Penelitian Lanjutan HASIL DAN PEMBAHASAN

menunjukkan bahwa produk tumpi E tidak berbeda nyata dengan produk tumpi D, tapi berbeda nyata dengan produk tumpi A, B, C, dan F kontrol. Hal ini disebabkan produk E dan D memiliki bentuk dan ukuran lebih seragam, permukaan halus, dan datar. Kenampakan tumpi ikan tuna hasil reformulasi bahan penyusun disajikan pada Gambar 9. Gambar 9 Kenampakan produk tumpi tuna hasil reformulasi bahan penyusun. Proses pencetakan tumpi dibuat dengan bentuk dan ukuran seseragam mungkin, yaitu berbentuk segi tiga sama sisi dan ukuran sisi ±3 cm, setelah mengalami pemanasan pada saat proses penggorengan bentuk dan ukuran produk mengalami perubahan. Perubahan bentuk dan ukuran pada masing-masing produk berbeda-beda karena komposisi jumlah bahan penyusun utama juga berbeda. Hasil uji sensori menunjukkan bahwa nilai kenampakan produk tumpi ikan tuna meningkat pada setiap penambahan 5-10 ikan dan penurunan 5-10 kelapa parut. Hal ini diduga karena penambahan jumlah ikan menyebabkan meningkatnya jumlah protein pada produk. Protein memiliki kemampuan mengikat sejumlah air sehingga penguapan saat penggorengan tidak terlalu besar. Dogan et al. 2005 melaporkan bahwa penambahan bahan baku berkadar protein tinggi pada produk gorengan dapat menekan tingkat kehilangan kadar air. Penguapan air yang rendah terutama di lapisan luar outer zone dan kerak outer zone surface dapat mengurangi pengerutan shrinkage atau pengecilan pada struktur produk. Garayo dan Moreira 2002 mengemukakan bahwa semakin banyak air yang menguap semakin besar volume pengerutan. Pengkerutan yang tidak merata pada suatu produk menghasilkan bentuk yang tidak seragam dan permukaan kusam, kasar, dan bergelombang. A B C F E D Bagian dalam inner zone produk tumpi tuna saat penggorengan mengalami pembentukan rongga udara mengakibatkan bentuk permukaan produk agak cembung. Bentuk cembung ini akan berkurang seiring penurunan suhu. Molekul air saat proses penggorengan mengalami pemanasan sehingga molekul air yang masih terikat pada struktur bahan menghasilkan tekanan uap. Tekanan uap ini mengakibatkan struktur bagian dalam inner zone tumpi mengembang mengikuti batas outer zone. Pengembangan ini juga diduga terjadi karena produk tumpi tuna mengandung pati dari tapioka walaupun dalam jumlah sedikit. Pati tergelatinisasi pada saat terkena panas sehingga granula pati yang semula utuh akan pecah dan membentuk tekstur yang mengembang Li dan Yeh 2001. 2 Warna Warna merupakan salah satu parameter sensori yang sangat penting dalam produk tumpi menurut penilaian panelis. Garber et al. 2000 melaporkan bahwa warna makanan dapat mempengaruhi kemampuan konsumen untuk mengidentifikasi rasa dan aroma. Warna produk tumpi dihasilkan oleh reaksi maillard saat proses penggorengan berlangsung. Reaksi ini terjadi karena gugus karbonil dari glukosa bereaksi dengan gugus nukleofilik dari group amino protein yang menghasilkan warna khas produk gorengan. Tingkat reaksi pencoklatan dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya suhu, waktu, air, dan keadaan pangan yang terus berubah selama proses penggorengan Kumar et al. 2006. Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap warna tumpi ikan tuna pada penelitian lanjutan tahap I, yaitu antara 5,92 sampai 7,24 atau agak suka sampai suka Tabel 12. Nilai warna tertinggi dari tumpi ikan tuna yang diuji dicapai oleh produk D, yaitu 7,24 dan terendah dicapai oleh produk A, yaitu 5,92. Hasil uji Kruskal-Wallis Lampiran 10 menunjukkan bahwa peningkatan persentase jumlah ikan dan pengurangan jumlah kelapa parut berpengaruh nyata terhadap warna produk tumpi tuna. Hasil uji lanjut Dunn Lampiran 11b menunjukkan bahwa produk tumpi D tidak berbeda nyata dengan produk tumpi E, tapi berbeda nyata dengan produk tumpi A, B, C dan F kontrol. Hal ini disebabkan produk tumpi D dan E memiliki warna kuning yang cerah dan kelihatan bersih. Warna kuning cerah dan bersih yang terbentuk pada kedua produk tersebut diakibatkan oleh terjadinya reaksi maillard pada saat penggorengan. Reaksi maillard terjadi karena kandungan protein dan karbohidrat produk mengalami degradasi akibat suhu tinggi saat proses penggorengan. Protein terdenaturasi menjadi asam-asam amino dan karbohidrat menjadi gula-gula sederhana, baik yang bersifat reduksi maupun nonreduksi, gula reduksi merupakan jenis gula sederhana yang berperan dalam reaksi maillard. Gugus nukleofilik dari kelompok amino tersebut bereaksi dengan gugus karbonil dari gula reduksi yang kemudian menghasilkan senyawa melanoidin. Ndife et al. 2011 melaporkan bahwa reaksi maillard pada roti terjadi karena kandungan protein pada tepung kedelai bereaksi dengan gula selama proses pemanggangan. Reaksi antara asam amino dengan gula reduksi merupakan reaksi tahap pertama pada reaksi maillard menghasilkan N-substituted glycosylamine, selanjutnya senyawa ini mengalami reaksi amadori menghasilkan 1-amino-1- dioxy-2-ketosa. Reaksi tahap kedua adalah dehidrasi, fragmentasi, enolisasi, dan stecker degradasi terhadap gula menghasilkan komponen-komponen volatil dan nonvolatil. Reaksi tahap ketiga adalah kondensasi komponen-komponen volatil dan polimerisasi komponen-komponen nonvolatil menghasilkan warna coklat cerah dan polimer Zamora dan Hidalgo 2005. Perubahan warna cerah menjadi coklat kehitaman atau gelap akan terjadi jika proses ini berlangsung dalam waktu lama atau suhu ditingkatkan Kumar et al. 2006. Moyano et al. 2002 melaporkan bahwa warna produk gorengan prancis mengalami perubahan seiring bertambahnya waktu penggorengan. Pembentukan warna kuning cerah juga diduga karena oksidasi lemak pada produk. Penggunaan kelapa parut sebagai salah satu bahan utama menjadi sumber lemak dari produk tumpi tuna. Oksidasi lemak terjadi karena tersedianya oksigen di sekitar ketel penggorengan. Reaksi oksidasi ini menghasilkan hidroperoksida. Hidroperoksida terdekomposisi menjadi lipida peroksil dan radikal hidroksil jika reaksi berlanjut. Pemecahan peroksil dan radikal hidroksil menghasilkan komponen aldehid, keton, hidrokarbon, polimer, dimer, dan asam lemak. Komponen-komponen tersebut akan terkondensasi atau terpolimerisasi membentuk warna kuning atau kuning coklat Zamora dan Hidalgo 2005. Pembentukan warna produk tumpi tuna juga diduga karena terjadi hidrolisis lemak santan. Hidrolisis lemak terjadi pada saat penggorengan karena jumlah air bahan cukup tinggi. Reaksi hidrolisis menyebabkan pelepasan ikatan ester dari lemak atau santan kelapa, mengakibatkan terjadinya pembentukan asam lemak, gliserol, monoglisakarida, dan digliserida yang akan mempengaruhi warna coklat produk akhir Muchtadi dan Ayustaningwarno 2010. Tingkat kehomogenan adonan, bentuk, dan ukuran produk juga berpengaruh terhadap warna yang dihasilkan. Adonan yang homogen dengan bentuk dan ukuran pencetakan seragam, akan menghasilkan produk akhir tumpi dengan warna yang bersih. 3 Rasa Rasa merupakan salah satu parameter sensori yang sangat penting dalam produk tumpi menurut penilaian panelis. Rasa produk tumpi gorengan akan terbentuk akibat pemanasan. Penggorengan dengan suhu tinggi mengakibatkan terjadinya degradasi komponen-komponen penyusun protein, lemak, karbohidrat dan komponen minor lain dalam produk tersebut menjadi komponen-komponen primer. Reaksi antara komponen primer tersebut menghasilkan rasa yang bisa meningkatkan atau mengurangi rasa produk pangan bersangkutan Winarno 2008. Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap rasa tumpi ikan tuna pada penelitian lanjutan tahap I, yaitu antara 6,31 sampai 7,18 atau agak suka sampai suka Tabel 12. Nilai rasa tertinggi dari tumpi ikan tuna yang diuji dicapai oleh produk F kontrol, yaitu 7,18 dan terendah dicapai oleh produk C, yaitu 6,31. Hasil uji Kruskal-Wallis Lampiran 10 menunjukkan bahwa peningkatan persentase jumlah ikan dan pengurangan jumlah kelapa parut berpengaruh nyata terhadap rasa produk tumpi tuna. Hasil uji lanjut Dunn Lampiran 11c menunjukkan bahwa produk tumpi F kontrol berbeda nyata dengan produk tumpi lainnya, ini berarti bahwa kontrol memiliki rasa lebih lezat dari pada produk yang mengalami peningkatan jumlah ikan dan penurunan jumlah kelapa parut. Rata-rata panelis menyukai produk tumpi dengan kandungan kelapa parut yang tinggi. Kelapa parut mengandung santan dan air yang tinggi Solangi dan Iqbal 2011. Walaupun dalam produk tumpi tuna lemak ini tidak berbentuk santan, tapi proses penggorengan menyebabkan terjadinya penguapan air dan penggumpalan bagian yang bukan minyak serta menimbulkan rasa dan aroma khas yang harum DMPPIPT 2001. Kebiasaan panelis mengkonsumsi produk tumpi dengan komposisi kelapa tinggi masih ikut berpengaruh dalam pengujian sensori. Tingkat kesukaan panelis juga terlihat tinggi terhadap produk tumpi D dan E. Artinya, panelis juga menyukai produk yang memiliki rasa khas ikan. Rasa khas ikan diduga terbentuk dari reaksi maillard, yaitu reaksi antara asam-asam amino dengan gula hasil degradasi karbohidrat saat penggorengan berlangsung menghasilkan N-substitusi glikosilamin. Glikosilamin ini mengalami reaksi Amadori Rearrengement menghasilkan 1-amino-1-dioksi-2-deoksa Zamora dan Francisco 2005. Reaksi selanjutnya, yaitu dehidrasi atau fragmentasi gula menghasilkan komponen, misalnya furans, pyrones, cyclopentenes, carbonyls dan asam-asam. Reaksi stecker degradasi menghasilkan komponen nonvolatil, misalnya aldehid dan sulfur. Interaksi antara komponen-komponen tersebut menghasilkan rasa manis, asam, asin, pahit, dan umami Bastos et al. 2012. Gabungan dan interaksi dari rasa tersebut diduga menghasilkan rasa khas produk tumpi yang disukai oleh panelis Winarno 2008. Oksidasi lemak juga diduga berpengaruh terhadap pembentukan rasa produk. Zamora dan Francisco 2005 melaporkan bahwa reaksi nonenzimatik misalnya oksidasi lemak dan reaksi maillard menyebabkan terjadinya perubahan terhadap tekstur, warna, aroma, rasa, dan nilai gizi produk, baik menguntungkan ataupun merugikan. Lipid hidroperoksida yang dihasilkan dari tahap awal oksidasi akan membentuk rasa jika mengalami reaksi lanjutan atau polimerisasi. Rasa produk tumpi juga dipengaruhi oleh penambahan bumbu. Bumbu merupakan bahan tambahan dalam suatu produk yang berperan memberi rasa khas, meningkatkan rasa, dan menekan rasa tertentu menjadi rasa yang diinginkan serta bisa berfungsi sebagai antimikroba. Bumbu yang digunakan dalam produk ini terdiri dari campuran lengkuas, daun serei, bawang merah, lada bubuk, dan garam sangat berperan dalam pembentukan rasa khas tumpi. Lengkuas, daun serei, bawang merah, dan lada bubuk mengandung oleoresin komponen nonvolatil. Oleoresin ini diduga memiliki efek sinergi dengan komponen nonvolatil yang dihasilkan oleh reaksi maillard untuk membentuk citarasa yang disukai oleh panelis. Garam yang ditambahkan bersamaan dengan bumbu berfungsi untuk lebih mempertegas rasa Cahyadi 2008. Nilai rasa juga dipengaruhi oleh penilaian panelis terhadap warna. Singh 2006 melaporkan bahwa dalam pemasaran produk makanan, warna berperan untuk menambah atau mengurangi selera makan, membedakan produk dengan pesaing, dan meningkatkan suasana hati serta mengurangi persepsi waktu tunggu. Sekitar 62-90 persen penilaian konsumen terhadap produk didasarkan pada warna saja. Jika nilai warna suatu produk tinggi, nilai rasa juga biasanya tinggi. Hubungan antara kedua parameter ini akan terjadi jika keduanya tidak jauh berbeda dari ciri khasnya. 