Dampak kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal terhadap deforestasi dan degradasi hutan alam

(1)

EKSTERNAL TERHADAP DEFORESTASI DAN

DEGRADASI HUTAN ALAM

DISERTASI

SATRIA ASTANA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012


(2)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul

DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL TERHADAP DEFORESTASI DAN

DEGRADASI HUTAN ALAM

Merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di Perguruan Tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Februari 2012

Satria Astana NRP. A161040081


(3)

SATRIA ASTANA. Macroeconomic Policy and External Factors Impact on Natural Forest Degradation and Deforestation. (BONAR M. SINAGA, as

Chairman,SUDARSONO SOEDOMO and BINTANG C. H. SIMANGUNSONG

as Members of the Advisory Committee).

Through the framework of REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) in 2009 Indonesia declared a target of reducing CO2 emission by 26% until 2020, and assigned scores for forestry subsector to contribute 14% lower emission. In forestry subsector, reducing CO2 emission can be conducted by maintaining and conserving the remaining natural forest area and/or increasing the existing plantation forest area through reforestating the degraded forest areas. The natural forest maintenance and conservation policy will reduce the areal expansion, including of agricultural sectors such as for food and estate crops and forestry as well and hence their economic contribution to economic growth. Macroeconomic policy and external factor affect natural forest degradation and deforestation. The objectives of this research are: (1) to construct and estimate the econometric model of macroeconomic policy and external factor impact on natural forest degradation and deforestation, and (2) to evaluate the natural forest degradation and deforestation impact of the macroeconomic policy and external factor. The model is estimated using 2SLS method and tested using relevant statistical tests. The estimated parameters have signs as theoretically predicted, and the evaluation of the macroeconomic policy and external factor impact reflect that maintaining and conserving the remaining natural forest is ineffective if a new permit of its utilization is recognized. In order to reduce the deforestation of natural forest, it is necessarily to set up policy permitting areal expansion only within degraded natural forest areas selectively and facilitating interest rate subsidy as a part of incentive-disincentive system in controlling deforestation and forest degradation.

Keywords: Econometric Model. Macroeconomic Policy, External Factor, Natural Forest, Degradation, Deforestation.


(4)

SATRIA ASTANA. Dampak Kebijakan Makroekonomi dan Faktor Eksternal terhadap Deforestasi dan Degradasi Hutan Alam. (BONAR M. SINAGA sebagai

Ketua, SUDARSONO SOEDOMO dan BINTANG C. H. SIMANGUNSONG

sebagai anggota Komisi Pembimbing).

Perubahan iklim global merupakan isu dunia yang kini menjadi perhatian banyak kalangan baik di dalam negeri maupun di dunia internasional. Selaras dengan isu tersebut, perhatian masyarakat internasional terhadap perkembangan masalah deforestasi dan degradasi hutan semakin menguat. Perhatian masyarakat internasional terlihat dari berkembangnya forum-forum internasional dengan beragam kebijakan dan program yang pada intinya bertujuan untuk mencegah, mengurangi dan memperbaiki kerusakan hutan dan lingkungan sebagai upaya mengurangi, memperlambat dan bahkan menstabilkan laju perubahan iklim global pada threshold yang aman bagi umat manusia sedunia.

Kenyataan menunjukkan bahwa perekonomian dunia sedang berubah yakni melangkah menghadapi setidaknya tiga fenomena perubahan. Pertama adalah fenomena perubahan yang ditandai oleh semakin terintegrasinya pasar modal dan keuangan serta perdagangan secara global. Kedua adalah fenomena perubahan yang ditandai oleh lompatan kenaikan harga minyak mentah dunia (MMD). Ketiga adalah isu perubahan iklim global. Tiga fenomena perubahan tersebut berinteraksi menentukan besaran harga dan output perekonomian. Konsekuensinya, masing-masing negara harus melaksanakan langkah-langkah penyesuaian (adjustment) pada seluruh lini sektor ekonomi.

Dengan kata lain, perekonomian dunia sedang mengalami proses-proses penyesuaian bukan saja berkaitan dengan pasar dunia yang semakin terintegrasi dan lompatan kenaikan harga MMD namun juga berkaitan dengan isu perubahan iklim. Bagaimana dampak perubahan yang terjadi terhadap masa depan perekonomian belum banyak dipahami. Hal ini menyarankan pentingnya mempelajari bukan hanya pengaruh kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal seperti suku bunga, nilai tukar, kebijakan tarif dan non-tarif, serta harga MMD terhadap pertumbuhan ekonomi, namun penting juga mempelajari dampak pertumbuhan ekonomi terhadap perubahan iklim, termasuk deforestasi dan degradasi hutan.

Melalui kerangka REDD (Reducing Emission from DeforestationandForest Degradation in Developing Countries), Indonesia tahun 2009 mendeklarasikan target pengurangan sebesar 26% hingga tahun 2020, dan menetapkan subsekor kehutanan berkontribusi menurunkan emisi 14%. Di subsektor kehutanan, pengurangan emisi CO2 dapat diwujudkan dengan mempertahankan dan mengkonservasi hutan alam yang tersisa dan/atau meningkatkan hutan tanaman yang ada dengan mereboisasi kawasan hutan yang terdegradasi. Target pengurangan CO2 dengan mempertahankan dan mengkonservasi hutan alam akan mengurangi ekspansi areal, termasuk ekspansi areal pertanian seperti untuk pangan, perkebunan dan juga kehutanan, dan karenanya juga akan mengurangi kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi.


(5)

memahami bukan hanya pengaruh kebijakan makroekonomi dan perubahan faktor eksternal seperti suku bunga, nilai tukar, kebijakan tarif dan non-tarif, serta harga MMD terhadap pertumbuhan ekonomi, namun penting juga memahami dampak pertumbuhan ekonomi terhadap perubahan iklim, termasuk deforestasi dan degradasi hutan.

Melalui kerangka REDD Indonesia tahun 2009 mendeklarasikan target pengurangan sebesar 26% hingga tahun 2020, dan menetapkan subsekor kehutanan berkontribusi menurunkan emisi 14%. Di subsektor kehutanan, pengurangan emisi CO2 dapat diwujudkan dengan mempertahankan dan mengkonservasi hutan alam yang tersisa dan/atau meningkatkan hutan tanaman yang ada dengan mereboisasi kawasan hutan yang terdegradasi. Target pengurangan CO2 dengan mempertahankan dan mengkonservasi hutan alam akan mengurangi ekspansi areal, termasuk ekspansi areal pertanian seperti untuk pangan, perkebunan dan juga kehutanan, dan karenanya juga akan mengurangi kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi. Ekspansi areal atau deforestasi dan degradasi hutan alam tidak terlepas dari pengaruh kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal.

Berkaitan dengan faktor eksternal hutan, terdapat pandangan yang menyatakan bahwa hipotesis kunci penelitian pengaruh eksternal hutan (tropis) adalah bahwa apa yang terjadi pada hutan lebih disebabkan oleh kejadian di luar hutan dibanding di dalam hutan sendiri. Dengan kata lain, dampak sektor lain sering lebih penting dibanding misalnya dampak undang-undang bidang kehutanan, proyek penanaman pohon secara partisipatif atau program pendidikan lingkungan.Berbeda dengan pandangan tersebut, penelitian ini lebih mendasarkan pada pertanyaan: bagaimana memodelkan mekanisme transmisi pengaruh eksternal hutan dan menganalisis secara simultan dampak deforestasi dan degradasi hutan yang ditimbulkan? Untuk menghindari kompleksitas permasalahan, pengaruh eksternal hutan dalam penelitian ini dibatasi terdiri dari: (1) kebijakan makroekonomi, dan (2) faktor eksternal.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengkonstruksi dan menduga model ekonometrika dampak kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal terhadap deforestasi dan degradasi hutan alam, dan (2) mengevaluasi dampak deforestasi dan degradasi hutan alam kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal. Model diduga menggunakan metode 2SLS dan diuji menggunakan uji statistik yang relevan. Parameter dugaan yang diperoleh memiliki tanda sesuai dengan yang diprediksi teori, dan hasil evaluasi kebijakan dan faktor eksternal mengindikasikan mempertahankan dan mengkonservasi hutan alam yang tersisa tidak efektif jika izin baru pemanfaatannya diperbolehkan.

Kata kunci: Model Ekonometrika, Kebijakan Makroekonomi, Faktor Eksternal, Hutan Alam, Deforestasi, Degradasi. 

  vi


(6)

                 

©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor.

     


(7)

EKSTERNAL TERHADAP DEFORESTASI DAN

DEGRADASI HUTAN ALAM

SATRIA ASTANA

DISERTASI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup:

1. Dr. Ir. Muhammad Buce Saleh, MSc

Staf Pengajar Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor

2. Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrohmat, MSc.F. Trop

Staf Pengajar Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka:

1. Dr. Ir. Boen Purnama, MSc

Staf Khusus Bidang Hukum dan Politik Ekonomi Kehutanan, Kementerian Kehutanan Republik Indonesia

2. Dr. Ir. Kirsfianti Linda Ginoga, MSc

Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Kehutanan, Kementrian Kehutanan Republik Indonesia


(9)

(10)

Alhamdulilah, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya, disertasi dengan judul “Dampak Kebijakan Makroekonomi dan Faktor Eksternal terhadap Deforestasi dan Degradasi Hutan Alam” dapat penulis selesaikan.

Selama proses penelitian dan penulisan disertasi ini, penulis memperoleh bimbingan, masukan, dan dukungan dari berbagai pihak. Atas bimbingan, masukan dan dukungan, terutama dari Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA, sebagai Ketua, dan Dr. Ir. Sudarsono Soedomo, MS serta Dr. Ir. Bintang C.H. Simangunsong, MS, sebagai Anggota, penulis dengan tulus menyampaikan terima kasih.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Kepala Badan Litbang Kehutanan, Dr. Tachir Fathoni, dan Kepala Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan Kehutanan, Dr. Kirsfianti L. Ginoga, selaku pimpinan lembaga tempat penulis bekerja. Kepada Dr. Erwidodo (Duta Besar Indonesia untuk WTO), Dr. Iman Santoso (Dirjen Bina Usaha Kehutanan), Dr. Hadi Daryanto (Sekjen Kementerian Kehutanan), Dr. Hadi Pasaribu (Staf Ahli Bidang Ekonomi dan Perdagangan Internasional, Kementerian Kehutanan), Bapak Budi Santoso (Dirut PT. Inhutani II), Bapak Is Mugiono (Direktur Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Hutan, Ditjen Planologi Kehutanan), Bapak Awria Ibrahim (Direktur Bina Usaha Hutan Alam, Ditjen Bina Usaha Kehutanan), Bapak Zulfikar Adil (Direktur Eksekutif Badan Revitalisasi Industri Kehutanan), Dr. Ruandha Agung S. (Staf Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumberdaya Hutan, Ditjen Planologi Kehutanan), dan Bapak Bambang Murdiono, atas dukungan moril dan materiel secara langsung maupun tidak langsung, penulis juga menyampaikan terima kasih. Atas dukungan moril dan materiel teman-teman sekerja di Badan Litbang Kehutanan, Dr. Titiek Setyowati, Deden Djaenudin MSi, Handoyo MSi, Bayu Subekti, MSi, Rahman Effendi MSc, Sulistyo Siran, MSc, Tigor Butarbutar, MSc, dan Ibu Indarwati, teman-teman peserta Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Dr. Yan Purba, Dr. Rustam AR, Dr. Roni W dan Soegiono, MSi, teman-teman auditor Rainforest Alliance, Indu Sapkota, MSc, Langlang Tata Buana, MSc, dan Wahyu Riva MSi, serta Saudara Kunkun, yang membantu pengetikan dan pencetakan, penulis juga menyampaikan terima kasih.

