LATAR BELAKANG MASALAH PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Tidak ada orang yang tidak mengenal atau bahkan tidak tahu suku bangsa Batak Toba karena hampir setiap hari suku bangsa ini dapat dijumpai dalam kehidupan bermasyarakat. Suku bangsa yang memiliki gaya hidup perantau ini tersebar di seluruh kota Indonesia bahkan ada juga yang di luar negeri. Suku bangsa Batak Toba merupakan salah satu dari enam sub suku bangsa Batak yang mendiami Pulau Sumatera. Suku bangsa ini tinggal asli di daerah pedalaman Sumatera Utara yang merupakan dataran tinggi yang banyak jurangnya Gultom, 1992. Secara geografis, daerah asli yang didiami oleh suku bangsa Batak Toba Kabupaten Tapanuli meliputi pulau Samosir dan daerah sekitar Danau Toba, adalah pusat Tanah Batak dengan mayoritas penduduknya beragama Kristen Siahaan, 1982. Samosir merupakan salah satu dari tiga kabupaten yang didiami oleh suku asli bangsa Batak Toba dengan ibukotanya Pangururan Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak Toba dalam Irmawati, 2007. Pangururan merupakan daerah dengan budaya Batak Toba yang masih kental. Hal ini dapat dilihat dari pola pemikiran dan sikap bertingkah laku masyarakatnya yang masih memegang tiga 3 prinsip penting Dalihan Na Tolu yaitu somba Universitas Sumatera Utara marhula-hula, elek marboru, dan manat mardogan tubu. Seperti yang dinyatakan oleh Simarmata, seorang Raja Adat Batak Toba berikut: ”orang dikatakan kental adatnya kalau dia memegang Dalihan Na Tolu, manat marhahanggi, somba marhula-hula, elek marboru...” Komunikasi personal, 4 Maret 2009 Dalihan Na Tolu adalah ide vital, suatu kompleks gagasan yang merupakan pandangan hidup dan sumber perilaku masyarakat Batak Toba dan menumbuhkan kompleks aktivitas masyarakat dalam wujud karya budaya baik budaya spiritual maupun budaya material. Dalihan Na Tolu terdiri dari unsur-unsur hula-hula pemberi gadis, boru penerima gadis, dan dongan sabutuha kerabat semarga Gultom, 1992. Selain Dalihan Na Tolu, masyarakat Batak Toba juga memiliki tujuan hidup yang lebih dikenal dengan istilah 3H, yaitu hagabeon, hamoraon, dan hasangapon. Tujuan hidup 3H ini terbentuk dalam lingkungan suku Batak Toba karena merupakan wujud dari kebudayaan yang terus menerus terwaris dan mendarah daging bagi masyarakat Batak Toba Lubis, 1997. Hagabeon adalah kebahagiaan dalam keturunan artinya keturunan memberi harapan hidup, karena keturunan itu ialah suatu kebahagiaan yang tak ternilai bagi orang tua, keluarga dan kerabat Lubis, 1997. Bagi orang Batak Toba, kebahagiaan dalam berketurunan gabe ini terasa lengkap dalam sebuah keluarga apabila keluarga itu memiliki anak laki-laki dan perempuan. Sebuah keluarga Batak Toba belum dikatakan gabe kalau hanya memiliki anak laki-laki atau hanya ada anak perempuannya saja. Simak saja hasil wawancara peneliti dengan Simbolon, seorang Raja Adat Batak Toba berikut: Universitas Sumatera Utara “Hanya...kalau hanya perempuan aja ada, laki-laki gak ada, itu belum disebut hagabeon. Baliknya juga semua, kalau hanya laki-laki ada, perempuannya gak ada, itu belum hagabeon lagi itu, belum...Harus lengkap laki-laki dan perempuan baru bisa dibilang gabe…” Komunikasi personal, 3 Maret 2009 Berkaitan dengan nilai hagabeon ini, ada satu ungkapan tradisional Batak Toba yang terkenal disampaikan pada saat upacara pernikahan adalah ungkapan yang mengharapkan agar kelak pengantin baru dikaruniai putra 17 dan putri 16 Harahap Siahaan dalam Irmawati, 2007. Ungkapan ini memperlihatkan bahwa anak laki-laki memiliki keistimewaan dalam pandangan orang tua, karena dalam perbandingan