan emosi yang berat akan dapat bekerja atau melakukan sesuatu dengan sebaik mungkin. Tidak adanya tekanan emosi yang berat akan membuat individu mampu rileks, bahagia daripada marah, tidak kecewa dan merasa frustasi. Kondisi ini berkontribusi sebagai dasar sebuah evaluasi dan penerimaan diri yang baik.

f. Kesuksesan yang pernah dicapai

Kegagalan yang sering didapatkan oleh individu dapat mengakibatkan penolakan terhadap dirinya sendiri, sedangkan individu yang sering berhasil atau mencapai kesuksesan dapat menimbulkan penerimaan diri.

g. Identifikasi bagi orang yang mempunyai penyesuaian diri baik

Seseorang yang mengidentifikasikan diri dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik (well-adjusted) akan mengembangkan atau membangun sikap-sikap yang positif terhadap diri sendiri dan bertingkah laku baik. Hal ini dapat menimbulkan penilaian dan penerimaan diri yang baik.

h. Perspektif diri

Seseorang yang mampu melihat dirinya sama seperti orang lain melihat dirinya memiliki pemahaman diri yang baik dibandingkan


(39)

dengan seseorang yang memiliki perspektif diri cenderung sempit dan terdistorsi. Perspektif diri yang baik dapat mendukung penerimaan diri.

i. Pola pengasuhan di masa kecil

Pengasuhan demokratis mengarahkan pada pola kepribadian yang sehat. Seseorang yang diasuh dengan pola ini cenderung berkembang menjadi orang yang dapat menghargai diri sendiri dan bertanggung jawab mengendalikan perilakunya yang dilandasi oleh peraturan dan regulasi yang telah dibuat.

j. Konsep diri yang stabil

Konsep diri yang stabil merupakan cara seseorang melihat dirinya dengan cara yang sama sepanjang waktu. Konsep diri yang baik akan mengarahkan pada penerimaan diri sedangkan konsep diri yang buruk akan mengarahkan pada penolakan diri. Namun, bila individu tidak memiliki konsep diri yang stabil, maka terkadang individu tersebut akan menyukai dirinya dan terkadang tidak akan menyukai dirinya sehingga akan sulit menunjukkan kepada orang lain siapa dirinya yang sebenarnya. Seseorang yang mengembangkan kebiasaan untuk menerima dirinya, maka hal itu akan menguatkan konsep diri yang baik sehingga penerimaan diri akan menjadi suatu kebiasaan bagi individu tersebut.


(40)

4. Dampak Penerimaan Diri

Hurlock (1974) menjelaskan bahwa seseorang yang semakin baik dalam menerima dirinya, maka akan semakin baik pula penyesuaian diri dan sosialnya. Dampak dari penerimaan diri tersebut terbagi menjadi dua, yaitu:

a. Dampak dalam penyesuaian diri

Orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik mampu mengenali kelebihan dan kekurangan yang dimiliki. Biasanya ia memiliki keyakinan diri (self-confidence) dan harga diri (self-esteem). Selain itu, ia juga lebih dapat menerima kritikan dibandingkan dengan orang yang kurang dapat menerima diri. Orang yang memiliki penerimaan diri dapat mengevaluasi dirinya secara realistis dengan penilaian diri yang kritis (critical self-appraisals). Selain itu, seseorang juga akan bersikap jujur dan tidak berpura-pura. Hal penting lainnya adalah individu merasa puas dengan menjadi dirinya sendiri tanpa ada keinginan untuk menjadi orang lain.

b. Dampak dalam penyesuaian sosial

Penerimaan diri biasanya disertai dengan adanya penerimaan diri dari orang lain. Orang yang memiliki penerimaan diri akan merasa aman untuk memberikan perhatiannya kepada orang lain seperti menunjukkan rasa empati. Hal tersebut menjadikan seseorang yang memiliki penerimaan diri dapat mengadakan penyesuaian sosial yang lebih baik dibandingkan dengan orang yang merasa rendah diri atau


(41)

merasa tidak adekuat sehingga mereka akan cenderung untuk bersikap inferior atas dirinya sendiri. Selain itu, seseorang yang menerima dirinya memiliki toleransi kepada orang lain terkait kekurangan dan kelemahan yang ada. Secara umum, semakin seseorang dapat menerima dirinya, maka ia akan lebih mudah diterima oleh orang lain di lingkungannya.

5. Proses/Tahap-tahap Penerimaan Diri

Kubler-Ross mengemukakan teori The Five Stages of Dying, yaitu tentang lima tahapan proses ketika pasien berhadapan dan mengatasi kedukaan dan tragedi, terutama ketika didiagnosa memiliki penyakit berat atau mengalami kerugian yang sangat besar. Teori ini didasari dari penelitian dan wawancara oleh Kubler-Ross dengan lebih dari 500 pasien yang akan menghadapi kematian. Pada penelitian ini, peneliti menjadikan kerangka berpikir Kubler-Ross untuk melihat proses tahapan penerimaan diri pasangan suku Batak Toba yang tidak memiliki keturunan laki-laki. Peneliti menggunakan kerangka berpikir ini karena peneliti menilai bahwa seseorang yang menghadapi kematian dan seseorang atau keluarga suku Batak Toba yang tidak memiliki keturunan laki-laki sama-sama mengalami peristiwa yang menyakitkan, kehilangan harapan dan mengalami kerugian yang sangat besar di dalam hidupnya walaupun bentuk ketakutan, kehilangan harapan dan kerugiannya berbeda.


(42)

Alasan lainnya peneliti memutuskan untuk menggunakan tahapan penerimaan diri Kulber-Ross dalam proses penerimaan karena dapat menggambarkan penerimaan diri pasangan suku Batak Toba terkait dengan keadaan dan kondisi yang dialami dalam kehidupan perkawinannya. Pasangan suami istri ini harus menghadapi kenyataan bahwa mereka tidak memiliki anak laki-laki yang memiliki arti penting dalam kehidupan sebuah keluarga suku Batak Toba. Peneliti menggunakan tahapan penerimaan diri ini, juga karena belum adanya tahap-tahap dalam proses penerimaan diri yang dibahas secara umum dan atau yang dikhususkan terkait kondisi napunu.

