kepentingan generasi mendatang. Pajak diperoleh dari keuntungan yang diperoleh perusahaan. Oleh karenanya perusahaan harus dikelola dengan sebaik- baiknya
sehingga mampu meraih laba yang maksimal. Demi kelancaran aktivitas perusahaan dalam usaha mencapai tujuannya, perusahaan membutuhkan banyak
tenaga kerja. Seiring dengan tumbuh kembangnya perusahaan, kebutuhan akan tenaga kerja ini akan mengalami peningkatan. Perusahaan berkewajiban untuk
ikut berpartisipasi menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat. Lapangan kerja akan semakin banyak tersedia manakala perusahaan tumbuh dan berkembang.
Oleh karenanya perusahaan berkewajiban untuk selalu mencari peluang-peluang baru bagi pertumbuhan, tentu saja dengan tetap mempertimbangkan faktor
keuntungan dan tingkat pengembalian finansial yang optimal. Perusahaan juga memiliki kewajiban untuk berpartisipasi dalam usaha-usaha untuk meningkatkan
kesejahteraan dan kompetensi masyarakat, baik yang berkaitan dengan perusahaan maupun yang tidak. Perusahaan juga bertanggung jawab untuk
memelihara kualitas lingkungan tempat mereka beroperasi demi peningkatan kualitas hidup masyarakat dalam jangka panjang, baik untuk generasi saat ini
maupun untuk generasi penerus.
II.4.1 Latar Belakang dan Perkembangan Corporate Social Responsibility CSR
Corporate Social Responsibility CSR yang kini marak di implementasikan banyak perusahaan, mengalami evolusi dan metamorfosis dalam rentang waktu
yang cukup panjang. Konsep ini tidak lahir begitu saja, ada beberapa tahapan sebelum gemanya lebih terasa. Pada saat industri berkembang setelah terjadi
Universitas Sumatera Utara
revolusi industri, kebanyakan perusahaan masih memfokuskan dirinya sebagai organisasi yang mencari keuntungan belaka. Mereka memandang bahwa
sumbangan kepada masyarakat cukup diberikan dalam bentuk penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui produknya, dan
pembayaran pajak kepada negara. Seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat tidak sekedar menuntut perusahaan untuk menyediakan barang dan jasa yang
diperlukannya, melainkan juga menuntut untuk bertanggung jawab secara sosial. Karena, selain terdapat ketimpangan ekonomi antara pelaku usaha dengan
masyarakat sekitarnya, kegiatan operasional perusahaan umumnya juga memberikan dampak negatif, misalnya eksploitasi sumber daya dan rusaknya
lingkungan di sekitar operasi perusahaan. Adanya revolusi industri telah menyebabkan masalah tanggung jawab
perusahaan menjadi fokus yang tajam. Ini merefleksikan kekuatan industri baru untuk membentuk kembali hubungan yang sudah kuno. Feodal, klan, rumpun,
atau sistem otoritas yang berlandaskan kekeluargaan dan teknologi memberi kekuasaan yang besar dan kekayaan pada “perusahaan”. Tanah harus dibagi-bagi
kembali dan kota-kota dibangun. Kekuatan mesin yang melebihi manusia meningkatkan masalah tanggung jawab dan moralitas.
Itulah yang kemudian melatarbelakangi munculnya konsep Corporate Social Responsibility CSR yang paling primitif: kedermawanan yang bersifat
karitatif. Tanggung Jawab Sosial Korporasi Corporate Social Responsibility telah menjadi pemikiran para pembuat kebijakan sejak lama. Bahkan dalam Kode
Hammurabi 1700-an SM yang berisi 282 hukum telah memuat sanksi bagi para pengusaha yang lalai dalam menjaga kenyamanan warga atau menyebabkan
Universitas Sumatera Utara
kematian bagi pelanggannya. Dalam Kode Hammurabi disebutkan bahwa hukuman mati diberikan kepada orang-orang yang menyalahgunakan ijin
penjualan minuman, pelayanan yang buruk dan melakukan pembangunan gedung di bawah standar sehingga menyebabkan kematian orang lain.