4 Aroma Aroma merupakan salah satu parameter sensori yang penting dalam produk tumpi menurut penilaian panelis. Bau dapat mengevaluasi aroma makanan dan dibutuhkan dalam memberikan penilaian terhadap rasa. Aroma makanan yang harum akan lebih merangsang selera. Unsur harus dalam wujud gas atau komponen yang bersifat volatil untuk merangsang sensasi dari aroma Winarno 2008. Aroma berguna untuk mendeteksi makanan segar atau tengik atau bahkan beracun. Aroma memiliki daya tarik dalam menentukan rasa produk tumpi. Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap aroma tumpi ikan tuna pada penelitian lanjutan tahap I, yaitu antara 6,42 sampai 7,25 atau agak suka sampai suka Tabel 12. Nilai rasa tertinggi dari tumpi ikan tuna yang diuji dicapai oleh produk E, yaitu 7,25 dan terendah dicapai oleh produk A, yaitu 6,42. Hasil uji Kruskal-Wallis Lampiran 10 menunjukkan bahwa peningkatan persentase jumlah ikan dan pengurangan jumlah kelapa parut berpengaruh nyata terhadap aroma produk tumpi tuna. Hasil uji lanjut Dunn Lampiran 11d menunjukkan bahwa produk tumpi E berbeda nyata dengan produk tumpi lainnya, termasuk kontrol. Penilaian panelis yang tinggi terhadap produk tumpi E diduga disebabkan oleh persentase jumlah ikan yang tinggi. Protein ikan yang tinggi mengalami degradasi saat penggorengan berlangsung menghasilkan asam-asam amino. Asam amino ini bereaksi dengan gula reduksi dari kelapa parut saat penggorengan berlangsung menghasilkan 1-amino-1-deoxy-2-ketosa Zamora dan Hidalgo 2005. Reaksi selanjutnya akan menghasilkan komponen-komponen volatil yang mengandung oksigen atau nitrogen dan berperan dalam pembentukan aroma khas gorengan. Senyawa-senyawa aroma yang mengandung oksigen antara lain 2,3- utanedione,2,3-pentanedione, methylpropanal, 3-methylbutanal, phenylacetal- dehyde, 3-hydroxy-4,5-dimethyl-23H-furanone, dan 2,5-dimethyl-4-hydroxy- 32H-furanone. Senyawa-senyawa aroma yang mengandung nitrogen antara lain 2-ethyl-3,5-dimethylpyrazine, 2,3-diethyl-5-methylpyrazine, dan 2-acetyl-1- pyrroline Bastos et al. 2012. Tabel 12 memperlihatkan bahwa peningkatan jumlah daging ikan dan penurunan jumlah kelapa parut berkorelasi secara positif dengan tingkat penilaian panelis terhadap aroma produk tumpi tuna. Penambahan 5 ikan dan penurunan 5 kelapa parut, menyebabkan tingkat kesukaan panelis juga ikut naik. Hal ini diduga karena daging ikan tuna mempunyai aroma yang khas bila mengalami pemanasan. Aroma produk tumpi juga dipengaruhi oleh penambahan bumbu. Bumbu merupakan bahan tambahan dalam suatu produk yang berperan memberi aroma khas dan menekan bau tertentu menjadi aroma yang diinginkan. Bumbu yang digunakan dalam produk ini terdiri dari campuran lengkuas, daun serei, bawang merah, lada bubuk, dan garam sangat berperan dalam pembentukan rasa khas tumpi. Lengkuas, daun serei, bawang merah, dan lada bubuk mengandung minyak atsiri komponen volatil yang berfungsi sebagai pembentuk aroma khas Cahyadi 2008. 5 Tekstur Tekstur merupakan salah satu parameter sensori yang penting dalam produk tumpi menurut penilaian panelis. Tekstur adalah manifestasi sifat sensori dan fungsional dari struktur, mekanik dan permukaan produk pangan yang terdeteksi melalui indera penglihatan, pendengaran, sentuhan, dan kinestesis. Tekstur adalah kualitas kunci dari suatu produk makanan, misalnya kelembutan, kehalusan, kekerasan, konsistensi, sifat merekat, kerapuhan, dan kerenyahan dalam makanan Szczesniak 2002. Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur tumpi ikan tuna pada penelitian lanjutan tahap I, yaitu antara 6,24 sampai 7,04 atau agak suka sampai suka Tabel 12. Nilai tekstur tertinggi dari tumpi ikan tuna yang diuji dicapai oleh produk D, yaitu 7,08 dan terendah dicapai oleh produk A, yaitu 6,24. Hasil uji Kruskal-Wallis Lampiran 10 menunjukkan bahwa peningkatan persentase jumlah ikan dan pengurangan jumlah kelapa parut berpengaruh nyata terhadap aroma produk tumpi tuna. Hasil uji lanjut Dunn Lampiran 11e menunjukkan bahwa produk tumpi D berbeda nyata dengan produk tumpi lainnya, termasuk kontrol. Penilaian panelis yang tinggi terhadap produk tumpi D karena tekstur lebih kompak, lembut, agak padat, dan agak keras serta mengalami keretakan yang teratur pada bagian permukaan saat ditekan dengan jari. Tekstur tersebut terbentuk diduga disebabkan oleh penguapan air diikuti dengan mengerasnya struktur produk pada saat proses penggorengan terjadi. Kandungan air tinggi pada produk tumpi yang biasa bersumber dari kelapa parut berkurang seiring penurunan jumlah penggunaan kelapa dan peningkatan jumlah ikan. Hal ini mengakibatkan protein dan lemak mampu mengikat sejumlah air menghasilkan struktur bahan yang kompak, padat, dan agak keras serta garing di bagian permukaan setelah mengalami peroses penggorengan. Gerrard 2002 melaporkan bahwa reaksi maillard berpengaruh terhadap pembentukan tekstur dan daya cerna produk gorengan melalui protein cross-linking. Sanz et al. 2006 menjelaskan bahwa jenis dan komposisi bahan penyusun berpengaruh terhadap karakteristik sensori produk pangan. Perubahan kadar air yang diiringi dengan peningkatan kadar protein dapat meningkatkan tingkat kekerasan dan kerenyahan tekstur produk. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Ndife et al. 2011 pada produk roti yang melaporkan bahwa penambahan tepung kedelai yang berprotein tinggi menghasilkan tekstur yang baik. Li et al. 2012 melaporkan bahwa nilai kekerasan, kelembutan, dan kerenyahan daging babi meningkat ketika terjadi penguapan air, denaturasi protein myofibrillar, dan penyusutan protein kolagen oleh tingginya suhu penggorengan. Odenigbo et al. 2012 melaporkan bahwa penggorengan dengan suhu tinggi menyebabkan struktur seluler dan struktur sub seluler ubi jalar mengalami perubahan karena terjadi gelatinisasi pati. Perubahan struktur tersebut menyebabkan tekstur ubi jalar menjadi kencang, keras, dan elastis. 6 Produk tumpi terbaik Penentuan produk tumpi terbaik pada penelitian lanjutan tahap I dilakukan dengan menggunakan metode Bayes berdasarkan penilaian sensori. Kriteria yang menjadi objek penilaian dalam penentuan produk tumpi tuna terbaik adalah kenampakan, warna, rasa, aroma, dan tekstur. Analisis Bayes dilakukan dengan terlebih dahulu membuat peringkat indeks kepentingan terhadap parameter sensori yang menjadi objek pengamatan sesuai penilaian panelis. Jumlah panelis yang memberikan penilaian adalah 30 orang. Nilai kepentingan untuk masing-masing parameter, yaitu nilai 1 bila parameter uji tidak penting, nilai 2 bila kurang penting, nilai 3 bila biasa, nilai 4 bila penting, dan nilai 5 bila sangat penting. Nilai kepentingan terhadap parameter sensori produk tumpi tuna yang dihasilkan pada penelitian lanjutan tahap I sama dengan nilai kepentingan parameter sensori pada penelitian pendahuluan tahap II Tabel 10. Hasil analisis Bayes terhadap produk tumpi tuna yang dihasilkan pada penelitian lanjutan tahap I disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Hasil analisis Bayes terhadap produk tumpi tuna yang dihasilkan pada penelitian lanjutan tahap I Parameter Produk tumpi Nilai bobot A B C D E F Kenampakan 1 4 3 5 6 2 0,22 Rasa 2 3 1 5 4 6 0,22 Warna 1 2 4 6 5 3 0,22 Aroma 1 2 4 5 6 3 0,17 Tekstur 1 2 5 6 4 3 0,17 Total Nilai 1,22 2,65 3,30 5,39 5,00 3,43 1,00 Rangking 6 5 4 1 2 3 Tabel 13 menunjukkan bahwa produk tumpi tuna D formula: 65 ikan+15 kelapa+5 tapioka+15 bumbu memiliki total nilai tertinggi, yaitu 5,36 sehingga berada pada peringkat I. Produk D menjadi produk tumpi tuna terbaik hasil reformulasi bahan penyusun. Produk tersebut akan dianalisis proksimat, dihitung nilai gizi, dan disimpan pada suhu ruang. Analisis mutu yang dilakukan selama penyimpanan adalah sensori, mikrobiologi, dan kimia. Produk tumpi tuna terbaik hasil reformulasi bahan penyusun disajikan pada Gambar 10. Gambar 10 Produk tumpi terbaik hasil reformulasi bahan penyusun 4.3.2. Karakteristik kimia tumpi terbaik Karakteristik kimia produk tumpi tuna terbaik hasil reformulasi bahan penuyusun dilakukan berdasarkan analisis proksimat untuk mengetahui kandungan air, protein, lemak, abu, dan karbohidrat. Hasil analisis proksimat produk tumpi tuna terbaik disajikan pada Tabel 14. Tabel 14 Karakteristik kimia produk tumpi tuna hasil reformulasi bahan penyusun Parameter kimia Kandungan kimia Kadar air 42,91±0,46 Kadar protein 29,72±0,40 Kadar lemak 13,79±0,12 Kadar karbohidrat 11,46±0,77 Kadar abu 2,13±0,11 1 Kadar air Kadar air merupakan komponen penting dalam bahan pangan karena dapat mempengaruhi kenampakan, citarasa dan tekstur produk akhir. Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan acceptability, kesegeran dan daya tahan bahan bersangkutan. Sebagian besar dari perubahan-perubahan bahan pangan terjadi dalam media air, baik air yang ditambahkan maupun yang berasal dari bahan itu sendiri Winarno 2008. Tabel 14 menunjukkan bahwa kadar air merupakan kadar kimia tertinggi dari produk tumpi tuna. Kadar air produk ini diduga dipengaruhi oleh kadar air bahan baku yang digunakan, perlakuan terhadap bahan baku, komposisi bahan penyusun dan proses pengolahan. Perlakuan yang dilakukan terhadap daging ikan tuna sebelum diolah menjadi produk tumpi adalah pemasakan dengan pemanggangan. Pemanggangan mengakibatkan terjadinya penguapan air dari dalam daging ikan disamping tujuan utamanya untuk mematangkan daging Gokoglu et al. 2004. Penggunaan ikan dengan komposisi yang lebih besar 65 daripada bahan penyusun lainya diduga memiliki peran terhadap kadar air produk akhir tumpi tuna. Kadar air produk makanan gorengan juga dipengaruhi oleh komposisi bahan baku, suhu, dan waktu penggorengan. Muchtadi dan Ayustaningwarno 2010 mengemukakan bahwa kadar air akhir dari suatu produk pangan hasil gorengan sangat ditentukan oleh kadar air awal bahan pangan sebelum digoreng karena sebagian kandungan air dalam bahan pangan berkurang akibat panas. Budsaki dan Seruga 2005 melaporkan bahwa semakin tinggi suhu dan lama waktu penggorengan, semakin banyak air yang menguap dari produk mengakibatkan jumlah minyak goreng yang terserap oleh bahan yang digoreng semakin tinggi. Hal ini juga sesuai dengan laporan Moyano et al. 2002 dan Sanz et al. 2006 bahwa peningkatan waktu penggorengan akan diikuti oleh menurunnya kadar air pada produk akhir gorengan prancis dan kentang goreng. Kadar air produk tumpi tuna yang berkisar 42,91 masih termasuk kada air tinggi yang bisa merangsang pertumbuhan kapang dan bakteri. Kadar air produk ini tinggi diduga disebabkan oleh proses penggorengan dilakukan secara konvensional atau terbuka pada tekanan atmosfer normal. Suhu penggorengan pada tekanan atmosfer normal sama dengan titik didih minyak goreng, yaitu berkisar 150-200 O C Budzaki dan Seruga 2005 . Suhu ini menyebabkan pembentukan kerak pada permukaan produk berlangsung dengan cepat, akibatnya kandungan air pada lapisan dalam produk terperangkap dan tidak bisa menguap lagi. Jika penguapan terus dilakukan, lapisan luar produk akan menjadi gosong. 2 Kadar protein Kadar protein produk akhir tumpi tuna dipengaruhi oleh komposisi bahan penyusun dan proses pengolahan. Peningkatan jumlah ikan sebagai sumber protein diharapkan mampu meningkatkan kadar protein produk tumpi dan proses pengolahan diharapkan bisa meningkatkan daya cerna, ketersediaan protein, dan menurunkan berbagai senyawa antinutrisi yang terkandung di dalamnya. Tabel 14 menunjukkan bahwa kadar protein produk tumpi tuna menjadi tertinggi setelah kadar air. Berdasarkan acuan pelabelan gizi BPOM Badan Pengawas Obat dan Makanan tentang kandungan protein suatu produk pangan, produk ini bisa diklaim sebagai pangan sumber protein karena mengandung protein ≥20 Acuan Label Gizi ALG per 100 g, walau demikian, produk ini tidak bisa dikalim sebagai pangan berprotein tinggi karena mengandung protein ≤35 ALG per 100g BPOM 2011. Peningkatan jumlah penggunaan ikan sebanyak 65 pada pembuatan tumpi tuna diduga menjadi faktor utama terhadap tingginya kadar protein produk akhir. Ketersediaan kadar protein dalam produk tumpi tuna juga diduga dipengaruhi oleh proses penggorengan. Erkan et al. 2010 menjelaskan bahwa peningkatan kadar protein pada beberapa jenis ikan laut dipengaruhi oleh kadar protein awal ikan, jenis ikan, dan metode pemasakan yang digunakan. Metode pemasakan yang menghasilkan kadar protein paling tinggi adalah metode penggorengan dan pemanggangan. Gokoglu et al. 2004 melaporkan bahwa besarnya kehilangan air akibat penggorengan dan pemasakan dengan mikrowave menghasilkan ikan dengan kadar protein tinggi. Aberoumad dan Pourshafi 2010 melaporkan bahwa persentase kandung air ikan merupakan indikator yang baik terhadap kandungan protein, lemak, dan nilai kalorinya. Semakin rendah persentase kandungan air, semakin besar kandungan lemak, protein, dan energi dari ikan. Kadar protein produk tumpi tuna juga dipengaruhi oleh reaksi maillard. Reaksi maillard yang terjadi terutama pada bagian permukaan produk saat proses penggorengan menyebabkan ikatan silang antar asam-asam amino dan bereaksi dengan gula reduksi. Hal tersebut mengakibatkan jumlah ketersediaan asam-asam amino mengalami penurunan, termasuk asam amino esensial, misalnya leusin dan lisin. Fayle dan Gerrard 2002 dan Gerrard 2006 menjelaskan bahwa reaksi maillard menyebabkan kerusakan nutrisi pada pangan saat penggorengan, terutama protein. Kerusakan ini terjadi karena protein mengalami penggumpalan saat terkena panas menyebabkan kehilangan asam amino esensial, khususnya lisin. Promeyrat et al. 2010 melaporkan bahwa asam amino yang sangat rentan bereaksi dengan radikal bebas saat terkena panas adalah histidin, arginin, lisin, hidroksilisin, dan citrullin dari kelompok asam amino dasar; penilalanin dan tirosin dari kelompok asam amino aromatik; dan sistein dari kelompok asam amino belerang. 3 Kadar lemak Kadar lemak produk gorengan dipengaruhi oleh komponen kimia awal bahan penyusun, suhu dan lama waktu penggorengan. Semakin banyak penggunaan bahan penyusun dengan sumber lemak tinggi, semakin tinggi kadar lemak produk akhir. Suhu dan waktu penggorengan yang tinggi juga akan meningkatkan kadar lemak produk akhir. Optimalisasi penggunaan ketiga hal tersebut dapat menghasilkan produk dengan sifat sensori yang baik dan nilai gizi tinggi. Kadar lemak produk tumpi tuna diperoleh dari bahan penyusun utama, yaitu kelapa parut dan daging merah ikan tuna yang digunakan. Semakin tinggi kandungan lemak bahan baku, semakin besar kadar lemak produk akhir. Pengurangan jumlah penggunaan kelapa parut menjadi 15 diduga berperan besar terhadap kadar lemak produk akhir tumpi. Daging ikan yang digunakan termasuk berlemak sedang 5 sehingga peningkatan persentasi penggunaan ikan menjadi 65 tidak berpengaruh banyak terhadap peningkatan kadar lemak secara kuantitas, walau demikian, produk ini belum bisa dikategorikan sebagai pangan rendah lemak karena masih sangat jauh di atas ambang batas kandungan lemak dalam pangan yang dipersyaratkan BPOM, yakni tidak lebih dari 3 g per 100 g untuk produk pangan berbentuk padat BPOM 2011. Kadar lemak produk tumpi tuna juga diperoleh dari media penggorengan. Erkan et al. 2010 menjelaskan bahwa lemak yang terkandung dalam ikan meningkat setelah mengalami proses penggorengan, tergantung pada kadar lemak awal ikan dan lama waktu penggorengan. Gokoglu et al. 2004 melaporkan bahwa ikan yang digoreng memiliki kadar lemak lebih tinggi dibandingkan dengan ikan yang direbus, dipanggang, diasap, dikeringkan dengan mikrowave, dan ikan yang tidak mengalami pemasakan atau bahan baku. Hal tersebut disebabkan terjadi penyerapan minyak oleh ikan saat penggorengan. Penyerapan minyak terjadi karena terbentuk kapiler-kapiler setelah air menguap Budzaki dan Seruga 2005 Penyerapan minyak selama penggorengan dipengaruhi oleh kondisi proses penggorengan, tipe dan kualitas minyak goreng, dan karakteristik produk yang digoreng Fillion dan Henry 1998. Mekanisme penyerapan minyak pada produk tumpi tuna saat penggorengan berlangsung adalah pembasahan permukaan surface wetting, aksi kapiler capyllari action dan penyerapan vakum vacuum absorption Muchtadi dan Ayustaningwarno 2010. Surface wetting terjadi karena metode penggorengan yang digunakan adalah deef fat frying, yakni produk terendam dalam media penggorengan sehingga minyak yang menempel di permukaan bahan sebagian terbawa ke dalam produk akhir Bouchon et al. 2003. Capillary action terjadi akibat penguapan air dari produk saat penggorengan membentuk rongga kapiler pada struktur bahan sehingga minyak terserap masuk ke dalam pori-pori kapiler produk tumpi. Turkkan et al. 2008 melaporkan bahwa penggorengan meningkatkan kadar lemak fillet ikan seabass karena minyak goreng mengisi pori-pori yang ditinggalkan oleh air akibat penguapan. Jika waktu penggorengan diperpanjang, kadar air yang keluar juga lebih banyak mengakibatkan luas permukaan pori-pori bertambah besar yang menjadi celah masuknya minyak goreng. Budsaki dan Seruga 2005 melaporkan bahwa penyerapan minyak goreng dan penguapan air lebih cepat pada suhu yang tinggi karena kecepatan penyerapan minyak akan meningkat sesuai dengan kecepatan penguapan air. Nilai penyerapan minyak meningkat, jika kandungan air menurun. Rasio absorpsi minyak dengan kehilangan air berkisar 1,5 berbanding 1 1,5:1. Vacuum absorption terjadi karena adanya perubahan tekstur saat penggorengan. Perubahan tekstur ini mengakibatkan pengembangan pada bagian dalam produk tumpi tuna, sehingga diduga terjadi kondisi vakum di dalam produk. Kondisi ini memungkinkan minyak terserap masuk mengisi ruang vakum. 4 Kadar karbohidrat Kadar karbohidrat mempunyai peranan penting dalam menentukan karakteristik produk pangan, misalnya rasa, warna, tekstur, dan lain-lainnya. Karbohidrat banyak terdapat dalam bahan nabati, baik berupa gula sederhana, heksosa, pentosa, maupun karbohidrat dengan berat molekul yang tinggi, misalnya pati, pektin selulosa, dan lignin, sedangkan pada hasil ternak khususnya daging, termasuk ikan, karbohidrat terdapat dalam bentuk glikogen yang disimpan dalam jaringan-jaringan otot dan dalam hati Winarno 2008. Kadar karbohidrat produk ini diduga berasal dari bahan pengikat atau tapioka dan kelapa parut. Suhardi dan Bonimin 2011 menjelaskan bahwa penambahan tapioka sebesar 5 dan 10 pada produk brondong jagung dapat meningkatkan kadar karbohidrat produk akhir. Hal ini diduga karena tapioka memiliki kadar pati tinggi, yaitu berkisar 88,2 Cock 1985 dan kelapa parut memiliki kadar karbohidrat berkisar 10-13,11 Direktorat Gizi 1981; Igutti et al. 2011. Penggunaan tapioka sebesar 5 dan kelapa parut 15 diperkirakan belum bisa menghasilkan kadar karbohidrat sebesar 11,46 sebagaimana hasil analisis proksimat pada Tabel 14, oleh sebab itu, kadar karbohidrat produk tumpi tuna juga diduga dipengaruhi oleh turunnya kadar air saat proses penggorengan. Yodkraisri dan Bhat 2012 melaporkan bahwa peningkatan kadar karbohidrat pada kripik rimpang bunga teratai berkaitan erat dengan turunnya kadar air dan serat kasar. Kadar karbohidrat produk ini juga diduga dipengaruhi oleh metode analisis. Metode analisis karbohidrat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cara perhitungan kasar proximate analysis atau disebut juga carbohydrate by difference, yaitu jumlah rata-rata kandungan air, protein, lemak, dan abu secara proporsional mempengaruhi kadar karbohidrat bahan pangan yang dianalisis FAO 2003. 