Lima tahapan dalam proses penerimaan diri menurut Kubler-Ross (1998), antara lain:

a. Tahap Penyangkalan dan Isolasi/Pengasingan Diri (denial and isolation)

Tahap pertama ini seseorang akan merasa terkejut, tidak percaya, kebingungan, gelisah dan menghindari kenyataan atau tidak mengakui kondisi yang dialaminya hingga melakukan penyangkalan. Pada tahapan ini, penyangkalan memunculkan suatu sistem pertahanan (defense mechanism), dimana seseorang berusaha menghindari implikasi yang ditimbulkan dari keadaannya. Hal ini juga memungkinkan seseorang mengasingkan diri diri/isolasi.


(43)

b. Tahap Kemarahan (anger)

Pada tahap kedua ini muncul perasaan marah, gusar, cemburu, benci dan sering diproyeksikan kepada lingkungan sekitarnya terutama orang terdekat. Hal ini karena kurangnya perhatian atau perhatian yang berlebihan dari orang terdekat, harapan tidak sesuai dengan kenyataan, ada tuntutan-tuntutan dan keluhan-keluhan. Timbul perasaan bersalah yang diakibatkan oleh sikap menyalahkan diri sendiri karena dianggap sebagai penyebab yang membuat diri mengalami suatu hal buruk atau karena kelemahan yang dialami.

c. Tahap Tawar Menawar (bargaining)

Tahap ketiga ini, ada pengalaman religius dengan Tuhan. Hal itu membuat seseorang mulai melakukan proses tawar menawar terhadap orang lain terutama kepada Tuhan. Ada usaha untuk menghibur dirinya. Seseorang berjanji untuk mengubah kehidupannya dan akan didedikasikan hanya untuk Tuhan atau untuk melayani orang lain demi memperoleh apa yang diharapkannya. Namun, janji-janji tersebut tidak selalu terpenuhi dalam kenyataannya. Pada tahap ini memungkinkan muncul perasaan bersalah, ketakutan dan merasa merupakan suatu hukuman atas kesalahannya.

d. Tahap Depresi (depression)

Pada tahap keempat ini kemarahan seseorang berganti menjadi rasa kehilangan, tertekan, malu yang tidak realistis dan putus asa yang


(44)

mengarah pada depresi. Tahap ini terjadi saat seseorang tidak lagi dapat menyangkal, marah dan melakukan penawaran atas keadaannya.

e. Tahap Penerimaan (acceptance)

Tahap kelima seseorang mulai menerima takdir. Hal tersebut merupakan sikap penerimaan diri atas kondisi yang dialaminya. Orang tersebut akan merasakan kedamaian dan penerimaan, sudah dapat melalui tahapan sebelumnya dengan baik sehingga tidak lagi merasa depresi dan marah, tidak ada ketakutan dan keputusasaan.

B. Suku Batak Toba 1. Suku Batak Toba

Tanah Batak terletak di Sumatera sebelah utara, dahulu dinamai Pulau Morsa, yang artinya pulau tempat banyak ular sa (sawah), sebangsa ular yang besar (Harahap, 1960). Menurut keyakinan yang masih hidup sampai sekarang, perkampungan pertama orang Batak berada di tepi Danau Toba yang bernama Sianjur Mula-Mula. Dari tempat inilah tersebar keturunan suku Batak ke seluruh penjuru Tanah Batak (Siahaan, 1964). Suku Batak memiliki beberapa sub-suku, yaitu Batak Toba, Batak Angkola, Batak Mandailing, Batak Simalungun, Batak Pakpak dan Batak Karo.

Gultom (dalam Siahaan, 2009) menjelaskan bahwa suku Batak Toba banyak tinggal di daerah pedalaman Sumatera Utara yang merupakan dataran tinggi dengan banyak jurang. Daerah yang didiami oleh orang


(45)

suku Batak Toba meliputi pulau Samosir dan daerah sekitar Danau Toba, secara geografis merupakan pusat Tanah Batak dengan mayoritas penduduknya beragama Kristen. Dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah suku Batak Toba. Hal yang mendasari peneliti memilih suku Batak Toba adalah jumlah orang suku Batak Toba yang lebih banyak dan mudah dijumpai dibanding suku Batak lainnya.

2. Nilai-nilai Kehidupan Suku Batak Toba

Harahap dan Siahaan (1987) menyatakan bahwa tujuan hidup yang ideal bagi masyarakat suku Batak Toba tercakup dalam nilai 3H yakni hamoraon, hagabeon, dan hasangapon. Konsep 3H ini merupakan wujud dari kebudayaan sebagai ide dan gagasan yang terus terwarisi dan mendarah daging bagi masyarakat suku Batak Toba. Ketiga konsep tujuan hidup itu, yaitu:

a. Hagabeon

Harahap dan Siahaan (1987) menjelaskan bahwa hagabeon sama artinya dengan bahagia dan sejahtera. Kebahagiaan yang dimaksud adalah kebahagiaan dalam keturunan. Keturunan dipandang sebagai pemberi harapan hidup karena keturunan adalah kebahagiaan yang tidak ternilai bagi orang tua, keluarga dan kerabat atau dengan kata lain, kekayaan paling berharga bagi orang Batak adalah keturunan, anak-cucu.


(46)

Dalam hak ini, anak laki-laki memiliki arti penting di dalam kehidupan sebuah keluarga. Keluarga yang tidak memiliki anak laki diibaratkan sebatang pohon yang tidak memiliki akar. Anak laki-laki berkewajiban mengurus kelangsungan hidup keluarga juga berperan sebagai penerus marga (Nurelide, 2007). Gultom (dalam Siahaan, 2009) menyebutkan bahwa keluarga suku Batak Toba yang tidak memiliki anak laki-laki akan merasa hidupnya hampa. Keadaan ini disebut napunu. Napunu artinya generasi seseorang sudah punah dan tidak berkelanjutan lagi pada silsilah Siraja Batak, bahkan namanya tidak akan pernah diingat atau disebut orang lagi.

