Penelitian Pendahuluan HASIL DAN PEMBAHASAN

produk pangan adalah meningkatkan mutu makan eating quality dan kelezatan palatability terhadap produk secara keseluruhan karena pada saat pemasakan terjadi konversi zat gizi ke dalam bentuk yang lebih sederhana dan dapat dicerna oleh tubuh Pedreschi et al. 2005. Sifat sensori produk, misalnya rasa, aroma, tekstur, dan kenampakan lebih d isukai konsumen O’Brien 2009. Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap kenampakan tumpi ikan tuna, yaitu antara 5,60 sampai 7,32 atau agak suka sampai suka Tabel 6. Nilai kenampakan tertinggi dari tumpi ikan tuna yang diuji dicapai oleh produk I1K2 ikan panggang + kelapa setengah tua, yaitu 7,30 dan terendah dicapai oleh produk I1K1 ikan panggang + kelapa muda, yaitu 5,60. Hasil uji Kruskal-Wallis Lampiran 2 menunjukkan bahwa metode pemasakan ikan dan tingkat umur kelapa berpengaruh nyata terhadap kenampakan produk tumpi tuna. Hasil uji lanjut Dunn Lampiran 3a menunjukkan bahwa produk tumpi I1K2 berbeda nyata dengan produk tumpi lainnya. Hal ini disebabkan produk tumpi I1k2 mempunyai warna lebih menarik, cerah, kelihatan bersih, permukaan yang merata, dan bentuk beraturan sehingga lebih disukai dan diterima oleh panelis. Kenampakan tumpi tuna yang dihasilkan pada penelitian pendahuluan tahap I disajikan pada Gambar 7. Gambar 7 Kenampakan produk tumpi tuna pada penelitian pendahuluan tahap I. Kenampakan tumpi I1K2 yang lebih disukai panelis diduga karena kadar air kelapa setengah tua tidak terlalu tinggi dan tidak mengandung minyak yang banyak sehingga pembentukan kerak pada permukaan produk terjadi dengan cepat dan kapiler-kapiler yang terbentuk tidak besar menghasilkan produk dengan permukaan mulus dan merata Moreno et al. 2010. Kenampakan tersebut juga I1K2 I1K1 I1K3 I2K1 I2K2 I2K3 dipengaruhi oleh pembentukan warna pada produk akibat proses penggorengan. Pemanasan akibat penggorengan menyebabkan terjadinya pencoklatan nonenzimatik, yaitu reaksi maillard dan oksidasi lemak Zamora dan Hidalgo 2005. Reaksi maillard adalah reaksi antara asam amino, peptida atau protein dengan gula tereduksi. Gugus karbonil dari gula reduksi bereaksi dengan gugus nukleofilik group amino dari protein Zamora dan Hidalgo 2005. Gula reduksi merupakan golongan gula dari karbohidrat yang dapat mereduksi senyawa- senyawa penerima elektron. Ujung dari suatu gula reduksi adalah ujung yang mengandung gugus aldehid dan keton bebas. Jenis-jenis gula pereduksi adalah glukosa, fruktosa, dan galaktosa dari monosakarida; laktosa dan maltosa dari kelompok disakarida. Glukosa dan fruktosa banyak terkandung pada kelapa yang mulai mengalami kematangan. Solangi dan Iqbal 2011 melaporkan bahwa pembentukan gula reduksi glukosa dan fruktosa dalam kelapa terjadi pada tahap awal pematangan setengah tua, sedangkan pembentukan gula non reduksi terjadi pada kelapa matang atau kelapa tua. Moyano et al. 2002 menjelaskan bahwa pembentukan warna kuning emas pada kentang goreng prancis disebabkan oleh reaksi maillard yang dipengaruhi oleh kandungan gula pereduksi, suhu, dan lama waktu penggorengan. Pembentukan warna produk gorengan juga dipengaruhi oleh oksidasi lemak. Oksidasi lemak selama proses penggorengan terjadi karena oksigen bebas tersedia cukup banyak di sekitar wadah penggorengan. Oksidasi lemak menghasilkan peroksida-peroksida yang akan terpecah menjadi komponen lipid peroxyl dan hydroxyl radical. Reaksi lebih lanjut menyebabkan komponen lipid peroxyl dan hydroxyl radical ini menghasilkan aldehid dan keton yang akan terkondensasi dan terpolimerisasi menghasilkan warna kuning sampai kuning kecoklatan Zamora dan Hidalgo 2005. Produk sekunder dari reaksi maillard dan oksidasi lemak juga bisa saling mempengaruhi dan saling bereaksi antara satu dengan lainnya dalam membentuk warna kuning kecoklatan pada produk pangan dari lemak dan karbohidrat. Masing-masing reaksi tersebut memiliki komponen utama yang terbentuk pada tahap pertama reaksi, yaitu komponen amadori 1-amino-1-deoxy-2-ketosa dari reaksi maillard dan komponen hidroperoksida dari oksidasi lemak. Kedua komponen ini menghasilkan senyawa glyoxal dan methylglyoxal karena pemanasan akibat penggorengan yang terus berlangsung. Senyawa glyoxal dan methylglyoxal tersebut menimbulkan warna kuning kecoklatan akibat reaksi polimerisasi karbonil amin. Komponen amadori dan peroksida juga menghasilkan komponen volatil dan nonvolatil jika mengalami reaksi lanjutan. Hasil reaksi lanjutan dari komponen volatil dan nonvolatil ini menghasilkan senyawa hidroxyalkylpyrroles yang akan menghasilkan warna kuning kecoklatan bila mengalami reaksi polimerisasi Hidalgo dan Zamora 2000; Zamora dan Hidalgo 2005. Pembentukan kerak pada produk tumpi I1K1 tidak terjadi dengan baik, bahkan yang terjadi adalah terbentuk permukaan yang agak gelap. Warna gelap ini diduga karena kadar air, kadar galaktomanan dan kadar fosfolipida kelapa muda cukup tinggi. Kadar air yang terdapat di bagian permukaan produk menyebabkan terjadinya reaksi hidrolisis terhadap fosfolifida menghasilkan senyawa monogliserida, digliserida, asam lemak bebas dan gliserol Warner 2002. Senyawa-senyawa tersebut bisa mengalami proses kondensasi dan polimerisasi menghasilkan warna gelap. Senyawa galaktomanan merupakan senyawa yang larut sempurna dalam air Barlina 1999. Air yang berikatan dengan senyawa galaktomanan ini susah menguap mengakibatkan kerak tidak terbentuk dengan baik walaupun suhu dan lama waktu penggorengan ditingkatkan. Metode pemasakan ikan juga diduga ikut berpengaruh terhadap kenampakan produk tumpi yang dihasilkan. Daging ikan yang dimasak dengan pemanggangan lebih cerah dan lebih putih daripada daging ikan yang dimasak dengan pengasapan sehingga hampir semua produk tumpi yang terbuat dari ikan asap memiliki kenampakan kusam dan agak coklat dibandingkan dengan produk dari ikan panggang pada tingkat umur kelapa yang sama. Hal tersebut diduga dipengaruhi oleh senyawa-senyawa asap yang masuk ke dalam daging ikan saat proses pengaapan berlangsung Swastawati et al. 2007. 