5 Kadar abu Kadar abu adalah sisa yang tertinggal apabila suatu bahan pangan organik dibakar, dimana zat-zat organik terbakar dan zat-zat anorganik yang tidak terbakar atau residu pembakaran. Residu tersebut terdiri dari oksida dan garam yang mengandung anion, misalnya fosfat, klorida, sulfat, dan halida lainnya; dan kation, misalnya natrium, kalium, kalsium, magnesium, zat besi, dan mangan. Sediaoetama 2008 menjelaskan bahwa kadar abu menggambarkan banyaknya mineral yang tidak terbakar. Kadar abu atau mineral suatu bahan pangan, yaitu sekitar 4. Winarno 2008 menjelaskan bahwa sebagian besar bahan makanan tersusun dari 96 bahan organik dan air, sisanya merupakan unsur-usur mineral. Jumlah kadar abu dalam suatu produk menunjukkan jumlah kandungan mineral dalam produk tersebut. Kadar abu produk ini sebagian besar diduga diperoleh dari bahan baku ikan tuna sisanya dari kelapa parut dan bumbu. Kadar abu daging ikan tuna yang digunakan sebesar 1,31. Kandungan kalsium, posfor, dan besi per 100 g kelapa parut berturut-turut berkisar 8 g, 35 mg dan 1,3 mg Direktorat gizi 1981. Kadar abu juga diduga disumbangkan oleh penggunaan bumbu walaupun proposrsinya relatif sedikit. Kandungan mineral bahan baku ini diduga tidak mengalami pengurangan pada saat proses pengolahan. Santoso et al. 2006 melaporkan bahwa kandungan mineral dalam makanan dapat mengalami perubahan kimia saat proses pengolahan dan atau setelah pengolahan atau interaksi antara komponen bahan penyusun. Tingkat kelarutan mineral dapat meningkat atau menurun tergantung dari metode pengolahan. Metode pengolahan dengan pemanasan mengakibatkan kandungan protein terdenaturasi, jika protein terdenaturasi, mineral tidak dapat larut. Kadar Na, K, Ca, Mg, Fe, Zn, Mn, dan Cu catfish meningkat setelah mengalami pengolahan dengan metode penggorengan Ersoy dan Ozeren 2009. Erkan et al. 2010 melaporkan bahwa kadar abu beberapa ikan laut meningkat setelah mengalami penggorengan, pemanggangan, dan pengasapan. Kadar abu ikan yang diolah dengan penggorengan lebih tinggi daripada ikan yang diolah dengan pemanggangan dan pengasapan. Yodkraisri dan Bhat 2012 melaporkan bahwa kadar abu keripik rimpang bunga teratai meningkat setelah mengalami proses penggorengan seiring berkurangnya kadar air dan serat kasar. 4.3.3. Angka kecukupan gizi tumpi ikan tuna Angka kecukupan gizi AKG adalah suatu nilai kecukupan rata-rata zat gizi setiap hari bagi semua orang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, aktifitas tubuh, dan kondisi fisiologis untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. AKG merupakan kecukupan pada tingkat fisiologis sehingga untuk tingkat produksi dan penyediaan pangan perlu diperhitungkan kehilangan yang terjadi dari tingkat produksi sampai mencapai tingkat konsumsi BPOM 2005. Zat gizi adalah substansi pangan yang memberikan energi, diperlukan untuk pertumbuhan, perkembangan, dan pemeliharaan kesehatan. Kekurangan atau kelebihan zat gizi dapat meyebabkan perubahan karakteristik biokimia dan fisiologis tubuh BPOM 2011. Kebutuhan minimum akan zat-zat gizi bervariasi tergantung individu. Kebutuhan kecukupan gizi merupakan jumlah zat-zat gizi yang biasa dikonsumsi oleh golongan orang yang sehat dalam suatu populasi atau masyarakat, oleh sebab itu, penyimpangan-penyimpangan khusus kebutuhan gizi sebagai akibat kelainan metabolisme termasuk malnutrisi, perawatan khusus, dan lainnya tidak diperhitungkan dalam Angka Kecukupan Gizi. Energi adalah tenaga yang digunakan oleh tubuh untuk melakukan aktifitas fisik atau aktifitas eksternal Gunadi 2010. Energi merupakan produk bersama dari tiga jenis zat gizi, yaitu karbohidrat, lemak, dan protein. Energi dinyatakan dalam satuan kalori Sediaoetama 2008. Rata-rata angka kecukupan energi dan protein bagi penduduk Indonesia masing-masing adalah 2.000 kalori dan 52 g pada tingkat konsumsi dan 2.200 kalori dan 57 g pada tingkat penyediaan dan penyimpanan BPOM 2005. Penentuan AKG produk tumpi tuna hasil reformulasi bahan penyusun dihitung berdasarkan hasil uji proksimat dengan mengacu pada standar keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor: HK.00.05.52.6291 tanggal: 9 Agustus 2007. Perhitungan persentase AKG tumpi tuna diawali dengan penentuan serving size produk berdasarkan kebutuhan energi orang dewasa, yakni 2000-2200 kalori. Serving size adalah standar ukuran yang digunakan pada produk makanan untuk 1 kali konsumsi atau jumlah sajian per kemasan. Diasumsikan bahwa sebanyak 1400 kalori kebutuhan harian orang dewasa dipenuhi dari 3 kali waktu konsumsi makanan pokok, yaitu pagi 400 kalori, siang dan sore masing-masing 500 kalori. Sebanyak 600-800 kalori tersisa dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi snack atau makanan cemilan. Snack atau makanan cemilan dapat dikonsumsi sebanyak 3-4 kali sehari, setiap konsumsi diharapkan dapat memenuhi kebutuhan harian sekitar 160-180 kalori. Hasil penentuan serving size produk tumpi tuna lampiran 13 adalah 65 gram. Hasil perhitungan persentase AKG produk tumpi tuna hasil reformulasi bahan penyusun untuk konsumen orang dewasa, anak-anak 2-5 tahun, dan ibu hamil disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Hasil perhitungan persentase AKG produk tumpi tuna hasil reformulasi bahan penyusun dengan serving size 65 g Parameter Dewasa Anak-anak 2-5 tahun Ibu hamil AKG g AKG AKG g AKG AKG g AKG Lemak 62 15 40 23 60 15 Karbohidrat 300 2 200 4 320 2 Protein 60 33 35 57 81 25 Energi total 2.000 kal 9 1.300 kal 15 2.160 kal 9 Angka Kecukupan Gizi berdasarkan acuan label gizi produk pangan BPOM 2007 Tabel 15 memperlihatkan bahwa persentase AKG protein merupakan persentase AKG paling tinggi, disusul lemak dan karbohidrat. Hasil perhitungan AKG tersebut menunjukkan bahwa produk tumpi tuna ter baik hasil reformulasi bahan penyusun dengan serving size 65 gram dapat memenuhi kebutuhan harian orang dewasa terhadap protein, lemak, dan karbohidrat berturut-turut sebesar 33 dari 60 ghari, 15 dari 62 ghari, dan 2 dari 300 ghari dengan total energi sekitar 9 dari 2.000 kalhari. Produk tumpi tuna sangat cocok dikonsumsi sebagai sumber protein oleh anak-anak usia 2-5 tahun, terutama bagi yang susah makan karena produk ini biasa dikonsumsi oleh masyarakat setempat sebagai makanan cemilan dan sebagai lauk. Berdasarkan perhitungan AKG, produk ini cocok dikonsumsi sebagai sumber protein oleh anak-anak usia 2-5 tahun karena dapat memenuhi kebutuhan protein harian sebesar 57 dari 35 ghari, lemak sebesar 23 dari 40 ghari, dan karbohidrat sebesar 4 dari 200 ghari dengan energi total sebesar 15 dari 1.300 kalhari. Produk tumpi tuna juga dapat memenuhi kebutuhan harian ibu hamil terhadap protein sebesar 25 dari 81 ghari, lemak sebesar 15 dari 60 ghari, dan karbohidrat sebesar 2 dari 320 ghari serta energi total sekitar 9 dari 2160 kalhari. 4.3.4. Karakteristik mutu tumpi ikan tuna selama penyimpanan suhu ruang Penelitian lanjutan tahap III dilakukan untuk menentukan karakteristik produk tumpi tuna selama penyimpanan pada suhu ruang. Mutu produk yang dianalisis dalam tahapan penelitian lanjutan ini meliputi analisis sensori, mikrobiologi, dan kimia. 4.3.4.1. Sensori Parameter sensori yang diuji meliputi kenampakan, warna, aroma, dan tekstur. Tujuan pengujian sensori adalah menentukan tingkat kesukaan panelis terhadap atribut sensori produk tumpi tuna selama penyimpanan suhu ruang. 1 Kenampakan Kenampakan merupakan salah satu parameter sensori yang sangat penting dalam produk tumpi menurut penilaian panelis. Kenampakan suatu produk pangan berkaitan erat dengan ukuran, bentuk, keutuhan, berbagai bentuk kerusakan, mengkilap, datar, dan bergelombang Hidalgo dan Zamora 2000. Stabilitas kenampakan produk dipengaruhi oleh proses penyimpanan. Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap kenampakan tumpi ikan tuna selama penyimpanan suhu ruang disajikan pada Gambar 11. Gambar 11 Tingkat kesukaan panelis terhadap kenampakan produk tumpi tuna selama penyimpanan suhu ruang. Gambar 11 menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap kenampakan produk tumpi tuna mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan. Tingkat kesukaan panelis pada penyimpanan hari ke-2 dan ke-3 adalah suka dan agak suka, namun pada hari ke-4 kenampakan produk turun mencapai agak tidak suka. Hal ini diduga karena kenampakan produk tidak banyak mengalami perubahan pada hari kedua dan ketiga penyimpanan, bentuk dan ukurannya masih seragam, permukaan masih halus dan datar. Hal ini sejalan dengan hasil uji mikrobilogi pada penyimpanan hari yang sama, akan tetapi pada hari keempat penyimpanan, kenampakan produk sudah mengalami banyak perubahan sehingga panelis tidak suka lagi. Spora kapang yang tumbuh pada bagian permukaan produk di penyimpanan hari keempat diduga menjadi faktor utama panelis tidak menyukai produk tumpi 6,77 a 6,10 a 4,49 b 5 10 2 3 4 N il ai ke n am pa ka n Penyimpanan hari ke- tuna. spora oleh hifa menimbulkan berbagai warna pada bagian permukaan substrat atau produk mengakibatkan terjadinya penyimpangan warna secara langsung Syarief dan Halid 1993; Harris 2008. 2 Warna Warna merupakan salah satu parameter sensori yang sangat penting dalam produk tumpi menurut penilaian panelis. Jika warna suatu produk berbeda dengan warna khasnya, penilaian panelis terhadap produk tersebut akan berubah. Proses penyimpanan menyebabkan warna produk mengalami perubahan karena berbagai reaksi biokimia. Tingkat kesukaan panelis terhadap warna produk tumpi tuna selama penyimpanan suhu ruang disajikan pada Gambar 12. Gambar 12 Tingkat kesukaan panelis terhadap warna produk tumpi tuna selama penyimpanan suhu ruang. Gambar 12 menunjukkan bahwa kualitas warna produk semakin menurun dan berpengaruh terhadap penilaian panelis seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan. Penurunan kualitas warna produk selama penyimpanan disebabkan oleh oksidasi lemak. Tahap akhir oksidasi lemak menghasilkan senyawa melanoidin yang berperan dalam pembentukan warna coklat gelap. Ketersediaan oksigen di sekitar tempat penyimpanan dan suhu penyimpanan suhu ruang diduga menjadi faktor utama terjadinya oksidasi. Zamora dan Hidalgo 2005 menjelaskan bahwa oksidasi lemak yang terjadi dalam waktu yang lama menyebabkan melanoidin atau warna coklat gelap pada produk pangan. Toci et al. 2013 melaporkan bahwa oksidasi lemak pada kopi robusta terjadi pada suhu 25 o C yang menyebabkan penurunan kualitas warna dan jumlah asam lemak bebas. Penurunan penilaian panelis terhadap warna juga disebabkan oleh adanya spora kapang yang tumbuh di bagian permukaan produk Harris 2008. 