perikanan dapat dikalengkan dengan cara pasteurisasi. Dengan suhu pasteurisasi diharapkan konsistensi dan cita rasa produk tidak banyak
berubah. Produk pengalengan dengan menerapkan proses pasteurisasi masih dapat mengalami pembusukan yang disebabkan antara lain : suhu
penyimpanan dibawah 3,3 C, terjadinya kebocoran kaleng,
pengolahanproses pasteurisasi yang tidak sempurna dan mutu bahan baku yang tidak baik.
Ward et al, 1991 menyatakan bahwa tahap pendinginan merupakan tahapan terpenting dalam proses pengalengan secara pasteurisasi. Hal ini
disebabkan produk kaleng yang diproses secara pasteurisasi tidak akan steril dan selama waktu pendinginan memungkinkan pertumbuhan
mikroorganisme. Oleh karena itu dianjurkan pendinginan kaleng dilakukan dalam air es sampai suhu daging mencapai 37,8
C selama 50 menit atau 12,7
C selama 180 menit dan disimpan pada suhu 1,6 C.
2.4 Berbagai Teknologi Pengolahan Tradisional 2.4.1 Pengeringan
Pada prinsipnya pengawetan ikan dengan metoda pengeringan tidak lain adalah bertujuan untuk mengurangi menurunkan kandungan air dari
produk, khususnya air bebas sampai pada batas tertentu sehingga perubahan deterioratif yang dialami oleh produk karena kegiatan mikroorganisme, enzim
dan reaksi kimia dalam suatu sistem akan dapat dihambat atau sama sekali dihentikan. Kebalikan dari air bebas ini adalah air ikatan, yaitu air yang terikat
erat oleh struktur molekuler bahan pangan dan tidak dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroorganisme, kerja enzim dan reaksi kimia. Jumlah air
bebas yang tersedia dalam suatu bahan pangan biasanya dinyatakan dalam suatu parameter yang disebut dengan nilai a
w.
Nilai a
w
ikan segar umumnya diatas 0,95. Bakteri pembusuk yang umum terdapat dalam bahan pangan
dapat dihentikan pertumbuhannya pada nilai a
w
0,90. Pertumbuhan jamur dihambat pada nilai a
w
dibawah 0,80 sedangkan bakteri halopilik dihentikan pertumbuhannya pada nilai
a
w
dibawah 0,75 . Dengan berpedoman pada nilai a
w
tersebut maka aktivitas bakteri sebenarnya sudah dapat dihentikan apabila 22
kandungan air produk diturunkan hingga di bawah 25, dan apabila diturunkan lagi hingga dibawah 15 maka pertumbuhan jamur juga dapat
dihentikan. Upaya penurunan nilai a
w
atau tepatnya pengurangan jumlah air bebas di samping dapat dilakukan dengan cara pengeringan penguapan
maka dapat juga dilakukan dengan cara merubah sejumlah air bebas menjadi air ikatan dengan menambahkan sejumlah bahan garam dapur yang dapat
menarik atau mengikat air dari produk. Mengingat sifat garam yang mampu mengikat air dalam jumlah besar, maka produk ikan asin kering dengan kadar
air 35 - 45 tergantung dari jumlah garam yang ada sering dianggap sudah cukup kering untuk dapat menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur
terutama pada kondisi udara iklim biasa JICA-Dit Mutu dan Pengolahan Hasil, 2003.
Pengeringan pada hakikatnya bertujuan untuk memindahkan jumlah air dari suatu produk bahan pangan dengan cara penguapan melalui
penggunaan aliran udara yang dipanaskan udara kering. Praktek pengeringan yang banyak dilakukan dalam usaha pengolahan ikan di
Indonesia adalah dengan cara menjemur di panas matahari. Cara pengeringan ini mudah dan murah, namun faktor pengeringan seperti suhu,
RH dan aliran udara sulit dikontrol, membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak dan area penjemuran yang luas, kurang higienis karena mudah
ditulari kotoran dan lalat, selama musim hujan dan cuaca mendung pengeringan sulit dilakukan, dan ironisnya musim hujan ini biasanya
bersamaan dengan musim ikan. Untuk memecahkan masalah ini telah dicoba penggunaan alat pengering surya solar dryer namun hasilnya kurang
memuaskan, karena kapasitasnya kecil dan juga karena aliran udara yang lambat sehingga kecepatan pengeringannya menjadi rendah. Selain itu untuk
memecahkan masalah pengeringan ini telah dicoba pula penggunaan alat pengering mekanik bentuk terowongan dengan bahan bakar minyak tanah
serta dilengkapi blower untuk mengalirkan udara kering JICA-Dit Mutu dan Pengolahan Hasil, 2003.
