65 pendek terjadi di titik P dan dalam jangka panjang
20
di titik K. Dalam jangka pendek
penawaran lahan hutan S
LH
diasumsikan eksogen sehingga hanya faktor-faktor selain harganya yang menggeser kurva permintaan lahan D
LHPD
ke kiri atau ke kanan menuju keseimbangan
21
. Pergeseran kurva D
LHPD
ke kiri menunjukkan penurunan luas areal produksi suatu komoditas dan sebaliknya pergeseran kurva
D
LHPD
ke kanan menunjukkan peningkatan deforestasi. Jika kegiatan produksi yang diusahakan adalah produksi kayu hutan alam melalui HPH, maka pergeseran kurva
D
LHPD
ke kiri menunjukan degradasi hutan
22
. Dengan pemikiran tersebut spesifikasi model ekonomi deforestasi perubahan areal HTI, sawit, karet, dan padi, serta
degradasi hutan alam areal HPH dibangun dan diestimasi. Jika luas penggunaan lahan deforestasi dan degradasi hutan dapat dipandang
sebagai persoalan permintaan input produksi, maka persoalan deforestasi dan degradasi hutan dapat dianalisis menggunakan perilaku ekonomi. Permintaan input
dapat diturunkan dari perilaku perusahaan yang memaksimalkan keuntungan. Silberberg dan Suen 2001 menjelaskan bahwa jika fungsi produksi untuk
penyederhanaan menggunakan dua input produksi dituliskan: y = f x
1
, x
2
diinterpretasikan sebagai teknologi yang menghasilkan output maksimum dari penggunaan dua input produksi x
1
seharga w
1
dan x
2
seharga w
2
, serta jika harga
20
Keseimbangan jangka panjang menunjukkan suatu kondisi di mana lahan telah dimanfaatkan seluruhnya untuk kegiatan produksi sehingga perluasan lahan untuk produksi tidak dimungkinkan.
Dalam jangka panjang, penawaran lahan hutan alam primer tidak dipengaruhi oleh harga lahan atau konstan sehingga berbentuk kurva tegak lurus kurva S
LH
Gambar 2. Sebaliknya keseimbangan jangka pendek menunjukkan belum seluruh lahan hutan dimanfaatkan untuk kegiatan produksi
sehingga perluasan areal untuk produksi masih dimungkinkan. Permintaan lahan D
LH
merupakan permintaan input produksi suatu komoditas.
21
Harga atau sewa lahan hutan dicerminkan diturunkan berdasarkani harga output yang dihasilkan dari lahan yang diusahakan. Harga output di sini bergantung pada empirical evidence apakah harga
output di tingkat farm gate dalam kasus non-vertical integrated industry atau di tingkat mill gate dalam kasus vertical integrated industry.
22
Keseimbangan pasar kayu hutan alam lestari mensyaratkan dua asumsi: 1 property rights areal dan tegakan hutan alam ditegakkan, dan 2 harga kayu hutan alam mencerminkan kelangkaan
sumberdaya yang digunakan.