2 Rasa Rasa merupakan faktor penting yang menjadi dasar diambilnya keputusan oleh konsumen terhadap penerimaan suatu produk. Produk pangan yang nilai gizinya tinggi, higienis, warna, dan aromanya baik, tapi memiliki rasa tidak enak, maka nilai gizi itu tidak bisa termanfaatkan karena tidak seorangpun yang akan menkosumsi Setyaningsih et al. 2010. Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap rasa tumpi ikan tuna, yaitu antara 5,09 sampai 6,90 atau netral sampai suka Tabel 6. Nilai kenampakan tertinggi dari tumpi ikan tuna yang diuji dicapai oleh produk I2K3 ikan asap + kelapa tua, yaitu 6,90 dan terendah dicapai oleh produk I2K2 ikan asap + kelapa setengah tua, yaitu 5,09. Hasil uji Kruskal-Wallis Lampiran 2 menunjukkan bahwa metode pemasakan ikan dan tingkat umur kelapa berpengaruh nyata terhadap rasa produk tumpi tuna. Hasil uji lanjut Dunn Lampiran 3b menunjukkan bahwa produk tumpi I2K3 ikan asap + kelapa tua berbeda nyata dengan produk tumpi lainnya. Hal ini disebabkan produk tumpi I2K3 mempunyai rasa gurih dibandingkan dengan produk tumpi lainnya. Rasa ini diduga terbentuk karena kandungan lemak santan tinggi pada kelapa tua mengalami degradasi oleh suhu tinggi. Lin dan Wilkens 2006 melaporkan adanya senyawa methylketones C7, C9, C11, C13, C15 dan delta-lakton C6, C8, C10, C12, C14 dalam kelapa parut yang mempengaruhi rasa enak. Rasa juga diyakini berasal dari ikan asap. Swastawati et al. 2007 menjelaskan bahwa rasa merupakan ciri khas ikan asap yang disebabkan oleh senyawa fenol dan aldehida sumber asap. Penggunaan bumbu, misalnya lengkuas, serei, bawang merah, dan merica memberikan rasa khas produk tumpi. Cahyadi 2008 mejelaskan bahwa rempah- rempah memiliki kandungan oleoresin yang berperan dalam pembentukan dan penegas rasa makanan. Winarno 2008 menjelaskan bahwa komponen rasa dari bahan-bahan penyusun akan berinteraksi dengan komponen rasa primer dengan menimbulkan peningkatan intensitas rasa atau penurunan intensitas rasa taste compensation. Komponen-komponen tersebut dapat meningkatkan intensitas rasa khas produk tumpi I2K3. Pembentukan rasa tersebut juga dihasilkan dari reaksi maillard yang terjadi akibat pemanasan saat penggorengan. Zamora dan Francisco 2005 menjelaskan bahwa tahap awal dari reaksi maillard, misalnya dehidrasi dan fragmentasi gula serta degradasi stecker menghasilkan komponen nonvolatil yang berperan dalam pembentukan rasa produk gorengan. Komponen nonvolatil yang diduga berperan dalam memberikan rasa tersebut, misalnya gula-gula sederhana, asam-asam amino dan asam-asam lemak serta garam. Bastos et al. 2012 melaporkan bahwa tahap dehidrasi dan fragmentasi gula serta degradasi asam-asam amino oleh reaksi stecker degradasi menghasilkan senyawa nonvolatil yang berperan memberikan rasa manis, pedas, dan campuran dari berbagai rasa tersebut, namun reaksi selanjutnya akan menghasilkan rasa hangus dan pahit. 3 Aroma Aroma dihasilkan dari interaksi zat-zat dengan jutaan rambut getar silia pada sel epitelium olfakori, yaitu suatu bagian yang berwarna kuning terletak di langit-langit rongga hidung di atas tulang turbinate. Zat penyusun produk harus bersifat menguap, sedikit larut dalam air atau dalam minyak, dan harus sempat menyentuh silia sel alfaktori untuk diteruskan ke otak agar menghasilkan aroma. Bau yang biasa diterima oleh hidung dan otak secara umum adalah campuran empat bau utama, yaitu harum, asam, tengik, dan hangus Winarno 2008. Industri pangan menganggap bahwa uji aroma sangat penting karena dapat dengan cepat memberikan hasil mengenai kesukaan konsumen terhadap produk. Aroma yang enak akan menggugah selera, sedangkan aroma yang tidak enak akan menurunkan selera konsumen untuk mengkonsumsi produk tersebut Setyaningsih et al. 2010. Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap aroma tumpi ikan tuna, yaitu antara 5,93 sampai 6,93 atau agak suka sampai suka Tabel 6. Nilai aroma tertinggi dari tumpi ikan tuna yang diuji dicapai oleh produk I1K2 ikan panggang + kelapa setengah tua, yaitu 6,93 dan terendah dicapai oleh produk I2K1 ikan asap + kelapa muda, yaitu 5,93. Hasil uji Kruskal-Wallis Lampiran 2 menunjukkan bahwa metode pemasakan ikan dan tingkat umur kelapa berpengaruh nyata terhadap aroma produk tumpi tuna. Hasil uji lanjut Dunn Lampiran 3c menunjukkan bahwa produk tumpi I1K2 ikan panggang + kelapa setengah tua dan I2K3 ikan asap + kelapa tua berbeda nyata dengan produk tumpi lainnya atau lebih disukai oleh panelis. Hal ini disebabkan oleh aroma khas tumpi lebih kuat pada produk I1K2 dan I2K3. Kuatnya aroma pada kedua produk tersebut karena saat penggorengan berlangsung terbentuk berbagai komponen volatil akibat degradasi kandungan kelapa, ikan, dan bumbu. Lemak kelapa akan mengalami oksidasi saat penggorengan karena oksigen di sekitar ketel penggorengan tersedia dalam jumlah yang cukup. Lin dan Wilkens 2006 melaporkan bahwa daging kelapa parut akan mengeluarkan komponen volatil yang beraroma khas, enak, dan harum bila mengalami pengolahan pada suhu diatas 70 o C. Komponen-komponen volatil tersebut antara lain octanol, 2-heptanol, 2-octanol, 2-nonanol, hexanol, ethyl decanoate, 2-undecanol, 2-phenylethanol, benzothiazole, delta- undecalactone, delta-octalactone, dan delta-decalactone. Aroma tersebut juga berasal dari ikan asap. Swastawati et al. 2007 melaporkan bahwa ikan asap memiliki aroma khas yang disebabkan oleh senyawa karbonil dan fenol guaiacol, 4-metty-guaiacol, 2,6-dimetoksi fenol menempel dan melakukan penetrasi ke dalam daging ikan saat proses pengasapan berlangusng. Aroma produk ini juga dihasilkan dari penggunaan bumbu. Bahan baku pembuatan bumbu mengandung minyak atsiri yang akan menguap bila bahan tersebut diolah. Pembentukan aroma pada produk tumpi tuna juga dipengaruhi oleh reaksi maillard yang terjadi akibat panas saat penggorengan. Zamora dan Francisco 2005 melaporkan bahwa hasil reaksi antara asam-asam amino dengan gula-gula reduksi akan mengalami reaksi lanjutan, yaitu dehidrasi dan fragmentasi gula serta degradasi stecker menghasilkan konmponen volatil yang berperan dalam pembentukan aroma khas