Seorang suami suku Batak Toba yang napunu tidak jarang mendapat desakan untuk memiliki istri lagi (bigami). Hal tersebut bertujuan untuk mendapatkan keturunan laki-laki dalam upaya meneruskan keturunan (Siahaan, 2009). Cara lainnya untuk mendapatkan anak ialah dengan menceraikan isteri pertama lalu menikah lagi.

b. Hamoraon

Hamoraon adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh seseorang dimana kekayaan ini diidentikan dengan harta kekayaan dan anak. Tanpa anak individu tidak akan merasa kaya meskipun banyak harta. Pada suku Batak Toba terdapat ungkapan “Anakhon hi do hamoraon di ahu” yang berarti bahwa anak adalah harta yang tertinggi baginya (Harahap & Siahaan, 1987). Berkaca dari filosofi tersebut, kehadiran


(47)

anak mempunyai makna yang sangat penting dalam keluarga-keluarga suku Batak Toba. Kehadiran anaklah yang membuat orang tua dipandang hormat di tengah-tengah masyarakat. Meskipun dalam masyarakat Batak Toba tidak mengenal sistem kasta, namun anak secara tidak langsung ikut menopang posisi orang tuanya (“Anak, Harta Bagi Orang Batak,” 2011).

c. Hasangapon

Hasangapon (kehormatan dan kemuliaan) berkaitan dengan luasnya hubungan dengan banyak orang (Irianto, 2005). Seseorang bisa mencapai hasangapon dengan terlebih dahulu berketurunan (gabe) dan memiliki kekayaan (mora). Hasangapon sebagai salah satu dari 3H merupakan nilai budaya utama yang mencirikan orang Batak Toba yang sempurna sesuai ukuran nilai-nilai budaya Batak Toba. Orang Batak Toba yang telah mencapai taraf sangap adalah pemberi kebijakan, pemberi habisuhon, kearifan, sekaligus menjadi teladan masyarakatnya.

3. Garis Keturunan Suku Batak Toba

Sistem kekerabatan orang suku Batak adalah patrilineal – menurut garis keturuanan ayah. Garis keturunan laki-laki diteruskan oleh anak laki-laki dan menjadi punah kalau tidak ada lagi anak laki-laki yang dilahirkan (Vergouwen, 2004). Siahaan (1964) mengungkapkan bahwa seorang yang meninggal tanpa mempunyai putera (walaupun ada puteri) berarti putus mata rantai silsilahnya karena tidak ada yang meneruskan.


(48)

Keadaan ini disebut napunu. Napunu artinya generasi seseorang sudah punah dan tidak berkelanjutan lagi pada silsilah Siraja Batak, bahkan namanya tidak akan pernah diingat atau disebut orang lagi (Gultom, dalam Siahaan, 2009). Hal tersebut terlihat pada peta genealogis dan sejarah orang Batak Toba yang hanya dapat ditelusuri melalui garis laki-laki (Vergouwen, 2004).

Tiap orang suku Batak mempunyai marga (Siahaan, 1964). Marga adalah bagian nama yang merupakan tanda dari keluarga mana seseorang berasal. Marga adalah asal-mula nenek moyang yang terus dipakai di belakang nama. Marga dalam sebuah keluarga Batak Toba akan diteruskan oleh anak laki-laki (siboan goar). Adapun posisi perempuan Batak Toba adalah sebagai pencipta hubungan besan karena perempuan harus menikah dengan laki-laki dari kelompok patrilineal yang lain (Vergouwen, 2004). Hal tersebut menjadikan nilai anak laki-laki menjadi lebih penting daripada anak perempuan sehingga dominasi pria nampak dalam berbagai cara, misalnya pemimpin marga harus seorang pria dan diambil berdasarkan garis ayah.

Pardosi (dalam Siahaan, 2009) menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat suku Batak Toba menginginkan anak laki-laki, yaitu:

a. Anak laki-laki dianggap penerus keturunan (marga ayah)

Anak laki-laki dianggap sebagai kemudi keluarga yang diharapkan membawa dan mengangkat nama baik keluarga. Jika


(49)

seorang ayah sudah memiliki anak laki-laki, ia sudah dapat dikatakan martunas (bertunas) yang berarti sudah ada penggantinya bila ia nanti meninggal. Saat seorang ayah meninggal, walaupun badannya sudah meninggal tetapi namanya tetap hidup. Hal ini seperti perumpamaan “martunas, pago tu tano do natorasna, jongjong di langit peak di tano” yang berarti, si ayah hanya badannya yang meninggal karena dia telah diganti anaknya. Namanya telah dijunjung setinggi langit dan selalu ada di atas dunia.

b. Anak laki-laki dapat menggantikan kedudukan dalam acara adat dan tanggung jawab adat

Anak laki-laki dapat menggantikan kedudukan ayahnya tampak saat ada suatu pesta. Anak laki-laki ini dapat menggantikan ayahnya yang tidak dapat hadir dan bertanggung jawab serta melaksanakan tugas sang ayah. Selain itu, jika dalam satu keluarga sang ayah telah meninggal, maka anak laki-laki tertua yang bertanggung jawab atas keluarganya.

c. Anak laki-laki pembawa nama dalam silsilah kekerabatan dalam masyarakat suku Batak Toba

Nama kekerabatan atau marga seorang ayah pada suku Batak Toba hanya dapat dijadikan dari keturunannya yang laki-laki. Seorang ayah tidak dapat menjadikan nama kekerabatannya dari anak perempuan karena anak dari anaknya yang perempuan tidak lagi se-marga dengan sang ayah. Sebagai gambaran sebagai berikut:


(50)

A (adalah seorang marga) E (adalah seorang ayah) B (anak laki-laki A) F (anak perempuan E)

C (anak B) G (Anak F)

Maka si A dapat menjadikan anak B sebagai nama kekerabatan (marga) sedangkan si E tidak dapat memakai anak F sebagai nama kekerabatannya.

Harahap dan Siahaan (1987) juga mengemukakan lima nilai peran anak dalam budaya suku Batak Toba, yaitu:

a. Pencapaian tujuan hidup yang ideal

Tujuan hidup yang ideal bagi masyarakat suku Batak Toba tercakup dalam nilai kehidupan 3H, yaitu hagabeon (keturunan dan panjang umur), hamoraon (kekayaan), dan hasangapon (kehormatan dan kemuliaan).

b. Pelengkap Dalihan Na Tolu

Dalihan Na Tolu merupakan suatu ungkapan yang menyatakan kesatuan hubungan kekeluargaan pada suku Batak Toba. Ketiga hubungan itu yakni hula-hula (keluarga dari pihak pemberi istri atau wanita), dongan sabutuha (kawan semarga), dan boru (keluarga dari pihak penerima istri atau wanita). Anak laki-laki nantinya akan beristri dan keluarga pihak pemberi istri akan disebut dengan hula-hula sedangkan anak perempuan akan bersuami dan keluarga pihak penerima istri akan disebut boru. Dengan demikian lengkaplah unsur dalihan na tolu. Adanya dongan sabutuha membuat seseorang yang


(51)

akan menggelar suatu pesta atau upacara adat harus merencanakan dan bertindak secara musyawarah dengan dongan sabutuha serta tidak dapat bertindak menurut kehendaknya sendiri.