Literatur-literatur awal yang membahas Corporate Social Responsibility CSR pada tahun 1950-an menyebut Corporate Social Responsibility CSR
sebagai Social Responsibility SR bukan CSR. Tidak disebutkannya kata corporate dalam istilah tersebut kemungkinan besar disebabkan pengaruh dan
dominasi korporasi modern belum terjadi atau belum disadari. Buku karangan Howard R. Bowen yang berjudul Social Responsibility of The Businessman dapat
dianggap sebagai tonggak bagi Corporate Social Responsibility CSR modern. Dalam buku itu Bowen memberikan definisi awal dari Corporate Social
Responsibility CSR sebagai: “... obligation of businessman to pursue those policies, to make those decision or to follow those line of action wich are
desirable in term of the objectives and values of our society”. Walaupun judul dan isi buku Bowen bias gender hanya menyebutkan businessman tanpa
mencantumkan businesswoman, sejak penerbitan buku tersebut definisi Corporate Social Responsibility CSR yang diberikan Bowen memberikan
pengaruh besar kepada literatur-literatur Corporate Social Responsibility CSR yang terbit setelahnya. Sumbangsih besar pada peletakan pondasi Corporate
Social Responsibility CSR tersebut membuat Bowen pantas disebut sebagai Bapak CSR.
Dalam artikelnya, Craig Smith memberikan beberapa ulasan singkat dalam sejarah yang menjadi tolak ukur perubahan atau evolusi atas pandangan
Universitas Sumatera Utara
perusahaan terhadap Corporate Social Responsibility CSR di Amerika Serikat. Sekitar tahun 1950-an, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan yang menarik
segala restriksi hukum dan menyatakan tidak berlaku segala aturan tidak tertulis yang menghalangi keterlibatan perusahaan dalam isu-isu sosial. Sehingga, pada
tahun 1960-an dengan telah ditariknya halangan-halangan tersebut di atas, perusahaan-perusahaan mulai merasakan adanya tekanan atas diri mereka untuk
menunjukkan tanggung jawab sosial mereka, dan banyak perusahaan yang mulai mendirikan in-house foundations atau unit khusus untuk menangani hal ini.
Gema Corporate Social Responsibility CSR semakin terasa pada tahun 1960-an saat dimana secara global, masyarakat dunia telah pulih dari Perang
Dunia II, dan mulai menapaki jalan menuju kesejahteraan. Pada waktu itu persoalan-persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang semula terabaikan
mulai mendapatkan perhatian lebih luas dari berbagai kalangan. Persoalan ini telah mendorong berkembangnya beragam aktivitas yang terkait dengan
pengentasan kemiskinan dan keterbelakangan dengan mendorong berkembangnya sektor produktif dari masyarakat.38 Pada tahun 1960-an banyak usaha dilakukan
untuk memberikan formalisasi definisi Corporate Social Responsibility CSR. Salah satu akademisi Corporate Social Responsibility CSR yang terkenal pada
masa itu adalah Keith Davis. Davis dikenal karena berhasil memberikan pandangan yang mendalam atas hubungan antara CSR dengan kekuatan bisnis.
Davis mengutarakan “Iron Law of Responsibility” yang menyatakan bahwa tanggung jawab sosial pengusaha sama dengan kedudukan sosial yang mereka
miliki social responsibilities of businessmen need to be commensurate with their social power.
Universitas Sumatera Utara
Gema Corporate Social Responsibility CSR pada dekade itu juga diramaikan oleh terbitnya buku legendaris yang berjudul “Silent Spring”. Di
dalam buku ini untuk pertama kalinya persoalan lingkungan diwacanakan dalam tataran global. Penulis buku itu, Rachel Carson, yang merupakan seorang ibu
rumah tangga biasa, mengingatkan kepada masyarakat dunia bahwa betapa mematikannya pestisida bagi lingkungan dan kehidupan. Melalui karyanya itu
sepertinya ia ingin menyadarkan bahwa tingkah laku korporasi mesti dicermati sebelum berdampak menuju kehancuran. Sejak itu, perhatian terhadap
permasalahan lingkungan semakin berkembang dan mendapat perhatian yang kian luas.