produk gorengan. Bastos et al. 2012 melaporkan bahwa produk dari reaksi maillard diklasifikasikan berdasarkan hasil dehidrasi dan fragmentasi gula, misalnya furans, pyrones, cyclopentenes, carbonyls serta berdasarkan reaksi stecker degradasi asam amino, misalnya aldehid dan sulfur. Lebih lanjut Bastos et al. 2012 melaporkan bahwa jenis dan turunan dari senyawa-senyawa volatil tersebut berperan dalam memberikan aroma khas produk, terutama yang mengandung oksigen, misalnya 2,3-butanedione, 2,3- pentanedione, methylpropanal, 3-methylbutanal, phenylacetaldehyde, 3-hydroxy- 4,5-dimethyl-23H furanone, dan 2,5-dimethyl-4-hydroxy-32H-furanone dan yang mengandung nitrogen, misalnya 2-ethyl-3,5-dimethylpyrazine, 2,3-diethyl-5- methylpyrazine, dan 2-acetyl-1-pyrroline. Setyaningsih et al. 2010 mengemukakan bahwa adanya dua atau lebih bau dalam produk pangan dapat bercampur untuk saling menguatkan atau saling menutupi. Bau yang ditimbulkan oleh bahan-bahan penyusun tumpi I1K2 dan I2K3 bercampur untuk saling menguatkan dalam membentuk aroma produk yang disukai konsumen. 4 Tekstur Tekstur adalah hasil pengamatan yang berupa sifat lunak, liat, keras, halus, kasar, dan sebagainya. Szczesniak 2002 melaporkan bahwa tekstur adalah manifestasi sifat sensori dari struktur dan permukaan suatu produk pangan yang terdeteksi melalui indera penglihatan, sentuhan, dan pendengaran. Ramırez et al. 2005 melaporkan bahwa tekstur merupakan salah satu sifat sensori yang paling penting dalam proses seleksi dan konsumsi makanan. Penilaian tekstur tumpi ikan tuna berkaitan dengan tingkat kekerasan produk. Tumpi yang disukai panelis adalah tumpi yang tidak terlalu keras dan tidak terlalu lunak atau liat. Tingkat kekerasan tumpi yang dihasilkan pada penelitian pendahuluan tahap I dipengaruhi oleh metode pemasakan ikan dan tingkat umur kelapa sebagai bahan baku utama. Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur tumpi ikan tuna, yaitu antara 5,67 sampai 6,80 atau agak suka sampai suka Tabel 6. Nilai tekstur tertinggi dari tumpi ikan tuna yang diuji dicapai oleh produk I2K3 ikan asap + kelapa tua, yaitu 6,80 dan terendah dicapai oleh produk I1K1 ikan panggang + kelapa muda, yaitu 5,67. Hasil uji Kruskal-Wallis Lampiran 2 menunjukkan bahwa metode pemasakan ikan dan tingkat umur kelapa berpengaruh nyata terhadap tekstur produk tumpi tuna. Hasil uji lanjut Dunn Lampiran 3d menunjukkan bahwa produk tumpi I2K3 ikan asap + kelapa tua tidak berbeda nyata dengan tumpi I1K2 ikan panggang + kelapa setengah tua dan I1K3 ikan panggang + kelapa tua, tapi berbeda nyata dengan produk tumpi I1K1 ikan panggang + kelapa muda, I2K1 ikan asap + kelapa muda, dan I2K2 ikan asap + kelapa setengah tua. Disukainya produk tumpi I2K3, I1K2, dan I1K3 karena memiliki tekstur yang agak padat, tapi tidak terlalu keras. Tekstur yang disukai tersebut diduga terbentuk karena kandungan air kelapa setengah tua dan kelapa tua tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan kelapa muda. Penguapan air saat proses penggorengan berlangsung menghasilkan struktur yang agak padat dan kerak yang baik. Muchtadi dan Ayustaningwarno 2010 menjelaskan bahwa tekstur bahan pangan akan mengalami perubahan selama penggorengan yang akan meningkatkan mutu makan eating quality karena terbentuk kerak yang renyah pada permukaan pangan akibat penguapan air. Denaturasi dan koagulasi protein yang terjadi akibat panas juga berpengaruh terhadap tekstur bahan pangan. Gerrard 2002 melaporkan bahwa reaksi maillard berpengaruh terhadap pembentukan tekstur dan daya cerna produk gorengan melalui protein cross- linking. Rata-rata tumpi yang dibuat dari kelapa muda memiliki tekstur yang agak lunak dan liat sehingga kurang disukai oleh panelis. Tekstur lunak dan liat pada produk tumpi I1K1 dan I2K1 diduga terbentuk karena sifat fisikokimia kelapa muda yang mengandung galaktomanan tinggi dan protein rendah. Barlina 2004 melaporkan bahwa kelapa muda mengandung galaktomanan tinggi sehingga hanya cocok diolah untuk produk pangan semi padat yang membutuhkan tekstur kenyal atau lunak. Galaktomanan adalah polisakarida yang hampir seluruhnya larut dalam air sehingga berperan sebagai membentuk larutan kental dan gel. 5 Produk tumpi terbaik Penentuan produk tumpi terbaik pada penelitian pendahuluan tahap I dilakukan berdasarkan hasil uji sensori dengan metode Bayes. Metode Bayes merupakan salah satu teknik yang digunakan untuk melakukan analisis dalam pengambilan keputusan terbaik dari sejumlah alternatif dengan tujuan menghasilkan nilai yang optimal. Keputusan yang optimal dihasilkan dengan mempertimbangkan berbagai kriteria Marimin dan Maghfiroh 2011. Kriteria yang menjadi objek penilaian dalam penentuan produk tumpi tuna terbaik adalah parameter sensori. Analisis menggunakan metode Bayes diawali dengan melakukan perangkingan terhadap parameter yang diamati berdasarkan indeks kepentingan menurut penilaian panelis, jumlah panelis yang memberi penilaian yaitu 30 orang. Parameter dengan nilai tertinggi pada metode Bayes mendapat skor lima, sedangkan parameter dengan nilai terendah mendapat skor satu. Nilai kepentingan untuk masing-masing parameter, yaitu nilai 1 bila parameter uji tidak penting, nilai 2 bila kurang penting, nilai 3 bila biasa, nilai 4 bila penting, dan nilai 5 bila sangat penting. Nilai kepentingan terhadap parameter sensori produk tumpi ikan tuna berdasarkan penilaian panelis disajikan pada Tabel 7 dan hasil analisis Bayes terhadap produk tumpi tuna disajikan pada Tabel 8. Tabel 7 Nilai kepentingan parameter sensori tumpi ikan tuna yang dihasilkan pada penelitian pendahuluan tahap I No Parameter Nilai kepentingan 1 2 3 4 Rasa Kenampakan Aroma Tekstur 5 5 4 4 Tabel 8 Hasil analisis metode Bayes terhadap produk tumpi tuna yang dihasilkan pada penelitian tahap I pendahuluan Parameter Nama produk Nilai bobot I1K1 I1K2 I1K3 I2K1 I2K2 I2K3 Rasa 2 5 4 3 1 6 0,29 Kenampakan 1 6 5 2 3 4 0,29 Tekstur 1 5 4 2 3 6 0,22 Aroma 2 6 3 1 4 5 0,20 Total Nilai 3,29 10,49 6,67 3,09 6,03 9,43 1,00 Rangking 5 1 3 6 4 2 Hasil analisis Bayes menunjukkan