6,79 a 6,22 a 5,00 a 5 10 2 3 4 N il ai w ar n a Penyimpanan hari ke- 3 Aroma Aroma merupakan salah satu parameter sensori yang penting dalam produk tumpi menurut penilaian panelis. Aroma produk pangan dihasilkan dari penguraian komponen-komponen kimia selama pengolahan dan penyimpanan menjadi senyawa-senyawa volatil yang menguap. Senyawa volatil yang timbul selama penyimpanan diakibatkan oleh reaksi enzimatik dan nonenzimatik. Tingkat kesukaan panelis terhadap aroma produk tumpi tuna selama penyimpanan disajikan pada Gambar 13. Gambar 13 Tingkat kesukaan panelis terhadap aroma produk tumpi tuna selama penyimpanan suhu ruang. Gambar 13 menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap aroma produk tumpi tuna menurun seiring bertambahnya waktu penyimpanan. Tingkat kesukaan panelis pada penyimpanan hari ke-2 dan ke-3 masing-masing suka dan agak suka, sedangkan pada penyimpanan hari ke-4 turun drastis menjadi agak tidak suka. Tingkat kesukaan panelis yang menurun terhadap aroma diduga disebabkan oleh oksidasi lemak selama penyimpanan. Oksidasi lemak adalah reaksi kimia yang tidak diinginkan dalam penyimpanan karena menurunkan kualitas sensori dan nilai gizi produk Abreu et al. 2011. Oksidasi lemak selama penyimpanan dipengaruhi oleh suhu, cahaya, oksigen, kadar air, dan mineral dalam produk. Reaksi oksidasi lemak dalam produk pangan terjadi dalam 3 tahap, yaitu oksidasi primer, sekunder, dan tersier. Tahap oksidasi yang menghasilkan komponen volatil beraroma menyengat adalah oksidasi sekunder Miller 2010. Produk tumpi tuna pada penyimpanan hari ke-2 dan ke-3 diduga baru mengalami oksidasi primer karena panelis masih memberikan penilaian suka dan agak suka, akan tetapi pada penyimpanan hari ke-4 sudah mengalami oksidasi sekunder yang akan segera diikuti oleh turunya oksidasi primer. 6,78 a 6,44 a 4,87 b 5 10 2 3 4 N il ai a ro m a Penyimpanan hari ke- Penurunan drastis tingkat kesukaan panelis menjadi agak tidak suka pada penyimpanan hari ke-4 juga dipengaruhi oleh rendahnya atribut kenampakan dan warna karena sebelum melakukan uji pembau, panelis sudah beranggapan bahwa kenampakan dan warna produk yang berubah dari ciri khasnya pasti aromanya juga tidak baik. 4 Tekstur Tekstur adalah kualitas kunci dari suatu produk makanan, misalnya kekerasan, lunak, konsistensi, sifat merekat, kerapuhan, dan kerenyahan. Perubahan tekstur suatu produk dari ciri khasnya menyebabkan penilaian konsumen ikut berubah Szczesniak 2002. Tekstur produk pangan dapat mengalami perubahan selama proses penyimpanan karena reaksi enzimatik, perubahan kadar air, dan reaksi-reaksi pembentuk protein cross-linking. Tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur produk tumpi tuna selama penyimpanan suhu ruang disajikan pada Gambar 14. Gambar 14 Tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur produk tumpi tuna selama penyimpanan suhu ruang. Gambar 14 menunjukkan bahwa penilaian panelis terhadap tekstur produk tumpi tuna selama penyimpanan suhu ruang mengalami penurunan. Hal ini diduga dipengaruhi oleh peningkatan kadar air akibat penyerapan uap selama penyimpanan. Kadar air yang tinggi menyebabkan kerenyahan kerak menjadi lunak. Mazumder et al. 2007 melaporkan bahwa kadar air memainkan peran penting pada tekstur makanan kering karena langsung mempengaruhi kerenyahan yang merupakan faktor utama penerimaannya. Kadar air yang tinggi juga menyebabkan mikrostruktur produk mengalami perubahan. Rongga-rongga udara yang terbentuk selama proses pengolahan terisi oleh air selama penyimpanan menyebabkan tekstur secara keseluruhan menjadi lunak dan kurang kompak. 6,47 a 5,87 a 4,98 b 5 10 2 3 4 N il ai t eks tur Penyimpanan hari ke- 4.3.4.2. Mikrobiologi Mutu mikrobiologi yang dianalisis pada penelitian ini, meliputi angka lempeng total ALT atau total plate count TPC dan analisis kapang. Tujuan analisis mikrobiologi adalah menentukan tingkat kerusakan produk akibat bakteri dan kapang selama penyimpanan suhu ruang. Hasil analisis ALT dan kapang produk tumpi tuna selama penyimpanan suhu ruang disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Hasil analisis ALT dan kapang produk tumpi tuna selama penyimpanan suhu ruang Parameter uji Penyimpanan hari ke- 2 3 4 ALT cfug 22,67±0,58 a 2,63 x 10 2 ±15,28 a 4,3 x 10 3 ±351,19 b Kapang cfug 10±0,00 a 3,4x 10 2 ±15,28 a 5,5 x 10 5 ±20.000 b 1 Angka lempeng total ALT Angka Lempeng total ALT adalah jumlah koloni yang tumbuh pada media dari pengenceran sampel. Penentuan angka lempeng total atau cemaran mikroba pada produk tumpi tuna bertujuan untuk menentukan jumlah total bakteri aerob dan anaerob psikrofilik, mesofilik dan termofilik pada produk selama penyimpanan suhu ruang. Bakteri merupakan organisme uniseluler atau bersel tunggal. Pertumbuhan bakteri adalah pembelahan sel. Pertumbuhan merupakan pertambahan volume dan ukuran sel dan juga sebagai pertambahan jumlah sel. Apabila faktor-faktor luar menguntungkan, maka setelah terjadi pembelahan, sel- sel baru tersebut akan membesar sampai masing- masing menjadi sebesar sel induknya Melliawati 2009. Tabel 16 menunjukkan bahwa jumlah koloni produk tumpi tuna selama penyimpanan suhu ruang masih dibawah 22,67 cfug pada hari ke-2 dan berkisar 4,3 x 10 3 cfug pada hari ke-4 atau pada hari terakhir penyimpanan. Hasil analisis ragam Lampiran 14 menunjukkan bahwa waktu penyimpanan suhu ruang berpengaruh nyata terhadap jumlah koloni produk tumpi tuna. Hasil uji lanjut Duncan Lampiran 15 menunjukkan bahwa penyimpanan hari ke-4 berbeda nyata dengan penyimpanan hari ke-2 dan hari ke-3. Hal ini diduga karena faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri tersedia dalam jumlah yang cukup, misalnya zat nutrisi dan faktor lingkungan. Syarief dan Halid 1993 mengemukakan beberapa faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba antara lain zat gizi, suhu, kelembaban relatif atau a w , pH, kondisi atmosfer, faktor kimia dan penyinaran. Zat gizi dasar yang dibutuhkan mikroba untuk tumbuh adalah karbon, nitrogen, hidrogen, oksigen, dan mineral Syarief dan Halid 1993. Semua bakteri yang tumbuh pada makanan bersifat heterotropik, yaitu membutuhkan zat organik untuk pertumbuhannya. Metabolisme bakteri heterotropik menggunakan protein, karbohidrat, lemak dan komponen makanan lainnya sebagai sumber karbon dan energi untuk pertumbuhannya. Kadar protein produk tumpi tuna diduga mampu menyediakan kebutuhan nitrogen untuk pertumbuhan bakteri karena protein pada penyimpanan suhu ruang dapat terurai oleh enzim proteinase menjadi asam-asam amino. Kadar lemak dan karbohidrat produk ini juga diperkirakan ikut menyediakan kebutuhan karbon bagi pertumbuhan mikroba. Faktor lingkungan yang mendukung pertumbuhan bakteri dalam produk ini adalah aktifitas air a w dan suhu penyimpanan. Bakteri menyenangi keadaan basah bahkan hidup di dalam air. Bakteri tidak dapat hidup subur dalam kondisi tertutup karena udara yang dibutuhkan tidak mencukupi Melliawati 2009. Air produk tumpi tuna digunakan oleh bakteri untuk mengangkut zat-zat makanan atau bahan-bahan limbah ke dalam dan keluar sel untuk mendukung pertumbuhan dan metabolismenya. Air juga menjadi sumber oksigen untuk pertumbuhan bakteri. Bakteri dalam bahan pangan tumbuh dengan cara pembelahan biner, dimana satu sel membelah menjadi dua sel. Sementara itu, jika mikroba sudah tumbuh dan aktif, maka kebutuhannya terhadap air akan terus tersedia yang diperoleh dari hasil akhir respirasi, terutama kelompok bakteri yang berperan dalam respirasi aerob Priani 2003. Jika kebutuhan a w ini cukup, maka perkembangan mikroba akan terus meningkat. Setiap bakteri memiliki temperatur optimal dimana mereka dapat tumbuh sangat cepat dan memiliki rentang temperatur dimana mereka dapat tumbuh. Suhu ruang yang menjadi suhu penyimpanan diduga juga ikut mendukung pertumbuhan dan perkembangan bakteri, terutama bakteri mesofilik yang bisa tumbuh pada suhu antara 10-45 o C dengan suhu optimum antara 20-40 o C Muchtadi dan Ayustaningwarno 2010. Kelompok bakteri yang bisa tumbuh pada suhu tersebut, yaitu Bacillus dan Clostridium terutama spesies yang bersifat proteolitik atau mampu memproduksi enzim hidrolisis bagi protein, karbohidrat dan lemak. Hasil analisis ALT produk tumpi tuna pada pengamatan hari terakhir atau penyimpanan hari ke-4 memiliki jumlah koloni 4,3x10 3 cfug. Hasil ini masih dibawah batas maksimum cemaran mikroba pada produk perikanan yang ditetapkan oleh NHPD Natural Health Products Directorate, yakni 1x10 5 cfug NHPD 2007. Pertumbuhan bakteri pada produk ini diduga terhambat oleh penggunaan bumbu. Bawang merah mengandung quercetin Ren et al. 2003. Quercetin merupakan salah satu jenis senyawa flavonoid, memiliki sifat inhibitor terhadap enzim α-amilase yang berfungsi dalam pemecahan karbohidrat terutama pati yang bisa menyediakan kebutuhan karbon bagi bakteri Jalal et al. 2007; Sales et al. 2012. Ekstrak bawang merah juga memiliki efek bakterisidal terhadap Staphylococcus aureus dan Shigella dysentriae. Ekstrak rimpang lengkuas mengandung zat-zat yang dapat menghambat enzim oksidase sehingga ketersediaan zat gizi bakteri dapat terhambat sebagaimana hasil penelitian Parwata dan Dewi 2004 yang melaporkan bahwa aktivitas minyak atsiri yang terkandung dalam ekstrak rimpang lengkuas dapat menghambat pertumbuhan bakteri E. coli dan S. aureus. Minyak astiri yang terkandung dalam daun serei juga dapat membentuk zona hambat terhadap pertumbuhan bakteri Poeloengan 2009. Bakteri Pseudomonas cocovenenans yang biasa tumbu pada tempe bongkrek dan