Tak lupa kepada istri dan putra-putri tercinta, atas segala dukungan dan pengorbanannya, penulis juga menyampaikan terima kasih.

Sebagai penutup, penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari sempurna. Kendati demikian, penulis berharap semoga disertasi ini bermanfaat sebagai bahan masukan kebijakan pengendalian deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia.

Bogor, Januari 2012


(11)

Penulis dilahirkan di Ambulu, Jember, Jawa Timur pada tanggal 31 Mei 1958 sebagai putra ke enam dari delapan bersaudara Keluarga H. Muhamad Yamin (Ayah, Almarhum) dan Hj. Sutriati (Ibu). Penulis menikah dengan Nursyamsinar Febriani, S.E., pada tahun 1990 dan dikaruniai dua putri dan satu putra, yaitu: Siti Nursari Ismarini (Riri, 20 tahun, mahasiswi S1 Program Studi Akuntansi, Universitas Indonesia), Greaty Fitraharani (Hani, 18 tahun, mahasiswi S1 Program Hubungan Internasional, Universitas Padjajaran), dan Reda Yusuf Nurmadani (Reda, 13 tahun, kelas dua SMP).

Setelah lulus Sarjana Managemen Hutan dari Fakultas Kehutanan IPB tahun 1983, penulis langsung bekerja pada Bagian Penelitian Pemasaran dan Sosial Ekonomi Balai Penelitian Hasil Hutan, Bogor. Tahun 1988-1989, penulis mengikuti Forest Survey Courses Programme di ITC, Belanda. Tahun 1992 penulis melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi International Agricultural Marketing, University of Newcastle Upon Tyne, Inggris dan lulus tahun 1994. Tahun 2000 penulis mengikuti pendidikan S2 pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Program Pascasarjana IPB dan lulus tahun 2003.

Tahun 2004, penulis bekerja sebagai Staf Peneliti pada Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan, Bogor, dan tahun yang sama terdaftar sebagai mahasiswa S3 Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian. Tahun 2006 penulis dinyatakan lulus prakualifikasi I, dan prakualifikasi II tahun 2011. Tahun 2007-2009 penulis menjalankan tugas sebagai Kepala Subdirektorat Industri Pengolahan Hasil Hutan, Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Jakarta. Tahun 2009 sampai sekarang, penulis sebagai Staf Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Kehutanan, Bogor.


(12)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xxi

DAFTAR GAMBAR ... xxiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xxv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 15

1.4. Manfaat Penelitian ... 15

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan ... 15

1.6. Kebaruan Penelitian ... 17

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 19

2.1. Perekonomian Indonesia ... 19

2.2. Peranan Sumberdaya Hutan ... 26

2.3. Pengaruh Kebijakan Makroekonomi ... 33

2.4. Pengaruh Kebijakan Perdagangan Internasional ... 38

2.5. Penelitian Terdahulu Kasus Indonesia ... 39

III. KERANGKA PEMIKIRAN... 41

3.1. Deforestasi ... 41

3.2. Degradasi Hutan ... 47

3.3. Pengaruh Kebijakan Makroekonomi ... 50

3.3.1. Pengaruh Kebijakan Fiskal ... 50

3.3.1.1. Pengaruh Penerimaaan Negara ... 51

3.3.1.2. Pengaruh Pengeluaran Negara ... 52

3.3.2. Pengaruh Kebijakan Moneter ... 54

3.4. Pengaruh Faktor Eksternal ... 56

3.5. Konstruksi Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan 58 3.5.1. Blok Makroekonomi ... 58


(13)

HTI ... 68

3.5.2.2. Tingkat Deforestasi untuk Areal Sawit ... 71

3.5.2.3. Tingkat Deforestas untuk Areal Karet ... 73

3.5.2.4. Tingkat Deforestasi untuk Areal Padi ... 75

3.5.2.5. Total Tingkat Deforestasi untuk Areal HTI, Sawit, Karet, dan Padi ... 76

3.5.3. Blok Degradasi Hutan ... 77

IV. METODE PENELITIAN ... 81

4.1. Jenis dan Sumber Data ... 81

4.2. Spesifikasi Model ... 84

4.3. Identifikasi Model ... 88

4.4. Pendugaan dan Pengujian Model ... 88

4.5. Validasi Model ... 89

4.6. Simulasi Model ... 92

V. EVALUASI MODEL ... 93

5.1. Pendugaan dan Pengujan Model ... 93

5.1.1. Blok Makroekonomi ... 93

5.1.2. Blok Deforestasi ... 95

5.1.3. Blok Degradasi Hutan ... 100

5.2. Validasi Model ... 103

VI. DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL ... 109

6.1. Dampak Kebijakan Makroekonomi ... 109

6.1.1. Blok Makroekonomi ... 110

6.1.2. Blok Deforestasi ... 111

6.1.3. Blok Degradasi Hutan ... 114

6.2. Dampak Faktor Eksternal ... 115

6.2.1. Blok Makroekonomi ... 116

6.2.2. Blok Deforestasi ... 120

6.2.3. Blok Degradasi Hutan ... 123

   


(14)

7.1. Simpulan ... 127

7.2. Implikasi Kebijakan ... 128

7.3. Penelitian Lanjutan ... 128

DAFTAR PUSTAKA ... 131

LAMPIRAN ... 139

   


(15)

Nomor Halaman

1. Luas Lahan Berhutan dalam Kawasan Hutan dan Areal Penggunaan Lain

di Indonesia Tahun 2006 ... 3

2. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 1996 – 2000 ... 24

3. Jenis dan Sumber Data Blok Makroekonomi ... 81

4. Jenis dan Sumber Data Blok Deforestasi-Areal HTI, Sawit, dan Karet ... 82

5 Jenis dan Sumber Data Blok Deforestasi-Areal Padi ... 83

6. Jenis dan Sumber Data Blok Degradasi Hutan ... 83

7. Hasil Pendugaan dan Pengujian Parameter Model Blok Makroekonomi Persamaan Konsumsi Rumah Tangga, Penerimaan Pajak, Pengeluaran Pemerintah dan Investasi Swasta ... 94

8. Hasil Pendugaan dan Pengujian Parameter Model Blok Makroekonomi Persamaan Ekspor Bersih, Suku Bunga Nominal, Tingkat Harga Umum, Nilai Tukar Nominal dan Permintaan Tenaga Kerja ... 95

9. Hasil Pendugaan dan Pengujian Parameter Model Blok Deforestasi Persamaan Deforestasi untuk Areal HTI ... 97

10. Hasil Pendugaan dan Pengujian Model Parameter Model Blok Deforestasi Persamaan Deforestasi untuk Areal Sawit ... 98

11. Hasil Pendugaan dan Pengujian Parameter Model Blok Deforestasi Persamaan Deforestasi untuk Areal Karet ... 99

12. Hasil Pendugaan dan Pengujian Parameter Model Blok Deforestasi Persamaan Deforestasi untuk Areal Padi ... 100

13. Hasil Pendugaan dan Pengujian Parameter Model Blok Degradasi Hutan Persamaan Degradasi Hutan Areal HPH ... 102

14. Nilai Root Mean Square Percent Error Simulasi Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan ... 104

15. Proporsi Dekomposisi Mean Square Error Simulasi Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan ... 107


(16)

16. Skenario Dampak Perubahan Kebijakan Makroekonomi terhadap Perekonomian ... 111

17. Skenario Dampak Perubahan Kebijakan Makroekonomi terhadap Deforestasi ... 113

18. Skenario Dampak Perubahan Kebijakan Makroekonomi terhadap Degradasi Hutan ... 115

19. Skenarion Dampak Perubahan Harga Minyak Mentah Dunia terhadap

Perekonomian ... 119

20. Skenario Dampak Perubahan Suku Bunga Rujukan Amerika Serikat terhadap Perekonomian ... 120

21. Skenario Dampak Perubahan Harga Minyak Mentah Dunia terhadap Deforestasi Hutan Alam ... 122

22. Skenario Dampak Perubahan Suku Bunga Rujukan Amerika Serikat terhadap Deforestasi Hutan Alam ... 123

23. Skenario Dampak Perubahan Harga Minyak Mentah Dunia terhadap Degradasi Hutan Alam Areal HPH ... 124

 


(17)

Nomor Halaman

1. Perkembangan Harga Minyak Mentah Dunia Tahun 1970 – 2008 ... 7

2. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia Tahun 1990 – 2006 ... 9

3. Perkembangan Laju Deforestasi di Indonesia 1990 – 2006 ... 10

4. Perkembangan Luas Areal Hak Pengusahaan Hutan Alam di Indonesia 1990 – 2006 ... 12

5. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia, Kehutanan, dan Industri Kayu, dan Hasil Hutan Lainnya Harga Konstan 2000 Periode 2002 – 2007 13

6. Perkembangan Harga Minyak Indonesia Tahun 1969 – 1983 ... 20

7. Perkembangan Produksi Minyak Indonesia Tahun 1969 – 1983 ... 20

8. Perkembangan Ekspor Migas dan Nonmigas Indonesia Tahun 1980 - 1996 22

9. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2001 – 2011 ... 25

10. Perkembangan Ekspor dan Impor Minyak Tahun 2001 – 2010 ... 25

11. Kontribusi Nilai Ekspor Migas, Karet, Kayu, dan Minyak Sawit terhadap Ekspor Nasional Tahun 1966 – 1978 ... 29

12. Perkembangan Nilai Ekspor Kayu Bulat, Kayu Lapis, dan Kayu Olahan Tahun 1980 – 1990 ... 30

13. Kontribusi Nilai Ekspor Produk Kayu, Pulp, Karet, dan Minyak Sawit terhadap Ekspor Nasional Tahun 2001 – 2009 ... 31

14. Prosed Degradasi dan Deforestasi pada Hutan Alam ... 43

15. Hubungan antara Permintaan Pasar Pangan, Karet, Minyak Sawit dan Pulp dengan Deforestasi ... 46

16. Hubungan antara Permintaan Pasar Kayu Lapis, Kayu Gergajian dan Pulp dengan Degradasi Hutan ... 49


(18)

19. Struktur dan Komponen Subsidi Negara ... 55

20. Saluran dan Mekanisme Pengaruh BI Rate terhadap Aktivitas Ekonomi ... 56

21. Pengaruh Penawaran Uang dan Pendapatan Agregat terhadap Suku Bunga 62 22. Keseimbangan Pasar Lahan Hutan Alam ... 67

23. Keseimbangan Pasar Kayu HTI ... 70

24. Keseimbangan Pasar Buah Sawit ... 73

25. Keseimbangan Pasar Karet ... 75

26. Keseimbangan Pasar dan Intervensi Harga Gabah Kering Giling ... 77

27. Keseimbangan Pasar Kayu Hutan Alam ... 80

28. Diagram Dampak Kebijakan Makroekonomi terhadap Perekonomian ... 109

29. Diagram Dampak Faktor Eksternal terhadap Perekonomian ... 116

 


(19)

