Pengaruh Kebijakan Makroekonomi TINJAUAN PUSTAKA

34 produktif, dan dampak kebijakan penurunan eksternalitas dalam sektor-sektor pengurang polusi. Pemikiran ketiga adalah pemikiran yang telah memasukkan pertimbangan lingkungan ke dalam model makroekonomi konvensional yang digunakan untuk penetapan kebijakan mulai dari ekstensi tipe Keynesian IS-LM dalam analisis comparative statics, sampai ke model yang lebih kompleks, Computable General Equilibrium CGE yang memasukkan peubah lingkungan. Penelitian pengaruh kebijakan makroekonomi terhadap deforestasi dan degradasi hutan, khususnya di negara-negara berkembang awalnya dilakukan berkaitan dengan kebijakan Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia ketika membantu negara-negara yang mengalami krisis moneter dan ekonomi melalui sebuah program yang dikenal dengan Structural Adjustment Programme SAP. Menurut Sedjo 2005, SAP dirancang untuk memperbaiki kinerja makroekonomi negara- negara yang mengalami masalah serius dalam perdagangan, balance of payment, dan defisit anggaran fiscal deficit. Kebijakan-kebijakan yang tipikal direkomendasikan dalam kerangka SAP adalah memotong anggaran pemerintah, menaikkan pajak, meliberalisasi pasar dan perdagangan, memberikan bantuan darurat pinjaman dari sumber asing diantaranya dari Dana Moneter Internasional, dan memberikan dukungan anggaran. Menanggapi kritik dampak lingkungan dari SAP, Young dan Bishop 1995 menyimpulkan bahwa tidak terdapat jawaban yang sederhana atas pertanyaan apakah SAP berdampak baik atau buruk pada lingkungan, kompleksitas penyesuaian itu sendiri menyebabkan tidak mungkin melakukan generalisasi, karena kondisi beragam dari negara-negara yang melakukan penyesuaian. Sedjo 2005 menyimpulkan dua hal: 1 meskipun dalam banyak kasus SAP dapat mempengaruhi sektor kehutanan, dalam kasus yang lain, tidak mempengaruhi, dan 2 ketika SAP berdampak pada 35 sektor kehutanan, dampaknya tidak harus negatif pada nilai-nilai ekosistem dan lingkungan. Kaimowitz et al 1999 menyimpulkan bahwa kebijakan penyesuaian SAP di Bolivia berkontribusi terhadap konversi hutan secara besar-besaran untuk memproduksi soybean yang berorientasi ekspor, dan pada tingkat tertentu, terhadap degradasi hutan oleh perusahaan pembalakan hutan. Hasil penelitian Sunderlin et al 2003 di Kamerun menyimpulkan: 1. Laju deforestasi meningkat signifikan pada dekade setelah krisis dibanding sebelum krisis. 2. Main proximate causes adalah pertumbuhan mendadak penduduk pedesaan dan pergeseran produksi dari cokelat dan kopi ke plantain dan tanaman pangan lain. 3. Main underlying causes or driving forces adalah guncangan makroekonomi macroeconomic shocks dan kebijakan penyesuaian SAP yang menyebabkan pertumbuhan penduduk pedesaan dan perubahan sistem pertanian. Menggunakan model SVAR Structural Vector Auto Regression, Soedomo 2003 menganalisis pengaruh guncangan moneter terhadap dinamika harga tegakan dan pemanenan kayu di wilayah Pacific Northwest, Amerika Serikat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa guncangan shocks peubah makroekonomi mempengaruhi dinamika harga tegakan dan pemanenan kayu. Guncangan aggregate price dan aggregate output menaikkan pemanenan kayu, sementara guncangan money demand menurunkan pemanenan kayu. Kaimowitz dan Angelsen 1998 menelaah 150 model ekonomi deforestasi dan mensintesakan hasil-hasil analisis dari model yang ditelaah. Keduanya menyatakan terdapat kesepakatan yang luas bahwa ekspansi areal penananam cropped area serta penggembalaan pasture merupakan sumber utama deforestasi. 