produk-produk makanan berbahan baku kelapa parut dengan memproduksi senyawa asam bongkrek dan toksoflavin diduga tidak tumbuh pada tumpi tuna selama penyimpanan. Dugaan tersebut berdasarkan cara pengolahan, bahan penyusun, jenis, dan konsentrasi lemak produk tumpi tuna. Produk tumpi tuna merupakan produk berbahan baku kelapa yang diolah dengan proses penggorengan, sedangkan bakteri Pseudomonas cocovenenans tumbuh dan berkembang pada produk-produk pangan berbahan baku kelapa parut yang diolah secara fermentasi, misalnya tempe bongkrek. Jadi, produk tumpi tuna diduga tidak mengandung asam bongkrek walaupun terbuat dari bahan baku kelapa karena produk ini diolah dengan suhu panas penggorengan. Bakteri Pseudomonas cocovenenans timbul karena proses fermentasi yang tidak sempurna menghasilkan enzim tertentu yang bisa memecah sisa minyak kelapa dalam tempe bongkrek. Proses tersebut menghasilkan asam lemak dan gliserol. Selanjutnya, asam lemak akan mengalami pemecahan yang membentuk asam bongkrek dan sebagian toksoflavin Garcia et al. 1999. Pertumbuhan bakteri Pseudomonas cocovenenans terhambat oleh substrat yang berkadar garam. Penambahan garam dalam bentuk bumbu pada pembuatan tumpi tuna diduga bisa menjadi inhibitor dalam pertumbuhan bakteri ini. Buckle dan Kartadarma 1990 dan Winarno et al. 1984 melaporkan bahwa penambahan NaCl sebesar 1,5-2,0 pada bahan baku bisa menekan akumulasi asam bongkrek pada tempe bongkrek. NaCl juga menetralkan pengaruh inhibitor bakteri Pseudomonas cocovenenans terhadap pertumbuhan Rhizopus oligosporus. Bakteri Pseudomonas cocovenenans memproduksi racun asam bongkerek pada produk pangan yang mengandung lemak dari kelapa parut dengan konsentrasi di atas 20 Garcia et al. 1999, sedangkan produk tumpi tuna hanya mengandung lemak kurang dari 20. Sumber lemak produk ini diduga berasal dari kelapa, ikan tuna, dan minyak goreng. Lebih lanjut, Garcia et al. 1999 melaporkan bahwa bakteri Pseudomonas cocovenenans hanya memproduksi racun toksoflavin pada pangan berlemak di bawah 20, namun demikian, indikasi adanya racun ini tidak terlihat pada produk tumpi selama penyimpanan, yaitu berwarna kuning. 2 Analisis kapang Kapang merupakan jasad renik multiseluler, berupa benang-benang halus yang disebut hifa. Setiap hifa dapat terdiri dari satu sel hifa aseptat atau berbagai sel. Jarak antara sel dalam suatu hifa dibatasi oleh dinding pemisah yang disebut septa. Kumpulan dari hifa-hifa disebut dengan miselium SNI 01-2332.7 2006. Pertumbuhan kapang adalah pertambahan jumlah hifa diikuti perpanjangan ukuran apikal dan pembentukan cabang interkalor, setiap hifa akan tumbuh bersama-sama membentuk suatu lempengan atau miselium di permukaan makanan basi, misalnya roti dan nasi basi. Hifa yang membentuk miselium tersebut sebagian menyerap nutrisi dari makanan dan sebagian lagi memproduksi alat reproduksi berupa spora Harris 2008. Spora yang dihasilkan oleh hifa menyebabkan warna miselium berbeda-beda tergantung dari jenis kapang yang dihasilkan. Pertumbuhan kapang pada makanan mudah dilihat karena penampakannya yang berserabut seperti kapas. Tabel 16 menunjukkan bahwa jumlah koloni produk tumpi tuna selama penyimpanan suhu ruang masih di bawah 10 cfug pada hari ke-2 dan berkisar 5,5x10 5 cfug pada hari ke-4 atau hari terakhir penyimpanan. Hasil analisis ragam Lampiran 16 menunjukkan bahwa waktu penyimpanan suhu ruang berpengaruh nyata terhadap jumlah koloni produk tumpi tuna. Hasil uji lanjut Duncan Lampiran 17 menunjukkan bahwa penyimpanan hari ke-4 berbeda nyata dengan penyimpanan hari ke-2 dan hari ke-3. Pertumbuhan kapang selama penyimpanan juga diduga karena nutrisi sebagai sumber energi dan a w untuk memperlacar metabolisme cukup tersedia dalam produk tumpi tuna itu sendiri, ditambah suhu lingkungan penyimpanan yang merupakan suhu optimum dari kebanyakan kapang mesofilik yang mempunyai suhu optimum pertumbuhan sekitar 25-30 o C Muchtadi dan Ayustaningwarno 2010. Nutrisi yang dapat dimanfaatkan oleh kapang harus dalam bentuk absorbtif atau siap diserap. Jika proses pengolahan suatu produk tidak menyebabkan zat- zat yang dibutuhkan, kapang harus meguraikan terlebih dulu bahan-bahan tersebut dengan menggunakan enzim dalam tubuhnya sebelum diserap. Sumber karbon dan energi kapang pada produk tumpi tuna diduga diperoleh dari pati yang berasal dari bahan pengikat tapioka dan kelapa parut dalam bentuk glukosa, sukrosa, maltose, dan selulosa. Sumber nitrogen kemungkinan dipenuhi oleh asam-asam amino daging ikan. Nitrogen yang paling sering digunakan adalah pepton atau asam amino, misalnya asam glutamat atau suatu amida, contoh asparagin. Kebutuhan mineral, potassium, fosfor dalam bentuk fosfat, magnesium, dan sulfur dalam bentuk sulfat diperkirakan dipenuhi dari semua bahan penyusun. Hasil analisis kapang produk tumpi tuna pada pengamatan hari terakhir atau penyimpanan hari ke-4 sebesar 5,5x0 5 cfug. Hasil ini berada di atas batas maksimum kandungan kapang pada produk perikanan yang ditetapkan oleh NHPD, yakni 1x10 4 cfug NHPD 2007. Produk ini sudah tidak aman dikonsumsi pada hari ke-4 atau hanya aman dikonsumsi pada penyimpanan hari ke-3 penyimpanan suhu ruang bila dinilai dari tingkat kandungan kapang. Produk tumpi tuna yang telah ditumbuhi kapang atau yang telah disimpan selama 4 hari pada penyimpanan suhu ruang disajikan pada Gambar 15. Gambar 15 Produk tumpi tuna pada penyimpanan hari ke-4 telah ditumbuhi kapang. Penggunaan bumbu pada produk ini hanya mampu menghambat pertumbuhan kapang pada penyimpanan hari ke-4. Senyawa alkaloid, flavonoid, saponin, triterpenoid, tanin, minyak atsiri, dan alisin dari Alpinia galanga yang menjadi senyawa fungistatik tidak mampu menghambat pertumbuhan kapang pada penyimpanan hari ke-4 Kusumaningtyas et al. 2008; Putri et al. 2003. Hal ini diduga karena senyawa-senyawa tersebut bersifat labil sehingga mudah mengalami perubahan menjadi senyawa lain. Senyawa-senyawa inhibitor pada rimpang lengkuas dan bahan penyusun lainnya juga tidak mampu lagi menghambat aktifitas enzim α-amilase, peroksidase, dan oksidase dalam menyediakan kebutuhan energi pada kapang di penyimpanan hari ke-4. Gambar 15 memperlihatkan adanya bintik-bintik putih, spora putih, dan spora hijau kebiruan yang tumbuh di bagian permukaan produk tumpi tuna pada penyimpanan hari ke-4. Warna spora tersebut menunjukkan tanda-tanda visual dari jenis kapang yang tumbuh pada produk tumpi. Rahayu dan Nurwitri 2012 menjelaskan bahwa spora kapang dengan bintik-bintik putih atau warna putih pada daging adalah Sporotrichum carnis dan Geotrichum, spora kapang yang warna hijau, yaitu Penicillium expansum, P. asperulum dan P. oxalicum. Syarief dan Halid 1993 mengemukakan bahwa kapang Aspergillus candidus menimbulkan warna putih, Aspergillus dan Penicillium menimbulkan bintik- bintik hijau kebiruan pada pangan selama penyimpanan. Kasno 2004 juga melaporkan adanya koloni Aspergillus flavus pada beberapa jenis kacang tanah menimbulkan warna kehijauan dan Penicillium sp. Menimbulkan warna putih. Spora putih Spora hijau kebiruan Bintik-bintik putih Misellium yang tumbuh di permukaan produk juga menjadi petunjuk bahwa racun asam bongkrek yang merupakan produk dari bakteri Pseudomonas cocovenenans tidak terdapat pada produk tumpi tuna. Buckle dan Kartadarma 1990 dan Winarno et al. 1984 melaporkan bahwa keberadaan asam bongkrek menyebabkan kapang tidak bisa tumbuh dengan baik sehingga miselium kapang di permukaan tempe bongkrek yang dicurigai mengandung asam bongkrek terlihat tipis. Garcia et al. 1999 menjelaskan bahwa jika tempe bongkrek sudah berwarna kekuningan, kondisi tersebut mengindikasikan bahwa tempe bongkrek sudah ditumbuhi bakteri Pseudomonas cocovenenans yang akan memproduksi toksoflavin dan asam bongkrek. 4.3.4.3. Kimia Mutu kimia yang dianalisis pada penelitian ini, meliputi kadar histamin, bilangan peroksida, dan proksimat. Tujuan analisis kimia adalah menentukan tingkat kemunduran mutu produk tumpi tuna berdasarkan kadar histamin, bilangan peroksida, dan proksimat. 1 Analisis histamin Histamin adalah salah satu senyawa dari group amina biogenik. Amina biogenik adalah komponen biologis aktif yang dihasilkan oleh proses dekarboksilasi asam amino bebas yang terdapat pada beberapa bahan pangan, misalnya daging dan ikan, termasuk produk olahan daging dan ikan. Ikan Scombroid, contoh tuna, bonito, dan mackerel merupakan jenis ikan yang biasa mengadung histamin Silva et al. 2010. Histamin bisa digunakan sebagai indikator kemunduran mutu produk tumpi tuna karena bahan penyusun utama produk ini adalah daging ikan tuna. Semakin tinggi kandungan histamin, semakin rusak produk tersebut. Hasil analisis kadar histamin produk tumpi tuna selama penyimpana suhu ruang tidak terdeteksi sampai hari terakhir hari ke-4. Hal ini diduga karena faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan senyawa amina biogenik ini belum cukup tersedia selama penyimpanan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan histamin antara lain, asam amino bebas, keberadaan enzim dekarboksilase yang terkandung dalam mikroba, kondisi waktu dan suhu yang mendukung pertumbuhan mikroba, dan aktivitas enzim Silva et al. 2010. Jenis asam amino yang menjadi prekursor pembentukan histamin adalah histidin Emborg et al. 2005. Ada dua jenis histidin, yaitu histidin terikat dalam protein dan histidin bebas. Histidin bebas dihasilkan dari degradasi protein pada saat produk mengalami proses pembusukan, histidin bebas inilah yang menjadi histamin melalui proses dekarboksilasi. Stratta dan Bandino 2012 melaporkan bahwa histamin dihasilkan dari dekarboksilasi histidin oleh enzim yang diproduksi oleh bakteri gram negatif, misalnya Morganella morganii, Escherichia coli, Klebsiella species¸dan Pseudomonas aeruginosa. Jumlah histamin yang terkandung pada suatu produk dipengaruhi oleh jumlah bakteri yang dapat tumbuh dalam produk tersebut. Kandungan histamin tidak terdeteksi pada produk tumpi tuna selama penyimpanan karena kandungan bakteri juga masih sedikit. Pertumbuhan bakteri pembentuk histamin diduga terhambat oleh penggunaan garam dan bumbu, walaupun kondisi suhu penyimpanan mendukung. Daging ikan tuna yang digunakan dalam