Lembaga Asuransi dan Hukum Asuransi di Indonesia

12 lazim disebut sebagai asuransi. Asuransi dapat dikatakan pula sebagai mekanisme pembagian risiko secara sistematis.

2.2.1. Lembaga Asuransi dan Hukum Asuransi di Indonesia

Hartono 1985 menjelaskan bahwa lembaga asuransi sudah dikenal sejak manusia mulai menyadari adanya kemungkinan penanggulangan risiko-risiko yang sekiranya mungkin terjadi. Penanggulangan risiko yang dimaksud antara lain dapat dengan diperalihkan kepada pihak lain yang bersedia dengan syarat-syarat tertentu. Hal tersebut tidak lain merupakan fungsi utama lembaga asuransi sebagai sebuah lembaga pelimpah risiko yang mengurangi keraguan atau rasa tidak pasti. Lembaga asuransi sebagai salah satu lembaga non-bank juga memegang peranan yang cukup penting dalam kelancaran aktivitas dan hubungan perdagangan, baik lokal maupun international. Lembaga asuransi berposisi sebagai penyerap dan penghimpun dana keuangan dari masyarakat melalui pembayaran sejumlah uang premi. Uang yang terkumpul digunakan untuk membayar klaim yang ada dan dapat pula dimanfaatkan untuk berbagai keperluan sektor perekonomian lainnya. Lembaga asuransi merupakan satu mata rantai dari seluruh kegiatan yang terjadi dalam dunia usaha. Untaian mata rantai termaksud dapat digambarkan sebagai berikut : Sumber: Hartono 1985 Gambar 2. Alur Mata Rantai Kegiatan dalam Dunia Usaha Konsumen Asuransi Produsen Bank Pengangkutan Perantara 13 Dari bagan diatas kian tampak pengaruh lembaga asuransi dalam aktivitas perekonomian pada umumnya, karena dia merupakan salah satu stabilitas terhadap kemungkinan kerugian yang timbul. Di Indonesia, keberadaan asuransi diperkuat oleh ketentuan hukum positif yang berlaku dalam Kitab Undang- Undang Hukum Dagang KUHD. Prakoso dan Murtika 2004 menjelaskan Pasal 246 KUHD yang menyebutkan bahwa, “Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan diderita karena sutau peristiwa yang tak tertentu.” Dari pengertian Pasal 246 KUHD tersebut, dapat disimpulkan adanya tiga unsur dalam asuransi: 1. Pihak tertanggung yang mempunyai kewajiban membayar uang premi kepada pihak penanggung, sekaligus atau dengan berangsur-angsur; 2. Pihak penanggung mempunyai kewajiban untuk membayar sejumlah uang kepada pihak tertanggung, sekaligus atau berangsur-angsur apabila maksud unsur ketiga berhasil; 3. Suatu kejadian yang semula belum jelas akan terjadi. Hartono 1985 menjelaskan, perjanjian asuransi atau pertanggungan di atas termasuk ke dalam perjanjian timbal balik, artinya bahwa hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian itu adalah seimbang. Perjanjian asuransi tidak dapat atau tidak boleh menguntungkan atau merugikan salah satu pihak. Jadi, untuk syahnya suatu perjanjian harus dipenuhi syarat Pasal 1320 KUHP dan harus bebas dari adanya kekhilafan, penipuan, dan paksaan. Bagaimanapun suatu perjanjian 14 yang terjadi karena adanya unsur-unsur khilaf, penipuan, atau paksaan akan menyebabkan perjanjian yang tidak sempurna, batal dalam hukum atau paling tidak dapat dimintakan batal.

2.2.2. Asuransi Pertanian