c. Penambah sahala orang tua

Anak dipandang dapat menambah sahala (wibawa) orang tua. Ph. L. Tobing menjelaskan sahala sebagai salah satu aspek dari tondi (roh). Seseorang yang memiliki kewibawaan, kekayaan dan keturunan adalah orang yang memiliki sahala. Sahala seseorang akan bertambah bila hal-hal tersebut juga bertambah.

d. Pewaris harta kekayaan

Dalam budaya suku Batak Toba, yang menjadi pewaris seutuhnya adalah anak laki-laki, sementara anak perempuan bisa memiliki sebagian harta warisan apabila saudara laki-lakinya mau berbagi sebagian dari harta yang dia warisi (Vergouwen, 2004). e. Penerus garis keturunan (marga)

Masyarakat umum suku Batak mengartikan marga sebagai kelompok suku dan suku induk, yang berasal dari rahim yang sama (Vergouwen, 2004). Hal ini berdasarkan penetapan struktur garis keturunan mereka yang menganut garis keturunan laki-laki (patrilineal) yang berarti garis marga suku Batak Toba diteruskan oleh anak laki-laki. Jika orang suku Batak Toba tidak memiliki anak laki-laki maka marga-nya akan punah.


(52)

4. Pewarisan Nilai-nilai Kebudayaan Suku Batak Toba

Dalam kebudayaan masyarakat suku Batak Toba ada dikenal Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu (tungku yang berkaki tiga) ini menjadi sandaran seluruh tatanan sosio-kultural suku Batak. Dalihan Na Tolu adalah ide vital, suatu kompleks gagasan yang merupakan pandangan hidup dan sumber perilaku masyarakat Batak Toba dan menumbuhkan kompleks aktivitas masyarakat dalam wujud karya budaya baik budaya spiritual maupun budaya material. Di dalam kehidupan orang Batak Toba, penerapan Dalihan Na Tolu dapat dilihat dengan jelas didalam kehidupan sehari-hari khususnya pada setiap acara adat Batak Toba seperti perkawinan, kematian, warisan dan lain-lain (Simanjuntak, 2009). Sistem kekerabatan ini menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak dilahirkan hingga meninggal dalam tiga posisi yaitu hula-hula, dongan sabutuha dan boru. Ketiga unsur berdiri sendiri tidak akan ada artinya tetapi harus bekerja sama satu sama lain baru bermanfaat. Dari karakter kultural inilah lahir berbagai pola pikir dan pola laku bahkan akhirnya membentuk local wisdom di kalangan masyarakat Batak Toba termasuk karakter hula-hula, dongan sabutuha dan boru.

Dalihan Na Tolu di lingkungan suku Batak Toba juga dikenal adanya sistem marga. Marga adalah bagian nama yang merupakan tanda dari keluarga mana seseorang berasal. Marga akan diarsipkan kedalam Tarombo (catatan pohon keluarga) pada masing-masing keluarga. Tarombo merupakan literasi tercetak yang dipegang setiap keturunan


(53)

laki-laki keluarga Batak Toba. Dari Tarombo tersebut seseorang laki-laki-laki-laki Batak Toba akan mengetahui silsilah keluarga dan mengetahui tingkatan diri dalam lingkup sosial (Siahaan, 1964). Jika sebuah keluarga suku Batak Toba tidak memiliki anak laki-laki maka marga keluarga tersebut akan punah. Hal ini karena struktur garis keturunan suku Batak Toba yang menganut sistem patrilineal – menurut garis keturunan ayah (Vergouwen, 2004).

Melalui marga maka orang Batak Toba dengan sendirinya mengikuti proses penelusuran silsilah untuk mengetahui hubungan kekerabatan yang disebut martutur/martarombo. Partuturan adalah kunci pelaksanaan Dalihan Na Tolu. Konsep partuturan ini sudah ditanamkan kepada setiap anak Batak Toba di dalam keluarga sejak kecil dalam pengasuhan anak. Sebagai sistem kekerabatan atau hubungan sosial, Dalihan Na Tolu juga menjadi pola atau mewarnai pola pengasuhan anak dalam keluarga suku Batak Toba (Harahap & Siahaan, 1987).

Dalam kebudayaan suku Batak Toba juga dijumpai rumusan mengenai tujuan hidup atau nilai-nilai utama dalam hidup 3H, yaitu hagabeon (keturunan dan panjang umur), hamoraon (kekayaan), dan hasangapon (kehormatan dan kemuliaan). Tujuan hidup 3H ini terbentuk di dalam lingkungan suku Batak Toba karena merupakan wujud dari kebudayaan yang terus menerus terwarisi, disosialisasikan secara mantap dan mendarah daging bagi masyarakat Batak Toba (Harahap & Siahaan,


(54)

1987). Khususnya mengenai tujuan hidup yang utama itu, dalam pandangan Batak memiliki banyak anak (hagabeon) adalah sangat penting.

Dalam banyak upacara perkawinan selalu diungkapkan permohonanan berkat agar pasangan diberi karunia banyak keturunan (Harahap & Siahaan, 1987, Irianto, 2005). Ungkapan permohonan tersebut diucapkan oleh pihak hula-hula: “maranak sapuluh pitu, marboru sapulu onom” (tujuh belas orang anak laki-laki, enam belas orang anak perempuan) (Irianto, 2005). Ungkapan ini memperlihatkan bahwa anak laki-laki memiliki keistimewaan dalam pandangan orang tua karena dalam perbandingan jumlah kelihatan harus lebih banyak. Secara kultural konseptualisasi Batak Toba mengenai anak mengacu hanya kepada anak laki-laki dan bukan perempuan (Irianto, 2005). Nilai hagabeon tersebut khususnya anak laki-laki terus dihidupi melalui upacara pernikahan adat masyarakat Batak Toba. Situasi penyampaian ungkapan tentang hagabeon tidak hanya saat upacara pernikahan adat, juga saat upacara kematian, rapat adat, rapat keluarga dekat dan upacara menyambut kelahiran (Harahap & Siahaan, 1987). Hal lain yang sangat penting adalah anak laki-laki sebagai penerus garis keturunan (marga). Jika sebuah keluarga suku Batak Toba tidak memiliki anak laki-laki maka marga keluarga tersebut akan punah. Hal ini karena struktur garis keturunan suku Batak Toba yang menganut sistem patrilineal – menurut garis keturunan ayah (Vergouwen, 2004).