Nomor Halaman

1. Data yang Digunakan untuk Pendugaan Model Ekonomi Deforestasi dan

Degradasi Hutan ... 139

2. Program Pendugaan Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan Alam Menggunakan Metode 2SLS, Prosedure SYSLIN, Sofware SAS

versi 9.0 ... 151

3. Hasil Pendugaan Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan Alam

Menggunakan Metode 2SLS, Prosedure SYSLIN, Software SAS versi 9.0 157

4 Hasil Pendugaan Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan Alam

Menggunakan Metode 2SLS dan AR(1), SoftwareEViews versi 6... 189 5 Program Validasi Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan Alam

Menggunakan Metode Newton, Prosedur SYSNLIN, Software SAS versi

9.0 ... 221

6 Hasil Validasi Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan Alam Menggunakan Metode Newton, Prosedur SYSNLIN, Software SAS versi

9.0... 231

7 Program Simulasi Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan Alam Menggunakan Metode Newton, Prosedur SYSNLIN, Software SAS versi

9.0... 241

8 Hasil Simulasi Model Ekonomi Deforestasi dan Degradasi Hutan Alam Menggunakan Metode Newton, Prosedur SYSNLIN, Software SAS versi

9.0... 251

9 Notasi Peubah yang Digunakan untuk Pengolahan Data ... 261  


(20)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perubahan iklim global merupakan isu dunia yang kini menjadi perhatian

banyak kalangan baik di dalam negeri maupun di dunia internasional. Selaras

dengan isu tersebut, perhatian masyarakat internasional terhadap perkembangan

masalah deforestasi dan degradasi hutan semakin menguat. Perhatian masyarakat

internasional terlihat dari berkembangnya forum-forum internasional dengan

beragam kebijakan dan program yang pada intinya bertujuan untuk mencegah,

mengurangi dan memperbaiki kerusakan hutan dan lingkungan sebagai upaya

mengurangi, memperlambat dan bahkan menstabilkan laju perubahan iklim global

pada threshold yang aman bagi umat manusia sedunia.

Menghindari deforestasi dan degradasi hutan merupakan salah satu bagian

untuk mengurangi emisi CO2.Hal ini karena hutan memiliki pengaruh penting pada

iklim (Contreras-Hermosilla et al, 2007). Berkurangnya tutupan hutan secara langsung mempengaruhi tingkat CO2 (carbon dioxide) di atmosfir, yang diatur melalui penyerapan alamiah tanaman dan pepohonan. Jika jumlah tanaman dan

pepohonan yang hidup berkurang (akibat deforestasi), maka jumlah CO2 yang

diserap akan berkurang (Ross, 1998 dalam Alimov, 2002).

Berdasarkan Forest Resources Assessment, Food and Agriculture Organisation (2005), total luas hutan dunia pada tahun 2005 ditaksir berada di bawah 4 miliar hektar atau 30% dari total luas lahan dunia atau 0.6 ha hutan per

kapita. Deforestasi, terutama akibat konversi hutan untuk lahan pertanian berlanjut

dengan laju yang sangat tinggi sebesar 13 juta ha per tahun. Pada waktu yang

bersamaan, penanaman hutan, restorasi lanskap (landscape restoration) dan ekspansi alamiah hutan secara signifikan menurunkan kehilangan hutan bersih (net


(21)

loss of forest area). Kehilangan hutan global pada periode 2000-2005 ditaksir sebesar 7.3 juta ha per tahun, menurun dari 8.9 juta ha per tahun pada periode

1990-2000.

Amerika Selatan menderita kehilangan hutan terbesar, yang pada periode

tahun 2000-2005 sekitar 4.3 juta ha per tahun, diikuti oleh Afrika, yang kehilangan

sebesar 4.0 ha per tahun. Negara-negara Amerika Utara, Amerika Tengah dan

Oceania masing-masing kehilangan hutan sekitar 350 000 ha per tahun, sementara Asia, yang kehilangan hutan sebesar 800 000 ha per ha tahun 1990an, dilaporkan

mengalami penambahan hutan sebanyak 1 juta ha per tahun pada periode 2000 –

2005, terutama akibat aforestasi skala besar di Cina. Luas hutan di Eropa terus

meningkat meskipun pada tingkat yang lebih rendah dibanding tahun 1990an.

Indonesia berada pada urutan ketiga setelah Brasilia dan Zaire dalam kekayaan hutan tropis, yakni memiliki 10% dari hutan tropis yang tersisa di dunia

(Sunderlin dan Resosudarmo, 1997). Berdasarkan hasil penafsiran citra landsat

liputan 2005/2006 menunjukkan bahwa luas lahan berhutan di Indonesia adalah 98.5

juta ha atau 52.4 %, dan luas lahan tidak berhutan adalah 85.8 juta ha atau 45.7%;

tidak tersedia data (karena tertutup awan) adalah 3.6 juta ha (1.9%). Dari total luas

lahan berhutan tersebut, luas lahan berhutan yang terbesar berada di Papua seluas

33.2 juta ha, kemudian disusul di Kalimantan 30.4 juta ha, dan Sumatra 15.8 juta ha.

Sedangkan luas lahan berhutan terkecil berada di Bali-Nusa seluas 2.5 juta ha,

kemudian disusul di Jawa 3.1 juta ha, Maluku 4.7 juta ha, dan Sulawesi 8.7 juta ha

(Tabel 1).

Dari hasil perhitungan berdasarkan hasil penafsiran citra landsat diketahui bahwa laju deforestasi pada periode 1990 – 1996 mencapai 1.9 juta ha namun


(22)

periode 2000 – 2003 laju deforestasi menurun tajam menjadi 1.1 juta ha namun

kemudian meningkat kembali menjadi 1.2 juta ha pada periode 2003 – 2006

(Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Kehutanan, 2008). Perhitungan laju deforestasi

periode 2006 - 2009 sedang dalam penyelesaian namun diperkirakan tidak banyak

berubah jika tidak terdapat perubahan signifikan dalam kebijakan pemanfaatan

sumberdaya hutan. Panayotou (1993) menyatakan permasalahannya adalah

pembuat kebijakan biasanya mempertimbangkan manfaat jangka pendek ( short-term benefits) dari konversi hutan dan bukan biaya jangka panjang (long-term costs). Permasalahan yang diidentidikasi dan diatasi hanya merupakan symptoms

masalah bukan akar masalah (underlying causes) dan pengabaian biaya dan manfaat jangka panjang mencegah upaya perumusan kebijakan yang efektif.

Tabel 1. Luas Lahan Berhutan dalam Kawasan Hutan dan Areal Penggunaan Lain di Indonesia, 2006

Luas Lahan Berhutan No. Pulau/Kepulauan

Kawasan Hutan

Areal Penggunaan Lain

Total

(juta ha) (juta ha) (juta ha)

(%)

1. Sumatra 14.3 1.5 15.8 16.1

2. Jawa 2.2 1.0 3.2 3.2

3. Kalimantan 27.4 3.1 30.5 30.9

4. Sulawesi 7.8 1.0 8.7 8.8

5. Bali-Nusa 1.4 1.0 2.5 2.5

6. Maluku 4.5 0.2 4.7 4.8

7. Papua 32.6 0.6 33.2 33.7

Total 90.2 8.4 98.6 100.0

Sumber: Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Kehutanan, 2008

Dampak deforestasi dan degradasi hutan terhadap perubahan iklim global

merupakan eksternalitas lintas batas (transboundary externality). Perbedaan utama antara eksternalitas domestik dan lintas batas adalah eksternalitas domestik dapat

diinternalkan oleh pemerintah yang bersangkutan, karena bukan merupakan kasus


(23)

lintas batas, sebaliknya, pemerintah dari negara pencemar tidak memiliki insentif

untuk menanggung seluruh biaya pengurangan pencemaran, karena hanya

menikmati sebagian dari manfaat global yang dihasilkan. Jika dilakukan, maka

negara-negara lain akan menjadi free-rider, menikmati manfaat pengurangan pencemaran oleh pencemar tanpa kontribusi menurunkan. Solusi yang didasarkan

pada prinsip membayar (polluter pays principle) tidak dapat diterapkan tanpa kekuasaan supranasional (Alimov, 2002). Implikasinya, masalah deforestasi dan

degradasi hutan harus diatasi melalui komunitas internasional.

Sebagai upaya komunitas internasional, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)

Bumi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) diselenggarakan pada tahun 1992 di Rio

de Janeiro, Brasil. Konferensi ini berhasil mengidentifikasi deforestation, desertification, ozone depletion, atmospheric CO2 emissions dan biodiversity

sebagai isu lingkungan global serta menghasilkan kerangka kelembagaan UNFCCC

(United Nations Framework Convention on Climate Change). Pada 1995, konferensi UNFCCC ke 3 diselenggarakan di Kyoto, Jepang. Terkait dengan isu

atmospheric CO2 emissions, dalam konferensi ini COP (Convention on Parties) negara-negara maju (annex 1) menghasilkan Kyoto Protocol antara lain menetapkan target pengurangan emisi karbon bagi negara-negara maju melalui CDM (Clean Development Mechanism).

Pada tahun 2007, konferensi UNFCCCC ke 13 diselenggarakan di Bali,

Indonesia. Terkait dengan isu deforestation dan desertification, dalam konferensi ini COP negara-negara berkembang (non-annex 1) mengusulkan REDD (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation in Developing Countries). Pada tahun 2009, konferensi ke 15 diselenggarakan di Kopenhagen (Denmark).


(24)

pengurangan emisi CO2 sebesar 26% hingga tahun 2020, dan menetapkan subsekor

kehutanan berkontribusi menurunkan emisi sebesar 14%.

Upaya mewujudkan target tersebut akan berdampak terhadap peningkatan

kinerja perekonomian, khususnya produksi tanaman pangan, perkebunan,

kehutanan dan pertambangan. Kenyataan menunjukkan peningkatan produksi

tanaman pangan, perkebunan dan kehutanan pada umumnya masih bergantung

pada perluasan areal dibanding peningkatan produktivitas lahan per ha. Khususnya

tanaman pangan (padi), hasil penelitian menunjukkan selama 20 tahun terakhir

produktivitasnya hampir tidak mengalami peningkatan sehingga menjustifikasi

bahwa kenaikan produksi padi disebabkan oleh penambahan areal (Jayawinata,

2005). Sedangkan areal pertambangan yang potensial umumnya berada dalam

kawasan hutan primer, bahkan merupakan kawasan hutan yang dilindungi.

1.2. Perumusan Masalah

Kenyataan menunjukkan bahwa perekonomian dunia sedang berubah yakni

melangkah menghadapi setidaknya tiga fenomena perubahan. Pertama adalah

fenomena perubahan yang ditandai oleh semakin terintegrasinya pasar modal dan

keuangan serta perdagangan global. Perubahan kondisi moneter internasional

(international monetary changes) ditransmisikan ke dalam perekonomian suatu negara melalui sistem finansial dan perdagangan internasional. Dalam kasus yang

ekstrim, hubungan ketergantungan tersebut ditunjukkan oleh adanya krisis di suatu

negara merembet ke negara lain. Krisis European Exchange Rate Mechanism

(ERM) tahun 1992-1993, yang dipicu oleh penarikan mata uang Inggris

(Poundsterling) dan Italia (Lira) dari sistem mata uang Euro, diikuti oleh krisis mata uang dan perbankan di Swedia, Norwegia dan Finlandia (Sugema, 2000).