36 Ekspansi penggembalaan, terutama penting di negara-negara Amerika Latin. Tetapi sebaliknya tidak terdapat kesepakatan yang luas mengenai pembalakan hutan logging, meskipun pembalakan hutan kelihatan sebagai sumber langsung deforestasi dalam konteks tertentu dan memainkan peran tidak langsung dalam konteks yang lain. Kaimowitz dan Angelsen 1998 menyatakan bahwa model-model analisis yang dikembangkan belum banyak yang menganalisis bagaimana karakteristik agen deforestasi mempengaruhi perilakunya dan menyajikan bukti empiris yang lemah dan bertentangan. Sebagai contoh, keluarga miskin dapat mendeforestasi lebih besar, karena memiliki bentang waktu yang pendek higher discount rate, tapi keluarga miskin juga dapat mendeforestasi lebih kecil, karena kekurangan kapital untuk membeli lahan tambahan sebagai input produksi. Dilaporkan bahwa kurva Kuznets Kuznets curve mungkin eksis pada tingkat rumah tangga, yang berarti keluarga miskin awalnya menebang lebih banyak sehingga pendapatannya meningkat tetapi kecenderungan ini belum diketahui apakah akan berlanjut atau berbalik arah ketika mulai mencari waktu luang leisure yang lebih. Kaimowitz dan Angelsen 1998 mengidentifikasi 8 parameter atau peubah yang sering digunakan untuk menjelaskan keputusan agen deforestasi. Empat parameter yang pertama adalah: 1 lingkungan fisik, 2 harga komoditas pertanian, 3 harga komoditas kayu, dan 4 upah dan lapangan kerja luar pertanian off-farm employment. Empat parameter yang terakhir adalah: 5 harga input pertanian, 6 perubahan teknologi pertanian, 7 aksesibilitas, dan 8 regim kepemilikan dan perilaku strategis. Keputusan agen deforestasi dipengaruhi oleh akar masalah, dan Kaimowitz dan Angelsen 1998 mengidentifikasi terdapat empat akar masalah yang sering digunakan untuk menjelaskan deforestasi. Keempat akar masalah tersebut adalah: 1 tekanan penduduk, 2 pendapatan per kapita, 3 hutang luar negeri, 37 perdagangan dan penyesuaian struktural structural adjustment, dan 4 masalah politik. Strand 2004 mengulas beberapa hasil penelitian mengenai dampak kebijakan makroekonomi pada sumberdaya alam dan lingkungan. Menurut Strand, hubungan antara kebijakan dan kondisi makroekonomi di satu sisi dan di sisi lain, lingkungan, sumberdaya alam dan kesejahteraan penduduk di negara-negara berkembang dan negara-negara maju baru new emerging countries, merupakan persoalan yang luas dan kompleks. Strand menyimpulkan: 1. Subsidi pada sumberdaya tidak terbarukan, terutama sumberdaya fosil, umumnya tidak bermanfaat dan dapat menambah tekanan terhadap lingkungan serta menyebabkan ekstraksi sumberdaya yang terlalu cepat. Namun demikian, pemberian subsidi dapat distruktur sehingga lingkungan, efisiensi sumberdaya dan pemeliharaan dapat dipromosikan. 2. Krisis moneter sering memiliki konsekuensi bagi pengelolaan sumberdaya dan lingkungan, karena pengaruh pemburukan krisis worsening effect dalam banyak kasus menjadi menggantikan pengaruh pengurangan krisis dampening effect. 3. Perubahan kebijakan moneter, yang melemahkan nilai tukar exchange rate dan menaikkan suku bunga interest rate dapat berimplikasi secara substansial bagi penggunaan sumberdaya, terutama karena mempromosikan ekspor jangka pendek short-run exports dan ekstraksi berlebihan ketika kepastian penguasaan lahan tidak terjamin. 4. Investasi pemerintah memiliki potensi untuk memperbaiki secara signifikan lingkungan dan penggunaan sumberdaya, namun perlu dilakukan dengan cermat. Satu bidang yang memerlukan investasi adalah pembangunan jalan di areal yang sebelumnya tidak dapat diakses inaccessible areas, yang dapat menyebabkan 38 tekanan lebih besar untuk mengekstraksi sumberdaya dan mengkonversi lahan menjadi penggunaan pertanian. 5. Foreign direct investment yang meningkat akibat liberalisasi pasar kapital capital markets dapat menambah tekanan terhadap sumberdaya dan lingkungan, namun bukti impiris kurang jelas, terutama ketika perusahaan internasional international cooperations mulai memperhatikan masalah lingkungan dengan semakin serius.