jumlah kelihatan harus lebih banyak. Bagi seorang “bapak” maka anak laki-laki adalah penerus keturunannya, sehingga anak laki-laki sering disebut sebagai sinuan tunas, artinya tunas yang baru. Nilai yang kedua yaitu hamoraon. Hamoraon kekayaan adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh seseorang Lubis, 1997. Kekayaan selalu identik dengan harta kekayaan dan anak. Tanpa anak akan merasa tidak kaya, walaupun banyak harta, seperti diungkapkan bahwa : Anakkonhido hamoraon diahu anakku adalah harta yang paling berharga bagi saya. Nilai terakhir dari konsep 3H adalah hasangapon. Hasangapon kemuliaan dan kehormatan merupakan suatu kedudukan seseorang yang dimilikinya di dalam lingkungan masyarakat Lubis, 1997. Simanjuntak dalam Irmawati, 2007 menyatakan bahwa untuk mencapai hasangapon seseorang harus terlebih dahulu berketurunan gabe dan memiliki kekayaan mora. Orang kaya tetapi tidak mempunyai keturunan kurang dihormati dan tidak mempunyai kewenangan dalam upacara-upacara adat, karena hanya orang kaya dan berketurunan yang dipandang Universitas Sumatera Utara mampu dan layak memberi restu kepada orang lain. Orang yang banyak keturunan tapi miskin juga dikategorikan sebagai tidak terhormat karena seseorang dihormati apabila memiliki keturunan juga kekayaan. Senada dengan hal itu, Sibarani 2007 menambahkan bahwa hasangapon merupakan status tertinggi dalam kehidupan orang Batak Toba karena di dalam hasangapon sudah terdapat hamoraon dan hagabeon. Suku bangsa Batak Toba sangat ingin mencapai hasangapon ini bahkan sampai akhir hidupnya pun tetap dikejar. Simak saja hasil wawancara peneliti terhadap Nababan, orang yang mempelajari tentang budaya Batak Toba pada Pusat Penelitian Budaya Batak Toba Universitas HKBP Nomensen: ”Hasangapon dikejar sampai mati oleh seseorang. Ada 3 stratifikasi meninggal pada masyarakat Batak Toba yaitu sarimatua, saurmatua, dan maulibulung. Sarimatua didapat oleh seseorang apabila sudah beranak dan bercucu tetapi masih ada anaknya yang belum menikah. Apabila seseorang tersebut telah beranak, bercucu dan semua anaknya telah menikah, maka orang itu akan mendapat gelar saurmatua. Sedangkan gelar maulibulung akan diperoleh seseorang apabila seluruh anak dan cucunya memiliki ekonomi menengah ke atas dan tidak ada keturunannya yang meninggal lebih dahulu darinya.” Komunikasi personal, 6 Oktober 2008 Keturunan, kekayaan, dan kehormatan hagabeon, hamoraon, dan hasangapon atau 3H yang merupakan tujuan hidup ini menjadi misi budaya yang penting bagi orang Batak Harahap Siahaan, dalam Irmawati, 2007. Nilai hagabeon merupakan nilai yang paling penting karena dalam nilai hagabeon terungkap makna bahwa orang Batak Toba sangat mendambakan anak, terlebih lagi kehadiran anak laki-laki karena anak laki-laki adalah penerus marga. Marga adalah asal-mula nenek moyang yang terus dipakai di belakang nama Gultom, Universitas Sumatera Utara 1992. Rentetan vertikal turunan marga itu sejak nenek moyang sampai saat sekarang menumbuhkan silsilah Siraja Batak. Sebuah kalimat Batak Toba yang menyatakan keinginan memiliki anak laki- laki berikut: Matemate tu anak do roha ni jolma Batak. Artinya: kerinduan orang Batak berpulang kepada putra jua. Selain kalimat kiasan di atas, ada pula ungkapan yang mengatakan bahwa lebih baik satu anak daripada sembilan anak perempuan, karena orang Batak Toba menganggap walaupun hanya memiliki satu anak tetapi anak itu membawa nama keluarga. Berbeda halnya dengan anak perempuan yang jika ia menikah maka ia pergi dari rumah dan mengikuti keluarga suaminya. Nama keluarganya pun akan ditinggalkan