(25)

Krisis hutang menjadi krisis mata uang dan kemudian menjadi krisis

perbankan di Meksiko merembat ke Argentina dan Brasilia. Krisis mata uang

Thailand, Baht, merambat menjadi krisis mata uang Rupiah (Indonesia), Ringgit (Malaysia), Won (Korea Selatan), dan pada tingkat tertentu, peso (Filipina)

(Sugema, 2000). Krisis kredit macet perumahan berisiko tinggi (subprime mortgage) di Amerika Serikat menyebabkan krisis keuangan global dan pertumbuhan ekonomi dunia yang negatif (kecuali Cina, India dan Indonesia).

Krisis ekonomi yang terjadi di Yunani tahun 2010 telah merambat ke Portugal, dan

diperkirakan akan menyusul ke Spanyol. Krisis yang terjadi di negara-negara lain

dapat mempengaruhi perekonomian Indonesia jika krisis yang terjadi berpengaruh

signifikan di negara-negara partner utama dagang Indonesia seperti Uni Eropa, dan pengaruhnya akan semakin besar jika krisis juga merambat ke Amerika Serikat dan

Jepang, yang juga merupakan partner utama dagang Indonesia.

Kedua adalah fenomena perubahan yang ditandai oleh lompatan kenaikan

harga minyak mentah dunia (MMD). Lompatan kenaikan harga MMD disajikan

pada Gambar 1. Pada Gambar 1 terlihat bahwa harga MMD terus mengalami

lompatan kenaikan. Lompatan kenaikan harga MMD yang pertama terjadi pada

pertengahan tahun 1970-an dari sekitar USD 3 per barrel menjadi sekitar USD 10

per barrel. Lompatan kenaikan harga MMD yang kedua terjadi pada awal tahun

1980-an dari sekitar USD 15 per barrel menjadi sekitar USD 40 per barrel. Pada

pertengahan tahun 1980-an, harga MMD mengalami penurunan menjadi sekitar

USD 20 per barrel sebelum meningkat kembali pada awal tahun 1990-an menjadi

sekitar USD 30 per barrel dan menurun menjadi sekitar USD 10 per barrel

menjelang akhir tahun 1990-an. Lompatan ketiga mulai terjadi tahun 2000-an.


(26)

harga MMD meningkat kembali menjadi sekitar USD 30 per barrel dan sempat

menurun menjadi sekitar USD 20 per barrel sebelum akhirnya terus meningkat

hingga menjadi sekitar USD 90 per barrel pada akhir tahun 2000-an.

Sumber: Energy Information Administration

Gambar 1. Perkembangan Harga Minyak Mentah Dunia, 1970 - 2008

Ketiga adalah isu perubahan iklim global. Isu perubahan iklim dicirikan oleh

empat tuntutan peubahan, yaitu: (1) perbaikan teknologi yang ramah lingkungan,

(2) peningkatan produktivitas lahan, (3) pembatasan pemanfaatan hutan alam,

khususnya di negara-negara berkembang, dan (4) peningkatan perluasan areal hutan

tanaman pada areal-areal yang terdegradasi, atau bahkan konversi lahan nonhutan

menjadi hutan. Tuntutan perbaikan teknologi ramah lingkungan ditekankan untuk

seluruh aktivitas ekonomi. Dalam kasus energi muncul teknologi pemrosesan nabati


(27)

aliran air dan sinar matahari sebagai penghasil energi alternatif. Dalam kasus

pengelolaan hutan alam muncul teknologi ramah lingkungan, RIL (Reduced Impact Logging).

Tiga fenomena perubahan tersebut berinteraksi menentukan besaran harga

dan output perekonomian. Konsekuensinya, masing-masing negara harus

melaksanakan langkah-langkah penyesuaian (adjustment) pada seluruh lini sektor ekonomi. Dengan kata lain, perekonomian dunia sedang mengalami proses-proses

penyesuaian bukan saja berkaitan dengan pasar dunia yang semakin terintegrasi dan

lompatan kenaikan harga MMD namun juga berkaitan dengan isu perubahan iklim.

Bagaimana dampak perubahan yang terjadi terhadap masa depan perekonomian

belum banyak dipahami. Hal ini menyarankan pentingnya memahami bukan hanya

pengaruh kebijakan makroekonomi dan perubahan faktor eksternal seperti suku

bunga, nilai tukar, kebijakan tarif dan non-tarif, serta harga MMD terhadap

pertumbuhan ekonomi, namun penting juga memahami dampak pertumbuhan

ekonomi terhadap perubahan iklim, termasuk deforestasi dan degradasi hutan.

Kinerja makroekonomi Indonesia periode 1990 – 2006 dengan krisis

ekonomi yang terjadi pada periode 1997 – 1999 memberikan bukti empiris adanya

keterkaitan antara perubahan faktor eksternal, kinerja makroekonomi, dan

deforestasi dan degradasi hutan. Gambar 2 menyajikan pertumbuhan Produk

Domestik Bruto (PDB) periode 1990 – 2006. Dari Gambar 2 terlihat bahwa pada

periode 1990 – 1996 ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan tinggi yaitu di

atas 7% per tahun. Namun pada pertengahan tahun 1997 (Juli), krisis moneter

regional menguncang perekonomian Indonesia dan menyebabkan pertumbuhan

ekonomi Indonesia tahun 1997 menurun drastis menjadi 4.7%. Setahun kemudian


(28)

13.1%. Pada tahun 1999, ekonomi Indonesia mengalami perbaikan dan tumbuh

sebesar 0.8% yang kemudian tahun 2000 meningkat menjadi 4.9%. Pada tahun

2003, ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan sebesar 4.7% dan kemudian

meningkat menjadi 5.5% tahun 2006.

Sumber: Badan Pusat Statistik

Gambar 2. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia, 1990-2006

Diketahui bahwa pada periode 1990 – 1996 di mana pertumbuhan ekonomi

mencapai 7% (Gambar 2), laju deforestasi mencapai 1.9 juta ha (Gambar 3). Laju

deforestasi kemudian meningkat tajam menjadi 3.5 juta ha pada periode 1996 –

2000 (Gambar 3), yang merupakan periode tahun di mana krisis ekonomi terjadi

(1997 – 1999) (Gambar 2). Namun laju deforestasi kemudian menurun tajam

menjadi 1.1 juta pada periode 2000 – 2003 (Gambar 3). Pada periode 2000 – 2003,

kinerja makroekonomi mengalami perbaikan dan PDB mengalami pertumbuhan

sekitar 4% (Gambar 2). Pada periode 2003 – 2006, laju deforestasi kembali

meningkat menjadi 1.2 juta ha (Gambar 3) dan pertumbuhan ekonomi pada periode


(29)

Sumber: Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Kehutanan

Gambar 3. Perkembangan Laju Deforestasi di Indonesia, 1990 - 2006

Perkembangan degradasi hutan akibat tebang pilih ditunjukkan oleh luas

logged over area (LOA) hutan primer. Luas LOA hutan primer bergantung pada luas konsesi hutan alam yang diusahakan. Semakin luas konsesi hutan alam yang

diusahakan semakin luas LOA yang akan ditimbulkan. Logged over area hutan primer terdegradasi dengan kategori berat dalam arti potensi hutannya tidak layak

lagi diusahakan umumnya ditinggalkan oleh pemegang konsensi. Pada umumnya

perusahaan hutan alam tidak meninggalkan areal kosensi hutannya selama potensi

hutannya masih layak diusahakan kecuali izinnya dicabut pemerintah karena

melanggar peraturtan.

Dari Gambar 4 diketahui bahwa pada tahun 1990, luas konsesi hutan alam

mencapai 58.8 juta ha dengan produksi kayu bulat sebesar 25.8 juta m3 tapi tahun

1996 menurun menjadi 54.0 juta ha dengan produksi kayu bulat sebesar 25.3 juta

m3. Pada tahun 2000 luas konsensi hutan alam menurun tajam menjadi 39.1 juta

ha dengan produksi kayu bulat sebesar 3.4 juta m3. Penurunan produksi kayu bulat

pada tahun 2000 di samping disebabkan oleh penurunan luas konsesi juga


(30)

2003 luas konsensi hutan alam kemudian menurun lagi menjadi 27.8 juta dengan

produksi kayu bulat sebesar 3.7 juta m3. Pada tahun 2006 luas konsesi hutan alam

meningkat sedikit dari tahun 2003 menjadi 28.7 juta ha dengan produksi kayu

bulat sebesar 5.4 juta m3. Peningkatan luas konsesi ini menunjukkan terdapat areal

konsesi tidak terkelola yang masih produktif yang kemudian dialihkan kepada

pemegang konsesi yang bersedia mengambilalih pengelolaan hutannya.

Penurunan luas konsesi hutan alam berarti peningkatan luas konsesi tidak

terkelola. Peningkatan luas konsesi tidak terkelola menyebabkan hutan menjadi

open access, yang pada gilirannya menyebabkan hutan semakin terdegradasi. Luas konsesi tidak terkelola dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok, yaitu: (1) luas

konsesi tidak terkelola yang masih produktif, dan (2) luas konsesi tidak terkelola

yang tidak produktif atau LOA yang terdegradasi berat. Dengan menggunakan

nilai dasar tahun 1990, dari Gambar 4 diketahui bahwa luas konsesi tidak terkelola

tahun 1996 mencapai 4.8 juta ha tapi kemudian meningkat menjadi 19.7 juta ha

tahun 2000. Periode 1996 – 2000 merupakan periode terjadinya krisis (1997

-1999). Pada tahun 2003 luas konsesi tidak terkelola meningkat lagi menjadi 31.0

juta ha dan kemudian menurun menjadi 30.1 juta ha tahun 2006 (Gambar 4).

Selama periode krisis (1997 – 1999) (Gambar 2), terlihat bahwa luas

konsesi hutan menurun tajam atau luas konsensi hutan tidak terkelola meningkat

tajam (Gambar 4). Peningkatan luas konsesi hutan tidak terkelola menyebabkan

luas hutan open access semakin meningkat. Peningkatan luas hutan open access

mendorong peningkatan laju deforestasi (Gambar 3) dan degradasi hutan. Dengan

kata lain, kondisi krisis menurunkan output konsesi hutan dan penurunan

outputnya berkontribusi terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi. Oleh


(31)

(Produk Domestik Bruto) kehutanan dan industri kayu dan hasil hutan lainnya

(HHL), karena keduanya mengalami pertumbuhan yang negatif, terutama setelah

tahun 2004 (Gambar 5).

Sumber: Direktorat Bina Pengembangan Hutan Alam

Gambar 4. Perkembangan Luas Areal Hak Pengusahaan Hutan Alam di Indonesia, 1990 – 2006

Di subsektor kehutanan, pengurangan emisi CO2 dapat diwujudkan dengan

mempertahankan dan mengkonservasi hutan alam yang tersisa dan/atau

meningkatkan hutan tanaman yang ada dengan mereboisasi kawasan hutan yang

terdegradasi. Target pengurangan CO2 dengan mempertahankan dan

mengkonservasi hutan alam akan mengurangi ekspansi areal, termasuk ekspansi

areal pertanian seperti untuk pangan, perkebunan dan juga kehutanan1, dan

karenanya juga akan mengurangi kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi.

