Degradasi Hutan KERANGKA PEMIKIRAN

48 Definisi IPPC tersebut lebih menekankan peranan hutan sebagai penyerap karbondioksida. Terdapat definisi lain yang lebih mengartikan degradasi hutan dari sisi fungsi hutan sebagai pencegah erosi. Dengan menekankan pada aspek erosi, maka kondisi LOA yang menimbulkan erosi tinggi dapat dikategorikan sebagai hutan yang terdegradasi. Selain kedua definisi tersebut, terdapat definisi lain, yaitu yang lebih menekankan pada aspek kelayakan finansial usaha. Dengan menekankan pada aspek kelayakan usaha, LOA akan dikategorikan terdegradasi jika potensi hutannya dinilai terlalu rendah atau tidak memenuhi standar kelayakan finansial usaha. Terkait dengan definisi ini, terdapat pandangan yang menjelaskan bahwa hutan dikatakan terdegrasi jika struktur tegakan hutannya tidak dapat dipanen secara lestari. Pemanenan secara lestari membutuhkan managemen untuk menata struktur tegakannya agar kembali lestari. Mengacu pada beberapa definisi atau pengertian tersebut, definisi degradasi hutan di sini lebih membatasi pengertian degradasi hutan yang terjadi pada hutan alam produksi, bukan pada hutan tanaman, hutan lindung atau hutan konservasi. Degradasi hutan diartikan sebagai perubahan kondisi hutan primer akibat penebangan yang melebihi potensi lestari hutan. Dengan pengertian ini, areal bekas penebangan LOA dikategorikan sebagai hutan terdegradasi, karena kenyataan menunjukkan best practice pengelolaan hutan alam produksi belum terwujud di lapangan. Hasil penelitian Ismanto 2010 dengan pendekatan S-P-K struktur-perilaku- kinerja menunjukkan fenomena tersebut. Sebagian besar perusahaan tidak menempatkan praktek-praktek pengelolaan hutan lestari sebagai prioritas kegiatan; kurang dari 10 persen perusahaan penerima IUPPHHK HPH yang mempunyai komitmen terhadap pengelolaan hutan. Tingkat kerusakan tegakan tinggal tergolong cukup tinggi, yang disebabkan oleh perilaku dalam praktek produksi kayu yang tidak 49 sesuai dengan aturan dan rencana; 77.5 perusahaan mempunyai rentabilitas tidak baik, yang berarti sebagian besar perusahaan melaporkan perusahaannya mengalami kerugian. Logged Over Area LOA Reboisasi Deforestasi Degradasi Hutan Degradasi Hutan A HPH Q KHA D KHA D KHA D KHA Q WP Q KG Q KL D WP D KG D KL Keterangan: A = Luas Areal ; HPH = Hak Pengusahaan Hutan; Q = Produksi; D = Permintaan; KHA = Kayu Hutan Alam; KL = Kayu Lapis; KG = Kayu Gergajian; WP = Pulp Gambar 16. Hubungan antara Permintaan Pasar Kayu Lapis, Kayu Gergajian dan Pulp dengan Degradasi Hutan Gambar 16 menjelaskan hubungan antara permintaan pasar kayu lapis, kayu olahan dan pulp dengan degradasi hutan. Pada Gambar 16 terlihat bahwa peningkatan permintaan pasar akan mendorong peningkatan produksi kayu bulat dan peningkatan produksi kayu bulat akan meningkatkan luas tebangan hutan alam. Peningkatan luas tebangan hutan alam akhirnya akan meningkatkan LOA, yang berarti meningkatkan degradasi hutan. 50

3.3. Pengaruh Kebijakan Makroekonomi

Kebijakan makroekonomi meliputi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Kebijakan makroekonomi fiskal dan moneter mempengaruhi pertumbuhan sektor– sektor ekonomi, termasuk tanaman pangan, perkebunan, dan kehutanan. Pertumbuhan produksi dan perdagangan hasil tanaman pangan, perkebunan dan hasil hutan tanaman selanjutnya mempengaruhi deforestasi Gambar 15 dan hasil hutan alam selanjutnya mempengaruhi degradasi hutan Gambar 16. Konsekuensinya, sumberdaya hutan primer mendapatkan dua tekanan, yaitu: 1 tekanan permintaan pasar komoditas kehutanan kayu lapis, kayu gergajian, pulp, dan tekanan permintaan pasar komoditas pangan dan perkebunan karet, sawit, serta komoditas yang lain pertambangan tidak tercantum dalam gambar.

3.3.1. Pengaruh Kebijakan Fiskal

Dari sisi fiskal, pemerintah mempengaruhi kinerja makroekonomi dengan instrumen kebijakan pengaturan penerimaan dan pengeluaran anggaran. Kebijakan fiskal mempengaruhi deforestasi dan degradasi hutan melalui pengaruhnya terhadap produksi dan perdagangan sektor-sektor ekonomi yang berkontribusi terhadap deforestasi dan degradasi hutan. Untuk penyederhanaan analisis dilakukan untuk tanaman pangan: padi; perkebunan: karet dan sawit; dan kehutanan: HTI dan HPH Hak Pengusahaan Hutan Alam. Pengenaan pajak dan bukan pajak di satu sisi, dan pemberian subsidi di sisi lain, terhadap sektor-sektor ekonomi akan mempengaruhi deforestasi dan degradasi hutan. Kebijakan fiskal mempengaruhi harga input: suku bunga, harga BBM bahan bakar minyak, harga pupuk, dan upah tenaga kerja, serta mempengaruhi harga output melalui pajak pada harga ekspor dan tarif impor pangan, karet, sawit, dan kayu. 51

3.3.1.1. Pengaruh Penerimaan Negara

Struktur penerimaan negara disajikan pada Gambar 17. Pada Gambar 17 terlihat bahwa dari sisi penerimaan negara, pemerintah dapat mempengaruhi sektor- sektor ekonomi, termasuk tanaman pangan, perkebunan, dan kehutanan melalui instrumen pajak dan bukan pajak. Instrumen pajak dan bukan pajak dapat dikenakan pada kegiatan produksi, konsumsi, dan perdagangan internasional ekspor dan impor. Pengenaan pajak dan bukan pajak akan menekan kinerja sektor-sektor ekonomi, dan sebaliknya membebaskan pengenaan pajak dan bukan pajak akan merangsang kinerja sektor-sektor ekonomi, termasuk pangan, perkebunan, dan kehutanan. Pengaruh penerimaan negara terhadap deforestasi dan degradasi hutan adalah tidak langsung melalui pengaruhnya terhadap kinerja sektor-sektor ekonomi, termasuk tanaman pangan, perkebunan dan kehutanan. Pengaruh penerimaan yang mungkin dapat diananalisis adalah pengaruh penerimaan pajak dalam negeri, yaitu: pajak perdagangan internasional, yang meliputi: pajak ekspor dan tarif impor, dan penerimaan bukan pajak, yang meliputi: PSDH untuk hutan tanaman dan hutan alam dan DR Dana Reboisasi. Pengaruh penerimaannya dapat dianalisis melalui pengaruhnya terhadap kegiatan produksi dan perdagangan pangan, karet, sawit, kayu, dan produk-produk turunannya.