Pada umumnya jenis ikan yang digarami adalah; ikan teri Stelophorus spp, ikan layang Decapterus spp, ikan kembung Rastrelliger spp, ikan
peperek Luthianus malabaricus , ikan kepala ular Ophiocephalus spp dan 23
ikan gabus Stichopus spp. Proses pengeringanpengolahan ikan asin dilakukan secara tradisional. Ikan diolah dengan atau tanpa penggaraman
selanjutnya ikan dikeringkan dengan cara dijemur hingga kering selama 2-3 hari.
1 Pengolahan Ikan Asin
Sebelum ikan digarami, ikan dibelah lalu dicuci. Untuk ukuran ikan kecil, pengolahan dilakukan tanpa melalui perlakuan penyiangan utuh.
Selanjutnya ikan direndam selama 1 hari atau direbus beberapa menit dalam larutan garam dan dibiarkan 12 jam, lalu ikan disusun diatas para-para
bambu untuk dijemur selama 2-3 hari. Pengemasan semua ukuran menggunakan karton atau keranjang bambu selama distribusi JICA-Dit Mutu
dan Pengolahan Hasil, 2003.
2 Pengolahan Kerupuk Kulit Ikan
Bahan kerupuk ikan dibagi menjadi dua tahapan, terdiri dari bahan kerupuk ikan berupa kulit ikan pari. Pengolahan kulit ikan ini, merupakan
salah satu pemanfaatan kulit ikan pari Trigonidae dan cucut Centrophorus, Squomasus yang telah kering. Tahapan proses pengolahannya adalah:
perebusan kulit selama 1 jam, pengerokan kulit untuk membuang lapisan kulit kasar, pemucatan dengan cara merendam kulit dalam larutan tawas 30
selama 2 jam, lalu dalam larutan Borax 7,5 selama 6 jam. Kemudian dilakukan pengerokan kulit kasar dan pencucian. Kulit yang telah bersih dan
putih dijemur hingga kering. Kulit kering dikemas dalam kantong plastik. Bahan kerupuk ikan ini selanjutnya akan dikonsumsi setelah direndam
kembali dalam air tawar hangat selama 1 jam, lalu dalam larutan bumbu bawang putih, MSG dan garam 10 selama 1 jam, kemudian dikeringkan.
Setelah kering digoreng hingga bentuknya mengembang seperti kerupuk JICA-Dit Mutu dan Pengolahan Hasil, 2003.
2.4.2 Penggaraman
Secara umum semua jenis ikan sebenarnya dapat saja diolah diawetkan dengan cara penggaraman, baik dalam bentuk utuh, disiangi,
24
dibelah ataupun dijadikan filet. Sampai saat ini masih banyak pengolah yang beranggapan bahwa penggaraman hanyalah merupakan upaya untuk
menyelamatkan produksi ikan yang karena dari sisi kesegarannya sudah tidak layak lagi dijual sebagai ikan basah.