66 output adalah p dan fungsi tujuannya adalah total penerimaan dikurangi total biaya,
maka pemaksimalan fungsi tujuannya adalah: π = p fx
1
, x
2
– w
1
x
1
– w
2
x
2
….…………………………………………. a First order condition
FOC: π
1
π x
1
= p f
1
– w
1
= 0 ..…………………………………………… b π
2
= π x
2
= p f
2
– w
2
= 0 ..……..……………………………………… c
Second order condition SOC:
f
11
0; f
22
0 …………………………………………………….….……d f
11
f
22
– f
2 12
0 …….…………………………………….……….……….e di mana
π = Keuntungan f
1
= Turunan pertama fungsi keuntungan terhadap x
1
marginal product x
1
f
11
= Turunan kedua fungsi keuntungan terhadap x
1
f
2
= Turunan pertama fungsi keuntungan terhadap x
2
marginal product x
2
f
22
= Turunan kedua fungsi keuntungan terhadap x
2
f
12
= Turunan pertama dari f
1
terhadap x
2
perubahan input x
1
mempengaruhi marginal product
x
1
dan marginal product x
2
f
21
= Turunan pertama dari f
2
terhadap x
1
perubahan input x
2
mempengaruhi marginal product
x
2
dan marginal product x
1
67
P K
D
LHPJ
S
LH
A
LH
P
LH
P
LHPJ
P
LHPD
D
LHPD
A
LHPJ
A
LHPD
Gambar 22. Keseimbangan Pasar Lahan Hutan Alam
Kondisi a dan b menyatakan bahwa keuntungan maksimum akan diperoleh ketika penggunaan input produksi mencapai titik di mana nilai marginal product-nya
pf
i
sama dengan biaya untuk memperoleh tambahan unit input produksi yang digunakan w
i
. Kondisi c merupakan kondisi law of dimisnishing return, yang menyatakan marginal product penggunaan suatu input akan menurun jika jumlah
input yang digunakan bertambah. Kondisi d diperlukan, karena kondisi c sendiri tidak cukup untuk menjamin pencapaian posisi keuntungan maksimal; pengaruh lintas
input perlu dipertimbangkan. Secara lengkap FOC dapat dituliskan:
p f
1
x
1
, x
2
– w
1
= 0 .………………………………………………..……… f
p f
2
x
1
, x
2
– w
2
= 0 ….…....………………………….…………………… g
Persamaan f dan g merupakan dua persamaan implisit yang memiliki lima peubah yang tidak diketahui, yaitu: x
1
, x
2
, w
1
, w
2
, dan p. Berdasarkan kondisi tersebut, dua dari lima peubah dapat diselesaikan. Hasil penyelesaiannya dituliskan:
x
1
= f
1
w
1
, w
2
, p ..………...………….………………………………… h x
2
= f
2
w
1
, w
2
, p .. ……...……….……………………………………… i
68 Persamaan h dan i menunjukkan persamaan permintaan input produksi,
yang menyatakan bahwa permintaan input dipengaruhi oleh harganya, harga input lain dan harga outputnya. Berdasarkan teori permintaan input diturunkan permintaan
lahan hutan yang dinyatakan sebagai tingkat laju deforestasi untuk areal HTI, sawit, karet, dan padi.
3.5.2.1. Tingkat Deforestasi Hutan Alam untuk Areal HTI
Permintaan lahan untuk areal HTI lebih dari 50 digunakan untuk memproduksi pulp. Oleh karenanya fungsi permintaan input lahan yang digunakan
adalah fungsi permintaan lahan oleh industri terintegrasi integrated industry. Sebagai ouput adalah pulp, dan kayu HTI yang dihasilkan merupakan input bagi
industri. Atas dasar fakta ini, tingkat deforestasi hutan alam untuk areal HTI DF
HTI t
dihipotesiskan dipengaruhi secara positif oleh harga ekspor pulp P
P
XPULP t
, dan secara negatif oleh harga kayu HTI P
KHTI t
, suku bunga riel R , upah riel W , harga riel bahan bakar minyak P
t t
BBM t
. Fakta lain menunjukkan bahwa lahan hutan alam diperebutkan, terutama
untuk areal sawit, karet, dan areal konsesi hutan alam
23
. Oleh karena itu tingkat deforestasi hutan alam untuk areal HTI dihipotesiskan dipengaruhi juga oleh harga
ekspor karet P
XKR t
, harga ekspor minyak sawit P
XMSW t
, dan harga ekspor kayu lapis P
XKL t
. Harga ekspor minyak sawit dan kayu lapis dihipotesiskan berpengaruh dengan hubungan fungsional yang negatif, tetapi harga ekspor karet berhubungan
23
Areal hutan alam produksi dibedakan ke dalam tiga kategori, yaitu: hutan produksi tetap, hutan produksi terbatas, dan hutan dapat dikonversi. Meskipun demikian, fakta di lapangan menunjukkan
persaingan penggunaannya tidak hanya terjadi di masing-masing kategori, tapi juga antar kategori. Dalam areal hutan produksi tetap dapat ditemukan areal sawit danatau karet, yang seharusnya
hanya berlokasi di areal hutan dapat dikonversi, dan sebaliknya areal HPH dapat berada di areal yang dapat dikonversi yang memiliki potensi kayu per ha yang tinggi. Informasi lahan hutan alam yang
terbatas serta property rights dan penegakan hukum yang lemah merupakan pemicu terjadinya konflik lahan hutan alam. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa terdapat persaingan penggunaan
lahan hutan alam, terutama untuk areal HPH, HTI, sawit, dan karet di lapangan.