Kaimowitz dan Angelsen (1998) menyatakan terdapat kesepakatan yang

luas bahwa ekspansi areal penananam (cropped area) serta penggembalaan (pasture) merupakan sumber utama deforestasi. Ekspansi penggembalaan, terutama

1

Sesuai INPRES No. 10/2011, moratorium izin baru pemanfaatan hutan alam (primer) dikecualikan untuk permohonan yang telah menperoleh persetujuan prinsip dari Menteri Kehutanan; pelaksanaan pembangunan nasional yang vital, yaitu: geothermal, minyak dan gas bumi, ketenagalistrikan, lahan untuk padi dan tebu; perpanjangan izin sepanjang izin di bidang usahanya masih berlaku; dan restorasi ekosistem.


(32)

penting di negara-negara Amerika Latin. Tetapi sebaliknya tidak terdapat

kesepakatan yang luas mengenai pembalakan hutan (logging), meskipun pembalakan hutan kelihatan sebagai sumber langsung deforestasi dalam konteks

tertentu dan memainkan peran tidak langsung dalam konteks yang lain.

Sumber: Badan Pusat Statistik

Gambar 5. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia, Kehutanan dan Industri Kayu dan Hasil Hutan Lainnya Harga Konstan 2000, 2002 – 2007

Ekspansi areal atau deforestasi dan degradasi hutan alam tidak terlepas dari


(33)

eksternal hutan, Wunder dan Verbist (2003) menyatakan bahwa hipotesis kunci

penelitian pengaruh eksternal hutan (tropis) adalah bahwa apa yang terjadi pada

hutan lebih disebabkan oleh kejadian di luar hutan dibanding di dalam hutan

sendiri. Dengan kata lain, dampak sektor lain sering lebih penting dibanding

misalnya dampak undang-undang bidang kehutanan, proyek penanaman pohon

secara partisipatif atau program pendidikan lingkungan. Secara tersirat pandangan Wunder dan Verbist ini lebih menonjolkan besarnya pengaruh luar sehingga

praktek pengelolaan hutan secara berkelanjutan tidak dapat dipraktekkan secara

konsisten (atau berdampak kecil).

Berbeda dengan Wunder dan Verbist, penelitian ini mendasarkan pada

pertanyaan: bagaimana memodelkan mekanisme transmisi pengaruh eksternal hutan

dan menganalisis secara simultan dampak deforestasi dan degradasi hutan yang

ditimbulkan? Untuk menghindari kompleksitas permasalahan, pengaruh eksternal

hutan dalam penelitian ini dibatasi terdiri dari: (1) kebijakan makroekonomi, dan

(2) faktor eksternal. Perumusan masalah penelitian secara rinci dinyatakan dalam

bentuk dua pertanyaan:

1. Bagaimana dan seberapa besar kebijakan makroekonomi mempengaruhi

deforestasi dan degradasi hutan, serta kebijakan mana yang signifikan

mempengaruhi?

2. Bagaimana dan seberapa besar perubahan faktor eksternal mempengaruhi

deforestasi dan degradasi hutan, serta faktor eksternal mana yang signifikan


(34)

1.3. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak kebijakan

makroekonomi dan faktor eksternal terhadap deforestasi dan degradasi hutan.

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

1. Membangun model ekonometrika sistem persamaan simultan yang

mengintegrasikan faktor-faktor makroekonomi dan eksternal ke dalam aspek

mikroekonomi deforestasi dan degradasi hutan.

2. Menganalisis dampak kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal terhadap

deforestasi dan degradasi hutan.

1.4. Manfaat Penelitian

Secara umum hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan

masukan kebijakan pengendalian deforestasi dan degradasi hutan. Secara khusus

hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan:

1. Kebijakan mitigasi dampak deforestasi dan degradasi hutan kebijakan

makroekonomi dan faktor eksternal.

2. Pengembangan model ekonometrika dampak kebijakan makroekonomi dan

faktor eksternal terhadap deforestasi dan degradasi hutan.

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Deforestasi didefinisikan sebagai perubahan kondisi penutupan lahan dari

kelas penutupan lahan kategori hutan (berhutan) menjadi kelas penutupan lahan

kategori nonhutan (tidak berhutan) (Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Kehutanan

(2008). Namun hutan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah hutan alam,

sehingga hutan tanaman industri (HTI) dimasukkan ke dalam kategori deforestasi.


(35)

areal tanaman padi, yang mewakili perluasan areal tanaman pangan, (3) areal

tanaman karet, dan (4) areal tanaman sawit, yang mewakili areal tanaman

perkebunan.

Degradasi hutan (primer) didefinisikan sebagai perubahan tutupan hutan

alam yang menyebabkan terjadinya pengurangan daya serap CO2, peningkatan

erosi, dan struktur tegakan hutan alam yang (tanpa penataan kembali) tidak dapat

dipanen secara lestari. Degradasi hutan dapat terjadi di semua areal kategori fungsi

hutan, yaitu: hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi. Areal degradasi

hutan yang dianalisis adalah areal degradasi hutan yang terjadi di hutan alam

produksi areal HPH.

Model dibagi ke dalam tiga blok, yaitu: (1) blok makroekonomi, (2) blok

deforestasi, dan (3) blok degradasi hutan. Data untuk pendugaan model adalah data

deret waktu periode 1980 – 2008. Model diduga menggunakan metode 2SLS.

Pendekatan makroekonomi yang digunakan adalah pendekatan sisi permintaan

agregat. Kebijakan makroekonomi yang dianalisis meliputi: (1) kebijakan moneter,

yakni penawaran uang, dan (2) kebijakan fiskal, yakni pengeluaran pemerintah.

Faktor eksternal yang dianalisis meliputi: (1) perubahan harga minyak mentah

dunia, dan (2) suku bunga dunia (suku bunga rujukan Amerika Serikat, Federal Fund Rate).Pendapatan dibelanjakan diasumsikan eksogen.

Kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal menentukan keseimbangan

suku bunga dalam blok makroekonomi. Perubahan suku bunga akibat perubahan

kebijakan makroekonomi dan faktor eksternal secara langsung mempengaruhi

tingkat deforestasi dan degradasi hutan, serta secara tidak langsung melalui

pengaruhnya terhadap harga komoditas dalam blok deforestasi dan blok degradasi


(36)

1.6. Kebaruan Penelitian

Penelitian dampak kebijakan makroekonomi terhadap sektor pertanian

antara lain pernah dilakukan oleh Sipayung (2000) menggunakan model

ekonometrika persamaan simultan makroekonomi, dan dampak kebijakan

makroekonomi terhadap ketahanan pangan oleh Jayawinata (2005) menggunakan

model ekonometrika yang mengintegrasikan faktor-faktor mikroekonomi dan

makroekoenomi. Penelitian dampak kebijakan makroekonomi terhadap deforestasi

dan degradasi hutan umumnya menggunakan analisis deskriptif, seperti Sedjo

(2005), Strand (2004), dan Sunderlin et al (2003). Wunder (2005) menganalisis dampak kebijakan makroekonomi terhadap deforestasi menggunakan persamaan

tunggal dan menganalisis dampaknya secara tidak langsung melalui produksi kayu.

Kaimovitz dan Angelsen (1998) mengklasifikasi model ekonomi

deforestasi yang menggunakan suatu negara sebagai unit analisis ke dalam empat

grup utama, yaitu: (1) model analitis yakni model yang tidak menyebutkan secara

spesifik wilayah atau negara yang dianalisis, (2) model CGE (Computable General Equilibrium), (3) model komoditas dan perdagangan, dan (4) model regresi multi-negara. Dengan demikian, model yang khusus menganalisis kasus suatu negara,

seperti model yang dikembangkan dalam penelitian ini, belum pernah dilakukan.

Penggunaan model CGE untuk menganalisis deforestasi, menurut Kaimovitz dan

Angelsen (1998) memiliki banyak keterbatasan, dan menyarankan penggunaannya

yang terbaik diperlukan ketika alternatif pendekatan tidak dapat ditemukan untuk

menganalisis isunya. Selaras dengan Kaimovitz dan Angelsen (1998), model yang

dibangun dalam penelitian ini diharapkan dapat mengisi upaya mencari alternatif


(37)

Menurut Kaimovitz dan Angelsen (1998), terdapat empat aspek yang

mendorong deforestasi, yaitu: (1) sumber deforestasi (ekspansi areal untuk

penanaman dan penggembalaan), (2) agen deforestasi (a.l. rumah tangga), (3)

parameter keputusan agen (a.l. harga input dan ouput pertanian, upah, dan harga

kayu), dan (4) underlying factors ( a.l. populasi, pendapatan, hutang luar negeri, perdagangan, dan politik). Rumah tangga paling sering diteliti namun perusahaan

dan pemerintah (birokrasi) sebenarnya dapat dikategorikan juga sebagai agen

deforestasi. Model yang dibangun dalam penelitian ini berkontribusi dalam

menjelaskan keterkaitan empat aspek tersebut.

Model yang dibangun merupakan model ekonometrika persamaan simultan

yang mengintegrasikan faktor-faktor makroekonomi dan eksternal (underlying factors) ke dalam aspek mikroekonomi deforestasi dan degradasi hutan (sumber dan perilaku agen deforestasi dan degradasi hutan). Dengan model yang dibangun

dampak deforestasi dan degradasi hutan kebijakan makroekonomi dan faktor

eksternal dapat dianalisis secara simultan. Perubahan kebijakan makroekonomi dan

faktor eksternal mempengaruhi keseimbangan suku bunga. Perubahan

keseimbangan suku bunga selanjutnya mempengaruhi secara langsung deforestasi

dan degradasi hutan, serta keseimbangan harga pasar komoditas, dan akhirnya


(38)

2.1. Perekonomian Indonesia

Sebelum tahun 1966, perekonomian Indonesia pada prinsipnya menganut

sistem perekonomian terpimpim. Dalam pengertian bahwa negara melakukan

pengendalian atas alat-alat produksi, pembatasan kuantitif dan multiple exchange rates untuk mengatasi masalah neraca pembayaran (balance of payments), dan mencetak uang untuk membiayai difisit anggaran (Woo et al 1994 dalam Sunaryo, 1996). Kebijakan-kebijakan tersebut, terutama kebijakan pencetakan uang untuk

pembiayaan difisit anggaran menyebabkan laju inflasi mencapai 650% tahun 1965.

Belajar dari pengalaman sebelum tahun 1966, pemerintah mulai tahun 1966

berusaha menstabilkan perekonomian, terutama mengendalikan laju inflasi. Pada

tahun 1971, program stablilisasi perekonomian berhasil menekan laju inflasi

menjadi hanya satu digit. Sejak saat itu pemerintah terus berusaha

mempertahankan inflasi rendah dengan mengadopsi kebijakan anggaran belanja

berimbang, yakni kebijakan yang melarang praktek pembiayaan domestik untuk

mengatasi defisit anggaran dan menggantikan dengan pembiayaan luar negeri.

Gambar 6 menyajikan perkembangan harga minyak mentah Indonesia

periode 1969-1983. Pada Gambar 6 terlihat selama periode 1969 – 1983, harga

minyak mentah Indonesia cenderung meningkat, dan mengalami dua kali lompatan

kenaikan. Lompatan kenaikan harga minyak mentah yang pertama adalah dari

USD 3.8 per barrel tahun 1973 menjadi USD 12.8 per barrel tahun 1974.