produk tumpi mengandung histamin sebesar 2,74 mg100 g, sedangkan pada produk akhir tidak terdeteksi adanya kadar histamin sampai pada penyimpanan hari ke-4. Hal ini diduga karena penggunaan bumbu. Bumbu berfungsi sebagai penyedap rasa dan antimikroba pada produk pangan. Penyedap rasa berperan sebagai flavor enhancer, flavor potentiator, dan flavor intensifier, yaitu memberi dan meningkatkan rasa enak serta menekan rasa yang tidak diinginkan menjadi enak, termasuk menekan rasa pahit menjadi enak, manis, asin, asam, dan gurih atau kombinasi semuanya Winarno 2008. Tsai et al. 2007 melaporkan bahwa penambahan garam dapat menurunkan jumlah histamin pada produk douchi produk tradisional Cina. Quercetin, eugenol, dan minyak esensial yang terkandung dalam bumbu diduga berperan dalam menghambat aktifitas enzim histidin dekarboksilase. Nitta et al. 2009 melaporkan bahwa senyawa quercetin, eugenol, dan glikosida galloyl yang diekstrak dari Pimenta dioica Jamaica pepper memiliki efek inhibitor yang tinggi terhadap enzim histidin dekarboksilase. Perlakuan pemansan yang dilakukan terhadap daging ikan tuna sebelum ikan diolah dan selama pengolahan produk diduga hanya menginaktifkan dan membunuh mikroba yang memproduksi enzim dekarboksilase serta mendegradasi histidin Promeyrat et al. 2010, akan tetapi tidak mengurangi atau menghilangkan histamin karena kebanyakan penelitian melaporkan bahwa histamin tahan terhadap suhu tinggi. Pemanggangan daging ikan tuna sebelum diolah menjadi produk tumpi bertujuan untuk pemasakan daging dan pengurangan kandungan air. Proses pemanggangan juga diduga mampu menginaktifkan dan membunuh mikroba yang memproduksi enzim histidin dekarboksilase. Pemanggangan ini juga diduga menyebabkan asam amino histidin terdegradasi sehingga jumlahnya berkurang Promeyrat et al. 2010. Proses pengolahan produk dengan penggorengan mengakibatkan terjadinya reaksi maillard, yaitu rekasi antara asam amino dengan gula reduksi. Reaksi ini mengakibatkan asam-asam amino berkurang terutama yang tidak stabil terhadap panas termasuk asam amino histidin Fayle dan Gerrard 2002. Penggorengan menyebabkan terjadinya pemanasan terhadap produk yang digoreng. Pemanasan suhu tinggi akan memberikan efek destruksi panas yang mampu membunuh mikroba dan menginaktifasi enzim yang terdapat dalam pangan gorengan Muchtadi dan Ayustaningwarno 2010. 2 Analisis bilangan peroksida Bilangan peroksida adalah jumlah meq peroksida dalam setiap 1000 g atau 1 kg minyak atau lemak. Bilangan peroksida sering digunakan untuk mengukur perkembangan oksidasi dalam produk pangan yang mengandung lemak. Pak 2005 melaporkan bahwa oksidasi utama minyak ditentukan dengan mengukur nilai peroksida. Keberadaan bilangan peroksida merupakan suatu tanda yang menunjukkan bahwa telah terjadi pemecahan atau kerusakan minyak pada bahan pangan akibat oksidasi. Semakin tinggi bilangan peroksida, semakin tinggi tingkat kerusakan suatu minyak, semakin menurun mutu produk bersangkutan. Hasil analisis bilangan peroksida menunjukkan bahwa sampai pada akhir pengamatan hari ke-4 masih terjadi peningkatan, hal ini berarti proses oksidasi lemak tahap awal masih berlangsung, pada oksidasi tahap awal ini hanya memproduksi angka peroksida dan tidak menimbulkan perubahan bau. Miller 2010 melaporkan bahwa produk berminyak dengan tingkat bilangan peroksida tertentu masih belum berbau jika oksidasi sekunder belum dimulai. Jika oksidasi berlanjut, oksidasi primer perlahan turun diikuti oleh berkurangnya bilangan peroksida karena mengalami dekomposisi menghasilkan komponen volatil, misalnya hidrokarbon, alkohol, keton, dan aldehid serta bau tengik yang tajam Zamora dan Hidalgo 2005; Karakaya dan Simsek 2011. Hasil analisis bilangan peroksida produk tumpi tuna selama penyimpanan suhu ruang disajikan pada Gambar 16. Gambar 16 Bilangan peroksida produk tumpi tuna selama penyimpanan suhu ruang. Gambar 16 menunjukkan bahwa bilangan peroksida produk tumpi tuna mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan lama waktu penyimpanan. Angka peroksida meningkat dari sekitar 0,85 meqkg pada hari ke-2 menjadi 1,16 meqkg pada penyimpanan hari ke-3, dan melonjak tanjam pada hari ke-4 menjadi 2,36 mEqkg. Hasil uji sidik ragam Lampiran 18 menunjukkan bahwa waktu penyimpanan suhu ruang berpengaruh nyata terhadap bilangan peroksida produk tumpi tuna. Hasil uji lanjut Duncan Lampiran 19 menunjukkan bahwa penyimpanan hari ke-4 berbeda nyata dengan penyimpanan hari ke-2 dan ke-3. Peningkatan bilangan peroksida pada hari ke-4 diduga disebabkan oleh kontaminasi produk dengan udara yang tersedia di sekitar tempat penyimpanan sehingga laju oksidasi lemak meningkat. Daging ikan yang digunakan merupakan sumber asam lemak tidak jenuh jamak, sedangkan kelapa parut menjadi sumber asam lemak tidak jenuh tunggal. Kedua jenis asam lemak tersebut diduga terdapat dalam jumlah yang cukup tinggi pada produk tumpi tuna. Kondisi pengemasan yang tidak tertutup rapat saat penyimpanan menyebabkan produk kontak langsung dengan udara atau oksigen, sehingga terjadi reaksi oksidasi. O’Brien 2009 menjelaskan bahwa pada reaksi oksidasi, oksigen bereaksi dengan asam-asam lemak tidak jenuh, terutama dengan ikatan 0,85 a 1,16 a 2,36 b 1 2 3 2 3 4 B il an ga n pe ro ks ida m E q kg Penyimpanan hari ke- rangkap menghasilkan peroksida atau bilangan peroksida. Bilangan peroksida akan terus meningkat sampai mencapai jumlah maksimum seiring meningkatnya reaksi oksidasi Gheisari 2011, namun demikian, bilangan peroksida yang terkandung dalam produk ini pada hari ke-4 masih di bawah ambang batas maksimum yang dipersyaratkan NHPD pada produk-produk perikanan, yakni maksimal 5 mEqkg NHPD 2007. 3 Analisis proksimat Analisis proksimat dilakukan untuk mengidentifikasi kadar air, protein, lemak, karbohidrat, dan abu produk tumpi tuna selama penyimpanan suhu ruang. Komposisi kimia suatu produk pangan dapat mengalami perubahan karena proses pengolahan dan penyimpanan. Perubahan kimia tersebut mengakibatkan hilangnya nilai gizi produk Murniece et al. 2011. Hasil analisis kadar proksimat produk tumpi tuna pada penyimpanan hari ke-3 atau hari penyimpanan saat produk masih aman dikonsumsi secara mikrobiologi disajikan pada Tabel 17. Table 17 Hasil analisis proksimat tumpi tuna selama penyimpanan suhu ruang Jenis analisis Hari ke- 1 3 Air 42,91±0,46 44,86±0,07 Protein 29,72±0,40 28,31±0,09 Lemak 13,79±0,12 11,46±0,36 Karbohidrat 11,46±0,77 9,80±0,00 Abu 2,13±0,11 2,71±0,03 a Kadar air Kadar air produk pangan merupakan faktor utama yang menentukan daya simpan produk tersebut. Kadar air yang tinggi merupakan kondisi yang mempercepat laju kerusakan produk pangan karena terjadi proses metabolisme. Mazumder et al. 2007 melaporkan bahwa peranan kadar air suatu makanan sangat penting karena langsung berhubungan dengan tekstur produk, terutama jenis makanan yang menjadikan kerenyahan sebagai kualitas utama. Roca et al. 2008 melaporkan bahwa migrasi dan perubahan kadar air dalam bahan pangan berpengaruh terhadap daya simpan, mutu sensori, kimia, dan mikrobiologi suatu produk. Migrasi dan perubahan kadar air suatu produk dapat terjadi selama proses penyimpanan berlangsung. Tabel 17 menunjukkan bahwa kadar air produk tumpi tuna pada penyimpanan hari ke-3 lebih besar daripada kadar air awal sebelum disimpan. Hal ini diduga disebabkan terjadinya penyerapan air selama penyimpanan. Murniece 2011 juga melaporkan bahwa kadar air kentang goreng dan kentang panggang mengalami peningkatan selama penyimpanan. Al-Abdulkarim et al. 2012 melaporkan bahwa peningkatan kadar air susu kering setelah disimpan dipengaruhi oleh kondisi atmosfir di sekitar penyimpanan karena kondisi atmosfir ruang penyimpanan lebih tinggi dari produk. Labuza dan Hyman 1998 dan Kim et al. 1998 melaporkan bahwa penyerapan air oleh produk terjadi karena perbedaan kandungan uap air udara dengan uap air produk. Kandungan uap air udara produk tumpi tuna selama penyimpanan suhu ruang lebih tinggi daripada kandungan uap air produk. Syarief dan Halid 1993 menjelaskan bahwa kadar air dalam produk pangan mengalami perubahan karena perbedaan kelembaban dengan lingkungan. Jika kadar air produk lebih rendah daripada tingkat keseimbangannya dengan kelembaban relatif, produk akan mengabsorbsi uap air dari udara sekitarnya, sebaliknya akan terjadi proses desorpsi jika kadar air produk lebih tinggi dari tingkat kelembaban relatifnya sehingga uap air akan bergerak dari produk ke udara sekitarnya. Kondisi seperti ini akan terus berlangsung sampai mencapai titik kesetimbangan. b Kadar protein Protein merupakan zat gizi dalam bahan pangan yang sangat penting karena berkaitan erat dengan proses-proses kehidupan. Semua hayat hidup berhubungan dengan zat gizi protein termasuk mikroorganisme Sediaoetama 2008. Kadar protein produk pangan dipengaruhi oleh sumber bahan baku, proses pengolahan, dan penyimpanan. Pengolahan dan penyimpanan dapat menyebabkan protein terdenaturasi, yaitu terjadinya modifikasi struktur sekunder, tersier, dan kuarter tanpa menyebabkan pemutusan ikatan peptida. Kadar protein produk tumpi tuna pada penyimpanan hari ke-3 disajikan dalam Tabel 17. Tabel 17 menunjukkan bahwa kadar protein produk tumpi pada penyimpanan hari ke-3 lebih rendah dari kadar protein produk sebelum disimpan. Hal ini diduga karena protein sudah terdenaturasi dan akibat bertambahnya kadar air. Penurunan kadar protein produk tumpi pada penyimpanan hari ke-3 diduga karena proses proteolitk, yaitu pemecahan protein menjadi asam-asam amino oleh enzim-enzim protease, baik yang terdapat secara alami pada bahan baku maupun yang diproduksi oleh mikroba. c Kadar lemak Lemak dalam bahan pangan merupakan sumber energi yang lebih efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein. Satu gram lemak dapat menghasilkan 9 kkal. Lemak nabati mengandung asam-asam esensial, misalnya linoleat, lenolenat, dan arakhidonat Winarno 2008, sedangkan lemak hewani memiliki asam-asam lemak berantai panjang yang mudah mengalami kerusakan dalam pengolahan dan penyimpanan. Produk tumpi tuna diduga mengandung lemak nabati dan juga hewani sehingga mengalami banyak perubahan setelah pengolahan dan penyimpanan. Kadar