dan dia memakai nama dari keluarga suaminya Irianto dalam Irmawati, 2002. Secara lengkap Pardosi 1989 menyatakan beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat Batak Toba menginginkan anak laki-laki yaitu: a anak laki-laki dianggap penerus keturunan marga ayah, b anak laki-laki dapat menggantikan kedudukan dalam acara adat dan tanggung jawab adat, dan c anak laki-laki pembawa nama dalam silsilah kekerabatan dalam masyarakat Batak Toba. Memang setiap keluarga Batak Toba sangat mengharapkan kehadiran anak laki-laki namun semuanya adalah kehendak Tuhan, Sang Pencipta. Ketika dalam sebuah keluarga Batak Toba tidak ada anak laki-lakinya, keluarga ini akan merasa hidupnya hampa. Bagi keluarga itu, terutama “bapak”, keadaan tersebut menyebabkan dirinya dianggap sebagai napunu. Napunu artinya generasi seseorang sudah punah dan tidak berkelanjutan lagi pada silsilah Siraja Batak, Universitas Sumatera Utara bahkan namanya tidak akan pernah diingat atau disebut orang lagi Gultom, 1992. Siahaan 1982 menyatakan bahwa “bapak” Batak Toba yang napunu akan merasa tidak berarti dalam hidupnya karena tidak ada lagi yang meneruskan marganya. Selain itu, bagi seorang “bapak” Batak Toba yang napunu akan terdapat perasaan tidak lengkap dalam dirinya sebagai orang Batak karena suku Batak memegang prinsip keturunan patrinial, yaitu menarik garis keturunan dari anak laki-laki Gultom, 1992. Hal ini terungkap dalam wawancara personal peneliti dengan Manihuruk 29 tahun, seorang “bapak” Batak Toba yang tidak memiliki anak laki-laki dan hanya memiliki 2 anak perempuan: “ya...kalau enggak punya anak laki-laki ngerasa enggak lengkap aja sebagai orang Batak karena tidak ada lagi yang meneruskan marga saya” Komunikasi personal, 1 November 2008 Dapat dilihat dari wawancara di atas bahwa ketidakhadiran anak laki-laki menyebabkan dirinya merasa tidak lengkap sebagai orang Batak karena tidak ada lagi yang meneruskan marganya. Bagi orang Batak Toba marga diteruskan oleh anak laki-laki, dan bukan anak perempuan Gultom, 1992. Napunu ini sangat tidak diinginkan oleh setiap keluarga karena itu berarti kesedihan bagi keluarga tersebut Gultom, 1992. Seperti ungkapan Batak Toba berikut : Molo matipul holemi solu maup tudia nama ho solu Molo mate amantai boru tulombang dia nama ho boru, boru naso mariboto Artinya: jika kayuhmu itu patah wahai sampan, hanyut kemanakah kau gerangan wahai sampan, jika ayahmu itu meninggal wahai putri kejurang manakah kau Universitas Sumatera Utara gerangan akan terdampar wahai putri, putri yang tidak mempunyai saudara laki- laki. Perasaan lain yang dialami oleh “bapak” Batak Toba yang napunu adalah perasaan kurang puas. Hal ini dinyatakan oleh Simbolon, seorang Raja Adat Batak Toba dalam wawancara personal dengan peneliti berikut: ”...makanya pada orang Batak kalau tidak lahir anak laki-lakinya itu tidak berapa puas...” Komunikasi personal, 3 Maret 2009 Seorang “bapak” Batak Toba yang napunu akan memiliki perasaan tidak berarti, tidak lengkap sebagai orang Batak, sedih, dan perasaan kurang puas dalam dirinya dan hal ini akan membentuk penilaian terhadap dirinya sendiri. Penilaian terhadap diri sendiri disebut dengan harga diri Baron, Byrne, Branscombe, 2006. Coopersmith 1967, h.4 menyatakan: “self esteem refer to the evaluation which the individual makes and customarily maintains with regard to himself: it express an attitude of approval or disapproval, and indicates the extent to which the individual believes himself to capable, significant, successful, and worthy.” Sebelumnya James dalam Coopersmith 1967 menyatakan bahwa nilai