2.4. Pengaruh Kebijakan Perdagangan Internasional

Menurut Sedjo 2005, penelitian pengaruh kebijakan perdagangan pada hasil hutan umumnya melihat dari sisi pengaruh secara umum pada perdagangan hasil hutan apabila kebijakan liberalisasi perdagangan hasil hutan diberlakukan. Sedjo dan Simson 1999 menyatakan bahwa penurunan tarif yang lebih rendah pada perdagangan hasil hutan hanya meningkatkan produksi dan perdagangan hasil hutan dunia yang relatif kecil. Namun hutan tetap mendapat tekanan deforestasi akibat konversi hutan untuk penambahan lahan pertanian. Brooks et al 2001 melaporkan bahwa ATL Accelerated Tariff Liberalization menaikkan perdagangan hasil hutan dunia maksimum 2 , pemanenan kayu dunia sekitar 0.5, serta produksi dan konsumsi hasil hutan dunia kurang dari 1. Sedangkan Earley dan Earley 2006 menyatakan bahwa liberalisasi perdagangan pada komoditas gula menyebabkan loss of biodiversity: banyak negara-negara penghasil gula tebu menggunakan porsi yang besar dari total areal lahannya untuk memproduksi gula, dan ekspansi produksi dilakukan dengan mengkonversi hutan tropis yang kaya biodiversity. 39 Ferreira 2004 menunjukkan perdagangan internasional yang semakin terbuka berasosiasi dengan deforestasi yang semakin rendah di negara-negara dengan kualitas kelembagaan tinggi negara-negara maju, tetapi sebaliknya, deforestasi yang semakin tinggi di negara-negara dengan kualitas kelembagaan rendah negara-negara berkembang. Kebanyakan negara-negara berkembang memiliki kelemahan kelembagaan institutional weakness, terutama hak kepemilikan property rights, dan keterbatasan peraturan peundangan rule of law. Dalam kondisi hutan open access, agen bertindak tidak mempertimbangkan eksternalitas negatif negative externalities yang mengenai individu lain. Dalam kondisi hutan sebagai hak milik, terdapat kelemahan penegakan hak kepemilikan, misalnya, dalam bentuk expropriation risk, yang diterjemahkan ke dalam discount rates yang tinggi sehingga menekan investasi hutan, menekan petani meningkatkan intensitas pemeliharaan hutan dan meningkatkan frekuensi pemanenan pada hutan yang terbangun Ferreira 2004.

2.5. Penelitian Terhahulu Kasus Indonesia

Berdasarkan pada hasil observasi deforestasi oleh petani di Taman Nasional Kerinci Seblat, Jambi, Wibowo 1999 membangun model deforestasi dengan persamaan Fokker-Planck dan stochastic differential menggunakan teori intertemporal consumption. Model yang dibangun bertujuan untuk menunjukkan secara analitis bagaimana deforestasi dihubungkan linked terhadap perilaku akumulasi kapital capital accumulation behavior. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya ketika ketidakpastian uncertainty tidak cukup besar, akumulasi kapital menyebabkan petani memiliki kemampuan finansial untuk menebang hutan. Terlepas dari tingkat ketidakpastian, tanpa akumulasi kapital, petani tidak memiliki kapital tunai yang cukup untuk menebang hutan.