Sedangkan lompatan kenaikan harga minyak yang kedua adalah dari USD 18.4 per


(39)

Sumber: Pangestu, 1986

Gambar 6. Perkembangan Harga Minyak Mentah Indonesia, 1969 - 1983

Perkembangan produksi minyak mentah Indonesia periode 1969-1983

disajikan pada Gambar 7. Pada Gambar 7 terlihat bahwa pada periode 1969-1979,

produksi minyak mentah cenderung mengalami kenaikan. Pada tahun 1969,

produksinya mencapai 270.9 juta barrel, kemudian tahun 1973 meningkat menjadi 488.5 juta barrel. Tahun 1974 produksinya meningkat menjadi 501.8 juta barrel

dan tahun 1979 meningkat menjadi 580.4 juta barrel. Pada periode tahun 1979-1983, produksinya cenderung menurun. Pada tahun 1980 produksinya menurun

menjadi 577.0 juta barrel dan tahun 1983 menurun lagi menjadi 490.5 juta barrel

(Gambar 7).

Sumber : Pangestu, 1986


(40)

Dua kali lompatan kenaikan harga minyak (1974 dan 1980) memberikan

kesempatan pemerintah meningkatkan perekonomian2, dan dari penerimaan minyak

memungkinkan pemerintah mempertahankan regim nilai tukar tetap (fixed exchange rate) (Sunaryo, 1996). Namun di sisi lain, karena harga minyak mentah meningkat relatif terhadap harga ekspor nonmigas, neraca perdagangan minyak mentah menjadi

surplus. Hal ini menyebabkan kombinasi: apresiasi nilai tukar nominal Rupiah dan

tambahan cadangan devisa (reserve inflows) sehingga karena hal yang belakangan tidak disterilisasi, menyebabkan inflasi dan penurunan daya saing ekspor nonmigas3

(Nasution, 1983). Peningkatan ekspor nonmigas ditempuh salah satunya melalui

kebijakan devaluasi Rupiah 50% pada Nopember 1978.

Harga minyak mentah kemudian mengalami penurunan tahun 1983 dan

mencapai titik terendah tahun 1986. Menurut Sunaryo (1996), penurunan penerimaan

minyak memaksa pemerintah mengadopsi strategi diversifikasi ekspor (diversified export oriented strategy), dan mempertahankan nilai tukar yang kompetitif (managed floating exchange rate system) untuk menjamin penerimaan ekspor. Hal ini kemudian diikuti oleh kebijakan mempertahankan inflasi rendah untuk mempertahankan daya

saing, dan sejak tahun 1987 pemerintah menetapkan target inflasi (Sunaryo, 1996).

Menurut Nasution (1983), kebijakan inflasi rendah tidak dilakukan dengan cara

mengatasi secara langsung sumber inflasi, tetapi dengan cara pemberian subsidi

langsung terhadap beragam barang konsumsi dan jasa serta subsidi secara tidak

langsung melalui kebijakan harga perusahaan-perusahaan pemerintah, termasuk suku

bunga pinjaman bank-bank pemerintah. Kebijakan ini menurut Nasution (1983) telah

2

Menurut Pangestu (1986), hal ini dapat terwujud hanya jika kenaikan penerimaan minyak mentah dibelanjakan di dalam negeri, sebaliknya tidak dapat meningkatkan perekonomian jika dibelanjakan di luar negeri untuk impor atau pembayaran utang atau didepositokan pemerintah.

3

Hilangnya daya saing internasional ekspor nonmigas yang berasosiasi dengan oil boom sering disebut “Dutch disease”. Dalam pengertian yang luas “ the disease” menurunkan terms of trade

barang tradable relatif terhadap barang nontradable, terutama karena peningkatan penawaran agregat dibelanjakan sebagian besar untuk barang nontradable (Nasution, 1983).


(41)

menurunkan laju inflasi tetapi dengan korbanan beban biaya tinggi untuk subsidi

dalam anggaran pemerintah.

Strategi diversifikasi ekspor berhasil mendorong ekspor nonmigas. Gambar 8

menyajikan perkembangan ekspor migas dan non-migas Indonesia periode 1980-1996.

Pada Gambar 8 terlihat bahwa pada periode 1980 - 1986 ekspor migas cenderung

menurun, dan ekspor nonmigas cenderung meningkat. Pada tahun 1980, nilai ekspor

migas mencapai USD 17.3 miliar tapi tahun 1983 menurun menjadi USD 14.9 miliar

dan tahun 1986 menurun lagi menjadi USD 7.0 miliar. Sedangkan ekspor nonmigas

pada tahun 1980 mencapai USD 5.6 miliar dan tahun 1983 menurun menjadi USD 5.4

miliar tapi tahun 1986 kemudian meningkat menjadi USD 6.7 miliar. Pada Gambar 8

terlihat sejak tahun 1987, nilai ekspor nonmigas melampaui ekspor migas. Tahun

1987 nilai ekspor migas adalah USD 8.8 miliar, dan ekspor nonmigas, USD 9.5

miliar.

Sumber: BI

Gambar 8. Perkembangan Ekspor Migas dan Nonmigas Indonesia, 1980-1996

Pertumbuhan ekonomi Indonesia periode 1969-1996 mencapai rataan per tahun

sebesar 6.9%. Pertumbuhan ekonomi ini merupakan kontribusi pertumbuhan dari


(42)

8.9% per tahun. Pertumbuhan sektor pertanian yang kurang dari separuh dari

pertumbuhan sektor nonpertanian mengindikasikan telah terjadi perubahan struktur

perekonomian Indonesia. Pangsa sektor pertanian dalam pembentukan PDB (Produk

Domestik Bruto) menurun dramatis dari 40.2% tahun 1969 menjadi hanya 15.8%

tahun 1996, sebaliknya pangsa sektor nonpertanian meningkat dramatis dari 58.8%

menjadi 84.2% (Sipayung, 2000).

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi hingga tahun 1996 ternyata tidak

berlanjut. Hasil analisis Sugema (2000) menyimpulkan bahwa perekonomian

Indonesia sebelum krisis telah berorientasi pada pasar dan berkontribusi terhadap

peningkatan keterbukaan dan kinerja perekonomian, tetapi menghadapi tiga

persoalan, yaitu: (1) defisit neraca berjalan (current account) yang terus menerus, (2) akumulasi dan struktur hutang luar negeri, dan (3) sektor perbankan yang relatif

lemah. Menurut Sugema, dua masalah yang pertama saling berkaitan dalam

pengertian defisit neraca berjalan yang teus menerus sebagian besar disebabkan oleh

pembayaran bunga hutang luar negeri.

Aliran kapital jangka panjang tidak cukup untuk menutupi defisit sehingga

aliran kapital jangka pendek diperlukan. Hal ini, menurut Sugema, menyebabkan

neraca pembayaran (balance of payment) rentan terhadap penarikan kapital asing jangka pendek. Dengan kata lain, Indonesia sebelum krisis telah rentan terhadap

krisis kembar (twin crisises): dua masalah yang pertama di satu sisi dapat dipandang sebagai syarat keharusan dalam arti bahwa berkurangnya kepercayaan sebagian

pemberi pinjaman dan investor asing dapat menekan pasar nilai tukar (foreign exhange market), dan lemahnya sektor perbankan di sisi lain dapat dipandang sebagai syarat kecukupan dalam arti peningkatan suku bunga tidak akan efektif atau kredibel


(43)

Pada pertengahan bulan Juli 1997 perekonomian Indonesia mengalami krisis

moneter yang kemudian berlanjut menjadi krisis ekonomi. Krisis ekonomi

menyebabkan pertumbuhan ekonomi menurun dramatis. Tabel 2 menyajikan

pertumbuhan ekonomi Indonesia periode 1996-2000. Pada Tabel 2 terlihat bahwa

berdasarkan harga konstan tahun 1993, pertumbuhan ekonomi menurun dari 7.6%

tahun 1996 menjadi 4.7% tahun 1997, dan tahun 1998 mengalami pertumbuhan

negatif 13.1%. Perekonoman Indonesia mulai membaik tahun 2000 dengan

pertumbuhan 4.9%.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pasca krisis periode 2001-2011 dapat

diperiksa pada Gambar 9. Pada Gambar 9 terlihat bahwa berdasarkan harga konstan

tahun 2000, pertumbuhan ekonomi periode 2001-2006 masih berada di bawah 6%,

dan mulai tahun 2007 baru berada di atas 6%. Penurunan pertumbuhan tahun 2009

menjadi 4.6% disebabkan oleh krisis ekonomi global, yang bersumber dari krisis

finansial di Amerika Serikat. Sejak tahun 2004, pertumbuhan ekonomi tidak lagi

didukung oleh surplus neraca perdagangan minyak. Perkembangan ekspor dan impor

minyak 2001-2010 disajikan pada Gambar 10, yang menunjukkan sejak tahun 2004,

Indonesia telah menjadi net importer minyak.

Tabel 2. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, 1996 – 2000

Tahun Produk Domestik Bruto*

Nilai (miliar Rupiah) Pertumbuhan (%)

1996 413 798 7.6

1997 433 246 4.7

1998 376 375 -13.1

1999 379 353 0.8

2000 397 934 4.9

Sumber: BPS Keterangan:


(44)

Sumber: BPS

Gambar 9. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, 2001-2011

Sumber: BI

Gambar 10. Perkembangan Ekspor dan Impor Minyak, 2001-2010

John Hwaksworth (2006), Head of Macroeconomics, PriceWaterHouse Coopers, memproyeksikan bahwa pada tahun 2050 perekonomian Indonesia akan termasuk ke dalam kelompok 17 negara terbesar dunia. Gross Domestic Product

Indonesia yang pada tahun 2005 dalam nilai riel mendekati USD 20 000 miliar, pada

tahun 2050 mendekati USD 120 000 miliar atau meningkat sekitar 6 kali lipat. Pada


(45)

Hwaksworth diproyeksikan sebesar 7.3%. Namun Hwaksworth menyadari bahwa

proyeksi jangka panjangnya subject to uncertainties. Hasil analisis sensitivitas menyarankan bahwa proyeksi GDP jangka panjang untuk emerging market economies

termasuk Indonesia, menurut Hwaksworth, sensitif terhadap asumsi trend tingkat pendidikan, net investment rate dan catch-up speeds, yang bergantung pada beragam kebijakan dan faktor-faktor kelembagaan (broad range of policy and institutional factors).

2.2. Peranan Sumberdaya Hutan

Statistik Ditjen Bina Usaha Kehutanan (2009) menyebutkan bahwa luas

kawasan hutan di Indonesia berdasarkan Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan

serta Tata Guna Hasil Kesepakatan adalah 137 773 370 ha. Luas kawasan hutan

tersebut dibedakan ke dalam kawasan pelestarian dan hutan lindung seluas 55 388 920

ha (40.2%), dan kawasan hutan produksi seluas 82 384 450 ha (59.8%). Kawasan

pelestarian dan hutan lindung terdiri dari: (1) kawasan suaka margasatwa dan

pelestarian alam seluas 23 510 176 ha (17.1%), (2) taman buru 109 351 ha (0.1%) dan

(3) hutan lindung 31 769 393 ha (23.1%). Kawasan hutan produksi terdiri dari: (1)

hutan produksi (tetap) seluas 37 167 028 ha (45.1%), (2) hutan produksi terbatas 22

449 152 ha (27.3%) dan (3) hutan produksi dapat dikonversi 22 768 270 ha (27.6%).