dan cita-cita seseorang berperan dalam menentukan seseorang memandang dirinya. Cita-cita masyarakat Batak Toba adalah mencapai tujuan hidup 3H, akan tetapi bagi “bapak” Batak Toba yang napunu, nilai dan cita-cita ini tidak akan dapat dicapainya karena ketidakhadiran anak laki-laki dalam hidupnya. Hal ini akan mempengaruhi harga dirinya sehingga cenderung kurang menghargai dirinya sendiri. Universitas Sumatera Utara Dapat ditarik kesimpulan dari penelitian awal ini bahwa ”bapak” Batak Toba yang napunu pada umumnya akan memiliki harga diri yang rendah. Meskipun demikian, peneliti akan melihat harga diri “bapak” Batak Toba yang napunu dari sudut pandang Psikologi dengan menggunakan teori harga diri Coopersmith 1967 terkait dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat Batak, yaitu nilai-nilai 3H hagabeon, hamoraon, hasangapon. Coopersmith 1967 menjelaskan bahwa ada empat sumber yang membentuk harga diri seseorang yaitu significance, power, competence, dan virtue. Masing-masing sumber ini akan berbeda pada setiap individu tergantung sumber mana yang menjadi sumber paling penting bagi dirinya sehingga sumber itu apabila terpenuhi akan menyebabkan harga dirinya menjadi cenderung tinggi. Significance adalah penerimaan, perhatian, dan kasih sayang dari orang- orang yang penting dalam hidupnya Coopersmith, 1967. Ketika seseorang merasa diterima dan dihargai maka harga dirinya cenderung lebih tinggi. Dalam masyarakat Batak Toba yang termasuk orang terpenting itu adalah mereka yang menjadi bagian sistem kekerabatan yang disebut dengan Dalihan Na Tolu, yaitu hula-hula, boru, dan dongan sabutuha Gultom, 1992. Bagi seorang “bapak” Batak Toba yang napunu, ketidakhadiran anak laki-laki dalam hidupnya menyebabkan dirinya tidak akan memiliki hula-hula, karena hula-hula asalnya dari anak laki-laki dan hula-hula bagi masyarakat Batak dianggap sebagai Tuhan yang terlihat Debata natarida yang harus dihormati. Hal ini ditegaskan juga oleh Pakpahan, seorang Raja Adat Batak Toba dalam wawancara personal dengan peneliti berikut: Universitas Sumatera Utara ”...kalau orang Batak ga’ punya anak laki-laki, ya ga’ punya hula-hula nantinya dia...” Komunikasi personal, 18 Oktober, 2008 Jadi, dalam hidupnya seorang ”bapak” Batak Toba yang napunu tidak menerima perhatian dari salah satu unsur Dalihan Na Tolu yaitu hula-hula. Mengacu pada teori Coopersmith 1967 di atas, jika significance merupakan sumber paling penting dalam membentuk harga diri “bapak” Batak Toba yang napunu maka berkemungkinan harga dirinya menjadi cenderung rendah. Power merupakan kemampuan untuk mempengaruhi dan mengendalikan orang lain Coopersmith, 1967. Power diperoleh melalui pengakuan dan penghargaan yang diberikan orang lain terhadap pendapat dan hak seseorang. Bagi orang Batak Toba pengakuan dan penghargaan ini dimiliki oleh seseorang yang memiliki kedudukan atau status dalam masyarakat Lubis, 1997. Orang Batak yang memiliki kedudukan adalah orang Batak yang kaya dan memiliki keturunan Simanjuntak dalam Irmawati, 2007. Dengan kata lain, bahwa “bapak” Batak Toba yang napunu kurang memiliki power dalam Dalihan Na Tolu karena tidak mempunyai keturunan laki-laki dan apabila mengacu pada teori Coopersmith 1967 di atas, maka berkemungkinan “bapak” Batak Toba napunu yang menempatkan power sebagai sumber harga diri paling penting baginya akan menyebabkan harga diri yang dimilikinya menjadi rendah. Competence merupakan keberhasilan dalam memenuhi tuntutan untuk berprestasi Coopersmith, 1967. Bagi suku bangsa Batak Toba sebuah prestasi orang tua apabila pendidikan anaknya satu jenjang