Penggaraman ikan dapat dilakukan dengan teknik penggaraman kering dry salting, penggaraman dalam larutan garam wet salting dan kombinasi
dari kedua teknik tersebut pickle salting. Teknik penggaraman kering hampir tidak ditemui di Indonesia, sedangkan teknik penggaraman dalam
larutan kurang mempunyai arti pengawetan dan umumnya dikerjakan sebagai perlakuan pendahuluan terhadap ikan yang akan dikalengkan atau diasap
dengan tujuan untuk mendapatkan rasa asin dari produk. Teknik penggaraman yang banyak terdapat di Indonesia adalah pickle salting,
dengan teknik penggaraman ini lapisan ikan dan garam disusun secara bergantian dalam wadah kedap air. Permukaan ikan yang paling atas ditutup
dengan lapisan garam yang lebih tebal kemudian ditutup papan dan diatasnya diberi pemberat. Larutan garam yang terbentuk selama proses penggaraman
kemudian dibiarkan merendam seluruh lapisan ikan. Garam yang digunakan adalah garam rakyat dengan jumlah sekitar 30 dari berat ikan. Lama
penggaraman umumnya bervariasi dan tergantung dari jenis dan ukuran ikan serta bentuk preparasinya, mutu kesegaran bahan mentah, spesifikasi produk
akhir yang diinginkan dan bahkan kadang-kadang dibiarkan lebih lama dalam bak penggaraman sambil menunggu cuaca baik untuk penjemuran. Produk
ikan asin kering yang dihasilkan biasanya dikemas dalam peti kayu, karung goniplastik, keranjang rotan, dan lain-lain dengan berat antara 50 – 100 kg.
Perbaikan mutu ikan asin kering di Indonesia dapat dilakukan terlebih dahulu meningkatkan mutu garam yang digunakan. Garam rakyat yang
digunakan umumnya kondisinya kotor dan kadar NaCl-nya rendah. Dengan menggunakan garam bermutu rendah maka penetrasi garam NaCl ke dalam
daging akan dihambat dan berarti akan meningkatkan laju pembusukan selama proses penggaraman. Impurities utama dalam garam yang
diperdagangkan umumnya adalah garam kalsium, magnesium, sulfat dan bahan organik. Garam-garam ini umumnya bersifat menghambat penetrasi
garam NaCl ke dalam daging ikan. Dengan adanya garam kalsium dan 25
magnisium sebesar 1 dalam garam yang digunakan maka daging ikan akan menjadi putih kaku dan pahit rasanya. Ikan yang digarami dengan garam
yang bermutu tinggi garam murni tekstur dagingnya akan lebih lembut dan kompak, berwarna kuning muda atau krem dan kalau dimasak rasanya
mendekati ikan segar dengan rasa asin. Selain mutu garam, faktor lain yang perlu mendapat perhatian dalam
hubungannya dengan masalah penggaraman dan mutu produk antara lain adalah mutu kesegaran bahan mentah, perlunya penyiangan dan
pembersihan, kandungan lemak, jumlah garam yang digunakan, suhu penggaraman dan juga kondisi sanitasi dan hygiene selama pengolahan
JICA-Dit Mutu dan Pengolahan Hasil, 2003.
1 Pengolahan Jambal Roti
Produk jambal-roti memiliki ciri khas dalam rasa dan tekstur, dibandingkan dengan produk ikan asin lainnya. Bahan baku jambal-roti
adalah ikan manyung Arius thallasinus. Tahap proses pengolahan diawali dengan pemotongan kepala ikan,
penggaraman dalam 20-30 garam dan dibiarkan selama 2 malam. Selanjutnya dilakukan pembelahan ikan menjadi bentuk Butterfly, lalu dijemur
selama 2-3 hari hingga kadar air mencapai nilai 20-30. Pengemasan produk dalam kantong plastik atau karton JICA-Dit Mutu dan Pengolahan Hasil,
2003.
2 Pemindangan
Di Indonesia pemindangan merupakan salah satu cara pengolahan tradisional yang mempunyai kedudukan nomor dua terbesar setelah
pengolahan ikan asin kering. Umumnya pemindangan banyak dilakukan terhadap jenis-jenis ikan laut, khususnya jenis-jenis ikan pelagis.