lemak produk tumpi tuna pada penyimpanan hari ke-3 disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 menunjukkan bahwa kadar lemak produk tumpi tuna pada penyimpanan hari ke-3 lebih kecil daripada kadar lemak produk sebelum disimpan. Hal ini diduga karena mengalami proses oksidasi. Oksidasi merupakan proses biokimia yang terjadi akibat produk pangan bersentuhan langsung dengan udara Zamora dan Hidalgo 2005. Oksidasi mengakibatkan kerusakan lemak suatu produk, terutama asam lemak tak jenuh ganda. Oksidasi lemak juga berpengaruh terhadap rusaknya tekstur, rasa dan warna produk Abreu et al. 2011. Miller 2010 melaporkan bahwa reaksi oksidasi awal menghasilkan peroksida, dienes, dan asam lemak bebas, tapi belum menyebabkan perubahan bau. Reaksi oksidasi sekunder menghasilkan karbonil, aldehid, trienes, dan menimbulkan bau yang tajam. Kadar lemak produk pada penyimpanan hari ke-3 juga dipengaruhi oleh mulainya tumbuh bakteri yang memproduksi enzim lipolitik atau enzim penghidrolisis lemak, misalnya enzim lipase dan phospolipase. Aktifitas enzim tersebut menyebabkan kerusakan lemak dengan membentuk sejumlah asam lemak bebas Quitral et al. 2009. Pemanfaatan unsur karbon dari lemak oleh mikroorganisme juga diduga berpengaruh terhadap kadar lemak produk selama penyimpanan. d Kadar karbohidrat Karbohidrat dalam bahan pangan merupakan sumber kalori utama bagi mahluk hidup. Karbohidrat memiliki peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, misalnya warna, rasa, tekstur, dan aroma. Kadar karbohidrat dalam bahan makanan dapat mengalami perubahan akibat pengolahan dan penyimpanan. Kadar karbohidrat produk tumpi tuna pada penyimpanan hari ke -3 disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 menunjukkan bahwa kadar karbohidrat produk pada penyimpanan hari ke-3 lebih kecil daripada sebelum disimpan. Penurunan kadar karbohidrat setelah disimpan diduga akibat dimanfaatkan oleh mikroorganisme sebagai sumber karbon, terutama oleh kapang. Syarief dan Halid 1993 menjelaskan bahwa kapang banyak tumbuh dan menyebabkan kerusakan karbohidrat pada produk pangan, bakteri tumbuh pada protein pangan dan khamir pada pangan yang bergula. Al-Abdulkarim et al. 2012 melaporkan bahwa berkurangnya kadar karbohidrat susu kering setelah penyimpanan disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme yang menggunakan glukosa sebagai sumber energi. Mikroorganisme membutuhkan sekitar 80 carbon sebagai sumber energi yang diperoleh dari karbohidrat dalam bentuk yang lebih sederhana, misalnya glukosa, galaktosa, laktosa, manosa, selulosa, lignin, dan sebagainya. Lemak juga biasa dijadikan sebagai sumber energi oleh mikroorganisme. Penurunan kadar karbohidrat produk selama penyimpanan juga diduga dipengaruhi oleh metode analisis yang digunakan, yaitu analisis proksimat atau hitungan kasar atau biasa disebut carbohydrate by difference. Metode ini merupakan suatu analisis dimana kandungan karbohidrat termasuk serat kasar diketahui bukan melalui analis, tapi melalui rumus matematika, yaitu 100 dikurangi jumlah protein, lemak, air, dan abu sehingga perubahan kadar kimia tertentu bisa menyebabkan kadar karbohidrat ikut berubah Winarno 2008; FAO 2003. e Kadar abu Kadar abu menggambarkan banyaknya mineral yang tidak terbakar menjadi zat yang menguap. Kadar abu produk pangan dapat mengalami perubahan selama penyimpanan karena adanya interaksi dengan komponen lainnya. Kadar abu produk tumpi tuna pada penyimpanan hari ke-3 disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 menunjukkan bahwa kadar abu produk tumpi tuna pada hari ke-3 lebih tinggi daripada kadar abu produk sebelum disimpan. Hal ini diduga dipengaruhi oleh tingginya kadar protein pada penyimpanan hari yang sama. Santoso et al. 2006 melaporkan bahwa bentuk kimia mineral dalam pangan dapat mengalami perubahan bila berinteraksi dengan komponen kimia lainnya. Bahan pangan yang mengandung protein tinggi dapat berinteraksi dengan mineral, namun jika protein mengalami denaturasi maka interaksi antara keduanya tidak terjadi. Penambahan bumbu yang mengandung garam juga diduga menyebabkan tingginya kadar abu pada penyimpanan hari ke-3. Purwaningsih et al. 2011 melaporkan bahwa perebusan dengan garam menyebabkan penetrasi garam ke dalam daging keong sehingga dapat meningkatkan kadar natrium dalam daging keong. Andarwulan et al. 2011 melaporkan bahwa adanya garam menyebabkan muatan listrik dari protein diikat oleh Na + dan Cl - yang menyebabkan ineraksi antara protein dengan protein menurun, tapi interaksi antara protein dengan komponen lainnya meningkat.

5. SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Produk tumpi yang terbuat dari ikan tuna panggang dan parutan kelapa setengah tua tidak diperas dengan lama penggorengan 60-100 detik memiliki penerimaan sensori paling baik. Produk tumpi tuna hasil reformulasi bahan penyusun yang memiliki tingkat penerimaan sensori paling baik adalah produk D, yaitu produk dengan komposisi bahan penyusun 65 ikan, 15 kelapa, 5 tapioka dan 15 bumbu. Produk tumpi tuna D dengan serving size 65 gram dapat memenuhi kebutuhan protein, lemak, dan karbohidrat harian orang dewasa berturut-turut 33, 15, dan 2 serta total energi 9. Produk ini memiliki daya simpan 3 hari pada suhu ruang berdasarkan mutu sensori dan mikrobiologi.

5.2. Saran

Penelitian lanjutan yang mengkaji karakteristik kimia, sensori, dan mikrobiologi produk tumpi pada penyimpanan suhu dingin dan beku penting dilakukan. Begitu juga dengan analisis kualitatif terhadap mutu mikrobilogi selama penyimpanan. DAFTAR PUSTAKA Aberoumad A, Pourshafi K. 2010. Chemical and proximate composition properties of different fish species obatained from Iran. Word Journal of Fish and Marine Science. 23: 237-239. Abreu DAP, Losada PP, Maroto J, Cruz JM. 2011. Lipid damage during frozen storage of Atlantic halibut Hippoglossus hippoglossus in active packaging film containing antioxidants. Food Chemistry. 1261: 315-320. Ackman RG. 1994. Seafood lipids. Di dalam: Shahidi F, Botta JR, editor: Seafoods Chemistry, Processing Tchnology and Quality. Ed 1. Bury st Edmuns Suffolk: st Edmunsbury Press. hml 34-48. Aksa S. 25 Agustus 2012. PSBM akan Menasionalkan Makanan Khas Sulsel. Antara News Sulawesi Selatan dan Barat. http:www.antara-sulawesi selatan.comberita41400psbm-akan-menasionalkan-makanan-khas-ulsel. [26 Sep 2012]. Akumi S, 1992. Pengaruh penambahan BHT Butylated Hydroxytoluene dan umur berbagai kultivar kelapa terhadap karakteristik mutu kelapa parut kering Desiccated coconut yang dihasilkan [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Al-Abdulkarim BO, Osman MS, El-Nadeef MAI. 2012. Determination of chemical composition, and storage on dried fermented goat milk product Oggtt. Journal of the Saudi Society of Agricultural Sciences. In Press. www.ksu.edu.sa. dan www.sciencedirect.com. [1 Apr 2013]. Almli VL, Verbeke W, Vanhonacker F, Næs T, Hersleth M. 2011. General image and attribute perceptions of traditional food in six European countries. Food Quality and Preference. 22: 129 –138. AOAC, 1995. Official methods of analysis of the association of official analytical Chemists. AOAC Inc., Benjamin Franklin Station.Washington. DC. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budiyanto S, 1989. Analisis Pangan. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Andarwulan N, Kusnandar F, Herawati D. 2011. Analisis Pangan. Jakarta: Dian Rakyat. Ariestiani. 2011 Sep 15. Cegah tumur dengan lengkuas. Radar Bandung.13 kolom 3. Arismunandar NE. 28 Sept 2010. 100 Jenis Makanan di Festival Kuliner Sulawesi Selatan. Tempo.co. http:www.tempo.coreadnews201008 01 176267943100-Jenis-Makanan-di-Festival-Kuliner-Sulawesi-selatan. [1 Agus 2010]. 112 Bahar B. 2004. Panduan Praktis Memilih dan Menangani Produk Perikanan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. [BALITTRO] Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. 2010. Penggunaan minyak serai wangi sebagai bahan bio-aditif bahan bakar minyak. Sinar Tani Edisi 24 November 2010. http:pustaka.litbang.deptan.go.idi novasi kl10114.pdf. [diakses 1 Mei 2012]. Banda ND, Husken SMC, Kaunda W. 2009. The impact of nutrition and fish supplementation on the response to anti retroviral therapy, Zambia. Regional Programme Fisheries and HIVAIDS in Africa: Investing in Sustainable Solutions. The World Fish Center. www. worldfishcenter.org. Barlina R. 1999. Pengembangan berbagai produk pangan dari daging buah kelapa hibrida. Indonesian Agricultural Research and Development Journal. 184: 143-149. Barlina R. 2004. Potensi buah kelapa muda untuk kesehatan dan pengolahannya. Perspektif. 32: 46 –60. Bastos DM, Monaro E, Siguemoto E, Sefora M.2012. Maillard Reaction Products in Processed Food: Pros and Cons. Valdez B, editor. Food Industrial Processes - Methods and Equipment. Eourope, China: InTech. http:www. intechopen.combooksfood-industrial-processes-methods-and-equipment maillard-reactionproducts- in-processed-food-pros-and-cons. [17 Jan 2013]. Bouchon P, Aguilera JM, Pyle DL. 2003. Structure oil-absorption relationships during deep- fat frying. Journal of Food Science. 68: 2711-2716. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2005. Pedoman pelabelan produk pangan. http:www.bps.go.id. [17 Des 2012]. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2011. Peraturan kepala badan pengawas obat dan makanan republik indonesia nomor HK.03.1.23.11.11.09909 tentang pengawasan klaim dalam label dan iklan pangan olahan. http:members.wto.orgcrnattachments2012tbtIDN 12_1795_00_x.pdf. [17 Des 2012]. Buckle KA, Kartadarma EK. 1990. Inhibition of bongkrek acid and toxoflavin production in tempe bongkrek containing Pseudomonas cocovenenans. Journal of Applied Bacteriology. 686: 571-6. Budzaki S, Seruga B. 2005. Moisture loss and oil uptake during deep fat frying of krostula dough. European Food Research Technology. 220: 90 –95. Burke AB. 2011. The proximate, fatty acid and mineral composition of the muscle of cultural yellowtail Seriola lalandi at Different Anatomical Locations. Stellenbosch University, South Africa. Cahyadi W. 2008. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Jakarta: Bumi Aksara.