(55)

Kerangka dasar hubungan kekerabatan atau sosial bagi masyarakat Batak Toba – hubungan darah, perkawinan dan marga – diatur dalam Dalihan Na Tolu. Nilai falsafah tentang tujuan hidup – hagabeon, hamoraon dan hasangapon – akan terpenuhi dengan baik bila dilakukan sesuai dengan kerangka dasar tersebut. Hal ini terungkap dalam umpasa (petuah) orang Batak Toba: “molo naeng gabe, somba marhula-hula; molo naeng sangap, manat mardongan tubu; molo naeng mora, elek marboru” (jika ingin memiliki keturunan, hormat terhadap hula-hula; jika ingin terhormat, hati-hati terhadap dongan tubu; jika ingin berharta, sayang terhadap boru). Dalihan Na Tolu dan nilai 3H (hagabeon, hamoraon dan hasangapon) itu menjadi hakikat budaya Batak Toba berporos. Dan diatasnya teletak seluruh eksistensi budaya Batak (Harahap & Siahaan, 1987). Marga dan Dalihan Na Tolu adalah sebuah kemelekatan dalam hidup setiap orang Batak Toba yang harus bertahan menjalani kehidupan dengan filosofi hagabeon, hamoraon dan hasangapon.

Pewarisan nilai-nilai kebudayaan dalam masyarakat suku Batak Toba ini disebut juga cultural transmission atau pewarisan budaya. Menurut Cavalli-Sforza dan Feldman suatu kelompok budaya dapat mewariskan ciri-ciri perilaku kepada generasi selanjutnya melalui mekanisme belajar dan mengajar. Pewarisan budaya satu generasi ke generasi ini diistilahkan sebagai “pewarisan tegak” (vertical transmission) karena melibatkan penurunan ciri budaya orang tua ke anak-cucu. Walaupun vertical transmission merupakan satu pewarisan budaya namun,


(56)

masih ada dua bentuk lain lagi yang berbeda yaitu mendatar dan miring. Dalam pewarisan tegak, orang tua mewariskan nilai, keterampilan, keyakinan, motif budaya, dsb kepada anak-cucu. Dalam pewarisan mendatar, seseorang belajar dari sebayanya yang berasal dari kelompoknya. Sedangkan, dalam kasus pewarisan miring, seseorang belajar dari orang dewasa dan lembaga-lembaga (contoh pendidikan formal) tanpa memandang hal itu terjadi dalam budaya sendiri atau dari budaya lain. Jika proses terjadi dalam budaya sendiri, maka istilah yang digunakan adalah enkulturasi dan sosialisasi (Berry, dkk., 1999, Cavalli-Sforza, 2000).

Konsep enkulturasi (pembudayaan) yang dikembangkan dalam disiplin antropologi yang dikemukakan oleh Herskovits ialah proses yang memungkinkan kelompok memasukkan anak ke dalam budaya sehingga memungkinkan ia membawa perilaku sesuai harapan budaya. Proses enkulturasi ini melibatkan orang tua, orang dewasa lain dan teman sebaya dalam suatu jalinan pengaruh terhadap individu (Berry, dkk., 1999). Soerjasih, dkk. (2016) mengemukakan enkulturasi yaitu proses belajar dan menyesuaikan alam pikrian serta sikap adat, sistem norma, serta semua aturan yang ada didalam kebudayaan suatu masyarakat. Seorang individu dalam hidupnya juga sering meniru dan membudayakan berbagai macam tindakan setelah perasaan dan nilai budaya yang memberi motivasi akan tindakan meniru itu telah diinternalisasi dalam kepribadiannya. Sedangkan, konsep sosialisasi (belajar atau mempelajari budaya) yang


(57)

dikembangkan dalam disiplin sosialisasi dan psikologi sosial untuk menunjukkan proses pembentukan individu dengan sengaja (deliberate) melalui cara-cara pengajaran. Sosialisasi yaitu proses seorang individu belajar berinteraksi dengan sesamanya dalam suatu masyarakat menurut sistem nilai, norma dan adat istiadat yang mengatur masyarakat yang bersangkutan (Soerjasih, dkk., 2016).

Dalam proses belajar kebudayaan juga meliputi internalisasi. Secara terminologis dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa definisi internalisasi yaitu penghayatan terhadap suatu ajaran, doktrin atau nilai sehingga merupakan keyakinan dan kesadaran akan kebenaran doktrin atau nilai yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku. Menurut Koentjaraningrat (dalam Soerjasih, dkk., 2016) internalisasi merupakan proses panjang sejak seorang individu dilahirkan sampai ia meninggal, dimana ia belajar menanamkan dalam kepribadiannya segala hasrat, perasaan, nafsu, serta emosi yang diperlukan sepanjang hidupnya. Internalisasi nilai-nilai budaya dilakukan dan diambil melalui tahapan mengenal pilihan, menilai pilihan, menentukan pendirian dan selanjutnya menjadikan suatu nilai sesuai dengan keyakinan diri. Enkulturasi, sosialisasi dan internalisasi ini tergabung dalam satu proses yaitu proses belajar kebudayaan sendiri.


(58)

C. Kerangka Penelitian

Masalah anak bagi masyarakat suku Batak Toba sangatlah penting. Kelahiran seorang anak atau keturunan menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam siklus kehidupan. Ini adalah bagian dari tujuan hidup masyarakat suku Batak Toba yang ideal yaitu banyak anak (hagabeon), kaya materi atau harta (hamoraon), dan dihormati atau dihargai (hasangapon) (Harahap & Siahaan, 1987). Ada ungkapan yang sangat terkenal dalam budaya masyarakat suku Batak Toba yaitu “anakhonhi do hamoraon di ahu” yang berarti anak adalah harta yang paling berharga. Meskipun sebuah keluarga sudah memiliki harta atau materi yang berkecukupan (hamoraon) dan terhormat atau dihargai (hasangapon) namun belum memiliki banyak keturunan baik itu laki-laki dan perempuan dianggap belum lengkap (gabe).

Anak dalam budaya masyarakat suku Batak Toba dianggap sangat mempengaruhi sahala (wibawa) orang tua. Hal lain yang sangat penting adalah anak laki-laki sebagai penerus garis keturunan (marga). Jika sebuah keluarga suku Batak Toba tidak memiliki anak laki-laki maka marga keluarga tersebut akan punah. Hal ini karena struktur garis keturunan suku Batak Toba yang menganut sistem patrilineal – menurut garis keturunan ayah.