Pemikiran tentang korporasi yang lebih manusiawi juga muncul dalam “The Future Capitalism” yang ditulis Lester Thurow tahun 1996. Pandangan Thurow
pun tak kalah tajamnya. Menurutnya, kapitalisme--yang menjadi mainstream saat itu--tidak hanya berkutat pada masalah ekonomi, namun juga memasukkan unsur
sosial dan lingkungan yang menjadi basis apa yang nantinya disebut sustainable society. Thurow memang agak pesimistis bahwa konsep itu diimplementasikan.
Namun demikian, perilaku karitatif sudah banyak digelar oleh korporasi. Pada tahun 1970-an, banyak perusahaan yang cenderung menyokong isu-
isu sosial yang paling tidak terkait dengan bisnis perusahaan mereka, menyokong beraneka ragam isu sosial tidak terpaku hanya satu, dan bentuk tanggung jawab
sosial disalurkan melalui suatu yayasan atau unit lain yang terpisah dari perusahaan.42 Pada dasawarsa 1970-an, terbitlah “The Limits to Growth”. Buku
yang hingga kini terus diperbaharui itu merupakan hasil pemikiran para
Universitas Sumatera Utara
cendikiawan dunia yang tergabung dalam Club of Rome. Buku ini mengingatkan kepada masyarakat dunia bahwa bumi yang kita pijak ini mempunyai keterbatasan
daya dukung. Sementara di sisi lain, manusia bertambah secara eksponensial. Karenanya, eksploitasi alam mesti dilakukan secara hati-hati supaya
pembangunan dapat dilakukan secara berkelanjutan. Tahun 1971, Committee for Economic Development CED menerbitkan
Social Responsibilities of Business Corporations. Penerbitan yang dapat dianggap sebagai code of conduct bisnis tersebut dipicu adanya anggapan bahwa kegiatan
usaha memiliki tujuan dasar untuk memberikan pelayanan yang konstruktif untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan masyarakat. CED merumuskan Corporate
Social Responsibility CSR dengan menggambarkannya dalam lingkaran konsentris. Lingkaran dalam merupakan tanggungjawab dasar dari korporasi
untuk penerapan kebijakan yang efektif atas pertimbangan ekonomi profit dan pertumbuhan; Lingkaran tengah menggambarkan tanggung jawab korporasi
untuk lebih sensitif terhadap nilai-nilai dan prioritas sosial yang berlaku dalam menentukan kebijakan mana yang akan diambil; Lingkaran luar menggambarkan
tanggung jawab yang mungkin akan muncul seiring dengan meningkatnya peran serta korporasi dalam menjaga lingkungan dan masyarakat.
Sejalan dengan bergulirnya wacana tentang kepedulian lingkungan, kegiatan kedermawanan perusahaan terus berkembang dalam kemasan philanthropy serta
Community Development CD. Pada dasawarsa ini, terjadi perpindahan penekanan dari fasilitas dan dukungan pada sektor-sektor produktif ke arah
sektor-sektor sosial. Latar belakang perpindahan ini adalah kesadaran bahwa peningkatan produktivitas hanya akan dapat terjadi manakala variabel- variabel
Universitas Sumatera Utara
yang menahan orang miskin tetap miskin, misalnya pendidikan dan kesehatan dapat dibantu dari luar. Berbagai program populis kemudian banyak dilakukan
seperti penyediaan sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, air bersih dan banyak lagi kegiatan sejenisnya.