bahwa produk tumpi tuna I1K2 ikan panggang + kelapa setengah tua memiliki nilai tertinggi, yaitu 10,487 sehingga berada pada peringkat I. Produk I1K2 ini menjadi produk tumpi tuna terbaik sehingga pemasakan ikan dan tingkat umur kelapa yang telah digunakan pada pembuatan produk tumpi terbaik ini akan digunakan pada penelitian pendahuluan tahap II, yaitu ikan panggang dan kelapa setengah tua. 4.2.2. Penentuan perlakuan kelapa dan lama penggorengan tumpi tuna terbaik Parameter yang menjadi fokus penilaian pada produk hasil penelitian pendahuluan tahap II adalah pengaruh perlakuan terhadap kelapa parut sebagai bahan penyusun utama dan lama waktu penggorengan yang digunakan dalam memproduksi tumpi. Perlakuan yang digunakan terhadap kelapa parut adalah diperas satu kali, tidak diperas, dan disangrai. Produk tumpi yang dihasilkan adalah produk setengah matang precooked tumpi, matang cooked tumpi, dan lewat matang overcooked tumpi. Waktu yang digunakan untuk menghasilkan ketiga produk tersebut menjadi parameter penilaian. Penentuan produk terbaik dilakukan dengan analisis mutu sensori menggunakan 60 orang panelis non- standar. Parameter yang diamati adalah kenampakan, rasa, warna, aroma, dan tekstur. Skala penilaian adalah 1 sampai 9 SNI, 2006. Hasil penilaian sensori dan lama penggorengan untuk masing-masing produk tumpi ikan tuna pada penelitian ini disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Hasil penilaian sensori dengan uji hedonik dan lama penggorengan produk tumpi ikan tuna pada penelitian pendahuluan tahap II Produk tumpi Lama penggorengan Parameter Kenampakan Rasa Warna Aroma Tekstur K1t1 45- 60’ 6,68±1,20 c 6,67±1,08 c 7,05±1,03 d 6,83±1,01 d 6,72±0,85 d K1t2 60- 95’ 6,80±1,19 d 6,63±1,01 c 6,47±1,19 c 6,78±0,76 d 6,65±0,88 c K1t3 95- 140’ 5,65±1,36 a 6,28±1,32 a 5,68±1,40 a 6,15±1,05 b 6,07±1,19 a K2t1 55- 60’ 6,32±1,21 b 6,65±0,92 c 6,03±1,39 b 6,98±1,23 d 5,97±1,23 a K2t2 60- 100’ 7,18±1,10 d 7,07±0,80 d 7,22±1,03 d 7,03±0,90 d 7,08±0,94 e K2t3 100- 150’ 5,77±1,87 a 6,50±1,17 b 5,37±1,41 a 6,08±1,37 b 6,45±1,29 b K3t1 45- 60’ 5,88±1,37 a 6,60±1,01 b 5,75±1,41 a 6,25±1,37 c 6,33±1,17 a K3t2 60- 90’ 5,75±1,27 a 6,30±1,00 a 5,57±1,38 a 5,97±1,31 a 6,22±1,40 a K3t3 90- 140’ 5,57±1,57 a 5,83±1,20 a 5,33±1,51 a 5,58±1,34 a 6,15±1,25 a Angka-angka pada kolom yang sama diikuti huruf superscript berbeda a,b,c,d,e menunjukkan berbeda nyata p0,05 Simbol K1t1, K1t2, K1t3, K2t1, K2t2, K2t3, K3t1, K3t2, dan K3t3 merujuk keterangan pada Gambar 4. Semua produk yang dihasilkan pada penelitian pendahuluan tahap II ini, segera setelah diangkat dari ketel penggorengan langsung diletakkan dalam tempat di bawah suhu ruang untuk menghentikan proses pemasakan penggorengan. Tabel 9 menunjukkan bahwa perlakuan kelapa parut berpengaruh terhadap waktu penggorengan produk tumpi pada masing-masing tingkat kematangan. Waktu yang diperlukan untuk menggoreng produk precooked tumpi K1t1, K2t1, K3t1, cooked tumpi K1t2, K2t2, K3t2, dan overcooked tumpi K1t3, K2t3, K3t3 berturut-turut adalah 45-60 detik, 60-100 detik, dan 90-150 detik. Produk akan berada pada kondisi precooked jika sudah menimbulkan aroma khas dan berwarna kuning muda pada bagian permukaan. Produk K1t1 produk precooked tumpi dari kelapa parut diperas 1 kali dan K1t3 produk precooked tumpi dari kelapa parut sangrai memiliki lama penggorengan yang sama, yaitu antara 45-60 detik, sekitar 5 detik lebih cepat mengalami proses precooked dari produk K1t2 produk precooked tumpi dari kelapa parut tidak diperas yang memiliki lama penggorengan antara 55-60 detik. Semua produk precooked tumpi akan segera mengalami pematangan sempurna setelah sampai pada detik ke-60 yang ditandai dengan terapungnya produk dan berubahnya warna kuning muda menjadi kuning sampai kuning kecoklatan serta aroma khas tumpi yang lebih tajam. Budzaki dan Seruga 2005 melaporkan bahwa penguapan air pada saat penggorengan pangan terjadi dalam dua periode, yaitu pada periode 60 detik pertama kehilangan air menjadi lebih intensif dan pada periode setelah 60 detik sampai pada detik ke-120 kehilangan air menjadi konstan. Produk-produk cooked tumpi, walaupun awal pematangannya berada pada waktu yang sama, tapi memiliki lama pematangan yang berbeda. Produk tumpi K2t3 produk cooked tumpi dari kelapa parut sangrai memiliki kondisi matang yang lebih cepat yaitu pada detik ke-90, kemudian K2t1 produk cooked tumpi dari kelapa diperas satu kali pada detik ke-95, dan produk K2t2 pada detik ke- 100. Produk matang tersebut berubah jadi produk lewat matang atau overcooked tumpi bila warna kuning kecoklatan sudah mulai berubah menjadi coklat kehitaman dan aroma sudah mulai tercium bau hangus. Produk-produk overcooked tumpi yang memiliki awal waktu overcooked yang berbeda juga memiliki akhir waktu yang berbeda, yaitu pada detik ke-140 untuk produk K3t1 produk overcooked tumpi dari kelapa diperas satu kali dan produk K3t3 produk overcooked tumpi dari kelapa sangrai serta pada detik ke- 150 untuk produk K3t2 produk overcooked tumpi dari kelapa tidak peras. Semua produk overcooked ini akan menjadi hangus bila melewati lama penggorengan tersebut. 1 Kenampakan Kenampakan merupakan sifat sensori dari suatu produk pangan yang pertama kali dilihat setelah warna sehingga dapat mempengaruhi selera konsumen untuk menyukai atau tidak menyukai produk tersebut. Apabila kesan kenampakan produk terlihat baik, bentuk rapi, permukaan rata, seragam, dan utuh serta tidak kusam akan lebih disukai konsumen Setyaningsih et al. 2010. Kenampakan tumpi tuna hasil penelitian pendahuluan tahap II disajikan pada Gambar 8. Gambar 8 Kenampakan produk tumpi tuna pada penelitian pendahuluan tahap II. Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap kenampakan tumpi ikan tuna pada penelitian pendahuluan tahap II, yaitu antara 5,65 sampai 7,18 atau agak suka sampai suka Tabel 9. Nilai kenampakan tertinggi dari tumpi ikan tuna yang diuji dicapai oleh produk K2t2 produk cooked tumpi dari kelapa parut tidak diperas, yaitu 7,18 dan terendah dicapai oleh produk K1t3 produk precooked tumpi dari kelapa parut sangrai, yaitu 5,65. Hasil uji Kruskal-Wallis Lampiran 6 menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan terhadap kelapa parut berpengaruh nyata terhadap kenampakan produk tumpi tuna. Hasil uji lanjut Dunn Lampiran 7a menunjukkan bahwa produk tumpi K2t2 produk cooked tumpi dari kelapa parut tidak diperas tidak berbeda nyata dengan produk tumpi K1t2 produk precooked tumpi dari kelapa parut tidak diperas, tapi berbeda nyata dengan produk lainnya. Hal ini diduga disebabkan produk tumpi K2t2 dan K1t2 yang terbuat dari kelapa parut tidak diperas masih mengandung air yang cukup sehingga pada saat pembuatan adonan, semua bahan baik bahan penyusun utama maupun bahan tambahan bercampur dengan baik dan saling menyatu atau homogen membentuk ikatan yang kompak dan padat Suyanti 2011. K1t1 K1t2 K1t3 K2t3 K2t2 K2t1 K3t1 K3t2 K3t3 Adonan yang homogen memudahkan dalam proses pencetakan. Produk akan lebih mudah terbentuk dan hasilnya terlihat rapi dan merata jika adonan homogen. Penguapan air akan menyebabkan struktur produk menjadi lebih kompak, saling menyatu, dan padat saat proses penggorengan berlangsung sehingga produk akhir kelihatan rapi, seragam, dan merata. Tingkat keseragaman bentuk dan permukaan rata ini akan semakin menurun bila waktu penggorengan diperpanjang seperti yang terjadi pada produk overcooked tumpi dari kelapa parut tanpa diperas atau produk K3t2. Kenampakan produk tumpi tuna juga dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi penggorengan yaitu suhu, lama waktu penggorengan dan minyak goreng yang digunakan Winarno 1997; Budzaki dan Seruga 2005. Gambar 8 memperlihatkan bahwa semua produk tumpi tuna dari kelapa sangrai dan produk overcooked memiliki warna coklat dan agak gelap. Warna tersebut diduga berpengaruh langsung terhadap rendahnya penilaian panelis pada parameter kenampakan Tabel 9 walaupun permukaan produk-produk ini nampak merata. 2 Warna Warna kuning emas sampai kuning kecoklatan merupakan salah satu ciri khas dari produk gorengan. Penggorengan mengakibatkan suatu produk pangan mengalami reaksi pencoklatan nonenzimatik. Reaksi pencoklatan nonenzimatik yang terjadi tersebut adalah reaksi maillard dan oksidasi lemak. Reaksi pencoklatan dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya suhu, waktu, aktivitas pH, air, dan keadaan sistem pangan, yang terus berubah selama proses penggorengan Kumar et al. 2006. Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap warna tumpi ikan tuna pada penelitian pendahuluan tahap II, yaitu antara 5,33 sampai 7,22 atau agak suka sampai suka Tabel 9. Nilai warna tertinggi dari tumpi ikan tuna yang diuji dicapai oleh produk K2t2 produk cooked tumpi dari kelapa parut tidak diperas, yaitu 7,22 dan terendah dicapai oleh produk K3t3 produk precooked tumpi dari kelapa parut sangrai, yaitu 5,33. Hasil uji Kruskal-Wallis Lampiran 6 menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan terhadap kelapa parut berpengaruh nyata terhadap warna produk tumpi tuna. Hasil uji lanjut Dunn Lampiran 7b menunjukkan bahwa produk tumpi K2t2 produk cooked tumpi dari kelapa parut tidak diperas tidak berbeda nyata dengan produk tumpi K1t1 produk precooked tumpi dari kelapa parut diperas satu kali, tapi berbeda nyata dengan produk lainnya. Hal ini disebabkan produk tumpi K2t2 dan K1t1 memiliki warna yang lebih menarik dibandingkan dengan produk tumpi lainnya. Warna yang menarik ini dihasilkan dari reaksi maillard dan oksidasi lemak pada saat penggorengan. Reaksi maillard terjadi karena suhu penggorengan yang tinggi mengakibatkan protein terdegradasi menjadi asam-asam amino dan karbohidrat terpecah menjadi gula-gula sederhana, baik gula reduksi maupun nonreduksi. Gugus nukleofilik dari group amino ini bereaksi dengan gugus karbonil dari gula reduksi. Asam-asam amino dalam produk tumpi tuna diduga sebagian besar berasal dari bahan baku ikan tuna, sedangakan gula-gula reduksi diperoleh dari kelapa parut. Hasil akhir dari reaksi tersebut adalah terbentuk warna kuning cerah sampai kuning kecoklatan terutama di bagian luar produk Zamora dan Hidalgo 2005. Moyano et al. 2002 melaporkan bahwa warna yang dihasilkan dari reaksi maillard dipengaruhi oleh kandungan gula reduksi di bagian permukaan produk, suhu dan waktu penggorengan. Kumar et al. 2006 menjelaskan bahwa tingkat kecerahan warna produk gorengan akan menurun karena terjadi reaksi pencoklatan selama penggorengan suhu tinggi dalam waktu yang lama. Artinya semakin tinggi suhu dan lama waktu penggorengan, tingkat kecerahan warna produk tumpi semakin turun. Pembentukan warna pada produk tersebut juga diduga disebabkan oleh oksidasi lemak. Oksidasi lemak terjadi karena suhu tinggi dan tersedianya oksigen bebas di sekitar ketel penggorengan menghasilkan warna produk menjadi kuning kecoklatan sebagaimana terjadi pada produk tumpi K2t2 dan K1t1. Zamora dan Hidalgo 2005 melaporkan bahwa reaksi tahap awal oksidasi lemak menghasilkan komponen-komponen peroksida, reaksi tahap kedua menghasilkan komponen lipid peroxyl dan hydroxyl radical, reaksi tahap ketiga menghasilkan senyawa-senyawa volatil dan nonvolatil, dan reaksi tahap akhir menghasilkan warna kuning kecoklatan. Kedua reaksi pencoklatan nonenzimatik tersebut akan terus berlangsung, jika waktu diperpanjang dan suhu masih tinggi, bahkan proses ini masih terjadi walaupun produk sudah diangkat dari wadah penggorengan jika suhu masih tinggi. Proses pencoklatan yang terus-menerus ini mengakibatkan warna kuning kecoklatan tersebut akan berubah menjadi coklat kehitaman yang mengindikasikan terjadi penurunan mutu sensori, kimia, dan eating quality terhadap produk, sebagaimana yang terjadi pada produk-produk overcooked. Semua produk tumpi tuna dari kelapa sangrai dan produk overcooked memiliki warna coklat dan agak gelap Gambar 8. Hal ini diduga menyebabkan tingkat penilaian panelis terhadap warna produk-produk tesebut rata-rata rendah Tabel 9. Warna coklat dan agak gelap pada produk-produk tumpi tuna yang terbuat dari kelapa sangrai disebabkan oleh warna kelapa sangrai. Kelapa sangrai sudah mengalami proses pencoklatan saat proses penyangraian berlangsung atau sebelum dibuat menjadi produk tumpi. Pencoklatan pada saat proses penggorengan produk merupakan pencoklatan lanjutan bagi produk-produk tersebut. Proses pencoklatan lanjutan tersebut bisa berarti bahwa produk ini mengalami pencoklatan dalam waktu yang lama dengan suhu tertentu. Proses pencoklatan seperti itu juga diduga terjadi pada produk-produk overcooked tumpi. Kumar et al. 2006 melaporkan bahwa reaksi pencoklatan dipengaruhi oleh suhu dan waktu selama proses penggorengan. Warna coklat akan berubah menjadi semakin gelap bila suhu ditingkatkan atau waktu penggorengan diperpanjang. 