Dibandingkan dengan produk ikan asin kering, pindang ternyata lebih disukai oleh konsumen karena aroma dan rasanya mendekati aroma dan rasa ikan
kaleng. Di samping itu karena rasanya tidak terlalu asin maka dapat 26
dikonsumsi dalam jumlah relatif banyak sehingga berpotensi dalam meningkatkan konsumsi ikan di masyarakat. Satu kelemahan utama dari
produk pindang ini adalah daya awetnya yang relatif pendek sehingga distribusi dan pemasarannya terbatas pada daerah tertentu saja.
Menurut BPPMHP, 2000. prinsip pengawetan dengan cara pemindangan didasarkan pada upaya pemusnahan atau pengurangan bakteri
serta pemusnahan enzim melalui pemanasan suhu tinggi sekitar titik didih larutan garam. Di samping itu dengan pembubuhan dan masuknya garam ke
dalam daging ikan, serta pengurangan air selama proses pemindangan koagulasi protein maka pertumbuhan bakteri yang tersisa pada ikan dapat
dihambat atau mungkin juga dapat dimusnahkan. Praktek pengolahan pindang pada prinsipnya dapat dikelompokkan
dalam dua cara, yaitu pengolahan pindang garam pindang badeng atau pindang paso dan pindang air garam pindang cue. Pada pengolahan
pindang garam, ikan dan garam disusun bergantian dalam wadah perebus dari metal, kendil atau paso tanah kemudian ditambah air secukupnya dan
selanjutnya direbus selama 4-6 jam. Air perebus yang terbentuk kemudian dibuang dan sisa airnya kemudian diuapkan. Wadah perebus ini kemudian
digunakan sekaligus sebagai wadah distribusi. Pada pengolahan pindang air garam, ikan mula-mula disusun dalam sarangan bambu dalam bahasa
Sunda disebut naya dan kemudian permukaan ikan yang berada pada tumpukan paling atas ditaburi dengan garam. Beberapa sarangan bambu
yang sudah terisi ikan kemudian ditumpuk, diikat dan selanjutnya dicelupkan ke dalam larutan garam mendidih selama beberapa menit. Setelah
perebusan, produk didinginkan, dikemas dan siap untuk dipasarkan BPPMHP 2000.
Sesuai dengan teknik pengolahannya maka pindang garam dapat mendidih selama beberapa menit dan memiliki daya awet yang lebih lama
sekitar 1 bulan pada suhu kamar apabila disimpan dengan baik dalam keadaan tertutup rapat dalam wadah. Pindang air garam umumnya memiliki
daya awet yang singkat pada suhu kamar, yaitu 2-3 hari. Kerusakan produk pindang umumnya ditandai dengan timbulnya lendir atau bakteri dan
pertumbuhan jamur. 27
Berbagai permasalahan yang perlu mendapat perhatian dalam hubungannya dengan proses pemindangan dan mutu produknya antara lain
adalah mutu kesegaran bahan mentah dan proses preparasi, jumlah dan mutu bahan pembantu garam dan air yang digunakan, teknik dan prosedur
pemindangan yang dilakukan, serta kondisi sanitasi dan hygiene selama pengolahan mengingat proses pemindangan bukanlah merupakan proses
sterilisasi dalam wadah tertutup secara hermetik pengalengan JICA-Dit Mutu dan Pengolahan Hasil, 2003.
2.4.3 Fermentasi
Menurut BPPMHP, 2000. produk fermentasi hasil perikanan secara umum diproses dengan cara penambahan garam dan difermentasi sehingga
berubah bentuk dari ikan bentuk padatan menjadi bentuk buburpasta. Fermentasi ikan udang hanya dikenal dan terdapat di beberapa daerah saja.
Produk fermentasi yang telah banyak dikenal adalah terasibelacan, petis dan kecap ikan. Produk ini biasa dikonsumsi sebagai penyedap rasa atau salah
satu bumbu dalam masakan atau dapat juga dijadikan sambal. Terasi dan petis ikanudang pada umumnya berwarna merah atau
coklat gelap, dengan bentuk lonjong kotak, dan dibungkus dengan kertas, sementara petis berwarna coklat gelap atau hitam dengan bentuk pasta dan
dibungkus dalam botol plastik atau kaleng selama distribusi dan pemasaran. Dibandingkan dengan pengolahan tradisional lainnya, maka
pengolahan atau pengawetan ikan secara fermentasi di Indonesia ternyata masih relatif kecil jumlahnya, terutama dalam bentuk produk seperti terasi dan
kecap ikan. Pengolahanpengawetan ikan dengan cara fermentasi dalam
prakteknya dapat dikerjakan dengan berbagai perlakukan misalnya fermentasi ikan menggunakan garam, fermentasi ikan dengan penambahan karbohidrat
dan sayuran, fermentasi ikan dengan penambahan dedak, fermentasi ikan dengan bahan mentah ikan utuh, dibelah, potongan, filet atau bagian-bagian
tubuh ikan.
28
1 Pengolahan Terasi IkanUdang
Bahan baku terasi umumnya adalah ikan rucah berukuran kecil atau udang rebon. Proses pengolahan dimulai dengan menghaluskan bahan baku
dengan cara digiling berulang-ulang dan menambahkan garam. Hasil gilingan dikeringkan dan digiling kembali hingga padat dan kompak. Pengemasan
produk mempergunakan kertas atau kantong plastik JICA-Dit Mutu dan Pengolahan Hasil, 2003.
2 Pengolahan Petis Udang
Bahan baku yang digunakan untuk pengolahan petis udang adalah rebon atau kepala udang. Proses pengolahan dimulai dengan merebus udang
selama ±3-4 jam, lalu digiling sampai halus. Selanjutnya dilakukan pengeringan dengan kain kasa. Sari yang dihasilkan selanjutnya direbus
kembali sampai berbentuk bubur dan ditambah gula dengan konsentrasi 10, garam dengan konsentrasi 1,5 dan MSG dengan konsentrasi 0,4.
3 Pengolahan Dendeng Ikan
Dendeng ikan adalah satu jenis ikan asin. Pada umumnya bahan baku yang dipergunakan adalah ikan japuh Dussumieria spp dan ikan tembang
Sardinella fibriata. Tahapan pengolahan dimulai dengan membelah ikan membuang isi perut dan kepala, pencucian untuk membuang darah dan
kotoran, serta direndam dalam larutan garam 30. Untuk membedakan rasa asin, lama perendaman dibuat dua macam yaitu selama 15 menit untuk rasa
asin sedang dan 30 menit untuk rasa asin. Selanjutnya ikan ditaburi bubuk ketumbar dan gula pasir 8-10 dan selanjutnya dijemur selama 1-2 hari.
Pengemasan dilakukan menggunakan karton. Produk ini dikonsumsi sebagai pendamping nasi dengan cara digoreng JICA-Dit Mutu dan Pengolahan
Hasil, 2003.
29
2.4.4 Pengasapan
Di Indonesia produk ikan asap yang telah dikenal adalah ikan asap yang menggunakan bahan baku dari ikan bandeng Chanos chanos yang banyak
terdapat di Pulau Jawa. Ikan asap yang berasal dari daerah Sulawesi, Maluku dan Papua adalah dengan menggunakan bahan baku ikan cakalang
Katsuwonus pelamis dan tongkol Euthynus spp. Pengasapan ikan bandeng yang dijumpai di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, telah
menggunakan peralatan dan teknologi yang memadai, seperti menggunakan lemari asap smoking cabinet dengan proses pengasapan dingin selama 10
– 12 jam.
2.4.5 Produk adonan
Produk adonan merupakan pengolahan lanjutan dari lumatan daging ikan minced fish. Produk adonan tradisional yang sudah dikenal di Indonesia
adalah kerupuk ikan atau udang yang kualitasnya dapat di bedakan dari warnaaromanya. Pengolahan kerupuk ini banyak terdapat di daerah Sidoarjo
Jawa Timur dan Sumatera Selatan. Kerupuk ikan dan udang biasanya dibungkus dengan pembungkus plastik dan selanjutnya dikemas dengan
pembungkus jenis karton. Dalam memenuhi permintaan pasar dunia, maka kualitas bahan pembungkus harus memenuhi keamanan pangan seperti
kotak karton jenis premia berlipat Batch, 1992
30
Tabel 4. Perlakuan produksi perikanan tangkap tahun 2004 menurut cara perlakuan berdasarkan wilayah pendaratan dalam ton
Wilayah Pendaratan
Volume Penang
kapan Penga-
sapan Pemin
dangan Fermen-
Tasi Lain-
lain Penge
ringan Pengga
raman Produk
Segar 61,04
Produk Modern
10,3 Tepung
Ikan 0,15
Sumatera 1.256.624 4.235 12.547
38.054 2.424 246.315 909.678 34.774 8.627
Jawa 904.168 42.884
111.564 9.096
8.141 269.089 413,032 44.028 6.334 Bali
Nusatenggara 241.360 2.469
23.636 447 4.340
56.091 139.207 11.673 3.497 Kalimantan 321.465 225 120 3.303
1.584 98.089 198.260 19.790 94
Sulawesi 817.331 32.211
9.801 1.465 15.540 97.830 552.567 107.877
40 Maluku-Papua 779.293
9.419 62
209 3.105 13.732 213.515 539.131 --- Jumlah 4.320.241
91.443 157.730
52.521 35.134 781.146 2.426.259 757.425 18.592
Sumber : Statistik Perikanan Tahun 2004
2.4.6 Disposisi olahan produk tradisional hasil perikanan
Pemanfaatan ikan hasil tangkapan dapat dikategorikan dalam bentuk segar dan olahan baik olahan tradisional maupun modern. Diversifikasi
pemanfaatan ikan hasil laut pada tahun 2003-2004 Ditjen Perikanan Tangkap, 2005 menunjukkan peningkatan pemanfaatan dalam bentuk segar
sebesar 2,28, beku sebesar 13,12, dan modern kaleng sebesar 27,57, sedangkan olahan tradisional ikan asin terjadi penurunan sebesar 15,76,
tepung sebesar 44,91. Hal ini menunjukkan bahwa penanganan ikan di atas kapal dan TPI sudah mengalami peningkatan. Industri pengolahan perikanan
meliputi industri tradisional dan modern. Pengolahan tradisional umumnya merupakan pengolah skala kecil hingga menengah dengan orientasi pasar
domestik, sebaliknya industri modern mempunyai skala produksi yang lebih besar dengan tujuan pasar ekspor. Bedasarkan inventarisasi unit pengolahan
ikan UPI skala kecil menengah tahun 2004 terdapat 15.504 unit yang terdiri 6.673 unit pengeringanpenggaraman, 3.163 unit pemindangan, 3.125 unit
pengasapan, 1.384 unit fermentasi, 576 unit kerupuk dan lain-lain 522 unit. Unit Pengolahan Ikan UPI modern skala besar pada tahun 2005 tercatat
sebesar 783 unit yang terdiri 136 unit produk segar, 474 unit pembekuan, 58 unit pengalengan, 7 unit ikan hidup dan 107 unit pengeringan.
31
JICA-Dit Mutu dan Pengolahan Hasil Perikanan, 2003, menyatakan bahwa pengolahan tradisional pada umumnya dilakukan dengan cara
pengolahan tradisional, penggunaan bahan baku yang bermutu rendah, saranaprasarana yang sederhana dan penerapan sanitasi dan higienis yang
masih dibawah standar mutu. Dengan cara-cara tersebut, produk yang dihasilkan menjadi tidak seragam rasa, warna dan ukuran, penampilan tidak
menarik, rata-rata tanpa kemasan atau kemasan yang tidak memenuhi syarat sanitasihigiene dan mempunyai daya simpan yang pendek. Oleh karena itu
produk yang dihasilkan sebagian besar bernilai rendah sehingga terbatas pada pasar lokal domestik dan hanya sebagian kecil 5 yang sudah
memenuhi persayaratan mutu dan kemasan serta menerapkan sistem keamanan pangan sehingga produk dapat memasuki pasar yang lebih baik
seperti swalayan dan ekspor.
2.5 Surimi dan Fish Jelly Product 2.5.1 Teknologi pengolahan surimi