Sesuai UUD 1945 pasal 33, sumberdaya hutan tersebut harus dimanfaatkan untuk

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (secara berkelanjutan).

Sumberdaya hutan memiliki tiga fungsi. Pertama adalah sebagai penghasil

barang dan jasa. Sebagai penghasil barang, sumberdaya hutan menyediakan hasil

hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu (HHBK). Sebagai penghasil jasa, ekosistem

hutan mempertahankan, antara lain: penyediaan sumber mata air, pembentukan iklim


(46)

mulai memandang jasa penyerapan CO2 sebagai komoditas yang dapat

diperdagangkan.

Kedua adalah sebagai penopang sistem kehidupan sosial ekonomi dan budaya

masyarakat. Komunitas masyarakat lokal yang hidup di sekitar hutan memandang

hutan sebagai sumber mata pencaharian maupun hutan sebagai sarana peribadatan

(Colfer, et al, 2001). Sebagai sumber mata pencaharian, karena hutan bisa menjadi tempat untuk mencari nafkah dengan memanfaatkan hasil hutan berupa kayu, rotan,

madu dan ikan. Sebagai sarana peribadatan, karena hutan bisa menjadi tempat

peribadatan tertentu.

Ketiga adalah sebagai sistem penyangga kehidupan. Sebagai sistem

penyangga kehidupan, sumberdaya hutan membentuk dan mempertahankan

fungsi-fungsi ekologis (rantai makanan dan kehidupan beragam makhluk hidup, flora dan

fauna) dalam keseimbangan dan berkelanjutan. Dengan demikian hutan dapat

berfungsi sebagai penjaga siklus rantai makanan beragam makhluk hidup, penata

aliran air, pengendali erosi, pencegah banjir, pencegah intrusi air laut, pemelihara

kesuburan tanah, dan pembentuk kondisi udara bersih.

Dari ketiga fungsi tersebut, fungsi yang berkembang hingga kini adalah fungsi

dalam konteks ekonomi, yaitu hutan sebagai penghasil barang. Fungsi-fungsi yang

lain relatif terabaikan namun belakangan fungsi sebagai penghasil jasa, seperti air dan

karbon mulai diperhatikan. Perhatian masyarakat yang lebih menekankan pada hutan

sebagai penghasil barang telah mendorong pemanfaatan hutan alam di luar Jawa.

Pada tahun 1970-an, hutan alam di luar Jawa secara besar-besaran dimanfaatkan

tanpa mengetahui bagaimana teknik meregenerasi hutan kecuali pengetahuan sistem

silvikultur TPI (Tebang Pilih Indonesia), yang hingga kini sulit diterapkan secara


(47)

Kini pemberian izin konsesi berubah dari pemberian Hak Pengusahaan Hutan

(HPH) menjadi Izin Pemungutan Hasil Hutan (IUPHHK). Pemanfaatan kawasan hutan

produksi melalui IUPHHK dibedakan ke dalam tiga bentuk izin usaha: (1) Izin Usaha

Pemungutan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam (IUPHHK-HA), (2) Izin Usaha

Pemungutan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman (IUPHHK-HT), dan (3) Izin

Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHH-BK).

Dari kawasan hutan produksi seluas 82.4 ha, pemanfaatan dalam bentuk

IUPHHK kini mencapai 35 377 895.7 ha atau sekitar 49.9 %. Luas areal

masing-masing bentuk pemanfaatan adalah (Ditjen BPK, 2009):

1. Areal IUPHHK-HA seluas 25 641 167 ha untuk 306 unit pemegang izin yang

tersebar pada 20 provinsi di luar Pulau Jawa.

2. Areal IUPHHK-HTI (SK Definitif dan SK Sementara) 9 208 506 ha untuk 230 unit

pemegang izin yang tersebar pada 20 provinsi di luar Pulau Jawa.

3. Areal IUPHH-BK seluas 21 620 ha untuk 1 unit pemegang izin yang berada di

Provinsi Riau.

4. Areal pencadangan IUPHHK-HTR seluas 383 402.7 ha yang tersebar di 20

provinsi.

Sejak hutan alam di luar Jawa dimanfaatkan secara besar-besaran pada

tahun 1970-an, peranan sektor kehutanan dalam perekonomian mulai

dipertimbangkan. Gambar 11 menyajikan kontribusi nilai ekspor migas, karet, kayu

dan minyak sawit terhadap ekspor nasional. Pada Gambar 11 terlihat bahwa pada

tahun 1970 kontribusi ekspor kayu (bulat) mencapai 9.4 % dari ekspor nasional,

menempati urutan ketiga setelah migas (40.3%) dan karet (22.9%). Pada tahun 1972,

kontribusi ekspor kayu terhadap ekspor nasional meningkat menjadi 12.9%, dan


(1)

 

257

 

Lampiran 8. Lanjutan

   

5.

Suku Bunga Rujukan Amerika Serikat Meningkat 1%

 

      The MODEL Procedure        Dynamic Simultaneous Simulation   

      Solution Range TAHUN = 1983 To 2008   

       Descriptive Statistics   

      Actual       Predicted 

Variable      N Obs      N      Mean   Std Dev      Mean   Std Dev 

 

R      26     26   14.1908   11.0892   14.0299    4.5902 

RR       26     26    2.9010    5.5753    2.7400   13.8920 

UIP      26     26    0.7466    5.1916    0.5641   14.1484 

EXR      26     26    6622.7    4944.0    6730.6    4794.4 

REXR       26     26    6956.0    7313.7    6847.1    6922.4 

RPPJK      26     26    129891   66351.2    129038   70501.5 

RG       26     26   98172.8   32781.6   98345.0   33363.6 

RI       26     26    321683    134461    331013    122319 

RNX      26     26   33849.9   74842.4   31426.3   48853.4 

RC       26     26    742744    301174    740152    283907 

RY       26     26   1196450    440139   1200936    442039 

IHK      26     26   75.2057   60.2377   75.2217   60.0678 

EMP      26     26   82.2600   11.9070   82.3279   11.7377 

UNEMP      26     26    5.2146    3.4952    5.1780    3.6392 

LRC      26     26    706578    292612    702360    270854 

LRPPJK       26     26    120762   62560.2    120025   67091.9 

LRI      26     26    303421    123769    315095    117949 

LRG      26     26   93787.1   29496.4   94125.3   30617.9 

LRNX       26     26   32977.7   75118.0   30349.3   49255.0 

LRY      26     26   1136763    419942   1141930    424150 

LR       26     26   14.5281   11.0431   14.1785    4.6323 

LRMS       26     26    501474    256026    501474    256026 

LEXR       26     26    6279.7    5031.9    6352.2    4864.4 

LEMP       26     26   80.5389   12.0893   80.6099   11.9388 

LRW      26     26    513077    174259    513077    174259 

LDINF      26     26   11.1214   13.7754   11.1214   13.7754 

LOILP      26     26   76.1820   75.5203   76.1820   75.5203 

TDFHTI       26     26     275.0     490.5     291.3     624.5 

QKHTI      26     26    4079.5    7167.2    3972.1    7626.4 

DKHTI      26     26    4079.5    7167.2    3972.1    7626.4 

RHKHTI       26     26     350.8     155.3     345.4     112.3 

L2RHEPU      26     26   3928551   1418815   3928551   1418815 

LRHEPU       26     26   3926454   1421881   3926454   1421881 

L2RR       26     26    3.5692    5.3428    2.8990   13.8735 

LAHTI      26     26    2291.7    2617.0    2291.7    2617.0 

LQKHTI       26     26    3221.1    6161.2    3129.0    6720.7 

LDKHTI       26     26    3221.1    6161.2    3129.0    6720.7 

TDFSW      26     26     270.5     256.5     257.3     247.5 

QBSW       26     26   28600.5   23830.0   29157.0   23992.3 

DBSW       26     26   28600.5   23830.0   29157.0   23992.3 

RHBSW      26     26     329.6   85.0738     330.3   64.8795 

L3RR       26     26    3.6736    5.2173    2.9011   13.8729 

LRHKHTI      26     26     366.7     152.1     361.0     109.3 

LRHKHA       26     26    693551    342976    668305    270343 

LATSW      26     26    2704.6    2097.1    2704.6    2097.1 

L2RHBSW      26     26     311.7   78.0536     318.0   67.0426 

LRR      26     26    3.4067    5.3912    3.0571   13.9107 

LQBSW      26     26   25689.2   21877.9   26290.2   22241.4 

LDBSW      26     26   25689.2   21877.9   26290.2   22241.4 

TDFKR      26     26   36.1652   77.6525   38.5709     115.5 

QKR      26     26    1602.9     508.6    1606.3     567.5 

DDKR       26     26     161.6     111.4     205.1     139.9 


(2)

Lampiran 8. Lanjutan

 

RHDKR      26     26    7255.1    1339.5    7099.0     696.5 

LATKR      26     26    3195.1     316.1    3195.1     316.1 

LQKR       26     26    1531.7     469.5    1543.3     550.7 

LDDKR      26     26     147.3   92.7519     196.5     139.3 

LQXKR      26     26    1384.3     404.2    1346.8     456.6 

LRHEKR       26     26  11210039   7149536  11210039   7149536 

TDFPD      26     26     171.3     370.7     167.3     466.3 

QGKG       26     26   47989.9    6226.9   48297.0    5927.1 

DGKG       26     26   47989.9    6226.9   48297.0    5927.1 

RHGKG      26     26    1343.0     461.6    1339.3     314.0 

LATPD      26     26   10558.2    1395.8   10558.2    1395.8 

LQGKG      26     26   46962.6    6313.0   47350.6    6235.3 

LDGKG      26     26   46962.6    6313.0   47350.6    6235.3 

TTDF       26     26     753.0     683.0     754.4    1075.1 

TDGHPH       26     26   ‐1018.2    3801.4    ‐802.5    6445.6 

QILL       26     26   10540.1    3904.1   10600.7    3835.5 

QKBHA      26     26   15355.6    9316.1   15488.3    8810.4 

DKBKG      26     26    9965.3    7292.3   10038.7    4859.2 

DKBKL      26     26   15658.7    5149.8   14675.9    3034.8 

RHKHA      26     26    715581    340166    698465    280030 

L2QILL       26     26   10818.3    3484.2   10914.9    3319.1 

LRHEMSW      26     26   3772992   1196814   3772992   1196814 

LAHPH      26     26   47879.0   13194.2   47879.0   13194.2 

LQILL      26     26   10719.1    3687.4   10830.0    3500.1 

LQKBHA       26     26   15692.0    9067.9   15947.4    8347.9 

LDKBKG       26     26   10448.9    7092.4   10570.1    4433.7 

LDKBKL       26     26   15555.0    5345.2   14496.1    3465.9 

     

6. Kenaikan Suku Bunga Rujukan Amerika Serikat Rataan per tahun sebesar

5.0%

 

   

      The MODEL Procedure        Dynamic Simultaneous Simulation   

      Solution Range TAHUN = 1983 To 2008   

       Descriptive Statistics   

      Actual       Predicted 

Variable      N Obs      N      Mean   Std Dev      Mean   Std Dev 

 