Keadaan dimana sebuah keluarga tidak memiliki keturunan laki-laki ini disebut napunu. Keadaan seperti ini menimbulkan permasalahan psikologis bagi keluarga tersebut seperti menjadi merasa tidak berarti,


(59)

tidak lengkap sebagai orang Batak, sedih dan adanya perasaan kurang puas dalam diri sehingga akan membentuk penilaian terhadap dirinya sendiri.

Dalam kondisi ini, pasangan atau keluarga suku Batak Toba yang tidak memiliki keturunan laki-laki diharapkan mampu menerima diri dengan segala kekurangan dan kelebihan yang dimiliki. Penerimaan diri ini diperlukan oleh pasangan suku Batak Toba agar tidak hanya terpaku pada keterbatasan yang dimiliki yaitu tidak memiliki anak laki-laki, tetapi juga mampu menghargai apa yang telah dimiliki yaitu anak perempuan yang sama berharganya dengan anak laki-laki dari segi agama. Penerimaan diri sendiri merupakan salah satu ciri dari kepribadian yang matang (Allport, dalam Hjelle & Ziegler, 1981). Hal ini juga ditegaskan oleh Maslow (dalam Schultz, 1991) yang mengemukakan bahwa pribadi yang sehat ialah seorang yang mampu menerima diri, kelemahan-kelemahan dan kekuatan-kekuatan mereka tanpa keluhan atau kesusahan. Adanya penerimaan diri tersebut menjadikan seseorang mempunyai keyakinan diri (self-confidence) dan harga diri (self-esteem). Sehingga lebih mampu menerima kritik daripada seseorang yang kurang menerima diri.

Proses penerimaan diri pasangan suku Batak Toba yang tidak memiliki anak laki-laki ini merupakan suatu pengalaman dan membutuhkan pemaknaan dari peristiwa yang dialami terkait ketiadaan anak laki-laki dalam keluarga. Pengalaman merupakan sebuah fenomena. Creswell (2014) mengungkapkan studi fenomenologis mendeskripsikan pemaknaan umum dari sejumlah individu terhadap berbagai pengalaman


(60)

hidup mereka terkait dengan konsep atau fenomena. Pengalaman manusia ini dapat berupa fenomena, misalnya insomnia, kesendirian, kemarahan, dukacita atau pengalaman operasi bypass pembuluh koroner. Moustakas (dalam Creswell, 2014) menjelaskan bahwa peneliti kemudian mengumpulkan data dari individu yang telah mengalami fenomena tersebut dan mengembangkan deskripsi gabungan tentang esensi dari pengalaman tersebut bagi semua individu itu. Deskripsi ini terdiri dari “apa” yang mereka alami dan “bagaimana” mereka mengalaminya. Dalam hal ini fenomenologi mencari makna-makna psikologis yang membentuk gejala melalui investigasi dan analisis contoh-contoh gejala yang dialami dalam konteks kehidupan para informan. Maka, pemaknaan informan terkait proses penerimaan diri sesuai menggunakan pendekatan fenomenologi.


(61)

D. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan utama dalam penelitian kualitatif ini adalah bagaimana pasangan suku Batak Toba berupaya menerima diri atas keadaan keluarganya yang tidak memiliki anak laki-laki? Selanjutnya pertanyaan diperinci menjadi tiga, yaitu:

1. Bagaimana penerimaan diri masing-masing individu pada pasangan suku Batak Toba yang tidak memiliki anak laki-laki?

2. Bagaimana proses saling mempengaruhi penerimaan diri masing-masing individu terhadap pasangannya?


(62)

43 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode fenomenologi deskriptif. Penelitian kualitatif menyajikan penuturan dalam bentuk eksplorasi, deskripsi dan interpretasi atas pengalaman-pengalaman pribadi dan sosial para partisipan (Smith, 2013). Hal ini berarti bahwa suatu fenomena tertentu atau khusus yang hendak dikaji sebisa mungkin tetap selaras dengan fenomena atau konteks dimana fenomena itu muncul dengan suatu situasi di mana para individu mengalami sendiri pengalaman mereka sehingga mereka bisa menggambarkannya seperti yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan mereka.

B. Fokus Penelitian

Fokus pada penelitian ini adalah memahami dan mendeskripsikan upaya pasangan suku Batak Toba yang tidak memiliki anak laki-laki dalam menerima diri yang ditinjau dari :

1. Penerimaan diri masing-masing individu (bagaimana penerimaan diri masing-masing individu pada pasangan suku Batak Toba yang tidak memiliki anak laki-laki?)


(63)

2. Proses saling mempengaruhi masing-masing individu terhadap pasangannya (bagaimana proses saling mempengaruhi penerimaan diri masing-masing individu terhadap pasangannya?)

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri (faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi proses penerimaan diri?)

C. Informan Penelitian

Neuman (2006) mengatakan bahwa informan merupakan seorang anggota yang berhubungan dengan penelitian lapangan dan yang mengatakan, atau menginformasikan, mengenai lapangan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti menggunakan kata ganti “informan” terhadap narasumber penelitian. Informan penelitian ditentukan dengan menggunakan teknik purposefully selected. Teknik purposefully selected yaitu pemilihan informan dilakukan untuk situasi khusus dan dengan tujuan yang spesifik sehingga dapat menjawab pertanyaan penelitian (Creswell, 2014). Peneliti memiliki beberapa kriteria dalam memilih dan menentukan informan penelitian, seperti:

a) Pasangan suami-isteri suku Batak Toba b) Tidak memiliki anak laki-laki

c) Memiliki anak perempuan 3 atau lebih dari 3

Kriteria tersebut ditetapkan karena penelitian ini akan melihat penerimaan diri pasangan suku Batak Toba yang tidak memiliki anak laki-laki. Informan yang diambil memiliki anak perempuan 3 atau lebih dari 3 karena hal ini dapat menunjukkan persistensi pasangan suku Batak Toba


(64)

yang telah menikah dalam usaha untuk mendapatkan anak laki-laki namun selalu mendapatkan anak perempuan. Selain itu, melalui jumlah anak perempuan 3 atau lebih dari 3 menurut peneliti dapat mengetahui sejauhmana penerimaan diri para informan. Jumlah anak perempuan yang kurang dari 3 belum bisa melihat apakah memang sudah ada penerimaan dalam diri para informan.

D. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode wawancara terstruktur dan observasi. Wawancara semi-terstruktur ini memungkinkan peneliti dan informan untuk terlibat dalam suatu dialog sehingga pertanyaan-pertanyaan bisa dimodifikasi sesuai dengan jawaban informan dan menggali wilayah-wilayah yang menarik dan penting yang muncul selama proses wawancara (Smith, 2013).