3 Rasa Rasa produk tumpi gorengan akan terbentuk akibat pemanasan. Penggorengan dengan suhu tinggi mengakibatkan terjadinya degradasi komponen- komponen penyusun protein, lemak, karbohidrat, dan komponen lain dalam produk tersebut menjadi komponen-komponen primer. Reaksi antara komponen primer tersebut menghasilkan rasa yang bisa meningkatkan atau mengurangi rasa produk pangan bersangkutan Winarno 2008. Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap rasa tumpi ikan tuna pada penelitian pendahuluan tahap II, yaitu antara 5,83 sampai 7,07 atau agak suka sampai suka Tabel 9. Nilai rasa tertinggi dari tumpi ikan tuna yang diuji dicapai oleh produk K2t2 produk cooked tumpi dari kelapa parut tidak diperas, yaitu 7,07 dan terendah dicapai oleh produk K3t3 produk overcooked tumpi dari kelapa parut sangrai, yaitu 5,83. Hasil uji Kruskal-Wallis Lampiran 6 menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan terhadap kelapa parut berpengaruh nyata terhadap rasa produk tumpi tuna. Hasil uji lanjut Dunn Lampiran 7c menunjukkan bahwa produk tumpi K2t2 produk cooked tumpi dari kelapa parut tidak diperas berbeda nyata dengan produk tumpi lainnya. Hal ini disebabkan produk tumpi K2t2 yang terbuat dari kelapa parut tidak diperas memiliki kandungan santan lemak yang masih tinggi. Kandungan santan akan mengalami pemecahan komponen saat proses penggorengan menjadi komponen nonvolatil yang memberikan rasa khas kelapa Lin dan Wilkens 2006; Waisundara et al. 2007. Rasa produk tumpi diduga terbentuk disebabkan oleh penambahan bumbu. Bumbu yang terdiri dari campuran lengkuas, serei, bawang merah, lada bubuk, dan garam sangat berperan dalam pembentukan rasa khas tumpi. Lengkuas dan daun serei memiliki sifat fisikokimia minyak astiri sebagai pembentuk citarasa dan aroma Cahyadi 2008. Pembentukan rasa tersebut juga diduga dihasilkan dari reaksi maillard dan oksidasi lemak saat proses penggorengan berlangsung. Zamora dan Francisco 2005 melaporkan bahwa tahap pembentukan rasa pada rekasi maillard dan oksidasi lemak terjadi pada reaksi tahap kedua. Komponen utama yang terbentuk pada tahap pertama dari kedua reaksi tersebut adalah komponen amadori 1- amino-1-deoxy-2-ketosa dari reaksi maillard dan komponen hidroperoksida dari oksidasi lemak. Komponen-komponen amadori akan terhidratasi, terfragmentasi, terenolisasi, dan terdegradasi menghasilkan komponen-komponen nonvolatil. Komponen-komponen peroksida menghasilkan komponen nonvolatil dengan reaksi polimerisasi ataupun dengan pemecahan komponen lipid peroxyl dan hydroxyl radical melalui reaksi cleavage. Komponen nonvolatil yang terbentuk tersebut berperan dalam rasa produk gorengan. Komponen-komponen nonvolatil pemberi rasa yang diduga dihasilkan dari kedua reaksi non enzimatik tersebut antara lain gula-gula sederhana yang bersumber dari kelapa parut berfungsi sebagai pemberi rasa manis, asam-asam amino yang bersumber dari ikan pemberi rasa umami dan manis, dan garam pemberi rasa asin. Komponen-komponen rasa tersebut diduga memiliki efek sinergis dalam membentuk rasa enak yang disukai oleh panelis Winarno 2008. Penilaian panelis terhadap rasa tumpi tuna K2t2 juga diduga dipengaruhi oleh warna produk. Garber et al. 2000 melaporkan bahwa warna makanan mempengaruhi kemampuan konsumen dalam mengidentifikasi rasa dan membentuk profil rasa khas suatu produk gorengan. Jika konsumen menyukai warna suatu produk, ada kecenderungan konsumen juga menyukai rasa produk tersebut. Jika konsumen tidak menyukai warna suatu produk, penilaiannya terhadap rasa juga tidak suka. Penilaian panelis yang tinggi terhadap warna produk tumpi tuna K2t2 diduga menyebabkan nilai kesukaan terhadap rasa juga tinggi. 4 Aroma Aroma lebih banyak berhubungan dengan panca indera pembau. Winarno 2008 menjelaskan bahwa aroma atau bau yang menguap merupakan atribut suatu produk yang diterima oleh sel-sel olfaktori yang terdapat di dalam hidung dan diteruskan ke otak dalam bentuk impuls listrik. Aroma juga ikut menentukan penerimaan produk. Aroma yang enak akan menggugah selera, sedangkan aroma yang tidak enak akan menurunkan selera konsumen untuk mengkonsumsi produk tersebut. Aroma menjadi daya tarik tersendiri dalam menentukan rasa enak dari produk Soekarto 1985. Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap aroma tumpi ikan tuna pada penelitian pendahuluan tahap II, yaitu antara 5,58 sampai 7,03 atau agak suka sampai suka Tabel 9. Nilai aroma tertinggi dari tumpi ikan tuna yang diuji dicapai oleh produk K2t2 produk cooked tumpi dari kelapa parut tidak diperas, yaitu 7,03 dan terendah dicapai oleh produk K3t3 produk overcooked tumpi dari kelapa parut sangrai, yaitu 5,58. Hasil uji Kruskal-Wallis Lampiran 6 menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan terhadap kelapa parut berpengaruh nyata terhadap aroma produk tumpi tuna. Hasil uji lanjut Dunn Lampiran 7d menunjukkan bahwa produk tumpi K2t2 produk cooked tumpi dari kelapa parut tidak diperas tidak berbeda nyata dengan produk K1t1 produk precooked tumpi dari kelapa diperas satu kali, produk K1t2 produk precooked tumpi dari kelapa parut tidak diperas, dan produk tumpi K2t1 produk cooked tumpi dari kelapa diperas satu kali, tapi berbeda nyata dengan produk tumpi lainnya. Kesukaan panelis pada produk K2t2, K2t1, K1t1, dan K1t2 diduga karena kandungan santan pada kelapa yang digunakan untuk membuat produk-produk tersebut belum mengalami kerusakan