69 positif, karena sejak tahun 1990an, pemerintah mengembangkan HTI-karet.
Kebijakan pemerintah mempercepat pembangunan HTI dari tahun 2004 – 2009 GP
HTI t
juga dihipotesikan mempengaruhi secara positif tingkat deforestasi untuk areal HTI. Dihipotesiskan luas areal HTI satu tahun sebelumnya A
HTI t-1
akan mempengaruhi tingkat deforestasi secara negatif atau semakin luas areal HTI satu
tahun sebelumnya semakin kecil tingkat deforestasi yang terjadi dan sebaliknya. Fungsi DF
HTI t
dituliskan: DF
HTI t
= DF P
XPULP t
, P
KHTI t
, R
t
, W
t
, P
BBM t
, P
XKR t
, P
XMSW t
, P
XKL t
, GP
HTI t
, A
HTI t-1
...…………………………..…………….…………… 14 Dalam penelitian ini, harga output yang dihasilkan lahan deforestasi untuk
areal HTI dibatasi hanya sampai harga kayu HTI, yang diperlakukan sebagai peubah endogen. Harga output turunannya pulp dan kertas diasumsikan eksogen. Merujuk
teori, harga kayu HTI dipengaruhi oleh penawaran dan permintaannya
24
. Penawarannya S
KHTI t
dipengaruhi secara positif oleh harganya P
P
KHTI t
, negatif oleh suku bunga R , upah W dan harga BBM P
t t
BBM t
, serta secara positif oleh produktivitas HTI q
HTI t
, luas areal HTI A
HTI t
, dan penawaran kayu HTI satu tahun sebelumnya S
KHTI t-1
25
. Fungsi penawaran kayu HTI S
KHTI t
dituliskan: S
KHTI t
= SP
KHTI t
, R
t
, W
t
, P
BBM t
, q
HTI t
, A
HTI t
, Q
KHTI t-1
.......…….….……… 15 Sebagai derived demand, permintaan kayu HTI oleh industri pulp D
KHTI t
dihipotesiskan dipengaruhi oleh harganya, harga ekspor pulp P
XPULP t
, suku bunga R
t
, upah W
t
, harga BBM P
BBM t
, dan PDB Y
t
, serta permintaan satu tahun
24
Persamaan h dan i juga berlaku untuk permintaan input industri pengolahan pulp, kayu lapis, kayu gergajian, minyak sawit, dan karet. Dengan memasukan permintaan input ke dalam fungsi
produksi [y = fx
1
, x
2
] dapat diturunkan fungsi penawaran output, yang menyatakan penawaran dipengaruhi oleh harga output, harga input, dan faktor-faktor lainnya.
25
Deforestasi berarti peningkatan produksi, sehingga pengaruh deforestasi sebenarnya dapat dideteksi dengan memasukkan atau menggantikan peubah produkstivitas dan luas areal dengan tingkat
deforestasi, misalnya jika HTI akan ditebang setelah umur 5 tahun, maka dengan asumsi tiap tahun terjadi deforestasi, pengaruh deforestasi 5 tahun sebelumnya dapat dihipotesiskan akan berpengaruh
secara positif terhadap penawaran kayu HTI. Untuk itu memerlukan data deret waktu yang cukup panjang.