Sebelum melaksanakan wawancara, peneliti menyusun panduan wawancara berdasarkan fokus penelitian. Peneliti menggunakan digital recorder untuk merekam data selama proses wawancara dan dilanjutkan dengan menyalin dalam transkrip wawancara verbatim.


(65)

Tabel 1

Panduan Pertanyaan Dalam Wawancara A

Budaya Suku Batak Toba (Pertanyaan Pembuka)

No. Tujuan Pertanyaan Pertanyaan

1

Mengetahui

pemahaman mengenai 3H

a. Dalam budaya suku Batak Toba ada nilai-nilai yang menjadi tujuan hidup yang ideal yaitu “hagabeon, hamoraon, dan hasangapon”, bisa diceritakan tentang ketiga hal itu?

b. Bagaimana mencapai 3H tersebut? c. Mengapa 3H penting?

2 Arti dan peranan anak

a. Ada ungkapan “anakhon hi do hamoraon di ahu”, bisa dijelaskan maksud dari ungkapan tersebut? b. Bagaimana arti dan peranan anak bagi

orang suku Batak Toba? Jelaskan.

Tabel 2

Panduan Pertanyaan Dalam Wawancara B Penerimaan Diri

No. Tujuan Pertanyaan Pertanyaan

1

Keyakinan akan kemampuan dirinya dalam menjalani hidup

a. Bagaimana anda menyikapi keadaan bahwa anda tidak memiliki anak laki-laki?

b. Sejauhmana anda sudah berusaha untuk menerima keadaan? Ceritakan.

c. Sejauhmana anda melihat pasangan sudah berusaha untuk menerima keadaan? Ceritakan.

d. Sejauhmana pengaruh pasangan bagi anda dalam upaya menerima keadaan? Ceritakan.

2

Menganggap diri berharga sebagai seorang manusia yang sama atau sederajat dengan orang lain dan tidak memandang diri sebagai orang yang tidak normal

a. Bagaimana hubungan anda dengan orang lain (suku Batak Toba) apakah ada hambatan? Ceritakan.

b. Sejauhmana anda merasa bangga atau berharga dihadapan orang lain (suku Batak Toba lainnya)? Jelaskan.


(1)

tongkat orang tuanya opung (kakek) nanti meninggal jadi dari yang adek opung (kakek) yang laki-laki gitu.

jatuh kepada adik suaminya yang memiliki anak laki-laki.

121 Disitu juga opung (nenek) berarti ya jadinya sedih jugalah, oh berarti anak perempuan tidak masuk, tidak dianggap itu nanti ya tidak termasuk cucunyalah kan walaupun anak dari anaknya yang tua kan karena bukan laki-laki jadi bounya yang Fero ini mamaknya jojo bukan dia yang pegang tongkat itu.

Informan menyatakan bahwa ia merasa sedih karena anak perempuan tidak dianggap.

121 informan merasa sedih karena anak perempuan tidak dianggap dalam adat suku Batak Toba.

122 Jadi opung (nenek) merasa oh nenek moyang kami dulu itu ini apa namanya ee apa boleh dikatakan kejam gitu kejam, cuma anak laki-laki itu yang dianggap manusia kalo anak perempuan itu tidak dianggap ada gitu, tidak berperan begitu. Dengan warisan kan nenek moyang kita tidak tidak dibagi-bagi ke anak perempuan cuma anak laki-laki yang dapat.

Menurut informan, nenek moyangnya yaitu orang suku Batak Toba zaman dulu kejam karena hanya anak laki-laki yang dianggap sedangkan anak perempuan tidak memiliki peran. Informan menambahkan bahwa harta warisan hanya diberikan kepada anak laki-laki saja sedangkan anak perempuan tidak mendapat bagian.

122 bagi informan nenek moyangnya yaitu orang suku Batak Toba kejam atas perbedaan yang dibuat diantara anak laki-laki dan perempuan.

123 Terkait pembagian harta ini, jaman dulu itu laki-laki apakah itu masih kebawa sampai jaman sekarang? Yang opung (nenek) tau tidak tidak seperti dulu lagi sudah dibagi dengan anak perempuan walaupun hanya sedikit contohnya kami, kami kan tujuh perempuan cuma 1 laki-laki. Kami ada dapat bagian dari orang tua opung

Informan menyatakan bahwa pembagian harta warisan terhadap anak perempuan tidak seperti zaman dulu dan sekarang sudah mendapat bagian walaupun hanya sedikit.

123 saat ini anak perempuan sudah mendapat bagian dalam harta warisan walaupun hanya sedikit dibanding dulu yang tidak ada sama sekali.


(2)

boru (nenek) ini di kampong tapi tidak sebanding dengan anak laki-laki, rumah sama anak laki-laki, sawah, kebun dan lain-lain sebagainya. Sama anak perempuan walaupun kami tujuh yang bagi tidak sebanyak ee walaupun sudah bagi tujuh tapi tidak sebanyak dengan yang anaknya yang laki-laki padahal dia sendiri yang bagi kami tujuh kan.

124 Opung punya anak perempuan enggak punya anak laki-laki, selama ini apa yang

opung rasakan tidak ada anak laki-laki?

kalo dari luar paling kalo cerita-cerita anak laki terus merasa opung (nenek) oh aku ini enggak ada anak laki tapi hanya sepintas gitu tapi kalo dari orang tua opung doli (kakek) ini opung boru (nenek) ini merasa mereka kayak kurang kurang ee kurang apa rasanya ee kurang holong, holong (kasih sayang) itu kayak kurang gitulah. Kasih sayang mereka itu kurang ya kalo menurut opung (nenek) sendiri sih tapi enggak taulah yang sebenarnya karena opung (nenek) lihat adek-adek opung (kakek) ini ada punya anak laki-laki tapi lebih sayang sama mereka daripada sama opung boru (nenek), ya itu yang opung boru (nenek) lihat seperti itu.

Informan menyatakan bahwa terkadang saat bercerita dengan orang lain, informan menyadari keadaannya yang tidak memiliki anak laki-laki. Informan merasa bahwa kasih sayang yang diberikan oleh orang tua suaminya berbeda dan kurang terhadap keluarganya dibanding adik-adik suaminya yang memiliki anak laki-laki.

124 terkadang informan tersadar akan keadaan saat bercerita dengan orang lain. Informan merasa bahwa kasih sayang mertua berbeda dan kurang terhadap keluarganya dibanding dengan adik-adik suaminya yang memiliki anak laki-laki.