atau pemecahan sebelum digunakan sehingga pembentukan komponen volatil saat penggorengan berlangsung masih sangat tinggi, tidak seperti pada kelapa sangrai yang sudah mengalami pemanasan saat proses pembuatan. Lemak kelapa santan mulai terkoagulasi pada suhu 80 o C mengakibatkan aroma khas kelapa yang harum menguap Waisundara et al. 2007. Lin dan Wilkens 2006 dan Jirapong et al. 2010 melaporkan bahwa senyawa-senyawa volatil utama yang akan menguap dan menghasilkan aroma khas yang harum jika kelapa dipanaskan adalah asam 9- octadecenoic, ethyl octanoate, δ-C8-laktone, ethyl decanoate, δ-C10-laktone, dan n-oktanol. Bumbu yang berasal dari lengkuas dan serei juga ikut menambah munculnya aroma pada produk tumpi yang dihasilkan. Cahyadi 2008 menjelaskan bahwa rempah-rempah yang digunakan sebagai bumbu mengandung minyak atsiri yang memiliki aroma khas dari masing-masing jenis rempah. Reaksi-reaksi kimia yang terjadi pada produk pangan gorengan mengahsilkan komponen nonvolatil dan volatil. Komponen nonvolatil tetap berada dalam minyak dan dapat diserap oleh bahan pangan selama proses penggorengan berlangsung, sedangkan komponen volatil sebagian dapat menguap pada saat minyak dipanaskan dan sebagian besar ikut berperan membentuk flavour bahan pangan gorengan. Komponen volatil tersebut muncul dari produk pangan gorengan akibat pemanasan protein dan lemak Winarno 2008. 5 Tekstur Tekstur adalah parameter sensori yang berhubungan dengan alat indera peraba atau sentuhan terhadap sifat fisik produk pangan untuk menilai tingkat kekerasan atau elastisitasnya. Jenis dan komposisi bahan penyusun berpengaruh terhadap karakteristik sensori produk pangan. Perubahan kadar air saat penggorengan dapat meningkatkan tingkat kekerasan dan kerenyahan tektur produk Sanz et al. 2006. Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur tumpi ikan tuna pada penelitian pendahuluan tahap II, yaitu antara 5,97 sampai 7,08 atau agak suka sampai suka Tabel 9. Nilai tekstur tertinggi dari tumpi ikan tuna yang diuji dicapai oleh produk K2t2 produk cooked tumpi dari kelapa parut tidak diperas, yaitu 7,08 dan terendah dicapai oleh produk K2t1 produk cooked tumpi dari kelapa parut diperas satu kali, yaitu 5,97. Hasil uji Kruskal-Wallis Lampiran 6 menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan terhadap kelapa parut berpengaruh nyata terhadap tektur produk tumpi tuna. Hasil uji lanjut Dunn Lampiran 7e menunjukkan bahwa produk tumpi K2t2 produk cooked tumpi dari kelapa parut tidak diperas berbeda nyata dengan produk lainnya. Hal ini disebabkan produk tumpi K2t2 mempunyai tekstur lebih kompak, padat, dan agak keras serta mengalami keretakan yang teratur pada bagian permukaan saat ditekan dengan jari. Tekstur ini diduga terbentuk karena pada saat pengadukan adonan, kelapa parut yang tidak diperas masih mengandung cukup air. Kandungan air ini memudahkan adonan bercampur secara merata homogen dengan protein terlarut aktin, miosin, dan aktomiosin membentuk suatu adonan yang kompak dan saling menyatu sehingga pada saat penggorengan, penguapan air menyebabkan bagian permukaan produk nampak lebih halus dan merata dengan kerak yang renyah karena komponen-komponen bahan penyusun lebih menyatu Suyanti 2011. Pedreschi et al. 2005 melaporkan bahwa penggorengan deef fat frying menyebabkan sifat sensori produk mengalami modifikasi, misalnya tekstur dan warna yang merupakan ciri khas dari produk gorengan. Kerenyahan kerak mengakibatkan bagian permukaan produk tumpi retak bila mengalami tekanan. Martin et al. 2008 melaporkan bahwa kerenyahan tekstur pada produk makanan gorengan ditandai dengan kesan rapuh secara teratur saat digigit atau diberi sedikit tekanan. Hasil analisis sensori Tabel 9 menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur produk tumpi setengah matang produk K1t1 dan K1t2 rata-rata suka, walaupun secara statistik produk tumpi K2t2 yang lebih baik. Hal ini menunjukkan bahwa kesukaan panelis terhadap produk tumpi adalah yang tidak terlalu keras dan renyah. Sifat ini tidak dimiliki oleh produk-produk overcooked yang lebih keras dan terburai bila diberi tekanan. Produk-produk overcooked ini memiliki waktu penggorengan yang lebih lama dibandingkan dengan precooked dan cooked. Saeleaw dan Schleining 2011 melaporkan bahwa suhu dan waktu penggorengan memiliki efek signifikan terhadap pembentukan sifat fisik, tekstur, dan struktur kerupuk singkong goreng, ketika suhu dan waktu penggorengan meningkat, maka kadar air dan densitas menurun ditandai dengan tingginya jumlah sel kecil. 6 Produk tumpi terbaik Penentuan produk tumpi terbaik pada penelitian pendahuluan tahap II dilakukan berdasarkan hasil uji sensori dengan metode Bayes. Metode Bayes merupakan salah satu teknik yang digunakan untuk melakukan analisis dalam pengambilan keputusan terbaik dari sejumlah alternatif dengan tujuan menghasilkan nilai yang optimal. Keputusan optimal akan dihasilkan dengan mempertimbangkan berbagai kriteria Marimin dan Maghfiroh 2011. Kriteria yang menjadi objek penilaian dalam penentuan produk tumpi tuna terbaik adalah parameter sensori, data selengkapnya dicantumkan dalam Tabel 10 dan 11. Tabel 10 Nilai kepentingan parameter sensori tumpi ikan tuna yang dihasilkan pada penelitian pendahuluan tahap II No Parameter Nilai kepentingan 1 2 3 4 5 Rasa Kenampakan Warna Aroma Tekstur 5 5 5 4 4 Tabel 11 Hasil analisis metode Bayes terhadap produk tumpi tuna yang dihasilkan pada penelitian pendahuluan tahap II Parameter Produk tumpi Nilai bobot K1t1 K1t2 K1t3 K2t1 K2t2 K2t3 K3t1 K3t2 K3t3 Kenampakan 7 8 1 6 9 3 5 2 4 0,23 Rasa 8 6 2 7 9 4 5 3 1 0,23 Warna 6 8 7 4 5 9 2 3 1 0,18 Aroma 7 6 5 8 9 2 4 2 1 0,18 Tekstur 8 7 2 1 9 6 5 4 3 0,18 Total Nilai 7,23 7,00 3,22 5,32 8,28 4,67 4,28 2,77 2,05 1,00 Rangking 2 3 7 4 1 5 6 8 9 Analisis Bayes dilakukan dengan terlebih dahulu merangking indeks kepentingan terhadap parameter yang diamati sesuai penilaian panelis. Parameter dengan nilai tertinggi pada metode Bayes mendapat skor lima dan terendah mendapat skor satu. Nilai kepentingan untuk masing-masing parameter uji produk tumpi tuna, yaitu nilai 1 bila parameter uji tidak penting, nilai 2 bila kurang penting, nilai 3 bila biasa, nilai 4 bila penting dan nilai 5 bila sangat penting. Tabel 10 menunjukkan bahwa rata-rata panelis menganggap parameter sensori produk tumpi tuna adalah penting sampai sangat penting. Hasil analisis Bayes Tabel 11 menunjukkan bahwa produk tumpi tuna K2t2 produk cooked tumpi dari kelapa parut tidak diperas memiliki nilai tertinggi yaitu 8,28 sehingga berada pada peringkat I. Produk K2t2 menjadi produk tumpi tuna terbaik sehingga perlakuan terhadap kelapa parut dan lama waktu penggorengan yang digunakan pada pembuatan produk tumpi terbaik ini akan digunakan pada penelitian lanjutan, yaitu cooked tumpi dari kelapa parut tidak diperas dengan lama waktu penggorengan antara 60-100 detik.