70 sebelumnya D
KHTI t-1
. Faktor-faktor kecuali harga ekspor pulp dan PDB berhubungan negatif dengan permintaan kayu HTI, sedangkan harga ekspor pulp dan PDB
berhubungan positif. Fungsi permintaan kayu HTI dituliskan: D
KHTI t
= DP
P
KHTI t
, R , W , P
t t
BBM t
, P
XPULP t
, Y , D
t KHTI
t-1
………..…………… 16 Harga kayu HTI dipengaruhi oleh harga ekspor pulp P
XPULP t
, harga kayu hutan alam P
KHA t
, dan penawaran kayu HTI S
KHTI t
, serta harga kayu HTI satu tahun sebelumnya. Keseimbangan pasar kayu HTI Gambar 23 dan fungsi harga
kayu HTI dituliskan: S
KHTI t
= D
KHTI t
……………………..…………….…..…………………….. 17 P
P
KHTI t
= PP
XPULP t
, P
KHA t
, S
KHTI t
, P
KHTI t-1
…………………………………. 18
D
KHTI
Q
KHTI
P
KHTI
P
KHTI
Q
KHTI
S
KHTI
Gambar 23. Keseimbangan Pasar Kayu HTI
3.5.2.2. Tingkat Deforestasi untuk Areal Sawit
Indonesia merupakan produsen sawit terbesar setelah Malaysia. Produksi sawit Indonesia berorientasi pada pasar ekspor, dan impor minyak sawit sangat kecil.
71 Seperti kasus pulp, permintaan lahan hutan alam untuk areal sawit diasumsikan
merupakan permintaan industri terintegrasi minyak sawit
26
. Dengan demikian tingkat deforestasi hutan alam untuk areal sawit DF
SW t
dipengaruhi secara positif oleh harga ekspor minyak sawit P
XMSW t
, dan negatif oleh harga buah sawit P
BSW t
, suku bunga R
t
, upah W
t
, harga BBM P
BBM t
dan luas areal sawit satu tahun sebelumnya A
TSW t-1
. Selain itu DF
SW t
juga dipengaruhi oleh harga kayu HTI P
KHTI t
dan harga kayu hutan alam P
KHA t
. Harga kayu HTI mempengaruhi secara negatif, karena fakta persaingan permintaan lahan hutan alam, tetapi harga kayu hutan alam secara positif.
Dalam kondisi property rights yang belum clear and clean serta penegakan hukum yang lemah, P
KHA t
yang lebih tinggi memberikan insentif terhadap rent seeker pengembangan areal sawit, yaitu: 1 windfall profit atas penebangan kayu, dan 2
pengurangan biaya landclearing karena penebangan kayu yang dilakukan. Fakta ini menyebabkan P
KHA t
berpengaruh positif terhadap tingkat deforestasi hutan alam untuk areal sawit
27
.
Fungsi DF
SW t
dituliskan: DF
SW t
= DFP
XMSW t
, P
BSW t
, R
t
, W
t
, P
BBM t
, P
KHTI t
, P
KHA t
, A
TSW t-1
………… 19 Seperti kayu HTI, harga output yang dihasilkan lahan deforestasi untuk areal
sawit dibatasi hanya sampai harga buah sawit, yang diperlakukan sebagai peubah
26
Pada tahun 2008, luas areal sawit perkebunan besar adalah 60.9 dari total areal sawit 7.4 juta ha.
27
Manurung 2001 menyatakan “konversi hutan alam untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit terus berlangsung sampai saat ini walaupun di Indonesia sesungguhnya sudah tersedia lahan kritis
dan lahan terlantar dalam skala yang sangat luas sekitar 30 juta hektar. Para investor lebih suka untuk membangun perkebunan kelapa sawit pada kawasan hutan konversi karena berpotensi
mendapatkan keuntungan besar berupa kayu IPK Ijin Pemanfaatan Kayu dari areal hutan alam yang dikonversi. Dalam praktiknya pembangunan perkebunan kelapa sawit tidak hanya terjadi pada
kawasan hutan konversi, melainkan juga merambah ke kawasan hutan produksi, bahkan di kawasan konservasi yang memiliki ekosistem yang unik dan mempunyai nilai keanekaragaman hayati yang
tinggi, sebagai contoh, di areal Taman Nasional Bukit Tigapuluh telah dibangun dua perkebunan kelapa sawit dengan luas masing-masing 8.000 ha dan 4.000 ha, juga pada kawasan hutan lindung
Register 40 di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, paling sedikit 6000 ha telah dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit”