berbentuk caducous, namun kadang-kadang circumscissile atau gigih, atau juga berbentuk seperti cuping yang menutupi. Benang sari berjumlah 2 atau lebih dan
pada umumnya sebanding dengan jumlah kelopak. Kepingan hypognous pada umumnya mengarah ke dasar indung telur, seperti mengelupas, cup-shaped atau
berbentuk gelang. Indung telur superior terdiri dari 1 atau 2 lokus, sessile atau ovules solitary pada setiap lokus. Buah kebanyakan berbentuk indehiscent atau gemuk,
sedangkan pada Aquilaria berbentuk suatu loculicidal kapsule. Benih dengan atau tanpa endosperm, embrio lurus atau langsung.
Phloem berisi serat yang sangat kuat, menjadikan jenis ini sangat baik sebagai pelapis kertas untuk menghasilkan kertas dengan kualitas terbaik. Kebanyakkan jenis
adalah beracun dan beberapa bersifat medicinally yang dapat digunakan sebagai obat.
2.1.3 Penyebaran dan Habitat
Penyebaran gaharu di Indonesia antara lain terdapat di kawasan hutan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Nusa Tenggara, dan Jawa. Secara
ekologis jenis-jenis gaharu di Indonesia tumbuh pada daerah dengan ketinggian 0 –
2400 mdpl. Umumnya gaharu yang memiliki kualitas sangat baik, tumbuh pada daerah beriklim panas dengan suhu 28
o
– 34
o
C, kelembaban 60 - 80, dengan curah hujan 1000
– 2000 mmtahun Sumarna, 2007. Gaharu dapat tumbuh baik pada kondisi tanah yang beragam. Tumbuhan ini
dapat tumbuh baik pada kondisi tanah dengan struktur dan tekstur yang subur, sedang, maupun ekstrem. Tumbuhan ini pun dapat dijumpai pada kawasan hutan
rawa, gambut, hutan dataran rendah, atau hutan pegunungan dengan tekstur tanah berpasir.
2.1.4 Pemanfaatan
Berdasarkan hasil analisis kimia, gaharu memiliki enam komponen utama berupa furanoid sesquiterpene, di antaranya adalah a-agarofuran, b-agarofuran, dan
agarospirol. Komponen minyak atsiri yang dikeluarkan gaharu berupa sequiterpenoida, eudesmana, dan velancana.
Gaharu mengeluarkan aroma keharuman yang khas, dimanfaatkan untuk bahan baku industri parfum, kosmetika, dupa, dan pengawet berbagai jenis asesoris.
Pemanfaatan gaharu masih dalam bentuk produk bahan baku, yaitu bahan kayu bulatan, cacahan, bubuk, atau fosil kayu yang sudah terkubur. Seiring dengan
perkembangan ilmu dan teknologi industri, gaharu pun bukan hanya bermanfaat sebagai bahan industri pengharum, tetapi juga secara klinis dapat dimanfaatkan
sebagai obat. Dari
hasil penelitian yang ada, gaharu dikenal mampu mengobati penyakit seperti stres, asma, liver, ginjal, radang lambung, radang usus, rhematik, tumor dan
kanker Anonim, 2003. Beberapa negara seperti Singapura, Cina, Korea, Jepang, dan Amerika Serikat sudah mengembangkan gaharu tersebut sebagai bahan obat-
obatan, seperti penghilang stres, gangguan ginjal, sakit perut, asma, hepatitis, sirosis, pembengkakan liver dan limfa, bahan antibiotika untuk TBC, reumatik, kanker,
malairia, serta radang lambung. Di Papua gaharu sudah digunakan secara tradisional oleh masyarakatnya untuk pengobatan. Daun, kulit batang, dan akar digunakan
sebagai bahan pengobatan malaria. Sementara air sulingan limbah dari proses destilasi gaharu untuk menghasilkan minyak atsiri sangat bermanfaat untuk merawat
wajah dan menghaluskan kulit Sumarna, 2007.
2.1.5 Status Tumbuhan
Aquilaria dan Gyrinops adalah dua genus dari famili Thymelaeceae yang dikenal sebagai penghasil gaharu yang tumbuh dan tersebar di Indonesia. Eksploitasi
yang tak terkendali telah mengancam kelestarian kedua kelompok tumbuhan tersebut. Oleh karena itu, upaya perlindungan telah dilakukan dengan memasukkan A.
malaccensis, jenis penghasil gaharu utama di Indonesia, kedalam daftar Appendix II CITES Convention on the International Trade in Endangered Species of Wild Flora
and Fauna pada bulan November 1994. Selanjutnya, pada Oktober 2004 menyusul Gyrinops spp, dimasukkan dalam daftar tersebut.
Dalam mengusahakan jenis tumbuhan ini sebagai hasil hutan non-kayu, Indonesia mempunyai suatu kuota yang diijinkan untuk di ekspor. Pembatasan ini
sebagai respon terhadap ancaman penebangan secara berlebihan terhadap berbagai jenis pohon penghasil gaharu. Namun dewasa ini, kemampuan untuk menjangkau
jumlah kuota yang diijinkan semakin menurun akibat kelangkaan gaharu akibat pemanenan yang berlebihan.
2.2 Perbanyakan secara Vegetatif