(3)

sendiri melihat saudara atau orang lain yang punya anak laki apa yang ada di pikiran opung? Pertama kan penerus keturunan itu tidak ada nah walaupun setidaknya tidak opung (nenek) ee tidak dikatakan kaya ya adalah sedikit warisan jadi tidak ada penerus kami itu kan bou mu ini semua kawin nanti diambil suaminya ee dibawa suaminya kan begitu.

melihat orang lain yang memiliki anak laki-laki informan sadar bahwa tidak ada penerus keturunan dan penerus harta kekayaan.

laki-laki membuat informan teringat akan keadaan yang tidak akan memiliki penerus keturunan dan harta kekayaan.

126 Opung sendiri, gimana pandangan opung terhadap diri opung sekarang ini? ya saya bersyukur kepada Tuhan saya bisa melahirkan 6 anak perempuan dan bahkan pernah e bou mu nomor 5 saya sudah hampir meninggal karena pada waktu bou lahir itu di rumah sakit DKT pada waktu itu mau check up rencananya waktu itu rupanya semakin dekat ke pangkalpinang ada tanda mau melahirkan, opung kesakitan begitu. Sampai di rumah sakit DKT langsung lahir begitu. Kami persiapan bedongnya apa segala macam enggak bawa. Nah karna waktu itu enggak ada persiapannya, opung doli (kakek) pulang ke lubuk ambil pakaiannya kan. Opung (nenek) mungkin belum e belum berangkat dari pangkalpinang e dulu itu masih di terminal Girimaya. Saya pendarahan gitu, kayak air

Informan menyatakan bahwa ia merasa bersyukur bisa melahirkan 6 orang anak perempuan karena melalui perjuangan yang membuat informan merasa hampir meninggal.

126 walaupun lahir tetap anak perempuan tetapi informan mau bersyukur karena perjuangan yang dilalui selama kehamilan hingga persalinan.


(4)

yang dituang dari ember perasaan opung (nenek). Saya sadar Tuhan Yesus e perasaan opung (nenek) udah mau mati pada saat itu. Tuhan Yesus anakku belum saya lihat, anak-anakku tidak disini terus bapak anak-anakku tidak disini. Ku panggil ini suster-suster, waktu itu langsung datang saya disuntik ya dikasih pertolongan lah. Langsung terasa berhenti tidak lagi seperti air yang dituang dari ember seperti itu. Iya jadi saya e apa namanya berpikir walaupun itu perempuan ya saya dengan dikasihnya seperti itu pendarahan dan bahkan anak yang nomor 4 tante Paul itu saya juga pernah pingsan, itu sebetulnya sudah tanda-tanda bahwa kamu jangan terlalu memaksakan e aku memberikan anak laki-laki kepada keluargamu kepada kamu, syukurilah. Seharusnya saya sudah bersyukur itu, tidak saya harusnya tidak meminta anak laki-laki lagi. Opung (nenek) sebetulnya tidak menyadari seperti itu dulu. Ya sebetulnya itu sudah tanda-tanda kan yang keempat bou itu lahir jatuh saya mau ke kamar mandi mau buang air kecil begitu. Tapi untung ada orang tua opung (nenek) pada saat waktu itu. Nah yang kelima melahirkan di Pangkalpinang mengalami pendarahan. Nah


(5)

sebetulnya itulah hanya saya tidak menyadari hal itu apalagi yang bou ini lahir, umur opung (nenek) waktu itu udah 38 tahun. Nah bersyukur, 38 tahun opung (nenek) melahirkan bou mu. Bersyukur sebetulnya, selamat, sehat dan ya bagi opung (nenek) sih menurut opung (nenek) cantik. Ya jadi kita syukuri.

127 Nah opung sendiri mulai berpikir seperti itu saat kapan? iya sejak sudah SD atau SMP gitu sampai sekarang itu saya tidak lagi kepikiran anak laki-laki tidak lagi hanya pada saat tertentu, pada saat cerita dengan ibu-ibu bapak-bapak seperti itu. Ya saya tidak ingat itu umur berapa hanya ingat itu.

Informan menyatakan bahwa sejak anaknya yang bungsu SD atau SMP informan sudah jarang memikirkan anak laki-laki. Informan menjelaskan bahwa ada saat-saat tertentu informan teringat akan anak laki-laki.

127 sejak anaknya yang bungsu SD atau SMP informan sudah jarang memikirkan anak laki-laki hanya saat tertentu.

128 Nilai-nilai atau pembelajaran hidup apa yang opung dapatkan/ambil dari keadaan opung yang tidak memiliki anak laki-laki ini? ya bahwa apa yang dikasih Tuhan itu bahwa itulah yang terbaik. Apapun itu, bahwa itulah yang terbaik bagi diri kita. Iya penyemangat bagi opung (nenek), kalo kita tidak bersemangat tidak bisa kita menyendiri bahkan kita jauh dari Tuhan ke Gereja pun mungkin opung (nenek) malas, berdoa pun mungkin malas jadi harus semangat gitu, harus itu harus. Semangat gitu, bahkan opung boru (nenek) bilang ke

Informan menyatakan bahwa pembelajaran hidup yang didapat oleh informan yaitu apa yang diberikan oleh Tuhan merupakan yang terbaik. Nilai ini menjadi penyemangat hidup informan dalam menjalani kesehariannya.

128 pembelajaran hidup yang didapat oleh informan yaitu apa yang diberikan oleh Tuhan merupakan yang terbaik. Nilai ini menjadi penyemangat hidup informan dalam menjalani kesehariannya.


(6)

opung doli (kakek) harus semangat walaupun kita sakit harus diri kita yang buat semangat kan seperti itu.

129 Harapan Opung kedepannya Pung? Untuk keluarga harapan yang pertama kami sehat, terus yang kedua panjang umur, anak-anak Opung nanti kalo Tuhan berkenan mohon dalam kehidupannya tidak sampai menyusahkan kami, mereka juga bisa mandiri, baik-baik dalam keluarganya, taat beragama jangan sampai menyimpang dari Tuhan yaitu dengan Tuhan Yesus Kristus takut akan Tuhan.

Informan menyatakan bahwa harapan yang dimiliki ialah keluarganya sehat, panjang umur, anak-anaknya tidak menyusahkan dan bisa mandiri, anak-anak taat beragama dan tidak menyimpang dari Tuhannya.

129 harapan informan adalah keluarganya sehat, panjang umur, anak-anaknya tidak menyusahkan dan bisa mandiri, anak-anak taat beragama dan tidak menyimpang dari Tuhannya.