lebih tinggi dari orangtuanya. Universitas Sumatera Utara Hal ini berdasarkan hasil wawancara personal peneliti dengan Pakpahan, seorang Raja Adat Batak Toba berikut: “bagi orang tua Batak Toba sebuah prestasi kalau dia bisa menyekolahkan anaknya satu jenjang lebih tinggi darinya…” Komunikasi Personal, 18 Oktober, 2008 Harahap dan Siahaan dalam Irmawati, 2007 menyatakan bahwa akhir- akhir ini mulai ada perubahan pandangan orangtua mengenai pendidikan untuk anak perempuan yang sudah disamakan dengan anak laki-laki. Apabila anak perempuannya memiliki pendidikan yang tinggi maka orangtuanya juga dikatakan memiliki prestasi. Seperti yang dinyatakan oleh Simbolon, “bapak” Batak Toba napunu yang memiliki anak perempuan yang berhasil meraih gelar sarjana berikut: “…anak perempuan saya semua saya sekolahkan, eee..dapat gelar semua dan saya merasa bangga, itu bisa dibilang sebuah prestasi bagi saya sebagai orangtua…“ Komunikasi personal, 28 Januari 2009 Bagi “bapak” Batak Toba yang napunu apabila anak perempuannya disekolahkan sampai ke jenjang yang lebih tinggi maka dapat dikatakan bahwa “bapak” Batak Toba tersebut memiliki competence karena bagi orang tua Batak Toba yang menjadi tolak ukur kesuksesan adalah pendidikan anak yang tinggi Purnama, dalam Irmawati, 2002. Mengacu pada teori Coopersmith 1967 di atas, maka berkemungkinan “bapak” Batak Toba napunu yang merasa memiliki competence dan menjadikan competence sebagai sumber paling penting bagi dirinya maka harga diri yang dimilikinya pun menjadi tinggi. Universitas Sumatera Utara Virtue merupakan kepatuhan pada standar etika, moral, dan prinsip agama Coopersmith, 1967. Situmorang 2009 menyatakan bahwa seorang “bapak” Batak Toba yang napunu akan mendapat desakan untuk memiliki istri lagi agar bisa mengabadikan marganya. Hal ini juga dipertegas oleh Simbolon, seorang Raja Adat Batak Toba dalam wawancara personal dengan peneliti berikut: “…Biasanya mereka yang ga’ punya anak laki-laki akan didesak keluarganya untuk menikah lagi…” Komunikasi personal, 3 Maret 2009 Berpoligami sebenarnya sangat tidak diinginkan masyarakat suku Batak Toba namun niat untuk berpoligami timbul karena adanya harapan bahwa pada perkawinan kedua akan dilahirkan anak laki-laki Gultom, 1992. Sangat tidak diinginkan melakukan poligami dalam suku Batak Toba terlebih setelah masuknya agama Kristen ke Tanah Batak yang ajarannya tidak membolehkan adanya poligami. Larangan poligami ini tertulis jelas dalam Alkitab, yang merupakan kitab suci bagi umat Kristen. Salah satu ayat dalam Alkitab menyatakan bahwa: “…apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia.” Matius 19 : 6 Larangan poligami ini dalam Alkitab tidak hanya tertulis sekali tetapi berulang kali seperti pada Matius 19 : 6-9, Markus 10 : 1-9, Maleakhi 2 : 16, dan sebagainya. Mengacu pada teori Coopersmith 1967 di atas, maka berkemungkinan ”bapak” Batak Toba napunu yang memiliki virtue sebagai sumber harga diri paling penting dalam hidupnya tidak akan terganggu harga Universitas Sumatera Utara dirinya dengan alasan bahwa agama merupakan hal yang lebih penting, meskipun dia tidak memiliki anak laki-laki sehingga harga dirinya tetap tinggi. Beranjak dari fenomena di atas yaitu bahwa sumber-sumber harga diri significance, power, competence, virtue yang terkait dengan nilai-nilai 3H hagabeon, hamoraon, hasangapon dapat berbeda pada “bapak” Batak Toba yang napunu sehingga berbeda pula pengaruhnya terhadap harga diri, maka peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana gambaran harga diri “bapak” Batak Toba yang napunu.

B. PERUMUSAN MASALAH