Di era 1980-an makin banyak perusahaan yang menggeser konsep filantropisnya ke arah Community Devekopment. Intinya kegiatan kedermawaan
yang seperti Robin Hood semakin berkembang ke arah pemberdayaan masyarakat misalnya pengembangan kerja sama, memberikan ketrampilan, pembukaan akses
pasar, hubungan inti-plasma, dan sebagainya.46 Pada tahun 1980-an, juga telah semakin banyak perusahaan yang menyokong isu-isu sosial yang paling tidak
terkait dengan bisnis perusahaan mereka, menyokong beraneka ragam isu sosial, dan bentuk tanggung jawab sosial disalurkan melalui suatu yayasan atau unit lain
yang terpisah dari perusahaan. Hal ini dapat dilihat dalam kasus Exxon Valdez Oil Spill tumpahan minyak Exxon pada tahun 1989.
Dalam artikel yang berjudul Dimensions of Corporate Social Performance, S. Prakash Sethi memberikan penjelasan atas perilaku korporasi yang dikenal
dengan social obligation, social responsibility, dan social responsiveness. Menurut Sethi, social obligation adalah perilaku korporasi yang didorong oleh
kepentingan pasar dan pertimbangan-pertimbangan hukum. Dalam hal ini social obligation hanya menekankan pada aspek ekonomi dan hukum saja. Social
responsibility merupakan perilaku korporasi yang tidak hanya menekankan pada aspek ekonomi dan hukum saja tetapi menyelaraskan social obligation dengan
norma, nilai dan harapan kinerja yang dimiliki oleh lingkungan sosial. Social responsiveness merupakan perilaku korporasi yang secara responsif dapat
Universitas Sumatera Utara
mengadaptasi kepentingan sosial masyarakat. Social responsiveness merupakan tindakan antisipasi dan preventif. Dari pemaparan Sethi dapat disimpulkan bahwa
social obligation bersifat wajib, social responsibility bersifat anjuran dan social responsiveness bersifat preventif. Dimensi-dimensi kinerja
sosial social performance yang dipaparkan Sethi juga mirip dengan konsep lingkaran
konsentris yang dipaparkan oleh CED. Dasawarsa 1990-an adalah dasawarsa yang diwarnai dengan beragam
pendekatan seperti pendekatan integral, pendekatan stakeholders maupun pendekatan civil society. Beragam pendekatan tersebut telah mempengaruhi
praktik Community Development. Community Development menjadi suatu aktivitas yang lintas sektoral karena mencakup baik aktivitas produktif maupun
sosial dan juga lintas pelaku sebagai konsekuensi berkembangnya keterlibatan berbagai pihak.49 Pada tahun 1990-an ini, cara pandang pun berubah dimana
Corporate Social Responsibility CSR suatu perusahaan tidak hanya diarahkan untuk turut mencapai sasaran-sasaran bisnis perusahaan, tetapi perseroan tersebut
juga harus menyokong kegiatan-kegiatan dengan memanfaatkan keahlian dalam bidang pemasaran marketing expertise, bantuan teknis perseroan technical
assistance, dan sukarelawan dari kalangan pegawai. Pada tataran global tahun 1992 diselenggarakan KTT yang diadakan di Rio
de Jenairo, Brazil ini menegaskan konsep pembangunan berkelanjutan sustainable development yang didasarkan atas perlindungan lingkungan hidup,
pembangunan ekonomi dan sosial sebagai hal yang mesti dilakukan. Terobosan besar dalam konteks Corporate Social Responsibility CSR ini dilakukan oleh
John Elkington melalui konsep “3P” profit, people dan planet yang dituangkan
Universitas Sumatera Utara
dalam bukunya “Cannibals with Forks, The Tripple Bottom Line of Twentieth Century Business” yang dirilis pada tahun 1997. Ia berpendapat bahwa jika
perusahaan ingin sustain, maka ia perlu memperhatikan 3P, yakni bukan hanya profit yang diburu, namun juga harus memberikan kontribusi positif kepada
masyarakat people dan ikut aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan planet. Gaung Corporate Social Responsibility CSR kian bergema setelah
diselenggarakannya World Summit on Sustainable Development WSSD tahun 2002 di Johannesburg, Afrika Selatan. Sejak saat inilah defenisi Corporate Social
Responsibility CSR mulai berkembang.
II.4.2 Dasar Hukum Corporate Social Responsibility CSR