4.3. Penelitian Lanjutan

Penelitian lanjutan dilakukan dengan mereformulasi komposisi bahan penyusun tumpi yang telah dibuat pada penelitian pendahuluan. Metode pemasakan ikan, tingkat umur kelapa, perlakuan kelapa parut, dan lama waktu penggorengan yang digunakan berdasarkan produk tumpi terbaik pada penelitian pendahuluan tahap II. Tujuan penelitian lanjutan adalah menghasilkan produk tumpi dengan mutu sensori dan kimia yang lebih baik, menentukan nilai gizi, dan karakterisasi mutu tumpi selama penyimpanan suhu ruang. Penelitian lanjutan ini dilakukan dengan 3 tahap, yaitu 1 mereformulasi komposisi bahan penyusun, 2 menghitung nilai gizi produk tumpi yang dihasilkan, dan 3 karakterisasi mutu kimia, sensori, dan mikrobiologi produk tumpi selama penyimpanan suhu ruang. 4.3.1. Reformulasi bahan penyusun tumpi ikan tuna Reformulasi yang dilakukan pada penelitian lanjutan tahap I adalah reformulasi terhadap komposisi bahan utama ikan dan kelapa dan bahan pengikat tapioka. Komposisi bahan penyusun produk tumpi berdasarkan referensi lapangan adalah 30 ikan, 45 kelapa, 10 tapioka, dan 15 bumbu. Komposisi tersebut akan direformulasi dengan meningkatkan persentase bahan utama menjadi 80, bahan pengikat diturunkan menjadi 5, dan bumbu tetap 15. Formulasi ini dibuat 5 produk dengan komposisi bahan utama sebesar 80 dilakukan variasi jumlah antara ikan dan kelapa parut, yaitu ≥50 ikan dan ≤30 kelapa Tabel 4. Produk tumpi yang dihasilkan dari formulasi baru ini dilakukan uji sensori untuk mencari produk terbaik. Pengujian sensori menggunakan uji hedonik hedonic test. Parameter yang dinilai meliputi kenampakan, warna, rasa, aroma, dan tekstur oleh 84 panelis. Hasil uji sensori dari setiap produk tumpi ikan tuna pada penelitian lanjutan tahap I disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Hasil penilaian sensori dengan uji hedonik tumpi ikan tuna penelitian lanjutan tahap I Produk tumpi Parameter penilaian sensori Kenampakan Rasa Warna Aroma Tekstur A 5,63±1,18 a 6,50±0,91 a 5,92±1,33 a 6,42±1,16 a 6,24±1,14 a B 6,49±0,95 c 6,60±0,85 a 6,64±1,13 b 6,56±1,08 a 6,46±1,21 a C 6,44±0,78 c 6,31±1,25 a 6,32±1,18 a 6,75±0,74 b 6,83±0,93 b D 7,23±0,77 d 6,96±0,90 b 7,24±0,89 c 7,02±0,76 c 7,04±0,91 c E 7,25±0,94 d 6,91±1,01 b 7,16±1,02 c 7,25±0,79 d 6,79±0,93 b F 6,16±0,12 b 7,18±0,91 c 637±1,14 a 6,66±1,01 a 6,47±0,94 a Angka-angka pada kolom yang sama diikuti huruf superscript berbeda a,b,c,d menunjukkan berbeda nyata p0,05 Simbol A, B, C, D, E dan F merujuk keterangan pada Gambar 5. 1 Kenampakan Kenampakan merupakan salah satu parameter sensori yang sangat penting dalam produk tumpi menurut penilaian panelis. Setyaningsih et al. 2010 menjelaskan bahwa kenampakan bahan pangan berkaitan erat dengan bentuk, ukuran, kejernihan, kekeruhan, warna, dan sifat-sifat permukaan, misalnya kasar, halus, suram, mengkilap, homogen, heterogen, datar, dan bergelombang. Jika hal tersebut mampu memberikan kesan dan daya tarik yang tinggi, maka keinginan konsumen untuk menilai parameter aroma, rasa, dan tekstur juga tinggi. Nilai rata-rata tingkat kesukaan panelis terhadap kenampakan tumpi ikan tuna, yaitu antara 5,63 sampai 7,25 atau agak suka sampai suka Tabel 12. Nilai kenampakan tertinggi dari tumpi ikan tuna yang diuji dicapai oleh produk E yaitu 7,25 dan terendah dicapai oleh produk A, yaitu 5,63. Hasil uji Kruskal-Wallis Lampiran 10 menunjukkan bahwa peningkatan persentase jumlah ikan dan pengurangan jumlah kelapa parut berpengaruh nyata terhadap kenampakan produk tumpi tuna. Hasil uji lanjut Dunn Lampiran 11a menunjukkan bahwa produk tumpi E tidak berbeda nyata dengan produk tumpi D, tapi berbeda nyata dengan produk tumpi A, B, C, dan F kontrol. Hal ini disebabkan produk E dan D memiliki bentuk dan ukuran lebih seragam, permukaan halus, dan datar. Kenampakan tumpi ikan tuna hasil reformulasi bahan penyusun disajikan pada Gambar 9. Gambar 9 Kenampakan produk tumpi tuna hasil reformulasi bahan penyusun. Proses pencetakan tumpi dibuat dengan bentuk dan ukuran seseragam mungkin, yaitu berbentuk segi tiga sama sisi dan ukuran sisi ±3 cm, setelah mengalami pemanasan pada saat proses penggorengan bentuk dan ukuran produk mengalami perubahan. Perubahan bentuk dan ukuran pada masing-masing produk berbeda-beda karena komposisi jumlah bahan penyusun utama juga berbeda. Hasil uji sensori menunjukkan bahwa nilai kenampakan produk tumpi ikan tuna meningkat pada setiap penambahan 5-10 ikan dan penurunan 5-10 kelapa parut. Hal ini diduga karena penambahan jumlah ikan menyebabkan meningkatnya jumlah protein pada produk. Protein memiliki kemampuan mengikat sejumlah air sehingga penguapan saat penggorengan tidak terlalu besar. Dogan et al. 2005 melaporkan bahwa penambahan bahan baku berkadar protein tinggi pada produk gorengan dapat menekan tingkat kehilangan kadar air. Penguapan air yang rendah terutama di lapisan luar outer zone dan kerak outer zone surface dapat mengurangi pengerutan shrinkage atau pengecilan pada struktur produk. Garayo dan Moreira 2002 mengemukakan bahwa semakin banyak air yang menguap semakin besar volume pengerutan. Pengkerutan yang tidak merata pada suatu produk menghasilkan bentuk yang tidak seragam dan permukaan kusam, kasar, dan bergelombang. A B C F E D