R      26     26   14.1908   11.0892   14.0402    4.5887 

RR       26     26    2.9010    5.5753    2.7504   13.8911 

UIP      26     26    0.7466    5.1916    0.4883   14.1647 

EXR      26     26    6622.7    4944.0    6772.5    4783.8 

RPPJK      26     26    129891   66351.2    129097   70502.6 

RG       26     26   98172.8   32781.6   98378.6   33363.0 

RI       26     26    321683    134461    331085    122301 

RNX      26     26   33849.9   74842.4   31713.8   48949.3 

RC       26     26    742744    301174    740137    283904 

RY       26     26   1196450    440139   1201314    442045 

IHK      26     26   75.2057   60.2377   75.2285   60.0686 

EMP      26     26   82.2600   11.9070   82.3353   11.7410 

UNEMP      26     26    5.2146    3.4952    5.1706    3.6359 

LRC      26     26    706578    292612    702346    270851 

LRPPJK       26     26    120762   62560.2    120083   67099.4 

LRI      26     26    303421    123769    315165    117939 

LRG      26     26   93787.1   29496.4   94158.3   30620.4 

LRNX       26     26   32977.7   75118.0   30633.1   49357.0 

LRY      26     26   1136763    419942   1142303    424200 

LR       26     26   14.5281   11.0431   14.1885    4.6305 

LRMS       26     26    501474    256026    501474    256026 

LEXR       26     26    6279.7    5031.9    6393.9    4857.2 

LEMP       26     26   80.5389   12.0893   80.6171   11.9426 


(3)

 

259

Lampiran 8. Lanjutan

 

LDINF      26     26   11.1214   13.7754   11.1214   13.7754 

LOILP      26     26   76.1820   75.5203   76.1820   75.5203 

TDFHTI       26     26     275.0     490.5     291.4     624.5 

QKHTI      26     26    4079.5    7167.2    3970.4    7626.1 

DKHTI      26     26    4079.5    7167.2    3970.4    7626.1 

RHKHTI       26     26     350.8     155.3     345.4     112.3 

L2RHEPU      26     26   3928551   1418815   3928551   1418815 

LRHEPU       26     26   3926454   1421881   3926454   1421881 

L2RR       26     26    3.5692    5.3428    2.9088   13.8725 

LAHTI      26     26    2291.7    2617.0    2291.7    2617.0 

LQKHTI       26     26    3221.1    6161.2    3127.4    6720.3 

LDKHTI       26     26    3221.1    6161.2    3127.4    6720.3 

TDFSW      26     26     270.5     256.5     257.3     247.5 

QBSW       26     26   28600.5   23830.0   29170.5   23993.4 

DBSW       26     26   28600.5   23830.0   29170.5   23993.4 

RHBSW      26     26     329.6   85.0738     330.4   64.8837 

L3RR       26     26    3.6736    5.2173    2.9108   13.8719 

LRHKHTI      26     26     366.7     152.1     361.0     109.3 

LRHKHA       26     26    693551    342976    668447    270391 

LATSW      26     26    2704.6    2097.1    2704.6    2097.1 

L2RHBSW      26     26     311.7   78.0536     318.1   67.0500 

LRR      26     26    3.4067    5.3912    3.0671   13.9096 

LQBSW      26     26   25689.2   21877.9   26303.4   22243.7 

LDBSW      26     26   25689.2   21877.9   26303.4   22243.7 

TDFKR      26     26   36.1652   77.6525   38.4730     115.5 

QKR      26     26    1602.9     508.6    1606.0     567.2 

DDKR       26     26     161.6     111.4     204.8     139.7 

QXKR       26     26    1441.3     422.8    1401.2     472.9 

RHDKR      26     26    7255.1    1339.5    7099.7     696.9 

LATKR      26     26    3195.1     316.1    3195.1     316.1 

LQKR       26     26    1531.7     469.5    1543.0     550.5 

LDDKR      26     26     147.3   92.7519     196.2     139.1 

LQXKR      26     26    1384.3     404.2    1346.8     456.6 

LRHEKR       26     26  11210039   7149536  11210039   7149536 

TDFPD      26     26     171.3     370.7     166.8     466.1 

QGKG       26     26   47989.9    6226.9   48301.6    5927.7 

DGKG       26     26   47989.9    6226.9   48301.6    5927.7 

RHGKG      26     26    1343.0     461.6    1339.1     314.0 

LATPD      26     26   10558.2    1395.8   10558.2    1395.8 

LQGKG      26     26   46962.6    6313.0   47355.1    6236.5 

LDGKG      26     26   46962.6    6313.0   47355.1    6236.5 

TTDF       26     26     753.0     683.0     753.8    1075.1 

TDGHPH       26     26   ‐1018.2    3801.4    ‐808.7    6445.5 

QILL       26     26   10540.1    3904.1   10598.6    3834.7 

QKBHA      26     26   15355.6    9316.1   15486.0    8810.8 

DKBKG      26     26    9965.3    7292.3   10031.3    4861.4 

DKBKL      26     26   15658.7    5149.8   14671.6    3034.7 

RHKHA      26     26    715581    340166    698611    280067 

L2QILL       26     26   10818.3    3484.2   10913.0    3318.2 

LRHEMSW      26     26   3772992   1196814   3772992   1196814 

LAHPH      26     26   47879.0   13194.2   47879.0   13194.2 

LQILL      26     26   10719.1    3687.4   10828.0    3499.3 

LQKBHA       26     26   15692.0    9067.9   15945.1    8348.4 

LDKBKG       26     26   10448.9    7092.4   10563.0    4436.2 

LDKBKL       26     26   15555.0    5345.2   14492.4    3464.7 

   


(4)

(5)

 

261

Lampiran 9. Notasi Peubah yang Digunakan untuk Pengolahan Data

No

Spesifikasi

Model

Pengolahan

Data

Keterangan

1. r

t

R

Suku Bunga (%)

2. Rt

RR

Suku Bunga Riil (%)

3. UIP

t

UIP

Paritas Suku Bunga (%)

4. et

EXR Nilai

Tukar

(Rp/USD)

5. T

t

RPPJK

Penerimaan Pajak (Rp miliar)

6. Gt

RG Pengeluaran

Pemerintah

(Rp

miliar)

7. It

RI Investasi

(Rp

miliar)

8. NX

t

RNX

Ekspor Bersih (Rp miliar)

9. Ct

RC Konsumsi

(Rp

miliar)

10. Y

t

RY

Produk Domestik Bruto (PDB) (Rp miliar)

11. IHKt

IHK

Indeks Harga Konsumen (Tahun 2000=100)

12. LD

t

EMP

Permintaan Tenaga Kerja (juta orang)

13. ULt

UNEMP

Jumlah Pengangguran (juta orang)

14. W

t

RW

Upah Tenaga Kerja (Rp/bulan)

15. NXt

RNX

Nilai Ekspor (Rp miliar)

17. MS

t

RMS Penawaran

Uang

(Rp

miliar)

18. oil

Pt

OILP

Harga Minyak Mentah Dunia (USD/barel)

19.

π

t

DINF

Inflasi Dalam Negeri (%)

20. DEFL

DFLA

GDP Deflator (Tahun 2000=100)

21.

π

Et

EXPINF

Ekspektasi Inflasi (%)

22. R

us

RFRATE

Suku Bunga Riil Amerika Serikat (%)

23. r

us

FEDRATE

Suku Bunga Nominal Amerika Serikat (%)

24.

π

us

USINF

Inflasi Amerika Seikat (%)

25. US

CPI

USCPI

IHK Amerika Serikat (tahun 2000=100)

26. US

GDP

USGDP

PDB Amerika Serikat (USD miliar)

27. LSt

LF

Penawaran Tenaga Kerja (juta orang)

28. DF

HTIt

TDFHTI

Deforestasi untuk Areal HTI (ribu ha)

29. A

HTIt

AHTI

Luas Areal HTI (ribu ha)

30. q

HTIt

PRODHTI

Produktivitas HTI (m3/ha)

31. S

KHTIt

QKHTI

Penawaran Kayu HTI (ribu m3)

32. D

KHTIt

DKHTI

Permintaan Kayu HTI (ribu m3)

33. P

P

KHTI

t

RHKHTI

Harga Kayu HTI (Rp/m3)

34. P

P

XPULP

t

RHEPU

Harga Ekspor Pulp (Rp/ton)

35. P

P

BBM

t

RHBBM

Harga BBM (Rp/liter)

36. DF

SWt

TDFSW Deforestasi

untuk

Areal Sawit (ribu ha)

37. A

TSWt

ATSW

Luas Areal Tanaman Sawit (ribu ha)

38. q

SWt

PRODSW Produktivitas

Tanaman Sawit (ton/ha)

39. S

BSWt

QBSW

Penawaran Buah Sawit (ribu ron)

40. D

BSWt

DBSW

Permintaan Buah Sawit (ribu ton)

41. P

P

BSW

t

RHBSW

Harga Buah Sawit (Rp/kg)

42. P

P

DMSW

t

RHDMSW

Harga Minyak Sawit Dalam Negeri (Rp/ton)

43. P

P

XMSW

t

RHEMSW

Harga Ekspor Minyak Sawit (Rp/ton)

44. DF

KRt

TDFKR Deforestasi

untuk

Areal Karet (ribu ha)

45. A

TKRt

ATKR

Luas Areal Tanaman Karet (ribu ha)

46. q

KRt

PRODKR

Produktivitas Tanaman Karet (ton/ha)


(6)

Lampiran 9. Lanjutan

No Spesifikasi

Model

Pengolahan

Data

Keterangan

47. D

DKRt

DDKR

Permintaan Karet Dalam Negeri (ribu ton)

48. S

XKRt

QXKR

Penawaran Ekspor Karet (ribu ton)

49. P

P DKR

t

RHDKR

Harga Karet Dalam Negeri (Rp/kg)

50. P

P

XKR

t

RHEKR

Harga Ekspor Karet (Rp/ton)

51. DF

PDt

TDFPD Deforestasi

untuk

Areal Padi (ribu ha)

52. A

TPDt

ATPD

Luas Areal Tanaman Padi (ribu ha)

53. q

PDt

PRODPD Produktivitas

Tanaman Padi (ton/ha)

54. S

GKGt

QGKG Penawaran

Gabah

Kering Giling (ribu ton)

56. D

GKGt

DGKG

Permintaan Gabah Kering Giling (ribu ton)

57. P

P

GKG

t

RHGKG

Harga Gabah Kering Giling (Rp/kg)

58. P

P

HPP

t

RHHPP

Harga Pembelian Pemerintah (Rp/kg)

59. P

P

DBR

t

RHDBR

Harga Beras Dalam Negeri (Rp/kg)

60 DG

HPHt

DGHPH

Degradasi Hutan Areal HPH (ribu ha)

61. A

HPHt

AHPH

Luas Areal HPH (ribu ha)

62 q

HAt

PRODHA

Produktivitas Hutan Alam (m3/ha/th)

63. S

KILLt

QILL

Penawaran Kayu Ilegal (ribu m3)

64. S

KHAt

QKBHA

Penawaran Kayu Hutan Alam (ribu m3)

65.

D

KHAKGt

DKBKG

Permintaan Kayu Hutan Alam oleh Industri

Kayu Gergajian (ribu m3)

66.

D

KHAKLt

DKBKL

Permintaan Kayu Hutan Alam oleh Industri

Kayu Lapis (ribu m3)

67. P

P KHA

t

RHKHA

Harga Kayu Hutan Alam (Rp/m3)

69. P

P

XKL

t

RHEKL

Harga Ekspor Kayu Lapis (Rp/m3)

70. DR

t

RDR

Dana Reboisasi (Rp/m3)